JURNAL                                         

JURNAL SOSIAL DAN SAINS

VOLUME 3 NOMOR 9 2023

P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X

 

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT STRES PADA SANTRI DAN SANTRIWATI REMAJA DI PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS NEGARA

 

 

 

Aulia Rahmah, Meti Agustini, Darmayanti, Mardha Raya

Fakultas Keperawatan dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Indonesia

Email: auliarahmah1221@gmail.com

 

 

Kata kunci:

Dukungan Sosial, Kepribadian, Lingkungan, Remaja, Stres, Stres Akademik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Social Support, Personality, Environment, Adolescents, Stress, Academic Stress

ABSTRAK

Latar Belakang: Remaja merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa yang memerlukan perhatian khusus untuk pencarian identitas diri, eksplorasi, dan eksperimentasi berbagai peran sosialnya. Masa remaja merupakan salah satu masa yang rentan terhadap kejadian stres. Stres merupakan perasaan ketidaksesuaian individu ketika berinteraksi dengan lingkungannya baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Kondisi stres ini juga bisa dirasakan oleh remaja yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren atau yang disebut dengan santri. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stres baik itu faktor internal maupun eksternal.

 

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

 

Metode: Rancangan penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian analitik menggunakan desain cross sectional. Sampel pada  penelitian ini adalah santri dan santriwati remaja yang berusia 15-20 tahun berjumlah 218 orang dengan teknik pengambilan sampel yaitu proportionate random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi dan dianalisis menggunakan spearman rank.

 

Hasil: Penelitian ini diperoleh nilai p-value pada masing-masing variabel adalah <0,05 dengan kesimpulan faktor yang berhubungan dengan tingkat stres adalah kepribadian, stres akademik, lingkungan, dan support system.

 

Kesimpulan: Faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati perlu menjadi perhatian khusus bagi pihak pengelola Pondok Pesantren ke depannya.

 

ABSTRACT

Background: Adolescence is a period of transition from child to adult which requires special attention to search for self-identity, exploration and experimentation of various social roles. Adolescence is a period that is vulnerable to stressful events. Stress is an individual's feeling of inappropriateness when interacting with his environment both physically, psychologically and socially. This stressful condition can also be felt by teenagers who study at Islamic boarding schools or what are called santri. There are many factors that cause stress both internal and external factors.

 

Purpose: This study aims to determine what factors are related to the level of stress on young students and female students at the Al-Ikhlas Negara Islamic Boarding School.

 

Methods: The design of this research is a quantitative research with analytic research type using a cross sectional design. The sample in this study were female students and female students aged 15-20 years, totaling 218 people with a sampling technique that was proportional random sampling. Data collection was carried out using a modified questionnaire and analyzed using Spearman rank.

 

Results: This study obtained a p-value for each variable of <0.05 with the conclusion that factors related to stress levels are personality, academic stress, environment, and support systems.

 

Conclusion: Factors related to the level of stress on students and female students need to be of particular concern to the management of Islamic boarding schools in the future.

 

 

PENDAHULUAN

Manusia tumbuh dan berkembang dengan beberapa tahapan atau fase. Tahapan perkembangan tersebut antara lain fase kelahiran (prenatal period), bayi (infancy), kanak-kanak (early), kanak-kanak tengah dan akhir (middle and late childhood), remaja (adolescence), dewasa muda, dewasa tengah, dan lansia (dewasa akhir) (Hanafi, 2018). Masa remaja atau yang disebut dengan adolescence merupakan salah satu masa yang sangat penting bagi kesehatan mental di mana individu mengalami perkembangan psikologi dan identitas dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Marliani, 2016 dalam Khasanah & Mamnuah, 2021). Salah satu tahapan yang berpengaruh terhadap kesehatan mental yaitu pada fase remaja.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI)  No.  25  tahun  2014, menyebutkan bahwa penduduk yang usianya antara 10-18 tahun adalah remaja yang di mana seseorang tidak bisa disebut dewasa tetapi tidak bisa disebut anak-anak. World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai seseorang yang berada dalam masa transisi antara anak dan dewasa dalam rentang usia 12-24 tahun (Juliani & Wulandari, 2022). Berdasarkan gambaran umum profil remaja tahun 2021, terdapat 46 juta remaja diantaranya laki-laki dengan persentase 52% dan perempuan dengan persentase 48% (UNICEF, 2021). Sedangkan menurut Hurlock, (1999) dalam Ananda & Apsari, (2020) masa remaja disebut juga masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa meliputi pendewasaan mental, emosional, sosial, fisik, dan psikologis yang penuh gejolak atau disebut dengan period of storm and stress.  

Menurut El-Azis, (2017) pada masa remaja akan mengalami perkembangan pikiran menuju dewasa yang mana remaja akan dihadapkan dengan berbagai persoalan ataupun gejolak yang berat sehingga menimbulkan rasa stres pada diri remaja dikarenakan pikirannya terkait dengan kehidupan, perasaan, dan emosinya. Period of storm and stress dengan berbagai permasalahan tersebut sangat penting karena remaja berada pada tahapan pencarian identitas diri. Tahap perkembangan remaja dapat terganggu jika remaja mengalami stres yang berkepanjangan sehingga menyebabkan terjadinya krisis pendewasaan (Sutejo, 2018). Kerentanan yang dijelaskan di atas akan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya yaitu dewasa karena stres yang dihadapinya.

Banyak faktor yang mempengaruhi stres remaja. Stres dapat dipengaruhi oleh pilihan gaya hidup yang dipilih remaja, persahabatan yang dibentuk, dan coping skill yang dimiliki remaja (Priyoto, 2019). Stres ini muncul karena tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan (tuntutan) dan sumber daya yang dimiliki remaja, semakin besar kesenjangan maka semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami remaja.

Menurut Rachmawati, (2020 dalam Nurhaeni et al., 2022) Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 melaporkan data prevalensi stres yang bermanifestasi dengan tanda dan gejala depresi juga kecemasan terutama yang dirasakan oleh remaja yang usianya 15 tahun atau lebih tercatat sekitar 11 juta jiwa dari total penduduk Indonesia atau setara dengan 6,1% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, remaja usia 10-14 tahun sebanyak 22.195 jiwa dan remaja usia 15-19 tahun sebanyak 22.319 jiwa (Alini & Meisyalla, 2022).

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh National Institute of Mental Health (2019 dalam Alini & Meisyalla, 2022), menyatakan bahwa prevalensi tertinggi masalah stres pada remaja adalah antara usia 17-18 tahun. Diperkirakan 10-20% remaja secara global memiliki perasaan stres yang tidak terdiagnosis (underdiagnosed) dan tidak ditangani (undertreated). Dilaporkan oleh Riskesdas, (2018 dalam Khasanah & Mamnuah, 2021) didapatkan data bahwa jumlah gangguan psiko-emosional berupa stres, depresi, dan kecemasan pada remaja Indonesia adalah 9,8% dari total jumlah remaja Indonesia. Data survei Global Health Data Exchange tahun 2017, mencatat 27,3 juta jiwa di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dan didapatkan diantaranya 6,2% remaja usia 15-25 tahun mengalami depresi (Alini & Meisyalla, 2022).

Pada keilmuan psikologi, stres didefinisikan sebagai tekanan dan ketegangan mental serta tingkat stres yang rendah pada seseorang dianggap bijaksana dan sehat (Hidayati & Harsono, 2021). Menurut Sarafino & Smith, (2011 dalam Purwati & Rahmandani, 2018) menyebutkan stres adalah perasaan ketidaksesuaian individu ketika berinteraksi dengan lingkungannya baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Stres dapat memengaruhi siapa saja, termasuk remaja.

Efek dari stres yang dialami juga diperngaruhi oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya kepribadian, keyakinan, cara berpikir individu, usia, dan kondisi stres akademik. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan stres meliputi perubahan lingkungan, keluarga, dan sosial budaya. Selain itu, faktor eksternal juga berupa ancaman konsep diri dan support system (Costa et al., 2021 dalam Putri & Azalia, 2022; El-Azis, 2017; Sukadiyanto, 2019).

American Psychological Association (APA) mendefinisikan remaja yang mengalami stres merupakan salah satu bentuk kecemasan yang dapat menimbulkan efek seperti pusing, telapak tangan berkeringat, mulut kering, panik, cemas, penurunan konsentrasi dan memori, serta perasaan khawatir dan kebingungan (Septiana et al., 2021 dalam Putri & Azalia, 2022).

Remaja biasanya menempuh pendidikan di sekolah umum ataupun di Pesantren. Bagi remaja yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren sering disebut dengan santri. Santri berarti seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di Pondok Pesantren. Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia yang menyebarkan dakwah Islam untuk membentuk perilaku Islami masyarakat. Melalui proses pendidikan dalam Pesantren ini, diharapkan terwujudnya pribadi-pribadi Islami yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara intelektual, namun pribadi yang juga memiliki akhlak mulia, beriman, kreatif, dan inovatif sehingga di kemudian hari dapat menyebarkan nilai-nilai mulia Islam kepada keluarganya, lingkungan sekitar, serta seluruh umat manusia (Munawaroh, 2018).

Pada era globalisasi, permasalahan anak muda sangatlah kompleks dan beragam, terutama pada diri remaja. Keberadaan Pondok Pesantren sejalan dengan tuntutan dan harapan dari pihak institusi serta orang tua yang mengharapkan remaja mampu menjadi generasi penerus kaum intelektual yang mempunyai dasar agama yang kuat. Pada saat itu, muncul sebuah keharusan pada beberapa remaja untuk menjadi seorang santri dan santriwati agar dapat memenuhi keinginan orang tua mereka.

Setiap Pondok Pesantren memiliki aturan masing-masing yang diterapkan untuk para santrinya. Beragamnya peraturan yang ada di Pondok Pesantren tidak menutup kemungkinan santri akan mengalami stres dikarenakan perubahan pola hidup yang dijalani (Munawaroh, 2018).

Santri yang mengalami stres dapat menimbulkan dampak positif ataupun negatif. Peningkatan jumlah stres pada santri akan menurunkan kemampuan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran. Bahkan, jika yang dirasa terlalu berat maka dapat memicu gangguan memori, konsentrasi, kemampuan penyelesaian masalah, serta kemampuan dalam penyelesaian tugas perkembangannya.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan teknik wawancara pada hari Kamis, 08 Desember 2022 terhadap 10 orang santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara yang terdiri dari 3 orang santri dan 7 orang santriwati didapatkan bahwa 40% remaja sering merasa cemas ketika bersosialisasi di lingkungannya, 40% remaja sering tidak berkonsentrasi, merasakan pusing, dan tidak tenang saat melakukan aktivitas di Pondok Pesantren, serta 20% remaja sering merasa gelisah dan sulit untuk menahan emosi saat menghadapi masalah serta merasa tidak mampu memenuhi kewajiban tugasnya.

Selain itu, juga dilakukan studi pendahuluan dengan teknik wawancara terhadap salah satu pengelola Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada hari Senin, 26 Desember 2022 didapatkan hasil bahwa disebutkan terdapat sekitar 10-15% santri ataupun santriwati yang keluar (drop out) dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara dalam 2 tahun terakhir. Di samping itu, juga dikatakan bahwa telah tercatat terdapat 47 santri ataupun santriwati yang drop out pada tahun pelajaran 2022/2023 dengan total santri dan santriwati di awal tahun pembelajaran berjumlah 997 orang yang kemudian pada semester genap menjadi 950 orang.

Drop out santri dan santriwati tersebut dengan alasan yang beragam seperti adanya pelanggaran yang dilakukan secara berulang karena ketidakmampuan mengikuti peraturan yang berlaku, hanya sekedar mengikuti keinginan orang tua, ketidakmampuan mengikuti sistem pembelajaran yang diterapkan, ekonomi yang kurang memadai, dan lain sebagainya.

Hasil wawancara tersebut  membuktikan bahwa adanya santri dan santriwati remaja yang mengalami tanda-tanda stres sehingga penting dilakukan penelitian terkait faktor apa saja yang memicu terjadinya stres pada remaja tersebut. Sehingga pada permasalahan yang dihadapi oleh santri dan santriwati bisa dilakukan manajemen stres dengan baik dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk salah satunya seperti meningkatnya persentase keluarnya (drop out) santri ataupun santriwati di Pondok Pesantren tersebut.

Perawat memiliki berbagai peran diantaranya pemberi asuhan keperawatan, advokat, edukator, koordinator, kolaborator, konsultan, dan peran sebagai pembaharuan. Pada kasus ini perawat sebagai pendidik (educator) sangat diperlukan dalam hal mengatasi kejadian stres yang masih terjadi khususnya pada anak remaja. Peran perawat yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan pengetahuan serta informasi kepada remaja dan orang tua tentang stres yang terjadi pada remaja. Selain itu, perawat juga memberikan kesadaran kepada remaja dan orang tua agar saling menjaga komunikasi sehingga dapat mencegah stres yang berlanjut (Harini, 2020).

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian analitik dan desalin cross sectional yang dimana merupakan desain penelitian ilustratif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yang dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik probability sampling yaitu proportionate random sampling. Populalsi pada penelitialn ini aldallalh seluruh salntri daln salntriwalti remaljal dengan usia 15-20 tahun di Pondok Pesalntren All-Ikhlals Negalra yang berjumlah 476 orang, maka sampel penelitian ini berjumlah 218 orang yang diambil berdasarkan perhitungan Slovin. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari Mei hingga Juni 2023 yang bertempat di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi dan dianalisis menggunakan Spearman Rank.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Responden Berdasarkan Usia

Tabel 1. Usia Responden

No.

Usia

Frekuensi

%

1.

15 Tahun

52

23,9

2.

16 Tahun

66

30,3

3.

17 Tahun

49

22,4

4.

18 Tahun

28

12,8

5.

19 Tahun

17

7,8

6.

20 Tahun

6

2,8

Total

218

100

 

 

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa responden dengan persentase tertinggi adalah usia 16 tahun dengan jumlah 66 responden (30,3%) dan persentase terendah adalah usia 20 tahun dengan jumlah 6 responden (2,8%).

Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 2. Jenis Kelamin Responden

No.

Jenis Kelamin

Frekuensi

%

1.

Perempuan

141

64,7

2.

Laki-Laki

77

35,3

Total

218

100

Berdasarkan tabel 22 menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 141 orang (64,7%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 orang (35,3%).

Responden Berdasarkan Jenjang/Kelas

Tabel 3. Jenjang/Kelas Responden

No.

Kelas

Tingkat

Frekuensi

%

1.

3

Wustha

52

23,9

2.

4

Ulya

66

30,3

3.

5

Ulya

77

35,3

4.

6

Ulya

23

10,5

Total

218

100

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa responden dengan persentase adalah kelas 5 tingkat Ulya dengan jumlah 77 responden (35,3%) dan yang paling sedikit adalah kelas 6 tingkat Ulya dengan jumlah 23 responden (10,5%).

 

Analisis Univariat

Tingkat Stres

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres

Tingkat Stres

f

%

Ringan

44

20,2

Sedang

164

75,2

Berat

10

4,6

Total

218

100

Tabel 4 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat stres santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori stres sedang dengan jumlah 164 dari 218 responden (75,2%).

 

Kepribadian

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kepribadian

Kepribadian

P

L

f

%

Buruk

9

4

13

6,0

Cukup Baik

65

50

115

52,8

Baik

67

23

90

41,3

Total

141

77

218

100

Tabel 5 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan kepribadian santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori cukup dengan jumlah 115 dari 218 responden (52,8%).

 

Stres Akademik

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Stres Akademik

Stres Akademik

P

L

f

%

Rendah

15

27

42

19,3

Sedang

115

46

161

73,9

Tinggi

11

4

15

6,9

Total

141

77

218

100

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan stres akademik santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori sedang dengan jumlah 161 dari 218 responden (73,9%).

 

Lingkungan

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Lingkungan

Lingkungan

P

L

f

%

Buruk

2

8

10

4,6

Cukup Baik

82

34

116

53,2

Baik

57

35

92

42,2

Total

141

77

218

100

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan lingkungan santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori cukup baik dengan jumlah 116 dari 218 responden (53,2%).

 

Support System

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Support System

Support System

P

L

f

%

Rendah

3

7

10

4,6

Sedang

87

48

135

61,9

Tinggi

51

22

73

35,5

Total

141

77

218

100

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan support system santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori sedang dengan jumlah 135 dari 218 responden (61,9%).

 

Analisis Bivariat

Hubungan Kepribadian dengan Tingkat Stres

Tabel 9. Tabulasi Silang Kepribadian dengan Tingkat Stres

Tingkat

Stres

 

 

Kepribadian

Ringan

Sedang

Berat

Total

f

%

f

%

f

%

f

%

Baik

44

100

46

28,1

0

0

90

41,2

Cukup

0

0

115

70,1

0

0

115

52,8

Buruk

0

0

3

1,8

10

100

13

6,0

Total

44

100

164

100

10

100

218

100

Hasil Uji Korelasi Spearman Rank

Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000

Koefisien Korelasi = 0,665

Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,000<0,05 yang diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara kepribadian dengan tingkat stres. Selain itu juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,665 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan hubungan (korelasi) adalah moderat dengan arah hubungan positif yaitu semakin baik kepribadiannya maka semakin rendah tingkat stresnya.

Hubungan Stres Akademik dengan Tingkat Stres

Tabel 10. Tabulasi Silang Stres Akademik dengan Tingkat Stres

Tingkat

Stres

 

Stres

Akademik

Ringan

Sedang

Berat

Total

f

%

f

%

f

%

f

%

Rendah

26

59,1

16

9,8

0

0

42

19,3

Sedang

18

40,9

139

84,7

4

40

161

73,8

Tinggi

0

0

9

5,5

6

60

15

6,9

Total

44

100

164

100

10

100

218

100

Hasil Uji Korelasi Spearman Rank

Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000

Koefisien Korelasi = 0,542

Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,000<0,05 yang diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara stres akademik dengan tingkat stres. Selain itu juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,542 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan hubungan (korelasi) adalah moderat dengan arah hubungan positif yaitu semakin rendah stres akademiknya maka semakin rendah tingkat stresnya.

Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Stres

Tabel 11. Tabulasi Silang Lingkungan dengan Tingkat Stres

Tingkat

Stres

 

Lingkungan

Ringan

Sedang

Berat

Total

f

%

f

%

f

%

f

%

Baik

21

47,7

71

43,3

0

0

92

42,2

Cukup Baik

23

52,3

93

56,7

0

0

116

53,2

Buruk

0

0

0

0

10

100

10

4,6

Total

44

100

164

100

10

100

218

100

Hasil Uji Korelasi Spearman Rank

Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,001

Koefisien Korelasi = 0,228

Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,001<0,05 yang diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara lingkungan dengan tingkat stres. Selain itu juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,228 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan hubungan (korelasi) adalah lemah dengan arah hubungan positif yaitu semakin baik lingkungannya maka semakin rendah tingkat stresnya.

Hubungan Support System dengan Tingkat Stres

Tabel 12. Tabulasi Silang Kepribadian dengan Tingkat Stres

Tingkat

Stres

 

Support

System

Ringan

Sedang

Berat

Total

f

%

f

%

f

%

F

%

Tinggi

41

93,2

32

19,5

0

0

73

33,5

Sedang

3

6,8

132

80,5

0

0

135

61,9

Rendah

0

0

0

0

10

100

10

4,6

Total

44

100

164

100

10

100

218

100

Hasil Uji Korelasi Spearman Rank

Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000

Koefisien Korelasi = 0,705

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,000<0,05 yang diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara support system dengan tingkat stres. Selain itu juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,705 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan hubungan (korelasi) adalah kuat dengan arah hubungan positif yaitu semakin tinggi support systemnya maka semakin rendah tingkat stresnya.

 

Analisis Multivariat

Tabel 13. Hasil Uji Koefisien Determinasi

Pseudo R-Square

Nilai

Keterangan

Nagelkerke

0,833

Sangat Kuat

Berdasarkan tabel 13 menunjukkan hasil uji koefisien determinasi didapatkan nilai Nagelkerke R-Square sebesar 0,833 yang diartikan keterkaitan variabel dependen tingkat stres dengan variabel independen kepribadian, stres akademik, lingkungan dan support system adalah sangat kuat. Berikut tabel hasil pengujian signifikansi koefisien regresi terhadap faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

Tabel 14. Hasil Uji Signifikansi Koefisien Regresi

Variabel

p-value

PR

95% CI

lower

Upper

Kepribadian

0,000

0,24

0,00

15433790.59

Stres Akademik

0,177

2,85

0,00

503156.79

Lingkungan

0,727

0,00

0,00

0.00

Support System (Dukungan Sosial)

0,000

0,11

0,00

16.29

Berdasarkan hasil pengujian multivariat regresi logistik multinomial pada tabel 14 maka dapat diperoleh informasi bahwa kepribadian dan support system memiliki nilai p-value 0,000<0,05 yang diartikan sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan tingkat stres. Hal tersebut relevan dengan analisis bivariat dengan Spearman Rank yang menunjukkan bahwa support system dan kepribadian memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya.

 

PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Usia

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata usia responden yang mendominasi adalah usia 15-17 tahun atau remaja menengah dengan persentase 15 tahun (23,9%), 16 tahun (30,3%), dan 17 tahun (22,4%). Menurut Putro, (2017) usia remaja menengah dengan rentang usia 15-17 tahun remaja cenderung membutuhkan banyak teman, berada dalam keadaan ketakutan dan kebingungan akibat konflik internal, mempunyai keinginan besar untuk mencoba hal baru, serta keinginan yang lebih luar untuk belajar tentang sosialnya. Hal ini sejalan dengan teori Ananda & Apsari, (2020) bahwa usia remaja adalah usia yang rentan mengalami kecemasan yang mengakibatkan timbulnya rasa stres.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri & Azalia, (2022) bahwa salah satu kelompok yang berisiko mengalami gangguan kesehatan mental adalah usia remaja karena pada usia tersebut merupakan fase terjadinya perubahan baik pada fisik, hormon, sosial, maupun psikologis sehingga menyebabkan emosi remaja tidak terkontrol dan menimbulkan stres.

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 141 responden (64,7%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 responden (35,4%). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasrani & Purnamawati, (2015) menyatakan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada tingkat stres seseorang dan lebih tinggi sering dijumpai pada perempuan.

Otak perempuan memiliki kewaspadaan yang negatif terhadap adanya konflik dan stres, pada perempuan konflik memicu hormon negatif sehingga memunculkan stres, gelisah, dan rasa takut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wilujeng et al., (2023) bahwa sebagian besar kategori stres pada laki-laki dan perempuan adalah normal, tetapi lebih tinggi sering dijumpai pada perempuan.

Jenjang/Kelas

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang lebih dominan adalah kelas 4 dan 5 tingkat Ulya dengan persentase kelas 4 sebanyak 66 responden (30,3%) dan kelas 5 sebanyak 77 responden (35,3%). Pada kelas 4 dan 5 santri dan santriwati cenderung berada pada usia 17-19 tahun yang mana pada usia tersebut merupakan remaja pada tahap remaja menengah hingga akhir.

Menurut Erikson pada usia tersebut remaja dapat memperoleh banyak pengetahuan tentang aspek-aspek dirinya, melakukan eksplorasi dan eksperimentasi berbagai peran sosial, serta memperoleh umpan balik dan pengakuan tentang peran-peran yang tepat yang menjadi bagian dari identitasnya (Anindyajati, 2013). Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja yang berada pada tahap perkembangan identitas, keingintahuan, dan banyaknya aspek diri yang ingin dipenuhi juga dapat menimbulkan stres. Terlebih ketika santri dan santriwati berada di dalam Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara dalam waktu yang lama belum tentu dapat memenuhi aspek-aspek tersebut.

Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Putri & Azalia, (2022) menyatakan bahwa jenjang atau kelas memiliki korelasi yang signifikan dengan stres yang dirasakan remaja. Semakin tinggi jenjang/kelas yang diduduki maka semakin berat tingkat stres yang dirasakan.

 

Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa hasil penelitian sebanyak 20,2% remaja mengalami stres ringan, 75,2% remaja mengalami stres sedang, dan 4,6% remaja mengalami stres berat. Tingkat stres hanyalah sebuah alat ukur dimana digunakan untuk mengukur stres pada remaja. Tingkat stres dalam NOC (Nursing Outcome Classification) merupakan tingkat keparahan ketegangan fisik atau mental yang dihasilkan dari faktor-faktor stres, dengan kata lain tingkat stres adalah hasil dari respon tubuh terhadap stres (Silfiana, 2022).

Secara umum stres selalu muncul di kehidupan dan yang menjadi masalah adalah seberapa mampu remaja beradaptasi dan mengatasinya. Stres sendiri bukanlah hal yang mengancam namun dapat berakibat pada tubuh dan kesehatan bila tetap dibiarkan (Bau et al., 2022).

Kepribadian

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebanyak 6,0% remaja mempunyai kepribadian buruk, 52,8% remaja mempunyai kepribadian cukup baik, dan 41,3% remaja mempunyai kepribadian baik. Hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa karakter, sikap, dan stabilitas emosi merupakan aspek yang lebih dominan dalam menentukan kepribadian seseorang baik atau buruk. Namun di samping itu temperamen dan sosiabilitas juga menjadi aspek penentu baik dan buruknya kepribadian remaja. Sebagian besar santri dan santriwati yang memiliki kepribadian cukup baik menyatakan senang dan mudah bergaul dengan orang serta mampu berkreativitas dengan imajinasi yang aktif namun cenderung memiliki emosi yang kurang stabil serta mudah merasa gelisah.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam penelitian terdahulu oleh Sudharta et al., (2018) bahwa kepribadian yang baik memiliki konsistensi dalam berpikir, bersikap, berucap, dan berbuat, tegas dalam mengambil keputusan, memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan diri dan mampu melakukannya secara mandiri, bersikap terbuka, mampu mengendalikan diri dalam menyelesaikan masalah, serta memiliki kestabilan emosi dalam setiap menghadapi masalah yang ada.

Kepribadian cenderung lebih baik dari waktu ke waktu atau biasa disebut dengan prinsip kedewasaan. Maka dari itu, seiring bertambahnya usia pola pikir dan kepribadian juga akan berubah. Hal ini membuat peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat usia santri dan santriwati maka kepribadiannya juga akan semakin baik, namun hal ini harus dibuktikan dengan penelitian lanjutan oleh peneliti berikutnya.

Faktor kepribadian merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap stres. Seperti yang dikatakan oleh Stephen Robbins (2000: 657) “faktor individu yang mempengaruhi stres adalah watak dasar alami yaitu kepribadian seseorang”. Seseorang yang mempunyai kepribadian yang baik, menganggap kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan merupakan tantangan yang harus dihadapi bukan merupakan stres. Akan tetapi bagi seseorang yang berkepribadian buruk, kesulitan yang dihadapi merupakan hambatan yang dianggap menjadi suatu tekanan atau stres berat. Berdasarkan hal tersebut maka kepribadian yang buruk akan mengarah pada tipe kepribadian introvert dan kepribadian yang baik mengarah pada tipe kepribadian yang ekstrovert (Hidayah et al., 2020).

Stres Akademik

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa hasil penelitian sebanyak 19,3% remaja dengan stres akademik rendah, 73,9% remaja dengan stres akademik sedang, dan 6,9% remaja dengan stres akademik tinggi. Hasil analisis peneliti didapatkan bahwa aspek yang lebih menonjol terhadap tinggi rendahnya stres akademik yang dirasakan adalah aspek tekanan belajar, beban tugas, dan kekhawatiran terhadap nilai. Semakin tinggi tingkat kelas santri dan santriwati, maka semakin banyak pula tambahan pelajaran dan tuntutan hafalan yang diwajibkan. Sebagian besar santri dan santriwati dengan stres akademik sedang menyatakan bahwa saat tuntutan akademik semakin berat mereka sering merasa kurang nafsu makan, mudah melakukan kesalahan, mengalami kecemasan yang berlebihan, mudah panik, mudah tersinggung, susah tidur, mudah menangis, keringat berlebihan dan sering merasakan tremor, serta malas melakukan aktivitas apapun.

Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian terdahulu oleh Barseli et al., (2017) bahwa stres akademik adalah stres yang disebabkan oleh academic stressor. Academic stressor adalah  stres  yang  dialami siswa  yang  bersumber  dari  proses  pembelajaran  atau  hal-hal  yang  berhubungan  dengan  kegiatan  belajar seperti tekanan untuk naik kelas, lama belajar, mencontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, serta kecemasan menghadapi ujian.

Sejalan  dengan  pendapat  di  atas,  Hasfrentia, (2016)  menyatakan  bahwa  stres  akademik  adalah  suatu kondisi atau keadaan di mana terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang  dimiliki  siswa  sehingga  mereka  semakin  terbebani  oleh  berbagai  tekanan  dan  tuntutan.

Lingkungan

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa hasil penelitian sebanyak 4,6% remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya buruk, 53,2% remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya cukup baik, dan 42,2% remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya baik. Hasil analisis peneliti didapatkan bahwa dalam pengukurannya terdapat 2 aspek yaitu lingkungan fisik dan lingkungan psikologis. Kedua aspek tersebut mempunyai kedudukan yang seimbang dalam persepsi seseorang terhadap tempat yang berhubungan dengan kehidupannya.

Sebagian besar santri dan santriwati dengan persepsi lingkungan yang cukup baik menyatakan bahwa merasa nyaman saat berada di Pondok Pesantren dengan percahayaan dan sirkulasi yang sudah memadai saat berada dalam ruangan. Keamanan dan pengawasan di Pondok Pesantren juga sudah dilakukan dengan baik oleh pengelola. Namun, beberapa santri juga mengatakan terdapat kebisingan dan bau yang tidak sedap di sekitar Pondok Pesantren tersebut serta komunikasi antar santri atau santriwati tidak selalu berjalan dengan baik.

Pada dasarnya di lingkungan pesantren tidak hanya belajar untuk mencapai prestasi akademik dan taat aturan saja, namun santri juga belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara baik dengan guru atau teman sebayanya. Tidak semua santri/santriwati dapat berkomunikasi dengan baik terhadap individu yang ada di lingkungannya. Faktor lingkungan seperti interaksi yang terjadi diantara individu-individu dalam lingkungan tersebut, terutama pada lingkungan di sekolah yang menjadi penyebab kejadian stress bisa berupa hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas sekolah, hubungan dengan guru serta tentang aktivitas yang secara rutin diterapkan di sekolah (Maulana et al., 2022).

Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian terdahulu oleh Barseli et al., (2017) bahwa pada setiap individu ketika berada di lingkungan baru akan melalui fase-fase di mana dalam proses penyesuaian diri akan muncul sebuah konflik dan tekanan. Stres terjadi pada berbagai kondisi dan tempat yang baru dan berbeda dari kebiasaan yang dilakukan. Hal tersebut dapat berupa kondisi lingkungan yang selalu berubah setiap saat, oleh sebab itu individu dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi sesuai dengan peran yang dibawakannya saat itu dengan lebih matang.

Support System

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa hasil penelitian sebanyak 4,6% remaja dengan supoort system rendah, 61,9% remaja dengan supoort system sedang, dan 35,5% remaja dengan supoort system tinggi. Hasil analisis peneliti didapatkan bahwa dari terdapat 4 aspek yang menjadi pengukuran tinggi rendahnya dukungan sosial seseorang yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Pada penelitian ini didapatkan bahwa dukungan emosional dan informatif lebih banyak didapatkan oleh responden dibandingkan dengan dukungan penghargaan dan instrumental. Dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mendapatkan dukungan emosional dan informatif dengan cara mendapatkan perhatian serta nasehat untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh santri dan santriwati remaja. Maka Responden yang memiliki dukungan sosial tinggi dapat disebabkan karena responden memperoleh manfaat dari orang terdekat.

Sebagian besar santri dan santriwati dengan dukungan sosial yang sedang menyatakan bahwa mereka mendapatkan dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif yang cukup baik dari teman maupun para asatidz yang ada di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara. Namun di samping itu, terdapat beberapa hal yang membuat dukungan sosialnya tidak terpenuhi dengan maksimal seperti tidak ada ucapan selamat dari teman sebaya ketika santri atau santriwati mendapatkan prestasi, kurangnya motivasi dari teman ataupun asatidz, serta kurangnya waktu yang diberikan para asatidz untuk memberikan nasehat ataupun pendapat ketika santri atau santriwati menghadapi suatu masalah.

Menurut Kuntjoro dalam Shinta et al., (2020) keuntungan individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi inidividu yang lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, tingkat stres dan kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan interpersonal), memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stres.

Hubungan Kepribadian dengan Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 9 menunjukkan hasil analisa cross tabulation stres akademik dengan tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden memiliki kepribadian yang cukup baik dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 115 responden (70,1%). Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar 0,000 <0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara kepribadian dengan tingkat stres santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

Faktor kepribadian dikatakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres dikarenakan kepribadian mempunyai aspek yang luas pada diri individu diantaranya sifat keterbukaan (ekstaversi), kestabilan emosi, menyenangkan, kesungguhan, keterbukaan untuk mendapatkan pengalaman, telak kendali (locus of control), dan keberhasilan diri (self-efficacy). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah ciri-ciri pada setiap individu yang membedakan dengan individu lain (Saputra et al., 2017).

Hasil penelitian Dumitru & Cozman (2012) menunjukkan beberapa faktor kepribadian yang membuat individu menjadi lebih rentan terhadap stres saat dalam proses penyesuaian diri diantaranya pemilihan teman, tingkat empati, kemandirian, penampilan, tingkat efisiensi intelektual, intuisi, dan orientasi (Rachmawati, 2020).

Kepribadian merujuk pada karakteristik unik seseorang yang mencakup pola pikir, perasaan, dan perilaku. Beberapa tipe kepribadian dapat berkontribusi pada cara remaja merespons dan menghadapi stres dalam lingkungan Pondok Pesantren. Remaja dengan tipe kepribadian yang memiliki keterampilan koping yang baik cenderung lebih mampu mengatasi stres dengan efektif.

Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Hanifah, (2015) bahwa kepribadian berperan dalam menghadapi stres yang dialami. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, keterbukaan, kestabilan emosi, menyenangkan, kesungguhan, keyakinan keberhasilan diri, dan hubungan sosial yang baik, maka seberat apapun beban tugas di pundaknya akan terasa ringan, tetap tenang, percaya diri, penuh semangat, berpikir positif, dan lurus sehingga tidak stres manjadikan tugas-tugasnya dapat dijalankan dengan lancar. Selanjutnya, dibuktikan oleh Hidayah et al., (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian dengan tingkat stres pada mahasiswa profesi ners di Universitas Tribhuwana Tunggadewi.

Hubungan Stres Akademik dengan Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 10 menunjukkan hasil analisa cross tabulation stres akademik dengan tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden mengalami stres akademik sedang dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 139 responden (84,7%).  Selain itu  didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar 0,000 <0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara stres akademik dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

Peneliti menemukan santri dan santriwati cenderung memiliki kegiatan lebih banyak sehingga membuat mereka merasa lebih stres karena banyaknya kegiatan pembelajaran di sekolah yaitu ujian, tugas-tugas, dan beberapa kegiatan yang harus mereka lakukan seperti banyaknya hafalan dan tuntutan lain yang harus mereka ikuti.

Stres akademik adalah tekanan atau beban mental yang dialami oleh siswa atau remaja karena tuntutan prestasi dan tugas-tugas akademik di sekolah. Hal ini bisa mencakup tekanan untuk mencapai hasil yang baik, persiapan ujian, deadline tugas, dan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar seperti orang tua, teman, atau guru. Tingkat stres pada remaja secara umum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan stres akademik adalah salah satu faktor yang dapat berperan dalam meningkatkan tingkat stres remaja (Hamzah & Hamzah, 2020).

Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa stres akademik memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat stres pada remaja. Ketika remaja mengalami tekanan akademik yang tinggi, seperti tuntutan untuk mencapai hasil yang baik dalam ujian, menyelesaikan tugas-tugas dengan deadline yang ketat, atau merasa tidak mampu memenuhi harapan orang tua dan guru, hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres.

Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Puspitaningrum, (2018) yang menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara disiplin belajar dan tuntutan orang tua dengan tingkat stres akademik siswa kelas XI SMAN 1 Karanganyar.

Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 11 menunjukkan hasil analisa cross tabulation lingkungan dengan tingkat stres bahwa hampir setengah responden mempersepsikan lingkungan cukup baik dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 93 responden (56,7%).  Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar 0,001 <0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara lingkungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada remaja karena lingkungan dapat menciptakan kondisi dan situasi yang dapat menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan bagi mereka. Hubungan antara lingkungan dengan tingkat stres pada remaja adalah kompleks dan dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan emosional mereka. Persepsi lingkungan mencakup cara remaja melihat, menilai, dan merespons lingkungan fisik dan sosial di sekitar mereka.

Menurut Rosalina, (2023) hubungan lingkungan dengan tingkat stres dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu kualitas lingkungan fisik, faktor sosial, tingkat keamanan, dan pola budaya. Lingkungan fisik tempat remaja tinggal dan belajar dapat berdampak pada tingkat stres jika remaja merasa bahwa lingkungan fisik mereka tidak mendukung, seperti kualitas hunian yang buruk, fasilitas sekolah yang tidak memadai, atau kondisi lingkungan yang kotor dan berisik. Hubungan dengan teman sebaya dan ikatan sosial lainnya juga dapat mempengaruhi persepsi lingkungan remaja. Jika mereka menghadapi konflik atau tekanan sosial, seperti perundungan atau isolasi sosial, ini dapat menyebabkan tingkat stres yang meningkat.

Selain itu, persepsi mengenai tingkat keamanan lingkungan dapat berpengaruh pada tingkat stres remaja. Lingkungan yang dianggap tidak aman, misalnya adanya bentuk bullying yang tinggi atau ketidakstabilan sosial, serta faktor budaya dalam lingkungan remaja, termasuk norma-norma budaya terkait dengan pencapaian dan ekspektasi sosial, juga dapat berperan dalam peningkatan tingkat stres.

 

Hal ini juga sejalan dengan penelitian terdahulu oleh (Puspitaningrum, 2018) yang menemukan adanya hubungan yang bermakna tingkat stres pada remaja dengan kemampuan dalam beradaptasi di lingkungan  Pondok Pesantren dengan nilai p-value = 0,000. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diperkuat penelitian terdahu oleh Fajarsari et al., (2023) bahwa terdapat hubungan antara lingkungan dengan tingkat stres pada remaja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja yang memiliki stres yang lebih berat akan berisiko lebih besar terjadinya respon yang maladaptif dalam kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan di Pondok Pesantren.

Hubungan Support System dengan Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan hasil analisa cross tabulation support system dengan tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden memiliki support system yang sedang dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 132 responden (80,5%). Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar 0,000<0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara support system dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.

Support system atau dukungan sosial merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren. Pondok Pesantren merupakan lingkungan di mana para santri tinggal dan belajar untuk mengejar pendidikan agama dan akademik. Menurut Waty & Agustina, (2022) beberapa hal penting dalam support system yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren yaitu dukungan sosial, dukungan akademik, kualitas hubungan dengan teman sebaya, serta kegiatan sosial dan rekreasi. Kehadiran dukungan sosial dari sesama santri, guru, dan staf Pondok Pesantren dapat membantu mengurangi tingkat stres. Dukungan emosional dan dukungan praktis dalam menghadapi tantangan dan tekanan sehari-hari bisa membantu santri merasa lebih diterima dan didukung dalam lingkungan yang baru bagi mereka.

Selain itu, dukungan dalam belajar dan tugas-tugas akademik dari guru serta staf pendidik juga dapat membantu mengurangi stres akademik pada santri dan santriwati. Bantuan dalam mengatasi kesulitan belajar dan tugas-tugas dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian belajar. Di samping itu, interaksi positif dengan teman sebaya dan adanya kegiatan sosial serta rekreasi yang diadakan di Pondok Pesantren dapat membantu mengurangi tingkat stres juga memberikan waktu istirahat yang menyenangkan bagi santri. Kegiatan-kegiatan ini dapat menjadi peluang untuk bersantai, bersosialisasi, dan mengurangi rasa lelah.

Semakin tinggi support system (dukungan sosial) santri dan santriwati, maka semakin rendah tingkat stresnya. Hal ini dikuatkan penelitian terdahulu oleh Irwansyah et al., (2021) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosal dengan tingkat stres santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Artinya semakin tinggi dukungan sosial maka semakin berkurang tingkat stres yang dialami santri dan sebaliknya. Selanjutnya, Lestari (2022) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan dukungan sosial pada mahasiswa program studi D-IV bidan pendidik Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dapat mencegah individu dari ancaman kesehatan mental dan adanya dukungan sosial yang tinggi akan membuat individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini dan akan datang.

Faktor Dominan Yang Berhubungan dengan Tingkat Stres

Berdasarkan tabel 13 menunjukkan hasil uji koefisien determinasi didapatkan nilai Nagelkerke R-Square sebesar 0,833 yang diartikan keterkaitan variabel dependen tingkat stres dengan variabel independen kepribadian, stres akademik, lingkungan dan support system adalah sangat kuat.  Data tersebut relevan dengan tabel 3.14 yang menunjukkan bahwa kepribadian dan support system adalah faktor dominan yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara dengan nilai p-value masing-masing adalah 0,000 yang didapatkan berdasaran pengujian signifikasi koefisien regresi multinomial. Hal tersebut juga dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi pada analisis bivariat spearman rank terhadap faktor support system sebesar 0,705 dan kepribadian sebesar 0,665 yang diartikan pada kedua faktor tersebut memiliki tingkat kekuatan hubungan kuat terhadap tingkat stres.

Support system dan kepribadian menjadi faktor yang dominan terhadap tingkat stres santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren karena keduanya saling berhubungan dan memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kesejahteraan emosional dan sosial remaja (Fitrananda & Naimah, 2022). Santri dan santriwati tinggal jauh dari keluarga mereka di Pondok Pesantren. Kehidupan yang jauh dari orang tua dan keluarga bisa menyebabkan rasa kesepian dan perasaan terisolasi. Dalam situasi ini, support system yang positif dari teman sebaya, guru, dan staf Pondok Pesantren menjadi krusial. Dukungan emosional dan sosial dari mereka dapat membantu mengurangi rasa kesepian dan menyediakan lingkungan yang mendukung bagi remaja.

Support system yang kuat dan inklusif akan membantu mereka beradaptasi lebih baik dan lebih cepat. Support system yang positif dan mendukung akan membantu mengatasi konflik dan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis, yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat stres yang dirasakan remaja (Adhada & Susilarini, 2021).

Selain itu terdapat beberapa hal yang membuat faktor kepribadian menjadi faktor dominan terhadap tingkat stres remaja yaitu resiliensi, koping, dan sosialisasi. Kepribadian remaja mempengaruhi cara mereka menghadapi dan menangani stres. Remaja dengan keterampilan koping yang baik, seperti pemecahan masalah dan komunikasi yang efektif dapat mengelola stres dengan lebih baik serta mengurangi dampaknya. Kepribadian remaja yang lebih ekstrovert dan memiliki kemampuan sosialisasi yang baik cenderung memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih kuat. Hal ini dapat membantu mengurangi tingkat stres karena remaja merasa lebih didukung oleh teman sebaya dan orang-orang di sekitarnya (Liandari, 2022).

Dalam lingkungan Pondok Pesantren yang menuntut adaptasi dan menghadapi tantangan akademik juga sosial, support system dan kepribadian remaja berperan penting dalam mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Dukungan emosional, sosial, dan dukungan dalam menghadapi perubahan akan memberikan dampak positif terhadap tingkat stres yang dialami oleh santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren.

 

KESIMPULAN

1)   Berdasarkan hasil penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara terhadap 218 responden menunjukkan bahwa sebanyak 164 (75,2%) dengan tingkat stres sedang, 115 (52,8%) dengan kepribadian cukup baik, 161 (73,9%)  dengan stres akademik sedang, 116 (53,2%) dengan lingkungan cukup baik, dan 135 (61,9%) dengan support system sedang.

2)   Terdapat hubungan antara kepribadian, stres akademik, lingkungan, dan support system terhadap tingkat stres dengan masing-masing nilai p-value <0,05.

3)   Faktor dominan yang berhubungan dengan tingkat stress pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara adalah faktor kepribadian dan support system.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adhada, I., & Susilarini, T. (2021). Hubungan Antara Konselp Diri dan Dukungan Sosial delngan Kelmatangan Karir Pada Mahasiswa Yang Melngikuti Kelgiatan Voluntelelr di Komunitas Invelstor Anak Muda. Jurnal IKRAITH-HUMANIORA, 5(74), 63–68.

Alini, & Melisyalla, L. N. (2022). Gambaran Kelselhatan Melntal Relmaja SMPN Bangkinang Kota Kabupateln Kampar. Jurnal Nelrs, 6(23), 80–85.

Ananda, S. S. D., & Apsari, N. C. (2020). Melngatasi Strelss Pada Relmaja Saat Pandelmi Covid-19 delngan Telknik Sellf Talk. Prosiding Pelnellitian Dan Pelngabdian Kelpada Masyarakat, 7(2), 248–256.

Anindyajati, P. D. (2013). Status Idelntitas Relmaja Akhir: Hubungannya delngan Gaya Pelngasuhan Orang Tua dan Tingkat Kelnakalan Relmaja. Charactelr, 01(02), 1–6.

Barselli, M., Ifdil, & Nikmarijal, N. (2017). Konselp Strels Akadelmik Siswa. Jurnal Konselling Dan Pelndidikan, 5(3), 143–148.

Bau, N. A., Kadir, L., & Abudi, R. (2022). Hubungan Tingkat Strels Relmaja delngan Kelmampuan Belradaptasi Di Asrama Pondok Pelsantreln Sabrun Jamil. Jambura Journal of Elpidelmiology, 1(1), 29–37.

Ell-Azis, K. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Melmpelngaruhi Strels Relmaja Pada Tahun Pelrtama Di Pondok Pelsantreln Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Jurnal Kelpelrawatan, 1(1), 1–8.

Fajarsari, D., Purwanti, S., & Suryandari, A. El. (2023). Hubungan Lingkungan dan Aktivitas Akadelmik delngan Tingkat Strels Pada Relmaja. Elnsiklopeldia of Journal, 5(2), 230–235.

Fitrananda, S. M., & Naimah, T. (2022). Kelpribadian Hardinelss dan Dukungan Sosial selbagai Faktor Deltelrminan Optimismel Mahasiswa Pelnyintas COVID-19. Psikoislameldia, 7(2), 1–14.

Hamzah, B., & Hamzah, R. (2020). Faktor-Faktor Yang Belrhubungan delngan Tingkat STrels Akadelmik Pada Mahasiswa Stikels Graha Meldika. Indonelsian Journal for Helalth Scielncels, 4(2), 59–67.

Hanafi, I. (2018). Pelrkelmbangan Manusia dalam Tinjauan Psikologi dan Al-Qur’an. IQ (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pelndidikan Islam, 1(01), 84–99.

Harini, V. R. P. (2020). Gambaran Tingkat Strels Pada Anak Usia Relmaja Sellama Melnjalani Pelmbellajaran Daring di Telngah Pandelmi COVID-19 di Kellurahan Patrang Kelcamatan Patrang.

Hasfrelntia, Y. D. (2016). Hubungan Antara Sellf-Elfficacy delngan Strels Akadelmik Pada Pellajar SMAN 1 Tuntang.

Hidayah, R., Trisnayanti, A., & Rachmawati, S. D. (2020). Hubungan Antara Tipel Kelpribadian delngan Tingkat Strels Pada Mahasiswa Profelsi Nelrs. Jurnal Kelselhatan Melselncelphalon, 6(2), 124–131.

Hidayati, L. N., & Harsono, M. (2021). Tinjauan Litelratur Melngelnai Strels dalam Organisasi. Jurnal Ilmu Manajelmeln, 18(1), 20–30.

Juliani, I. R., & Wulandari, I. S. M. (2022). Hubungan Tingkat Kelcanduan Gadgelt delngan Gangguan Elmosi dan Pelrilaku Relmaja Kellas 8. 10(1), 30–40.

Khasanah, S. M. R., & Mamnuah. (2021). Tingkat Strels Belrhubungan delngan Pelncapaian Tugas Pelrkelmbangan Pada Relmaja. Jurnal Ilmu Kelpelrawatan Jiwa, 4(1), 107–116.

Liandari, F. M. (2022). Hubungan antara Intelraksi Telman Selbaya delngan Strels pada Santri Relmaja di Pondok Pelsantreln Darul Qurán Wal Irsyad Wonosari. Univelrsitas Selbellas Marelt.

Maulana, Z., Safitri, A., & Pamungkas, A. (2022). Tingkat Strels Pada Santri Baru Raudhatul Jannah Palangka Raya. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Belrbelda, Belrmakna, Mulia, 8(3), 211–216.

Munawaroh. (2018). Hubungan Antara Relligiusitas dan Tingkat Strelss Telrhadap Stratelgi Coping Pada Santi Pondok Pelsantreln. Naskah Publikasi.

Nasrani, L., & Purnamawati, S. (2015). Pelrbeldaan Tingkat Strels Antara Laki-Laki dan Pelrelmpuan Pada Pelselrta Yoga di Kota Delnpasar. Jurnal Meldika Udayana, 4(12), 1–12.

Nurhaelni, A., Marisa, D. El., & Oktiany, T. (2022). Pelningkatan Pelngeltahuan Telntang Gangguan Kelselhatan Melntal Pada Relmaja. JAPRI (Jurnal Pelngabdian Risel Indonelsia), 1(1), 29–34.

Priyoto, P. (2019). Konselp Manajelmeln Strels. Nuha Meldika.

Purwati, M., & Rahmandani, A. (2018). Hubungan Antara Kellelkatan Pada Telman Selbaya delngan Strels Akadelmik Pada Mahasiswa Telknik Pelrelncanaan Wilayah dan Kota Univelrsitas Diponelgoro Selmarang. Jurnal Elmpati, 7(2), 28–39.

Puspitaningrum, M. T. D. (2018). Hubungan Antara Disiplin dan Tuntutan Orang Tua delngan Tingkat Strels Akadelmik Siswa Kellas XI 1 Karanganyar. Univelrsitas Selbellas Marelt.

Putri, T. H., & Azalia, D. H. (2022). Faktor Yang Melmelngaruhi Strels Pada Relmaja Sellama Pandelmi COVID-19. Jurnal Kelpelrawatan Jiwa (JIK), 10(2), 285–296.

Putro, K. Z. (2017). Melmahami Ciri dan Tugas Pelrkelmbangan Masa Relmaja. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 25–32.

Rosalina, T. M. (2023). Kajian Pelrancangan Helaling Elnviromelnt delngan Pelndelkatan Virtual Intelrior Fractal Untuk Melngurangi Tingkat Strels Akibat Meldia Sosial. Univelrsitas Atma Jaya Yogyakarta.

Shinta, L., Muslihin, H. Y., & Ellan. (2020). Keltelrampilan sikap tolelransi anak usia 5-6 tahun. Jurnal PAUD Agapeldia, 4(2), 337–345.

Silfiana, A. (2022). Hubungan Kelcanduan Gamel Onlinel Delngan Tingkat Strels Pada Relmaja. Jurnal Kelselhatan Luwu Raya, 8(2), 70–74.

Sudharta, V. A., Bafadal, I., & Sultoni. (2018). Kelpribadian Yang Baik Untuk Kelelfelktifan Kelpelmimpinan Kelpala Selkolah. Jurnal Administrasi Dan Manajelmeln Pelndidikan, 1(4), 440–447.

Sukadiyanto. (2019). Strelss dan Cara Melngatasinya. Cakrawala Pelndidikan, 29(1), 55–66.

Suteljo, S. (2018). Kelpelrawatan Jiwa: Konselp dan Praktik Asuhan Kelpelrawatan Kelselhatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru Prelss.

UNICElF. (2021). Profil Relmaja 2021. Unicelf.

Wilujelng, C. S., Habibiel, I. Y., & Indiah, A. D. (2023). Hubungan Antara Jelnis Kellamin delngan Katelgori Strels Pada Relmaja di SMP Brawijaya Smart School. 3(1), 6–11.

 

 

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.