Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
410 http://sosains.greenvest.co.id
PENGAMALAN AJARAN TAREKAT TIJANIYAH DALAM
BERSYARIAT ISLAM DI PESANTREN BUNTET CIREBON
Putri Amalia Zubaedah, Rahmat Hidayatullah, Khaerul Wahidin
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
E-mail: putt.ma[email protected], rahmathidayatullah1990@gmail.com,
khaerulwahidin@syekhnurjati.ac.id
Diterima: 26
April 2021
Direvisi: 9 Mei
2021
Disetujui: 14 Mei
2021
Abstrak
Keberadaan seorang kyai, pesantren dan tarekat merupakan tiga
unsur keberagaman yang tidak dapat dipisahkan. Pondok
Pesantren Buntet Cirebon menjadi salah satu tempat
berkembangnya ajaran tarekat Tijaniyah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengamalan ajaran-ajaran tarekat Tijaniyah
dalam bersyariat islam yang ada di Pesantren Buntet Cirebon.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif, peneliti mengamati secara langsung dan berpartisipasi
dalam penelitian sosial skala kecil dan mengamati budaya lokal
melalui penelitian lapangan. Penelitian ini dilakukan di Pondok
Pesantren Buntet Cirebon. Hasil penelitian ini adalah bahwa
ajaran syariat yang menjadi pengamalan wajib dalam tarekat
Tijaniyah diantaranya adalah ajaran wirid Lazim yang biasanya
diamalkan dalam kegiatan-kegiatan seperti manakib, acara
perkawinan, acara yang berkaitan dengan kelahiran bayi, acara
tahlil, acara yang berkaitan dengan hari besar Islam dan acara
yang berkaitan dengan bulan Ramadhan. Dari hasil penelitian ini
ditarik kesimpulan bahwa Pondok Pesantren Bunten yang berada
di Cirebon, Jawa Barat memiliki peran penting dalam
keberlangsungan Tarekat Tijaniyah, yang terus dilestarikan oleh
para pengikut ajarannya.
Kata Kunci: Tarekat, Tijaniyah, Pondok Pesantren Buntet
Abstract
The existence of a kyai, pesantren and tarekat are three elements
of diversity that cannot be separated. Pondok Pesantren Buntet
Cirebon is one of the places where the Tijaniyah teachings
develop. This study aims to determine the practice of the teachings
of the Tijaniyah tarekat in Islamic sharia in the Buntet Boarding
School, Cirebon. The method used in this research is qualitative
research, the researcher directly observes and participates in
small-scale social research and observes local culture through
field research. This research was conducted at Pondok Pesantren
Buntet Cirebon. The results of this study are that the teachings of
Sharia which are mandatory practice in the Tijaniyah tarekat
include the common wirid teachings which are usually practiced
in activities such as manakib, wedding ceremonies, events related
to baby birth, tahlil events, events related to Islamic holidays and
events related to the month of Ramadan. From the results of this
study, it was concluded that the Bunten Islamic Boarding School
located in Cirebon, West Java has an important role in the
continuation of the Tijaniyah Order, which continues to be
Pengamalan Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Bersyariat
Islam di Pesantren Buntet Cirebon
2021
Putri Amalia Zubaedah, Rahmat Hidayatullah, Khaerul Wahidin 411
Pendahuluan
Indonesia sebagai salah satu Negara Muslim terbesar dunia, Indonesia tidak lepas
dari lembaga pendidikan berbentuk Pondok Pesantren yang dirintis oleh beberapa ulama
tanah air dan terus berkembang sampai saat ini. Terdapat tiga perubahan sejarah utama
dalam pengetahuan dan pendidikan dalam Islam. Pendidikan di sini didefinisikan secara
longgar untuk memasukkan semua cara formal dan informal untuk memperoleh
pengetahuan (Sabic-El-Rayess, 2020). Peran Pondok Pesantren sangat besar dalam
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu keislaman. Pesantren sebagai
lembaga sosial dan penyiaran keagamaan (Syafe‟i, 2017). Disamping itu Pesantren juga
sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan pendidikan karakter yang luhur (Husna
Nashihin, 2017). Salah satu yang mengarah pada pendidikan karakter di Pesantren adalah
ajaran Tarekat yang hampir ada pada tiap Pondok Pesantren.
Awal perkembangan sejarah kota-kota yang telah memiliki komunitas muslim
diduga sejak abad ke 11 dimana terdapat perkampungan terutama di pantai utara Pulau
Jawa, beberapa kota di pesisir pantai utara jawa memiliki corak kota komunitas muslim
diantaranya: Gresik, Tuban, Surabaya, Kudus, Demak, Jepara, Cirebon, Banten. Ke
delapan Kota ini adalah Kota yang terdiri dari komunitas dan komunitas Muslim sangat
dipengaruhi oleh gerakan penyebaran Islam oleh Wali (Wali) (Marwoto, 2016).
Pondok Pesantren Buntet Cirebon yang didirikan pada tahun 1785 M, merupakan
salah satu pondok pesantren tertua di Pulau Jawa (Khuailid, 2018). Didirikan oleh Mbah
Muqayyim, Mufti Besar Kesultanan Cirebon. Sepanjang rentang sejarahnya, Pondok
Pesantren Buntet senantiasa konsisten untuk memperjuangkan syi‟ar Islam yang
diwujudkan ke dalam aktivitas keagamaan, terutama dibidang pendidikan. Kini seiring
perkembangan zaman, Pondok Pesantren Buntet dengan segala potensi yang dimiliki
berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dengan memadukan antara
sistem salaf (kitab kuning) dan sistem khalaf (madrasah) (Hasan, 2014).
Keberadaan seorang kyai, pesantren dan tarikat merupakan tiga unsur
keberagaman yang tidak dapat dipisahkan. Tidak jarang seorang kyai atau ulama
pemimpin pesantren sekaligus sebagai guru atau pemimpin tarikat atau seorang guru
tarikat memiliki dan memimpin pesantren (Muhaimin, 1999). Di Pesantren Buntet dari
awal berdirinya sampai dengan saat ini berkembang dua tarikat yang muktabarah (tarikat
yang diterima dalam kalangan NU) yakni, Tarikat Syatariyah yang datang lebih awal, dan
Tarekat Tijaniyah, yang datang kemudian dibawa ke Buntet oleh KH. Anas.
Dalam perkembangan Tarikat Tijaniyah lebih dominan pengikutnya daripada
Tarikat Syatariyah (Yulianti, 2014). Walaupun tarikat ini terbilang baru namun karena
ajaranya yang mudah dan tidak memaksa menarik perhatian bagi sebagian orang Jawa,
sehingga dengan mengacu pada kasus Buntet, tarikat ini berkembang dengan pesat
dengan pesantren Buntet sebagai salah satu pintu bagi penyebaran melalui jalur KH.Anas
(Anwar, n.d.). Kyai Anas adalah pribadi yang sederhana, rendah hati, wibawa ulet, tekun,
dan tidak menampakkan kekerasan dalam setiap tindakannya serta selalu berpandangan
jauh ke depan.
Terlahir dengan nama Muhammad Anas, Ibunya bernama Nyai Qari‟ah dan
ayahnya bernama KH. Abdul Jamil. Beliau adalah putra kedua dari empat bersaudara
yang dilahirkan pada tahun 1883 M di Desa Pekalangan Cirebon. Kakaknya, KH. Abbas
dan kedua adiknya KH. Ilyas dan KH. Akyas. Keempat kakak beradik ini sejak usia
muda sudah memimpin pesantren secara estafeta dari para pemimpin pesantren
preserved by the followers of its teachings.
Keywords: Tarekat, Tijaniyah, Pondok Pesantren Buntet
Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
412 http://sosains.greenvest.co.id
sebelumnya. Ayahnya, KH. Abdul Jamil adalah putra KH. Muta‟ad yang tak lain adalah
menantu pendiri Buntet Pesantren Cirebon, Kyai Muqayyim (Syafaah, 2012).
Pengenalan Kyai Anas terhadap tarikat Tijaniyah, dilakukannya pada saat beliau
menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1924. Kepergiannya ini menuruti anjuran
kakaknya, Kyai Abbas, yang terlebih dahulu berjumpa dengan Syekh Ali tetapi beliau
tidak mengambil ba‟iat Tarikat Tijaniyah tersebut meskipun beliau sudah menyenangi
tarikat ini. Hal yang disebabkan tanggung jawab beliau sebagai mursyid Tarikat
Syatariyah di Pesantrennya (Hasan, 2014).
Kyai Anas bermukim kurang lebih 3 tahun di Makkah dan mempelajari dengan
seksama kitab-kitab pegangan Tarikat Tijaniyah seperti Jawahir al-Ma’ani, Rimah,
Bughyat al-Mustafid langsung dari Syekh Alfa Hasyim. Bai‟at tarikatpun dilakukan Kyai
Anas kepada Syekh Alfa Hasyim, selain kemudian mengambil bai‟at lagi dari Syekh al-
Thayyib.
Dalam Tarikat Tijaniyah dikenal istilah muqaddam min muqaddam artinya
seorang ikhwan Tijaniyah bisa melakukan bai‟at lebih dari sekali kepada muqaddam
lainnya dengan alasan ketakwaan, senioritas usia, ataupun disiplin ilmu yang dimiliki
muqaddam senior tersebut (Saepudin, 2018). Berdasarkan pendapat di atas, diketahui
bahwa Kyai Anas melakukan bai‟at tarikatnya dua kali yaitu dari Syekh Alfa Hasyim di
Madinah dan dari dari Syekh Ali al-Thayyib, murid dari Syekh Alfa Hasyim ketika beliau
datang ke Indonesia tahun 1937.
Istilah Tarekat berasal dari kata At-Thariq (jalan) menuju hakikat, atau dengan
kata lain pengamalan syariat. Istilah ini yang disebut dengan Al- Amal, sehingga Ay-
Syekh Muhammad Amin Al- Kurdy dalam (Musthofa H, 1999) mengemukakan tiga
macam definisi yang berturut-turut disebutkan, Pertama: Tharikah adalah pengamalan
syariat, melaksanakan beban ibadah(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap)
mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah, Kedua:
Thariqoh adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak (bathin),
Ketiga : Thoriqoh adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-
hal yang mubah (yang sifatnya mengandung) Fadhilah, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaanya) dibawah
bimbingan seorang arif (Syekh) dari (sufi) yang mencita citakan suatu tujuan.”
Harun Nasution dalam (Farida, 2011) menyebutkan bahwa Tarekat adalah
organisasi dari pengikut sufi-sufi besar, mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk
melestarikan ajaran-ajaran tasawuf hingga timbulah Thoriqoh. Thoriqoh ini memakai
suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribath (disebut juga zawiyah, Khanaqah, atau
pekir). Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya,
ajaran tasawuf, dan ajaran tasawuf syekhnya.
Sejarah Islam menyebutkan bahwa Tarekat mulai bermunculan pada abad ke-12
(abad ke-6 H), dan mengalami perkembangan pesat. Dapat dikatakan bahwa dunia Islam,
sejak abad 1317 H, pada umumnya dipengaruhi oleh Tarekat. Salah satu Tarekat yang
berkembang di wilayah Cirebon ialah tarekat Tijaniyyah yang pusatnya berada di Pondok
Pesantren Buntet Cirebon. Oleh karena itu menarik untuk menganalisis lebih dalam soal
pengamalan ajaran dari tarekat Tijaniyyah di Pondok Pesantren Buntet Cirebon.
Tujuan dari adanya penelitian ini adalah untuk mengenal dan mengetahui
pengamalan ajaran tarekat Tijaniyyah dalam hal bersyariat sehingga dapat berkembang di
Pondok Pesantren Buntet Cirebon.
Sebelumnya, terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian saat
ini, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh (Ahzab, 2014) yang berjudul Sejarah
Pengamalan Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Bersyariat
Islam di Pesantren Buntet Cirebon
2021
Putri Amalia Zubaedah, Rahmat Hidayatullah, Khaerul Wahidin 413
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Desa Blado Wetan, Banyuanyar, Probolinggo.
Penelitian ini berfokus pada sejarah dan siapa pendiri Tarekat Tijaniyah di Blado Wetan,
Banyuanyar, Probolinggo, dan bagaimana ajaran dan amalan Tarekat Tijaniyah di Blado
Wetan, Banyuanyar. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subjek kajian
penelitian yakni pada penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Buntet Cirebon.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat ajaran-ajaran tarekat
saat ini telah menjadi ajaran yang hampir punah dan jarang ditemui keberadaannya.
Adanya penelitian ini akan menunjukkan bahwa ajaran tarekat, khususnya tarekat
Tijaniyah masih berkembang dan memiliki peran penting dalam bersyariat.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, peneliti
mengamati secara langsung dan berpartisipasi dalam penelitian sosial skala kecil dan
mengamati budaya lokal. Dalam penelitian lapangan, peneliti individu dapat berbicara
langsung dengan personel penelitian mereka dan berkomunikasi langsung dengan
mereka. Pelajari tentang mereka, riwayat hidup, kebiasaan, harapan, ketakutan dan
impian mereka melalui interaksi. Peneliti mendapatkan teman baru atau komunitas baru,
mengembangkan persahabatan, dan menemukan dunia sosial baru. Penelitian ini juga
menggunakan metode wawancara yaitu metode pengumpulan data melalui tanya jawab
sepihak yang dilakukan secara sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Penelitian
A. Asal Usul Tarekat Tijaniyah
Nama tarekat pada umumnya dinisbatkan kepada nama pendirinya. Sebagaimana
nama-nama tarikat yang sudah ada terlebih dahulu. Misalnya Tarikat Qadariyah didirikan
oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiyah oleh Bahauddin
Naqsyaband (w. 1389 M), Syatariyah oleh Abdullah al Syattar (w. 1428-1429 M), maka
nama Tijaniyah pun berasal dari nama pendirinya yaitu Abu al- Abbas Ahmad bin
Muhammad bin Mukhtar al-Tijani (w. 1815 M) (Thoriqussu‟ud, 2012).
Tijani adalah nama sebuah suku asli di „Ayn Madi, wilayah Algeria Selatan.
Penyandang suku al-Tijani adalah ibu Abu al-Abbas Ahmad. Beliau dikatakan sebagai
seorang wanita berkulit hitam, bernama Sayyidah Aisyah binti Abdullah al- Sanusi al-
Tijani. Sementara ayahnya, Muhammad bin Mukhtar, adalah seorang alim dan saleh dan
merupakan keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW.
Secara lengkap silsilah Abu al-Abbas Ahmad adalah sebagai berikut: Abu al-Abbas
Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Ahmad
(bergelar al-Alwaany) bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abd al-Jabbar bin
Idris bin Ishaq bin Ali Zain al Abidin, bin Ahmad bin Muhammad an-Nafsu az Zakiyah,
bin Abdullah bin Hasan al Mutsannna, bin al-Hasan al-Sibthi, bin Ali bin Abi Thalib dari
Sayyidah Fatimah az Zahro binti Muhammad SAW.
B. Ajaran Thoriqoh Tijaniyah
1)
Wirid Lazim.
a.
Waktu Wirid Lazim
Waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan wirid lazim sebanyak dua kali
sehari semalam yaitu pagi setelah shalat Shubuh sampai waktu Dhuha dan sore setelah
shalat Ashar sampai shalat Isya. Keutamaan waktu-waktu tersebut lihat (QS. Al-Ahzab:
41-42 dan Hadits-hadits Nabi dalam an-Nasa‟I. Apabila pagi setelah shalat Shubuh
sampai waktu Dhuha tidak bisa dilakukan, maka waktu wirid lazim sampai waktu
Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
414 http://sosains.greenvest.co.id
Maghrib. Untuk mendapatkan keutamaan yang besar, wirid lazim ini diamalkan sebelum
waktu Shubuh dengan syarat harus selesai sebelum waktu Shubuh. Dan apabila sore
setelah shalat Ashar sampai shalat Isya tidak dilaksanakan, maka waktunya sampai
Shubuh.
b. Tiga unsur ajaran yang terdapat dalam aurad Tarikat Tijaniyah
1.
Istighfar
Membaca istighfar bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan dosa, baik
dosa kecil maupun besar, dosa sedikit maupun banyak dosa tersembunyi maupun
nyata. Istighfar dilakukan sebagai langkah awal sebelum ber tawajjuh dan wushul
kepada Allah.
2.
Salawat
Perintah Allah untuk bersalawat kepada Nabi Muhammad didahului pernyataan
bahwa Allah SWT bersalawat atas Nabi. Firman-Nya: Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya sama bersalawat atas Nabi (Muhammad SAW): “Wahai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kalian atas dia dan sampaikan salam sebaik-baiknya”. (QS. Al-
Ahzab [33]: 56). Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling dekat kepada Allah
SWT. Dengan memperbanyak salawat atasnya, diharapkan kitapun menjadi dekat kepada
Allah. Hadits lain berbunyi: Sesungguhnya shalawat umatku diperlihatkan kepadaku
tiap-tiap hari Jum‟at. Maka barangsiapa yang terbanyak diantara mereka membaca
salawat atasku, merekalah yang terdekat tempatnya kepadaku.(HR. Baihaqi dengan
isnad Hasan)
.
3. Hailalah (laa ilaaha illallah)
Setelah ber istighfar, mendekat kepada Rasul dengan salawat, kita menuju Allah
SWT dengan membaca hailalah (la ilaaha illallah). Seutama-utama yang diucapkan
olehku dan Nabi-nabi sebelum aku ialah lafadh: la ilaaha illallah. Hadits lain berbunyi: La
Ilaaha illallah adalah benteng-Ku, maka dia selamat dari siksa-kuKetiga unsur ajaran
dalam aurad Tarikat Tijaniyah ini selalu dilakukan pada kegiatan zikir tarikat dengan
ketentuan pelaksanaan yang telah baku.
c. Bacaan wirid Lazimah
Adapun bacaan wirid lazimah yang dimaksud adalah berupa istigfar, sholawat dan
hailalah yang dibaca masing-masing 100 kali dan diakhiri dengan membaca sholawat
Fatih.
C. Pengamalan Ajaran Tarekat Tijaniyah Dalam Bersyariat Islam Di
Pesantren Buntet Cirebon
Peran kyai Anas bukan hanya sebatas sebagai muqaddam Tijaniyah saja, tetapi
beliau juga seorang pejuang kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda Kyai Anas
bersama dengan kakaknya, Kyai Abbas ikut berjuang melalui wadah Hizbullah, Sabilillah
dan Asybal, demi ajaran agamanya melalui pan-Islamisme yang pada waktu itu populer
sebagai alat untuk memotivasi kaum muslimin melawan musuh yang kafir sebagai bentuk
revivalisme (perlawanan).
Dengan senjata seadanya, kaum muslimin, dengan dipimpin oleh para kyai,
berjuang habis-habisan demi kemerdekaan yang ingin dicapainya. Akhirnya,
pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi, dengan mudah dikalahkan dengan
menghancuran pusat-pusat kegiatan keagamaan. Kyai Anas menanggung beban
pembumihangusan oleh pihak Belanda tersebut.
Dalam persoalan sosio-ekonomi Kyai Anas begitu menekankan, baik kepada para
santrinya maupun kepada masyarakat sekitarnya, untuk bekerja apa saja yang penting
halal, bisa dengan cara bertani atau beternak.
Dalam masalah peran keagamaan Kyai Anas tetap konsisten menjaga kearifan
Pengamalan Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Bersyariat
Islam di Pesantren Buntet Cirebon
2021
Putri Amalia Zubaedah, Rahmat Hidayatullah, Khaerul Wahidin 415
lokal dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam, diantaranya:
1) Kegiatan Manakib
Kegiatan manakib Syaikh al-Tijani merupakan bentuk lain dari peran Kyai
Anas dalam mensosialisasikan Tarikat Tijaniyah. Uraiannya sebagai berikut:
a. Pengertian Manakib
Manakib berasal dari kata Arab manaqib yakni kebajikan, perbuatan baik,
pekerti atau perangai yang terpuji (Munawwir, 1984:1451), diartikan juga sebagai
riwayat hidup. Arti kata ini biasanya dikaitkan dengan sejarah kehidupan seseorang yang
dikenal sebagai tokoh terkemuka di dalam masyarakat. Manakib menyangkut perjuangan,
silsilah, akhlak, kepribadian, sifat dan lain-lain.
Pada hakikatnya, dalam Al-Qur‟an terdapat kisah manakib seseorang seperti
Maryam (Q.S. 19 terutama ayat 1-40), Ashabul Kahfi (Q.S. 18 terutama ayat 18 ayat 9-
26) dan lain-lain. Dikenal juga manakib para sahabat Nabi seperti manakib Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan sebagainya. Beberapa aliran tarikat menilai
bahwa kitab manakib merupakan buku riwayat hidup seorang syaikh tarikat atau seorang
wali yang ditulis oleh pengikut tarikat yang bersangkutan dan biasanya buku tersebut
berisi sanjungan sifat-sifat baik syaikhnya atau sifat-sifat baik seorang wali.
Riwayat hidup atau manakib para wali banyak dibaca oleh pengikut berbagai
tarikat untuk diambil pelajaran dan teladan serta untuk memperkokoh iman seseorang.
Pada intinya manakib berisi: Keutamaan pendidikan atau usaha-usaha untuk mencari ilmu
pengetahuan, keteguhan iman dalam memegang dan menjalankan hukum Allah, unsur
kekeramatan dan tingkah laku dengan akhlak yang terpuji.
b. Tujuan Manakib
Kegiatan manakib yang diselenggarakan, biasanya memiliki maksud dan tujuan
tertentu, diantaranya: Tasyakuran, yaitu ungkapan terimakasih kepada Allah
disebabkan telah memperoleh nikmat karunia-Nya. Misalnya, seorang ibu melahirkan
dengan selamat, maka ia atau keluarganya menyelenggarakan manakib Syaikh al-Tijani.
Tabarruk, yaitu harapan memperoleh barokah, rahmat dari Allah dan dari para hamba
pilihan-Nya, dengan tujuan untuk mengikuti dan meniru keteladanannya.
c. Tata cara kegiatan Manakib
1. Air putih dan berbagai hidangan
Air putih dan berbagai hidangan adalah merupakan unsur penting dalam kegiatan
manakib ini. Biasanya, hidangan yang disediakan ini disesuaikan dengan kemampuan
fihak penyelenggara. Atau, kalau acara ini dilaksanakan di mesjid, biasanya hidangannya
berasal dari masyarakat.
2) Acara Perkawinan
Kyai Anas telah menerapkan aturan-aturan tentang prosesi suatu pernikahan.
Diantaranya, pengantin wanita tidak dihadirkan bersama pengantin pria pada saat akad
nikah dan mempelai tidak disandingkan bersama dan pemisahan undangan pria dan
wanita
.
3) Acara Yang Berkaitan Dengan Kelahiran Bayi
Acara yang berkaitan dengan kelahiran bayi dimulai dengan nujuh wulan. Acara ini
khusus bagi seorang calon ibu yang mengandung tujuh bulan dengan tujuan mendo‟akan
keselamatan bayi yang akan lahir. Setelah bayi lahir, pada hari ke-7 atau ke-40 diadakan
puputan. Acara ini bertujuan menyelamati tali pusar yang sudah sempurna, diiringi dengan
pemberian nama atau pengguntingan rambut. Dalam acara ini biasanya dibacakan barzanji
atau diba’i atau marhabanan. Rangkaian acara tersebut mengandung harapan agar si
kecil kelak menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa dan agama,
serta berbakti kepada orang tuanya. Ini mengingatkan kepada kelapa yang seluruh
bagian pohonnya berguna bagi manusia.
Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
416 http://sosains.greenvest.co.id
4. Acara Tahlil
Di Desa Sidamulya, dikenal juga acara kematian yang bernuansa Islam, seperti
yang telah dilakukan Kyai Anas, yaitu tahlil
.
Tahlil diselenggarakan mulai malam
pertama sampai ketujuh, ke-40 (matang puluh), ke-100 (nyatus), satu tahun (mendak/haul),
ke- 1000 (nyewu). Haul kyai biasanya diselenggarakan dengan meriah. Di Sidamulya, haul
Kyai Anas dan keturunannya dilakukan setiap tanggal 20 Rabiul Tsani atau berdasarkan
masa sesudah panen. Acara ini dilakukan sebagai ajang untuk mengingat Allah dan Hari
Kiamat, Untuk mendidik diri tidak bergantung dan terikat kepada dunia, Untuk
mengenang sang mayit dan penghormatan kepadanya, untuk melakukan kebaikan seraya
mengisinya dengan tahlilan, pembacaan surat-surat al-Quran dan doa serta
menghadiahkan pahala spiritualnya untuk sang mayit, Untuk menenangkan hati anggota
keluarga yang ditinggalkan sang mayit dan turut berduka dan berbelasungkawa kepada
mereka.
5. Acara Yang Berkaitan Dengan Peringatan Hari-Hari Besar Islam
Acara memperingati 10 Syura (10 Muharram). Acara ini dimulai dengan
pelaksanaan shalat Maghrib berjama‟ah. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan
Yasin 3 kali secara berjama‟ah, dilanjutkan dengan membaca wirid sebanyak 70 kali,
dilanjutkan dengan do‟a bersama. Pertama-tama Kyai membaca do‟a terlebih dahulu kata
perkata kemudian diikuti bacaan do‟a para jama‟ah. Untuk acara-acara seperti rajaban
(peringatan Isra Mi‟raj Nabi Muhammad SAW) atau muludan, biasanya diisi dengan
pembacaan diba’i atau marhabanan atau barzanji. Kemudian acara tersebut ditutup
dengan mengundang kyai dari luar Sidamulya untuk siraman rohaninya.
6. Acara-Acara Yang Berkaitan Dengan Bulan Ramadhan
Untuk acara Ramadhan dimulai dari futur (semacam acara buka puasa bersama)
yang dilakukan di mesjid peninggalan Kyai Anas. Untuk acara futur ini seluruh
masyarakat Sidamulya secara bergiliran membuat hidangan untuk berbuka puasa bagi para
jama‟ah yang sudah selesai mendengarkan pengajian sore hari sebelum adzan magrib
dikumandangkan. Pada malam harinya, setelah shalat Tarawih, diadakan tadarrus sampai
tepat jam 12 malam. Selanjutnya setiap malam tanggal 17 Ramadhan diadakan acara
nuzul al-Qur‟an, yaitu satu malam dimana para santri diharuskan membaca al-Qur‟an
sampai hatam 30 juz.
Kesimpulan
Pondok Pesantren Bunten yang berada di Cirebon, Jawa Barat memiliki peran
penting dalam keberlangsungan Tarekat Tijaniyah, yang terus dilestarikan oleh para
pengikut ajarannya. Para Kyai terus mengenalkan dan melanggengkan wirid-wirid
yang ada pada tarekat Tijaniyah kepada para santri. Selain tiu, para santri yang datang
dari berbagai daerah untuk menimba ilmu juga mempelajari dan kemudian ikut
menyebarkan ajaran tarekat Tijaniyahnya di daerahnya masing-masing. Karena
kegiatan tarikat Tijaniyah ini tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren sehingga
yang mengikuti ajaran tarikat ini rata-rata kebanyakan dari para Kyai-Ulama dan
masyarakat umumnya.
Ajaran syariat yang menjadi pengamalan wajib dalam tarekat Tijaniyah
diantaranya adalah ajaran wirid Lazim yang biasanya diamalkan dalam kegiatan-kegiatan
seperti manakib, acara perkawinan, acara yang berkaitan dengan kelahiran bayi, acara
tahlil, acara yang berkaitan dengan hari besar Islam dan acara yang berkaitan dengan
bulan Ramadhan. Tarikat bisa dijadikan sebagai media komunikasi yang efektif, tidak
saja sebagai jalan pendekatan diri kepada Tuhan, tetapi juga dalam menciptakan suasana
akrab, rukun dan damai dalam ikatan habl min al-nas secara harmonis.
Pengamalan Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Bersyariat
Islam di Pesantren Buntet Cirebon
2021
Putri Amalia Zubaedah, Rahmat Hidayatullah, Khaerul Wahidin 417
Bibliography
Ahzab, Achmad. (2014). Sejarah Perkembangan Tarekat Tijaniyah Di Desa Blado Wetan
Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo 1952-1978. Uin Sunan Ampel
Surabaya.
Anwar, Saepul. (N.D.). Tarekat Tijaniah. Jurnal Kajian Pendidikan Agama-Ta’lim Vol,
5(22007), 1.
Farida, Meutia. (2011). Perkembangan Pemikiran Tasawuf Dan Implementasinya Di Era
Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 13(1), 105114.
Hasan, H.Ahmad Zaini. (2014). Perlawanan Dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas,
Pesantren Buntet, Dan Bela Negara. Lkis Pelangi Aksara.
Husna Nashihin, M.Pd I. (2017). Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Pesantren.
Formaci.
Khuailid, Moh. (2018). Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Di Pesantren Buntet
Pada Masa Kepemimpinan Kh. Abdullah Abbas. Tsaqafatuna, 1(1).
Marwoto. (2016). Spiritual Phenomena In The Town Of Demak. Procedia - Social And
Behavioral Sciences, 227, 451457.
Https://Doi.Org/Https://Doi.Org/10.1016/J.Sbspro.2016.06.100
Muhaimin, A. G. (1999). Pesantren Tarekat Dan Teka Teki Hodgson: Potret Buntet
Dalam Perspektif Transmisi Dan Pelestarian Islam Di Jawa. Dalam Marzuki Wahid
(Ed.).
Musthofa H. (1999). Akhlak Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.
Sabic-El-Rayess, Amra. (2020). Epistemological Shifts In Knowledge And Education In
Islam: A New Perspective On The Emergence Of Radicalization Amongst Muslims.
International Journal Of Educational Development, 73, 102148.
Https://Doi.Org/Https://Doi.Org/10.1016/J.Ijedudev.2019.102148
Saepudin, Saepudin. (2018). Dinamika Pemahaman “Al-Khasaiṣ” Dalam Ajaran Tarekat
Tijaniyah: Studi Pemahaman Mursyid Di Daerah Cirebon. Uin Walisongo.
Syafaah, Aah. (2012). Peran Kh. Anas Sebagai Muqoddam Tijaniyah Dalam Aspek
Politik, Sosioekonomi Dan Keagamaan Di Pesantren Al-Ishlah Sidamulya Astana
Japura Cirebon (1883-1947). Holistik, 13(2).
Syafe‟i, Imam. (2017). Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter.
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 6182.
Thoriqussu‟ud, Muhammad. (2012). Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning
Di Pondok Pesantren. Jurnal Ilmu Tarbiyah" At-Tajdid, 1(2), 226.
Yulianti, Yuli. (2014). Kh Abbas Dan Perkembangan Tarekat Di Cirebon Tahun 1919-
1946 M. Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya Uin Yogyakarta, Skripsi. Juga
Merupakan Generasi Ke-5 Dari Sayyid Ahmad At-Tijani Pendiri Thoriqoh
Tijaniyyah.