Sejarah dan Ajaran Tarekat Syattariyah di Keraton
Keprabonan
Ahmad Azhari, Mustofa dan Khoirul Wahidin
Pendahuluan
Tarekat merupakan konsep baru yang muncul pada penghujung abad kelima
awal abad ke 6 H, pada tataran konseptual tarekat merupakan jalan atau metode sufi
yang mengantarkan hamba kepada Allah SWT (Rina Wati, 2019). Pengaruh Islam di
nusantara jelas terlihat pada abad ke 15 - 16 M, hal ini dibuktikan dengan
berkembangnya ajaran Islam serta beberapa tradisi Arab yang mempengaruhi Islam
di nusantara salah satunya adalah ajaran tarekat (Wahyuni, 2018). Syattariyah mulai
dikenalkan ke nusantara oleh Syekh Abd al-Rauf al-Singkili di Aceh yang telah
belajar kepada Syekh Ahmad Qusyasyi di Mekkah (EL-Mawa, 2017).
Terekat bisa di kategorikan sebagai budaya. Agama dan budaya memiliki
hubungan cukup rumit. Disatu sisi agama merupakan unsur penting bagi
pembentukan budaya itu sendiri, namun di saat bersamaan budaya juga memberikan
pengaruh penting bagi ekspresi beragama (Faslah, Tengah, Pariaman, Fata, &
Ulakan, 2020).
Tarekat adalah cara, jalan untuk mengamalkan zikir tertentu kepada Allah
SWT. Berdasarkan ulama ulama besar tertentu (eL-Mawa, 2016). Tarekat juga dapat
menjelaskan mata rantai intelektual yang menghubungkan masyarakat muslim
nusantara dengan masyarakat muslim internasional. Persaudaraan tarekat di
Nusantara menunjukkan apa yang disebut Azyumardi Azra sebagai “Jaringan Ulama
Nusantara Mizan dalam (Fanani, 2012) Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang
paling populer, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah
pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar
asal Singkil yang bernama Abdurrauf As Singkili (Shadiqin, 2017). Kajian khusus
tentang tarekat Syattariyah, meski telah banyak dilakukan, namun tetap memiliki
daya tarik tersendiri (Ushuluddin, 2018).
Ajaran tarekat Syattariyah yang lebih dominan menggunakan akal
dibandingkan amalan lain, yang mana menjadi sebuah ciri khas dalam tarekat ini.
(Ahmad, 2019). Waktu penyebarannya di Jawa, tarekat ini mempunyai pengaruh
yang besar, terutama pada kebudayaan, agama atau ajaran kejawen, yang sekarang
dinamakan kepercayaan terhadap tuhan yang Maha Esa (Talkin, 2020).
Studi-studi sebelumnya cenderung mempelajari tradisi tarekat Syattariyah
dalam penggunaan fungsi kurang jelas untuk pembelajaran tarekat dan membahas
penentuan awal bulan dan juga ziarah kubur ke makam Syekh Burhanuddin yang
hanya mengkaji terhadap keyakinan konsep dan nilai dalam melakukan ziarah
(Maharani, 2020).
Seiring berjalannya waktu, ternyata dalam tubuh tarekat Syattariyah sendiri
telah terjadi perbedaan pendapat tentang awal Ramadhan, semisal pada Ramadhan
tahun 2017 pemerintah memutuskan bahwa puasa jatuh pada hari Sabtu 27 Mei 2017.
Sedangkan jamaah Syattariyah di Ulakan Pariaman puasa Ramadhan jatuh pada hari
Minggu 28 Mei 2017, sementara jamaah tarekat di Batang Kabung Koto Tangah
Padang memutuskan puasa jatuh pada hari Sabtu 27 Mei 2017, sama dengan
keputusan pemerintah (Bara, n.d.).
Tarekat Syattariyah masuk ke lingkungan Keraton Cirebon kemungkinan di
bawa oleh Kyai Muhammad Soleh yang berasal dari desa Kertabasuki di Kecamatan
Maja Kab Majalenka yang mengajarkan Tarekat Syattariyah kepada kepada Kyai
Muhammad Arjaen, seorang Qadi di Keraton Kanoman Cirebon. Ia mengambil
tarekat ini dari Kyai Hasanuddin dari kampung Safarwadi, murid dari Kyai Abdullah
Safarwadi Pamijahan Tasikmalaya, murid dari Syaikh Abdul Muhyi. Hal ini
berdasarkan informasi yang terdapat pada Kitab Dadalan Tarekat Syattariyah