JURNAL SOSIAL DAN SAINS VOLUME 3 NOMOR 9 2023 P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X |
|
|
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT STRES PADA SANTRI DAN
SANTRIWATI REMAJA DI PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS NEGARA Aulia Rahmah, Meti Agustini, Darmayanti, Mardha Raya Fakultas Keperawatan dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Indonesia Email: auliarahmah1221@gmail.com |
|
|
Kata kunci: Dukungan Sosial, Kepribadian, Lingkungan, Remaja, Stres, Stres Akademik Keywords: Social Support, Personality, Environment, Adolescents, Stress, Academic
Stress |
ABSTRAK Latar Belakang: Remaja merupakan
masa peralihan dari anak ke dewasa yang memerlukan perhatian khusus untuk
pencarian identitas diri, eksplorasi, dan eksperimentasi berbagai peran
sosialnya. Masa remaja merupakan salah satu masa yang rentan terhadap
kejadian stres. Stres merupakan perasaan ketidaksesuaian individu ketika
berinteraksi dengan lingkungannya baik secara fisik, psikologis, maupun
sosial. Kondisi stres ini juga bisa dirasakan oleh remaja yang menempuh
pendidikan di Pondok Pesantren atau yang disebut dengan santri. Ada banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya stres baik itu faktor internal maupun
eksternal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat stres pada
santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara. Metode: Rancangan penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian analitik menggunakan
desain cross sectional. Sampel
pada penelitian ini adalah santri dan
santriwati remaja yang berusia 15-20 tahun berjumlah 218 orang dengan teknik
pengambilan sampel yaitu proportionate random sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi dan dianalisis
menggunakan spearman rank. Hasil: Penelitian ini
diperoleh nilai p-value pada
masing-masing variabel adalah <0,05 dengan kesimpulan faktor yang
berhubungan dengan tingkat stres adalah kepribadian, stres akademik,
lingkungan, dan support system. Kesimpulan: Faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati
perlu menjadi perhatian khusus bagi pihak pengelola Pondok Pesantren ke
depannya. ABSTRACT Background: Adolescence
is a period of transition from child to adult which requires special
attention to search for self-identity, exploration and experimentation of
various social roles. Adolescence is a period that is vulnerable to stressful
events. Stress is an individual's feeling of inappropriateness when
interacting with his environment both physically, psychologically and
socially. This stressful condition can also be felt by teenagers who study at
Islamic boarding schools or what are called santri. There are many factors
that cause stress both internal and external factors. Purpose: This study
aims to determine what factors are related to the level of stress on young
students and female students at the Al-Ikhlas Negara Islamic Boarding School. Methods: The design of this research is a quantitative
research with analytic research type using a cross sectional design. The
sample in this study were female students and female students aged 15-20
years, totaling 218 people with a sampling technique that was proportional
random sampling. Data collection was carried out using a modified
questionnaire and analyzed using Spearman rank. Results: This study obtained a p-value for each variable of
<0.05 with the conclusion that factors related to stress levels are
personality, academic stress, environment, and support systems. Conclusion: Factors related to the level of stress on students
and female students need to be of particular concern to the management of
Islamic boarding schools in the future. |
|
PENDAHULUAN
Manusia tumbuh dan
berkembang dengan beberapa tahapan atau fase. Tahapan perkembangan tersebut
antara lain fase kelahiran (prenatal period), bayi (infancy), kanak-kanak
(early), kanak-kanak tengah dan akhir (middle and late childhood), remaja
(adolescence), dewasa muda, dewasa tengah, dan lansia (dewasa akhir) (Hanafi, 2018). Masa remaja atau yang disebut dengan adolescence
merupakan salah satu masa yang sangat penting bagi kesehatan mental di mana
individu mengalami perkembangan psikologi dan identitas dari masa kanak-kanak
menuju dewasa (Marliani, 2016 dalam Khasanah & Mamnuah, 2021). Salah satu tahapan yang berpengaruh terhadap
kesehatan mental yaitu pada fase remaja.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No.
25 tahun 2014, menyebutkan bahwa penduduk yang usianya
antara 10-18 tahun adalah remaja yang di mana seseorang tidak bisa disebut
dewasa tetapi tidak bisa disebut anak-anak. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan remaja sebagai seseorang yang berada dalam masa transisi antara
anak dan dewasa dalam rentang usia 12-24 tahun (Juliani & Wulandari, 2022). Berdasarkan gambaran umum profil remaja
tahun 2021, terdapat 46 juta remaja diantaranya laki-laki dengan persentase 52%
dan perempuan dengan persentase 48% (UNICEF, 2021). Sedangkan menurut Hurlock, (1999) dalam Ananda & Apsari, (2020) masa remaja disebut juga masa transisi atau
peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa meliputi pendewasaan mental,
emosional, sosial, fisik, dan psikologis yang penuh gejolak atau disebut dengan
period of storm and stress.
Menurut El-Azis, (2017) pada masa remaja akan mengalami perkembangan
pikiran menuju dewasa yang mana remaja akan dihadapkan dengan berbagai persoalan
ataupun gejolak yang berat sehingga menimbulkan rasa stres pada diri remaja
dikarenakan pikirannya terkait dengan kehidupan, perasaan, dan emosinya. Period of storm and stress dengan
berbagai permasalahan tersebut sangat penting karena remaja berada pada tahapan
pencarian identitas diri. Tahap perkembangan remaja dapat terganggu jika remaja
mengalami stres yang berkepanjangan sehingga menyebabkan terjadinya krisis
pendewasaan (Sutejo, 2018). Kerentanan yang dijelaskan di atas akan
berpengaruh pada perkembangan selanjutnya yaitu dewasa karena stres yang
dihadapinya.
Banyak faktor yang
mempengaruhi stres remaja. Stres dapat dipengaruhi oleh pilihan gaya hidup yang
dipilih remaja, persahabatan yang dibentuk, dan coping skill yang dimiliki
remaja (Priyoto, 2019). Stres ini muncul karena tidak adanya keseimbangan
antara kebutuhan (tuntutan) dan sumber daya yang dimiliki remaja, semakin besar
kesenjangan maka semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami remaja.
Menurut Rachmawati, (2020
dalam Nurhaeni et al., 2022) Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 melaporkan data
prevalensi stres yang bermanifestasi dengan tanda dan gejala depresi juga
kecemasan terutama yang dirasakan oleh remaja yang usianya 15 tahun atau lebih
tercatat sekitar 11 juta jiwa dari total penduduk Indonesia atau setara dengan
6,1% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Dilaporkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2020, remaja usia 10-14 tahun sebanyak 22.195 jiwa dan
remaja usia 15-19 tahun sebanyak 22.319 jiwa (Alini & Meisyalla, 2022).
Berdasarkan data yang dilaporkan
oleh National Institute of Mental Health (2019 dalam Alini & Meisyalla, 2022), menyatakan bahwa prevalensi tertinggi masalah
stres pada remaja adalah antara usia 17-18 tahun. Diperkirakan 10-20% remaja
secara global memiliki perasaan stres yang tidak terdiagnosis (underdiagnosed)
dan tidak ditangani (undertreated). Dilaporkan oleh Riskesdas, (2018 dalam Khasanah & Mamnuah, 2021) didapatkan data bahwa jumlah gangguan
psiko-emosional berupa stres, depresi, dan kecemasan pada remaja Indonesia
adalah 9,8% dari total jumlah remaja Indonesia. Data survei Global Health Data
Exchange tahun 2017, mencatat 27,3 juta jiwa di Indonesia mengalami masalah
kesehatan mental dan didapatkan diantaranya 6,2% remaja usia 15-25 tahun
mengalami depresi (Alini & Meisyalla, 2022).
Pada keilmuan psikologi,
stres didefinisikan sebagai tekanan dan ketegangan mental serta tingkat stres
yang rendah pada seseorang dianggap bijaksana dan sehat (Hidayati & Harsono, 2021). Menurut Sarafino & Smith, (2011 dalam Purwati & Rahmandani, 2018) menyebutkan stres adalah perasaan ketidaksesuaian
individu ketika berinteraksi dengan lingkungannya baik secara fisik,
psikologis, maupun sosial. Stres dapat memengaruhi siapa saja, termasuk remaja.
Efek dari stres yang dialami
juga diperngaruhi oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal. Faktor
internal diantaranya kepribadian, keyakinan, cara berpikir individu, usia, dan
kondisi stres akademik. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan stres
meliputi perubahan lingkungan, keluarga, dan sosial budaya. Selain itu, faktor
eksternal juga berupa ancaman konsep diri dan support system (Costa et al.,
2021 dalam Putri & Azalia, 2022; El-Azis, 2017; Sukadiyanto, 2019).
American Psychological Association (APA) mendefinisikan remaja yang mengalami stres
merupakan salah satu bentuk kecemasan yang dapat menimbulkan efek seperti
pusing, telapak tangan berkeringat, mulut kering, panik, cemas, penurunan
konsentrasi dan memori, serta perasaan khawatir dan kebingungan (Septiana et
al., 2021 dalam Putri & Azalia, 2022).
Remaja biasanya menempuh
pendidikan di sekolah umum ataupun di Pesantren. Bagi remaja yang menempuh
pendidikan di Pondok Pesantren sering disebut dengan santri. Santri berarti
seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di Pondok Pesantren.
Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia yang
menyebarkan dakwah Islam untuk membentuk perilaku Islami masyarakat. Melalui
proses pendidikan dalam Pesantren ini, diharapkan terwujudnya pribadi-pribadi
Islami yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara intelektual, namun pribadi
yang juga memiliki akhlak mulia, beriman, kreatif, dan inovatif sehingga di
kemudian hari dapat menyebarkan nilai-nilai mulia Islam kepada keluarganya,
lingkungan sekitar, serta seluruh umat manusia (Munawaroh, 2018).
Pada era globalisasi,
permasalahan anak muda sangatlah kompleks dan beragam, terutama pada diri
remaja. Keberadaan Pondok Pesantren sejalan dengan tuntutan dan harapan dari
pihak institusi serta orang tua yang mengharapkan remaja mampu menjadi generasi
penerus kaum intelektual yang mempunyai dasar agama yang kuat. Pada saat itu,
muncul sebuah keharusan pada beberapa remaja untuk menjadi seorang santri dan
santriwati agar dapat memenuhi keinginan orang tua mereka.
Setiap Pondok Pesantren
memiliki aturan masing-masing yang diterapkan untuk para santrinya. Beragamnya
peraturan yang ada di Pondok Pesantren tidak menutup kemungkinan santri akan
mengalami stres dikarenakan perubahan pola hidup yang dijalani (Munawaroh, 2018).
Santri yang mengalami stres
dapat menimbulkan dampak positif ataupun negatif. Peningkatan jumlah stres pada
santri akan menurunkan kemampuan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran.
Bahkan, jika yang dirasa terlalu berat maka dapat memicu gangguan memori,
konsentrasi, kemampuan penyelesaian masalah, serta kemampuan dalam penyelesaian
tugas perkembangannya.
Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan dengan teknik wawancara pada hari Kamis, 08 Desember 2022 terhadap 10
orang santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara yang
terdiri dari 3 orang santri dan 7 orang santriwati didapatkan bahwa 40% remaja
sering merasa cemas ketika bersosialisasi di lingkungannya, 40% remaja sering
tidak berkonsentrasi, merasakan pusing, dan tidak tenang saat melakukan
aktivitas di Pondok Pesantren, serta 20% remaja sering merasa gelisah dan sulit
untuk menahan emosi saat menghadapi masalah serta merasa tidak mampu memenuhi
kewajiban tugasnya.
Selain itu, juga dilakukan
studi pendahuluan dengan teknik wawancara terhadap salah satu pengelola Pondok
Pesantren Al-Ikhlas Negara pada hari Senin, 26 Desember 2022 didapatkan hasil
bahwa disebutkan terdapat sekitar 10-15% santri ataupun santriwati yang keluar
(drop out) dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara dalam 2 tahun terakhir. Di
samping itu, juga dikatakan bahwa telah tercatat terdapat 47 santri ataupun
santriwati yang drop out pada tahun pelajaran 2022/2023 dengan total santri dan
santriwati di awal tahun pembelajaran berjumlah 997 orang yang kemudian pada
semester genap menjadi 950 orang.
Drop out santri dan
santriwati tersebut dengan alasan yang beragam seperti adanya pelanggaran yang
dilakukan secara berulang karena ketidakmampuan mengikuti peraturan yang
berlaku, hanya sekedar mengikuti keinginan orang tua, ketidakmampuan mengikuti
sistem pembelajaran yang diterapkan, ekonomi yang kurang memadai, dan lain
sebagainya.
Hasil wawancara
tersebut membuktikan bahwa adanya santri
dan santriwati remaja yang mengalami tanda-tanda stres sehingga penting
dilakukan penelitian terkait faktor apa saja yang memicu terjadinya stres pada
remaja tersebut. Sehingga pada permasalahan yang dihadapi oleh santri dan
santriwati bisa dilakukan manajemen stres dengan baik dan tidak menimbulkan
dampak yang lebih buruk salah satunya seperti meningkatnya persentase keluarnya
(drop out) santri ataupun santriwati di Pondok Pesantren tersebut.
Perawat memiliki berbagai
peran diantaranya pemberi asuhan keperawatan, advokat, edukator, koordinator,
kolaborator, konsultan, dan peran sebagai pembaharuan. Pada kasus ini perawat
sebagai pendidik (educator) sangat diperlukan dalam hal mengatasi kejadian
stres yang masih terjadi khususnya pada anak remaja. Peran perawat yang dapat
dilakukan yaitu dengan memberikan pengetahuan serta informasi kepada remaja dan
orang tua tentang stres yang terjadi pada remaja. Selain itu, perawat juga
memberikan kesadaran kepada remaja dan orang tua agar saling menjaga komunikasi
sehingga dapat mencegah stres yang berlanjut (Harini, 2020).
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian analitik dan
desalin cross sectional yang dimana merupakan desain
penelitian ilustratif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik
probability sampling yaitu proportionate random sampling. Populalsi pada
penelitialn
ini aldallalh seluruh
salntri
daln
salntriwalti remaljal dengan
usia 15-20 tahun
di Pondok Pesalntren All-Ikhlals Negalra yang berjumlah 476 orang, maka sampel penelitian ini berjumlah 218
orang yang diambil berdasarkan perhitungan Slovin. Waktu pelaksanaan penelitian
dimulai dari Mei hingga Juni 2023 yang bertempat di Pondok Pesantren Al-Ikhlas
Negara. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah
dimodifikasi dan dianalisis menggunakan Spearman
Rank.
Karakteristik Responden
Responden
Berdasarkan Usia
Tabel 1. Usia Responden
No. |
Usia |
Frekuensi |
% |
1. |
15 Tahun |
52 |
23,9 |
2. |
16 Tahun |
66 |
30,3 |
3. |
17 Tahun |
49 |
22,4 |
4. |
18 Tahun |
28 |
12,8 |
5. |
19 Tahun |
17 |
7,8 |
6. |
20 Tahun |
6 |
2,8 |
Total |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa responden
dengan persentase tertinggi adalah usia 16 tahun dengan jumlah 66 responden
(30,3%) dan persentase terendah adalah usia 20 tahun dengan jumlah 6 responden
(2,8%).
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2. Jenis Kelamin Responden
No. |
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
% |
1. |
Perempuan |
141 |
64,7 |
2. |
Laki-Laki |
77 |
35,3 |
Total |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 22
menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 141 orang
(64,7%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 orang (35,3%).
Responden Berdasarkan Jenjang/Kelas
Tabel 3. Jenjang/Kelas Responden
No. |
Kelas |
Tingkat |
Frekuensi |
% |
1. |
3 |
Wustha |
52 |
23,9 |
2. |
4 |
Ulya |
66 |
30,3 |
3. |
5 |
Ulya |
77 |
35,3 |
4. |
6 |
Ulya |
23 |
10,5 |
Total |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa responden dengan persentase adalah
kelas 5 tingkat Ulya dengan jumlah 77 responden (35,3%) dan yang paling sedikit
adalah kelas 6 tingkat Ulya dengan jumlah 23 responden (10,5%).
Analisis
Univariat
Tingkat Stres
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres
Tingkat Stres |
f |
% |
Ringan |
44 |
20,2 |
Sedang |
164 |
75,2 |
Berat |
10 |
4,6 |
Total |
218 |
100 |
Tabel 4 menunjukkan distribusi frekuensi
responden berdasarkan tingkat stres santri dan santriwati di Pondok Pesantren
Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori
stres sedang dengan jumlah 164 dari 218 responden (75,2%).
Kepribadian
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kepribadian
Kepribadian |
P |
L |
f |
% |
Buruk |
9 |
4 |
13 |
6,0 |
Cukup Baik |
65 |
50 |
115 |
52,8 |
Baik |
67 |
23 |
90 |
41,3 |
Total |
141 |
77 |
218 |
100 |
Tabel 5 menunjukkan distribusi frekuensi responden berdasarkan kepribadian santri dan santriwati di
Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori
cukup dengan jumlah 115 dari 218 responden (52,8%).
Stres
Akademik
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Stres Akademik
Stres Akademik |
P |
L |
f |
% |
Rendah |
15 |
27 |
42 |
19,3 |
Sedang |
115 |
46 |
161 |
73,9 |
Tinggi |
11 |
4 |
15 |
6,9 |
Total |
141 |
77 |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan distribusi frekuensi
responden berdasarkan stres akademik santri dan santriwati di Pondok
Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori
sedang dengan jumlah 161 dari 218 responden (73,9%).
Lingkungan
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Lingkungan
Lingkungan |
P |
L |
f |
% |
Buruk |
2 |
8 |
10 |
4,6 |
Cukup Baik |
82 |
34 |
116 |
53,2 |
Baik |
57 |
35 |
92 |
42,2 |
Total |
141 |
77 |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan distribusi frekuensi
responden berdasarkan lingkungan santri dan santriwati di Pondok
Pesantren Al-Ikhlas Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori
cukup baik dengan jumlah 116 dari 218 responden (53,2%).
Support System
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Support System
Support System |
P |
L |
f |
% |
Rendah |
3 |
7 |
10 |
4,6 |
Sedang |
87 |
48 |
135 |
61,9 |
Tinggi |
51 |
22 |
73 |
35,5 |
Total |
141 |
77 |
218 |
100 |
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan distribusi frekuensi
responden berdasarkan support system
santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas
Negara pada sebagian besar responden termasuk kategori sedang dengan jumlah 135
dari 218 responden (61,9%).
Analisis
Bivariat
Hubungan Kepribadian dengan Tingkat Stres
Tabel
9. Tabulasi Silang Kepribadian dengan Tingkat Stres
Tingkat Stres Kepribadian |
Ringan |
Sedang |
Berat |
Total |
||||
f |
% |
f |
% |
f |
% |
f |
% |
|
Baik |
44 |
100 |
46 |
28,1 |
0 |
0 |
90 |
41,2 |
Cukup |
0 |
0 |
115 |
70,1 |
0 |
0 |
115 |
52,8 |
Buruk |
0 |
0 |
3 |
1,8 |
10 |
100 |
13 |
6,0 |
Total |
44 |
100 |
164 |
100 |
10 |
100 |
218 |
100 |
Hasil Uji Korelasi Spearman
Rank Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000 Koefisien Korelasi = 0,665 |
Berdasarkan
tabel 9 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,000<0,05 yang
diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara kepribadian dengan
tingkat stres. Selain itu juga diperoleh
angka koefisien korelasi sebesar 0,665 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan
hubungan (korelasi) adalah moderat dengan arah hubungan positif yaitu semakin
baik kepribadiannya maka semakin rendah tingkat stresnya.
Hubungan Stres Akademik dengan Tingkat Stres
Tabel 10. Tabulasi Silang Stres Akademik dengan
Tingkat Stres
Tingkat Stres Stres Akademik |
Ringan |
Sedang |
Berat |
Total |
||||
f |
% |
f |
% |
f |
% |
f |
% |
|
Rendah |
26 |
59,1 |
16 |
9,8 |
0 |
0 |
42 |
19,3 |
Sedang |
18 |
40,9 |
139 |
84,7 |
4 |
40 |
161 |
73,8 |
Tinggi |
0 |
0 |
9 |
5,5 |
6 |
60 |
15 |
6,9 |
Total |
44 |
100 |
164 |
100 |
10 |
100 |
218 |
100 |
Hasil Uji Korelasi Spearman Rank Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000 Koefisien Korelasi = 0,542 |
Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa nilai
p-value sebesar 0,000<0,05 yang diartikan dengan Ha diterima atau
terdapat hubungan antara stres akademik dengan tingkat stres. Selain
itu juga diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0,542 yang diartikan bahwa
tingkat kekuatan hubungan (korelasi) adalah moderat dengan arah hubungan
positif yaitu semakin rendah stres akademiknya maka semakin rendah tingkat
stresnya.
Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Stres
Tabel 11. Tabulasi Silang Lingkungan dengan Tingkat
Stres
Tingkat Stres Lingkungan |
Ringan |
Sedang |
Berat |
Total |
||||
f |
% |
f |
% |
f |
% |
f |
% |
|
Baik |
21 |
47,7 |
71 |
43,3 |
0 |
0 |
92 |
42,2 |
Cukup Baik |
23 |
52,3 |
93 |
56,7 |
0 |
0 |
116 |
53,2 |
Buruk |
0 |
0 |
0 |
0 |
10 |
100 |
10 |
4,6 |
Total |
44 |
100 |
164 |
100 |
10 |
100 |
218 |
100 |
Hasil Uji Korelasi Spearman Rank Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,001 Koefisien Korelasi = 0,228 |
Berdasarkan
tabel 11 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,001<0,05 yang
diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara lingkungan dengan
tingkat stres. Selain itu juga diperoleh
angka koefisien korelasi sebesar 0,228 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan
hubungan (korelasi) adalah lemah dengan arah hubungan positif yaitu semakin
baik lingkungannya maka semakin rendah tingkat stresnya.
Hubungan Support System dengan Tingkat Stres
Tabel 12. Tabulasi Silang Kepribadian dengan Tingkat
Stres
Tingkat Stres Support System |
Ringan |
Sedang |
Berat |
Total |
||||
f |
% |
f |
% |
f |
% |
F |
% |
|
Tinggi |
41 |
93,2 |
32 |
19,5 |
0 |
0 |
73 |
33,5 |
Sedang |
3 |
6,8 |
132 |
80,5 |
0 |
0 |
135 |
61,9 |
Rendah |
0 |
0 |
0 |
0 |
10 |
100 |
10 |
4,6 |
Total |
44 |
100 |
164 |
100 |
10 |
100 |
218 |
100 |
Hasil Uji Korelasi Spearman Rank Asymp.Sig. (2-tailed) = 0,000 Koefisien Korelasi = 0,705 |
Berdasarkan
tabel 12 menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0,000<0,05 yang
diartikan dengan Ha diterima atau terdapat hubungan antara support system
dengan tingkat stres. Selain itu juga diperoleh
angka koefisien korelasi sebesar 0,705 yang diartikan bahwa tingkat kekuatan
hubungan (korelasi) adalah kuat dengan arah hubungan positif yaitu semakin
tinggi support systemnya maka semakin rendah tingkat stresnya.
Analisis Multivariat
Tabel 13. Hasil Uji
Koefisien Determinasi
Pseudo R-Square |
Nilai |
Keterangan |
Nagelkerke |
0,833 |
Sangat
Kuat |
Berdasarkan tabel 13
menunjukkan hasil uji koefisien determinasi didapatkan nilai Nagelkerke
R-Square sebesar 0,833 yang diartikan keterkaitan variabel dependen tingkat
stres dengan variabel independen kepribadian, stres akademik, lingkungan dan support
system adalah sangat kuat. Berikut tabel hasil pengujian signifikansi
koefisien regresi terhadap faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada
santri dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.
Tabel 14. Hasil Uji
Signifikansi Koefisien Regresi
Variabel |
p-value |
PR |
95% CI |
|
lower |
Upper |
|||
Kepribadian |
0,000 |
0,24 |
0,00 |
15433790.59 |
Stres
Akademik |
0,177 |
2,85 |
0,00 |
503156.79 |
Lingkungan |
0,727 |
0,00 |
0,00 |
0.00 |
Support System
(Dukungan
Sosial) |
0,000 |
0,11 |
0,00 |
16.29 |
Berdasarkan hasil pengujian multivariat
regresi logistik multinomial pada tabel 14 maka dapat diperoleh informasi bahwa
kepribadian dan support system memiliki nilai p-value
0,000<0,05 yang diartikan sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan
tingkat stres. Hal tersebut relevan dengan analisis bivariat dengan Spearman
Rank yang menunjukkan bahwa support system dan kepribadian memiliki
nilai koefisien korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya.
PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Usia
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa
rata-rata usia responden yang mendominasi adalah usia 15-17 tahun atau remaja
menengah dengan persentase 15 tahun (23,9%), 16 tahun (30,3%), dan 17 tahun
(22,4%). Menurut Putro, (2017) usia remaja menengah dengan
rentang usia 15-17 tahun remaja cenderung membutuhkan banyak teman, berada
dalam keadaan ketakutan dan kebingungan akibat konflik internal, mempunyai
keinginan besar untuk mencoba hal baru, serta keinginan yang lebih luar untuk
belajar tentang sosialnya. Hal
ini sejalan dengan teori Ananda & Apsari, (2020) bahwa usia remaja adalah usia yang rentan mengalami
kecemasan yang mengakibatkan timbulnya rasa stres.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Putri & Azalia, (2022) bahwa salah satu kelompok
yang berisiko mengalami gangguan kesehatan mental adalah usia remaja karena
pada usia tersebut merupakan fase terjadinya perubahan baik pada fisik, hormon,
sosial, maupun psikologis sehingga menyebabkan emosi remaja tidak terkontrol
dan menimbulkan stres.
Jenis
Kelamin
Berdasarkan tabel 2
menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 141
responden (64,7%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 responden (35,4%).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasrani & Purnamawati, (2015) menyatakan bahwa jenis
kelamin berpengaruh pada tingkat stres seseorang dan lebih tinggi sering
dijumpai pada perempuan.
Otak perempuan memiliki kewaspadaan yang negatif
terhadap adanya konflik dan stres, pada perempuan konflik memicu hormon negatif
sehingga memunculkan stres, gelisah, dan rasa takut. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wilujeng et al., (2023) bahwa sebagian besar
kategori stres pada laki-laki dan perempuan adalah normal, tetapi lebih tinggi
sering dijumpai pada perempuan.
Jenjang/Kelas
Berdasarkan tabel 3
menunjukkan bahwa responden yang lebih dominan adalah kelas 4 dan 5 tingkat
Ulya dengan persentase kelas 4 sebanyak 66 responden (30,3%) dan kelas 5
sebanyak 77 responden (35,3%). Pada kelas 4 dan 5 santri dan santriwati
cenderung berada pada usia 17-19 tahun yang mana pada usia tersebut merupakan
remaja pada tahap remaja menengah hingga akhir.
Menurut Erikson pada usia tersebut remaja dapat memperoleh banyak pengetahuan tentang
aspek-aspek
dirinya, melakukan eksplorasi dan eksperimentasi berbagai peran sosial, serta memperoleh umpan balik dan pengakuan tentang
peran-peran yang tepat yang menjadi bagian dari identitasnya (Anindyajati, 2013). Pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa remaja yang berada pada tahap perkembangan identitas,
keingintahuan, dan banyaknya aspek diri yang ingin dipenuhi juga dapat
menimbulkan stres. Terlebih ketika santri dan santriwati berada di dalam Pondok
Pesantren Al-Ikhlas Negara dalam waktu yang lama belum tentu dapat memenuhi
aspek-aspek tersebut.
Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Putri & Azalia, (2022) menyatakan bahwa jenjang
atau kelas memiliki korelasi yang signifikan dengan stres yang dirasakan
remaja. Semakin tinggi jenjang/kelas yang diduduki maka semakin berat tingkat
stres yang dirasakan.
Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa hasil
penelitian sebanyak 20,2% remaja mengalami stres ringan, 75,2% remaja mengalami
stres sedang, dan 4,6% remaja mengalami stres berat. Tingkat stres hanyalah
sebuah alat ukur dimana digunakan untuk mengukur stres pada remaja. Tingkat
stres dalam NOC (Nursing Outcome
Classification) merupakan tingkat keparahan ketegangan fisik atau mental
yang dihasilkan dari faktor-faktor stres, dengan kata lain tingkat stres adalah
hasil dari respon tubuh terhadap stres (Silfiana, 2022).
Secara umum stres selalu muncul di kehidupan dan
yang menjadi masalah adalah seberapa mampu remaja beradaptasi dan mengatasinya.
Stres sendiri bukanlah hal yang mengancam namun dapat berakibat pada tubuh dan
kesehatan bila tetap dibiarkan (Bau et al., 2022).
Kepribadian
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sebanyak 6,0%
remaja mempunyai kepribadian buruk, 52,8% remaja mempunyai kepribadian cukup
baik, dan 41,3% remaja mempunyai kepribadian baik. Hasil analisis yang
dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa karakter, sikap, dan stabilitas emosi
merupakan aspek yang lebih dominan dalam menentukan kepribadian seseorang baik
atau buruk. Namun di samping itu temperamen dan sosiabilitas juga menjadi aspek
penentu baik dan buruknya kepribadian remaja. Sebagian besar santri dan santriwati
yang memiliki kepribadian cukup baik menyatakan senang dan mudah bergaul dengan
orang serta mampu berkreativitas dengan imajinasi yang aktif namun cenderung
memiliki emosi yang kurang stabil serta mudah merasa gelisah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam penelitian
terdahulu oleh Sudharta et al., (2018) bahwa kepribadian yang baik
memiliki konsistensi dalam berpikir, bersikap, berucap, dan berbuat, tegas
dalam mengambil keputusan, memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan
diri dan mampu melakukannya secara mandiri, bersikap terbuka, mampu
mengendalikan diri dalam menyelesaikan masalah, serta memiliki kestabilan emosi
dalam setiap menghadapi masalah yang ada.
Kepribadian cenderung lebih baik dari waktu ke waktu
atau biasa disebut dengan prinsip kedewasaan. Maka dari itu, seiring
bertambahnya usia pola pikir dan kepribadian juga akan berubah. Hal ini membuat
peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat usia santri dan santriwati maka
kepribadiannya juga akan semakin baik, namun hal ini harus dibuktikan dengan
penelitian lanjutan oleh peneliti berikutnya.
Faktor kepribadian merupakan salah satu faktor yang
berperan terhadap stres. Seperti yang dikatakan oleh Stephen Robbins (2000:
657) “faktor individu yang mempengaruhi stres adalah watak dasar alami yaitu
kepribadian seseorang”. Seseorang yang mempunyai kepribadian yang baik,
menganggap kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan merupakan tantangan yang
harus dihadapi bukan merupakan stres. Akan tetapi bagi seseorang yang
berkepribadian buruk, kesulitan yang dihadapi merupakan hambatan yang dianggap
menjadi suatu tekanan atau stres berat. Berdasarkan hal tersebut maka
kepribadian yang buruk akan mengarah pada tipe kepribadian introvert dan
kepribadian yang baik mengarah pada tipe kepribadian yang ekstrovert (Hidayah et al., 2020).
Stres Akademik
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa hasil
penelitian sebanyak 19,3% remaja dengan stres akademik rendah, 73,9% remaja
dengan stres akademik sedang, dan 6,9% remaja dengan stres akademik tinggi.
Hasil analisis peneliti didapatkan bahwa aspek yang lebih menonjol terhadap
tinggi rendahnya stres akademik yang dirasakan adalah aspek tekanan belajar,
beban tugas, dan kekhawatiran terhadap nilai. Semakin tinggi tingkat kelas
santri dan santriwati, maka semakin banyak pula tambahan pelajaran dan tuntutan
hafalan yang diwajibkan. Sebagian besar santri dan santriwati dengan stres
akademik sedang menyatakan bahwa saat tuntutan akademik semakin berat mereka
sering merasa kurang nafsu makan, mudah melakukan kesalahan, mengalami
kecemasan yang berlebihan, mudah panik, mudah tersinggung, susah tidur, mudah menangis,
keringat berlebihan dan sering merasakan tremor, serta malas melakukan
aktivitas apapun.
Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian
terdahulu oleh Barseli et al., (2017) bahwa stres akademik adalah
stres yang disebabkan oleh academic
stressor. Academic stressor adalah
stres yang dialami siswa
yang bersumber dari
proses pembelajaran atau
hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan belajar seperti tekanan untuk naik kelas,
lama belajar, mencontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan, serta kecemasan
menghadapi ujian.
Sejalan
dengan pendapat di
atas, Hasfrentia, (2016) menyatakan
bahwa stres akademik
adalah suatu kondisi atau keadaan
di mana terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya
aktual yang dimiliki siswa
sehingga mereka semakin
terbebani oleh berbagai
tekanan dan tuntutan.
Lingkungan
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa hasil
penelitian sebanyak 4,6% remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya buruk,
53,2% remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya cukup baik, dan 42,2%
remaja dengan persepsi terhadap lingkungannya baik. Hasil analisis peneliti
didapatkan bahwa dalam pengukurannya terdapat 2 aspek yaitu lingkungan fisik
dan lingkungan psikologis. Kedua aspek tersebut mempunyai kedudukan yang
seimbang dalam persepsi seseorang terhadap tempat yang berhubungan dengan
kehidupannya.
Sebagian besar santri dan santriwati dengan persepsi
lingkungan yang cukup baik menyatakan bahwa merasa nyaman saat berada di Pondok
Pesantren dengan percahayaan dan sirkulasi yang sudah memadai saat berada dalam
ruangan. Keamanan dan pengawasan di Pondok Pesantren juga sudah dilakukan
dengan baik oleh pengelola. Namun, beberapa santri juga mengatakan terdapat
kebisingan dan bau yang tidak sedap di sekitar Pondok Pesantren tersebut serta
komunikasi antar santri atau santriwati tidak selalu berjalan dengan baik.
Pada dasarnya di lingkungan pesantren tidak hanya
belajar untuk mencapai prestasi akademik dan taat aturan saja, namun santri
juga belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara baik dengan guru atau
teman sebayanya. Tidak semua santri/santriwati dapat berkomunikasi dengan baik
terhadap individu yang ada di lingkungannya. Faktor lingkungan seperti
interaksi yang terjadi diantara individu-individu dalam lingkungan tersebut,
terutama pada lingkungan di sekolah yang menjadi penyebab kejadian stress bisa
berupa hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas sekolah, hubungan dengan guru
serta tentang aktivitas yang secara rutin diterapkan di sekolah (Maulana et al., 2022).
Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian
terdahulu oleh Barseli et al., (2017) bahwa pada setiap individu ketika berada
di lingkungan baru akan melalui fase-fase di mana dalam proses penyesuaian diri
akan muncul sebuah konflik dan tekanan. Stres terjadi pada berbagai kondisi dan
tempat yang baru dan berbeda dari kebiasaan yang dilakukan. Hal tersebut dapat
berupa kondisi lingkungan yang selalu berubah setiap saat, oleh sebab itu
individu dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri dengan
bentuk-bentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi sesuai dengan peran
yang dibawakannya saat itu dengan lebih matang.
Support
System
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa hasil
penelitian sebanyak 4,6% remaja dengan supoort system rendah, 61,9% remaja
dengan supoort system sedang, dan 35,5% remaja dengan supoort system tinggi.
Hasil analisis peneliti didapatkan bahwa dari terdapat 4 aspek yang menjadi pengukuran
tinggi rendahnya dukungan sosial seseorang yaitu dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Pada penelitian
ini didapatkan bahwa dukungan emosional dan informatif lebih banyak didapatkan
oleh responden dibandingkan dengan dukungan penghargaan dan instrumental. Dapat
dilihat bahwa sebagian besar responden mendapatkan dukungan emosional dan
informatif dengan cara mendapatkan perhatian serta nasehat untuk mengatasi
masalah yang dihadapi oleh santri dan santriwati remaja. Maka Responden yang
memiliki dukungan sosial tinggi dapat disebabkan karena responden memperoleh
manfaat dari orang terdekat.
Sebagian besar santri dan santriwati dengan dukungan
sosial yang sedang menyatakan bahwa mereka mendapatkan dukungan emosional,
penghargaan, instrumental, dan informatif yang cukup baik dari teman maupun
para asatidz yang ada di Pondok
Pesantren Al-Ikhlas Negara. Namun di samping itu, terdapat beberapa hal yang
membuat dukungan sosialnya tidak terpenuhi dengan maksimal seperti tidak ada
ucapan selamat dari teman sebaya ketika santri atau santriwati mendapatkan
prestasi, kurangnya motivasi dari teman ataupun asatidz, serta kurangnya waktu yang diberikan para asatidz untuk memberikan nasehat ataupun
pendapat ketika santri atau santriwati menghadapi suatu masalah.
Menurut Kuntjoro dalam Shinta et al., (2020) keuntungan individu yang memperoleh
dukungan sosial yang tinggi akan menjadi inidividu yang lebih optimis dalam
menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil
dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi,
tingkat stres dan kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill
(keterampilan interpersonal), memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang
diinginkan, dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stres.
Hubungan Kepribadian dengan Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan hasil analisa cross tabulation stres akademik dengan
tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden memiliki kepribadian yang
cukup baik dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 115 responden (70,1%).
Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar 0,000 <0,05 maka Ha diterima yang artinya
ada hubungan antara kepribadian dengan tingkat stres santri dan santriwati
remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.
Faktor kepribadian dikatakan sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat stres dikarenakan kepribadian mempunyai aspek yang
luas pada diri individu diantaranya sifat keterbukaan (ekstaversi), kestabilan
emosi, menyenangkan, kesungguhan, keterbukaan untuk mendapatkan pengalaman,
telak kendali (locus of control), dan keberhasilan diri (self-efficacy).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah ciri-ciri pada setiap
individu yang membedakan dengan individu lain (Saputra et al., 2017).
Hasil penelitian Dumitru & Cozman (2012) menunjukkan
beberapa faktor kepribadian yang membuat individu menjadi lebih rentan terhadap
stres saat dalam proses penyesuaian diri diantaranya pemilihan teman, tingkat
empati, kemandirian, penampilan, tingkat efisiensi intelektual, intuisi, dan
orientasi (Rachmawati, 2020).
Kepribadian merujuk pada karakteristik unik
seseorang yang mencakup pola pikir, perasaan, dan perilaku. Beberapa tipe
kepribadian dapat berkontribusi pada cara remaja merespons dan menghadapi stres
dalam lingkungan Pondok Pesantren. Remaja dengan tipe kepribadian yang memiliki
keterampilan koping yang baik cenderung lebih mampu mengatasi stres dengan
efektif.
Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh
Hanifah, (2015) bahwa kepribadian berperan dalam menghadapi stres yang dialami.
Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, keterbukaan, kestabilan emosi,
menyenangkan, kesungguhan, keyakinan keberhasilan diri, dan hubungan sosial
yang baik, maka seberat apapun beban tugas di pundaknya akan terasa ringan,
tetap tenang, percaya diri, penuh semangat, berpikir positif, dan lurus
sehingga tidak stres manjadikan tugas-tugasnya dapat dijalankan dengan lancar.
Selanjutnya, dibuktikan oleh Hidayah et al., (2020) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian dengan tingkat stres pada
mahasiswa profesi ners di Universitas Tribhuwana Tunggadewi.
Hubungan Stres Akademik dengan Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 10 menunjukkan hasil analisa cross tabulation stres akademik dengan
tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden mengalami stres akademik
sedang dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 139 responden (84,7%). Selain itu
didapatkan hasil uji signifikansi menggunakan Spearman Rank sebesar
0,000 <0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara stres akademik
dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren
Al-Ikhlas Negara.
Peneliti menemukan santri dan santriwati cenderung memiliki kegiatan lebih banyak sehingga membuat mereka merasa lebih stres karena banyaknya kegiatan pembelajaran
di sekolah yaitu ujian, tugas-tugas, dan beberapa kegiatan yang harus mereka lakukan seperti banyaknya hafalan dan tuntutan lain yang harus mereka ikuti.
Stres
akademik adalah tekanan atau beban mental yang dialami oleh siswa atau remaja
karena tuntutan prestasi dan tugas-tugas akademik di sekolah. Hal ini bisa
mencakup tekanan untuk mencapai hasil yang baik, persiapan ujian, deadline
tugas, dan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar seperti orang tua, teman, atau guru. Tingkat stres pada remaja
secara umum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan stres akademik adalah
salah satu faktor yang dapat berperan dalam meningkatkan tingkat stres remaja (Hamzah & Hamzah, 2020).
Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
stres
akademik memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat stres pada remaja.
Ketika remaja mengalami tekanan akademik yang tinggi, seperti tuntutan untuk
mencapai hasil yang baik dalam ujian, menyelesaikan tugas-tugas dengan deadline
yang ketat, atau merasa tidak mampu memenuhi harapan orang tua dan guru, hal
ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres.
Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Puspitaningrum, (2018) yang menemukan adanya
hubungan yang positif dan signifikan antara disiplin belajar dan tuntutan orang
tua dengan tingkat stres akademik siswa kelas XI SMAN 1 Karanganyar.
Hubungan Lingkungan dengan Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 11 menunjukkan hasil analisa cross tabulation lingkungan dengan
tingkat stres bahwa hampir setengah responden mempersepsikan lingkungan cukup
baik dengan tingkat stres sedang yaitu sebanyak 93 responden (56,7%). Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi
menggunakan Spearman Rank sebesar
0,001 <0,05 maka Ha diterima yang artinya ada hubungan antara lingkungan
dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren
Al-Ikhlas Negara.
Lingkungan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada remaja karena
lingkungan dapat menciptakan kondisi dan situasi yang dapat menimbulkan tekanan
dan ketidaknyamanan bagi mereka. Hubungan
antara lingkungan dengan tingkat stres pada remaja adalah kompleks dan dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan emosional mereka. Persepsi
lingkungan mencakup cara remaja melihat, menilai, dan merespons lingkungan
fisik dan sosial di sekitar mereka.
Menurut Rosalina, (2023) hubungan lingkungan dengan
tingkat stres dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu kualitas lingkungan fisik,
faktor sosial, tingkat keamanan, dan pola budaya. Lingkungan fisik tempat remaja tinggal dan belajar
dapat berdampak pada tingkat stres jika remaja merasa bahwa lingkungan fisik mereka tidak
mendukung, seperti
kualitas hunian yang buruk, fasilitas sekolah yang tidak memadai, atau kondisi
lingkungan yang kotor dan berisik. Hubungan
dengan teman sebaya dan ikatan sosial lainnya juga dapat mempengaruhi persepsi
lingkungan remaja. Jika mereka menghadapi konflik atau tekanan sosial, seperti
perundungan atau isolasi sosial, ini dapat menyebabkan tingkat stres yang
meningkat.
Selain itu, persepsi mengenai tingkat keamanan lingkungan dapat
berpengaruh pada tingkat stres remaja. Lingkungan yang dianggap tidak aman,
misalnya adanya bentuk bullying yang tinggi atau ketidakstabilan sosial, serta faktor budaya dalam lingkungan remaja, termasuk
norma-norma budaya terkait dengan pencapaian dan ekspektasi sosial, juga dapat
berperan dalam peningkatan tingkat stres.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian terdahulu
oleh (Puspitaningrum, 2018) yang menemukan adanya
hubungan yang bermakna tingkat stres pada remaja dengan kemampuan dalam
beradaptasi di lingkungan Pondok
Pesantren dengan nilai p-value = 0,000.
Selanjutnya hasil penelitian ini juga diperkuat penelitian terdahu oleh Fajarsari et al., (2023) bahwa terdapat hubungan
antara lingkungan dengan tingkat stres pada remaja. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa remaja yang memiliki stres yang lebih berat akan berisiko lebih besar
terjadinya respon yang maladaptif dalam kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan di Pondok Pesantren.
Hubungan Support
System dengan Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 12 menunjukkan hasil analisa cross tabulation support system dengan
tingkat stres bahwa lebih dari setengah responden memiliki support system yang sedang dengan tingkat stres sedang yaitu
sebanyak 132 responden (80,5%). Selain itu didapatkan hasil uji signifikansi
menggunakan Spearman Rank sebesar 0,000<0,05 maka Ha diterima yang artinya
ada hubungan antara support system dengan tingkat stres pada santri dan
santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara.
Support system atau dukungan sosial
merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi tingkat stres pada santri dan
santriwati remaja di Pondok Pesantren. Pondok Pesantren merupakan lingkungan di
mana para santri tinggal dan belajar untuk mengejar pendidikan agama dan
akademik. Menurut Waty & Agustina, (2022) beberapa hal penting dalam support system yang dapat mempengaruhi
tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren yaitu
dukungan sosial, dukungan akademik, kualitas hubungan dengan teman sebaya,
serta kegiatan sosial dan rekreasi. Kehadiran dukungan sosial dari sesama
santri, guru, dan staf Pondok Pesantren dapat membantu mengurangi tingkat
stres. Dukungan emosional dan dukungan praktis dalam menghadapi tantangan dan
tekanan sehari-hari bisa membantu santri merasa lebih diterima dan didukung
dalam lingkungan yang baru bagi mereka.
Selain itu, dukungan dalam belajar dan tugas-tugas
akademik dari guru serta staf pendidik juga dapat membantu mengurangi stres
akademik pada santri dan santriwati. Bantuan dalam mengatasi kesulitan belajar
dan tugas-tugas dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian belajar.
Di samping itu, interaksi positif dengan teman sebaya dan adanya kegiatan
sosial serta rekreasi yang diadakan di Pondok Pesantren dapat membantu mengurangi
tingkat stres juga memberikan waktu istirahat yang menyenangkan bagi santri.
Kegiatan-kegiatan ini dapat menjadi peluang untuk bersantai, bersosialisasi,
dan mengurangi rasa lelah.
Semakin tinggi support
system (dukungan sosial) santri dan santriwati, maka semakin rendah tingkat
stresnya. Hal ini dikuatkan penelitian terdahulu oleh Irwansyah et al., (2021)
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosal dengan tingkat stres
santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Artinya semakin tinggi dukungan sosial
maka semakin berkurang tingkat stres yang dialami santri dan sebaliknya.
Selanjutnya, Lestari (2022) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat stres dengan dukungan sosial pada mahasiswa program
studi D-IV bidan pendidik Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dukungan sosial dapat mencegah individu dari ancaman
kesehatan mental dan adanya dukungan sosial yang tinggi akan membuat individu
lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini dan akan datang.
Faktor Dominan Yang Berhubungan dengan Tingkat Stres
Berdasarkan tabel 13 menunjukkan hasil uji koefisien
determinasi didapatkan nilai Nagelkerke R-Square sebesar 0,833 yang diartikan
keterkaitan variabel dependen tingkat stres dengan variabel independen
kepribadian, stres akademik, lingkungan dan support
system adalah sangat kuat. Data
tersebut relevan dengan tabel 3.14 yang menunjukkan bahwa kepribadian dan support system adalah faktor dominan
yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan santriwati remaja di
Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara dengan nilai p-value masing-masing adalah 0,000 yang didapatkan berdasaran
pengujian signifikasi koefisien regresi multinomial. Hal tersebut juga
dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi pada analisis bivariat spearman rank terhadap faktor support system sebesar 0,705 dan
kepribadian sebesar 0,665 yang diartikan pada kedua faktor tersebut memiliki
tingkat kekuatan hubungan kuat terhadap tingkat stres.
Support system dan kepribadian menjadi
faktor yang dominan terhadap tingkat stres santri dan santriwati remaja di
Pondok Pesantren karena keduanya saling berhubungan dan memiliki peran yang
penting dalam mempengaruhi kesejahteraan emosional dan sosial remaja (Fitrananda & Naimah, 2022). Santri dan santriwati
tinggal jauh dari keluarga mereka di Pondok Pesantren. Kehidupan yang jauh dari
orang tua dan keluarga bisa menyebabkan rasa kesepian dan perasaan terisolasi.
Dalam situasi ini, support system
yang positif dari teman sebaya, guru, dan staf Pondok Pesantren menjadi
krusial. Dukungan emosional dan sosial dari mereka dapat membantu mengurangi
rasa kesepian dan menyediakan lingkungan yang mendukung bagi remaja.
Support system yang kuat dan inklusif akan
membantu mereka beradaptasi lebih baik dan lebih cepat. Support system yang positif dan mendukung akan membantu mengatasi
konflik dan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis, yang pada akhirnya
dapat mengurangi tingkat stres yang dirasakan remaja (Adhada & Susilarini, 2021).
Selain itu terdapat beberapa hal yang membuat faktor
kepribadian menjadi faktor dominan terhadap tingkat stres remaja yaitu
resiliensi, koping, dan sosialisasi. Kepribadian remaja mempengaruhi cara
mereka menghadapi dan menangani stres. Remaja dengan keterampilan koping yang
baik, seperti pemecahan masalah dan komunikasi yang efektif dapat mengelola
stres dengan lebih baik serta mengurangi dampaknya. Kepribadian remaja yang
lebih ekstrovert dan memiliki kemampuan sosialisasi yang baik cenderung
memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih kuat. Hal ini dapat membantu
mengurangi tingkat stres karena remaja merasa lebih didukung oleh teman sebaya
dan orang-orang di sekitarnya (Liandari, 2022).
Dalam lingkungan Pondok
Pesantren yang menuntut adaptasi dan menghadapi tantangan akademik juga sosial,
support system dan kepribadian remaja
berperan penting dalam mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan
mereka. Dukungan emosional, sosial, dan dukungan dalam menghadapi perubahan
akan memberikan dampak positif terhadap tingkat stres yang dialami oleh santri
dan santriwati remaja di Pondok Pesantren.
1)
Berdasarkan hasil penelitian
terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada santri dan
santriwati remaja di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Negara terhadap 218 responden
menunjukkan bahwa sebanyak 164 (75,2%) dengan tingkat stres sedang, 115 (52,8%)
dengan kepribadian cukup baik, 161 (73,9%)
dengan stres akademik sedang, 116 (53,2%) dengan lingkungan cukup baik,
dan 135 (61,9%) dengan support system sedang.
2)
Terdapat hubungan antara
kepribadian, stres akademik, lingkungan, dan support system terhadap tingkat stres dengan masing-masing nilai p-value <0,05.
3)
Faktor dominan yang berhubungan
dengan tingkat stress pada santri dan santriwati remaja di Pondok Pesantren
Al-Ikhlas Negara adalah faktor kepribadian dan support system.
DAFTAR PUSTAKA
Adhada,
I., & Susilarini, T. (2021). Hubungan Antara Konselp Diri dan Dukungan Sosial delngan Kelmatangan Karir Pada
Mahasiswa Yang Melngikuti
Kelgiatan Voluntelelr di Komunitas Invelstor Anak Muda. Jurnal
IKRAITH-HUMANIORA, 5(74), 63–68.
Alini,
& Melisyalla,
L. N. (2022). Gambaran Kelselhatan
Melntal Relmaja SMPN Bangkinang
Kota Kabupateln
Kampar. Jurnal Nelrs,
6(23), 80–85.
Ananda, S.
S. D., & Apsari, N. C. (2020). Melngatasi Strelss Pada Relmaja Saat Pandelmi Covid-19 delngan Telknik Sellf Talk. Prosiding Pelnellitian Dan Pelngabdian Kelpada Masyarakat, 7(2), 248–256.
Anindyajati,
P. D. (2013). Status Idelntitas
Relmaja Akhir:
Hubungannya delngan
Gaya Pelngasuhan
Orang Tua dan Tingkat Kelnakalan
Relmaja. Charactelr, 01(02),
1–6.
Barselli, M., Ifdil, &
Nikmarijal, N. (2017). Konselp Strels
Akadelmik Siswa. Jurnal
Konselling Dan Pelndidikan, 5(3),
143–148.
Bau, N.
A., Kadir, L., & Abudi, R. (2022). Hubungan Tingkat Strels Relmaja delngan Kelmampuan Belradaptasi Di Asrama
Pondok Pelsantreln Sabrun Jamil. Jambura
Journal of Elpidelmiology, 1(1),
29–37.
Ell-Azis, K. M. (2017).
Faktor-Faktor Yang Melmpelngaruhi Strels Relmaja Pada Tahun Pelrtama Di Pondok Pelsantreln Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Jurnal Kelpelrawatan, 1(1),
1–8.
Fajarsari,
D., Purwanti, S., & Suryandari, A. El. (2023). Hubungan Lingkungan dan Aktivitas Akadelmik delngan Tingkat Strels Pada Relmaja. Elnsiklopeldia of Journal, 5(2),
230–235.
Fitrananda,
S. M., & Naimah, T. (2022). Kelpribadian Hardinelss dan Dukungan Sosial selbagai Faktor Deltelrminan Optimismel Mahasiswa Pelnyintas COVID-19. Psikoislameldia, 7(2),
1–14.
Hamzah,
B., & Hamzah, R. (2020). Faktor-Faktor Yang Belrhubungan delngan Tingkat STrels Akadelmik Pada Mahasiswa Stikels Graha Meldika. Indonelsian Journal for Helalth Scielncels, 4(2), 59–67.
Hanafi, I.
(2018). Pelrkelmbangan Manusia dalam
Tinjauan Psikologi dan Al-Qur’an. IQ (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pelndidikan Islam, 1(01),
84–99.
Harini, V.
R. P. (2020). Gambaran Tingkat Strels Pada Anak Usia Relmaja Sellama Melnjalani Pelmbellajaran Daring di Telngah Pandelmi
COVID-19 di Kellurahan
Patrang Kelcamatan
Patrang.
Hasfrelntia, Y. D. (2016). Hubungan
Antara Sellf-Elfficacy delngan Strels Akadelmik Pada Pellajar SMAN 1 Tuntang.
Hidayah,
R., Trisnayanti, A., & Rachmawati, S. D. (2020). Hubungan Antara Tipel Kelpribadian delngan Tingkat Strels Pada Mahasiswa Profelsi Nelrs. Jurnal Kelselhatan Melselncelphalon, 6(2),
124–131.
Hidayati,
L. N., & Harsono, M. (2021). Tinjauan Litelratur Melngelnai Strels
dalam Organisasi. Jurnal Ilmu Manajelmeln, 18(1), 20–30.
Juliani,
I. R., & Wulandari, I. S. M. (2022). Hubungan Tingkat Kelcanduan Gadgelt delngan Gangguan Elmosi dan Pelrilaku Relmaja Kellas 8. 10(1),
30–40.
Khasanah,
S. M. R., & Mamnuah. (2021). Tingkat Strels Belrhubungan delngan
Pelncapaian Tugas
Pelrkelmbangan Pada Relmaja. Jurnal Ilmu Kelpelrawatan Jiwa, 4(1),
107–116.
Liandari,
F. M. (2022). Hubungan antara Intelraksi Telman Selbaya delngan
Strels pada Santri
Relmaja di Pondok
Pelsantreln Darul Qurán Wal
Irsyad Wonosari. Univelrsitas Selbellas Marelt.
Maulana,
Z., Safitri, A., & Pamungkas, A. (2022). Tingkat Strels Pada Santri Baru
Raudhatul Jannah Palangka Raya. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Belrbelda, Belrmakna, Mulia, 8(3),
211–216.
Munawaroh.
(2018). Hubungan Antara Relligiusitas dan Tingkat Strelss Telrhadap Stratelgi Coping Pada Santi Pondok Pelsantreln. Naskah Publikasi.
Nasrani,
L., & Purnamawati, S. (2015). Pelrbeldaan Tingkat Strels Antara Laki-Laki dan Pelrelmpuan Pada Pelselrta
Yoga di Kota Delnpasar.
Jurnal Meldika
Udayana, 4(12), 1–12.
Nurhaelni, A., Marisa, D. El., & Oktiany, T.
(2022). Pelningkatan
Pelngeltahuan Telntang Gangguan Kelselhatan Melntal Pada Relmaja. JAPRI (Jurnal
Pelngabdian Risel Indonelsia), 1(1),
29–34.
Priyoto,
P. (2019). Konselp
Manajelmeln Strels. Nuha Meldika.
Purwati,
M., & Rahmandani, A. (2018). Hubungan Antara Kellelkatan Pada Telman Selbaya delngan
Strels Akadelmik Pada Mahasiswa Telknik Pelrelncanaan Wilayah dan
Kota Univelrsitas
Diponelgoro Selmarang. Jurnal Elmpati, 7(2),
28–39.
Puspitaningrum,
M. T. D. (2018). Hubungan Antara Disiplin dan Tuntutan Orang Tua delngan Tingkat Strels Akadelmik Siswa Kellas XI 1 Karanganyar.
Univelrsitas Selbellas Marelt.
Putri, T.
H., & Azalia, D. H. (2022). Faktor Yang Melmelngaruhi Strels
Pada Relmaja Sellama Pandelmi COVID-19. Jurnal
Kelpelrawatan Jiwa (JIK),
10(2), 285–296.
Putro, K.
Z. (2017). Melmahami
Ciri dan Tugas Pelrkelmbangan Masa Relmaja. Aplikasia:
Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 25–32.
Rosalina,
T. M. (2023). Kajian Pelrancangan Helaling
Elnviromelnt delngan Pelndelkatan Virtual Intelrior Fractal Untuk Melngurangi Tingkat Strels Akibat Meldia Sosial. Univelrsitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Shinta,
L., Muslihin, H. Y., & Ellan. (2020). Keltelrampilan
sikap tolelransi
anak usia 5-6 tahun. Jurnal PAUD Agapeldia, 4(2), 337–345.
Silfiana,
A. (2022). Hubungan Kelcanduan
Gamel Onlinel Delngan Tingkat Strels Pada Relmaja. Jurnal Kelselhatan Luwu Raya, 8(2),
70–74.
Sudharta,
V. A., Bafadal, I., & Sultoni. (2018). Kelpribadian Yang Baik Untuk Kelelfelktifan Kelpelmimpinan Kelpala Selkolah. Jurnal
Administrasi Dan Manajelmeln Pelndidikan, 1(4),
440–447.
Sukadiyanto.
(2019). Strelss
dan Cara Melngatasinya.
Cakrawala Pelndidikan,
29(1), 55–66.
Suteljo, S. (2018). Kelpelrawatan Jiwa: Konselp dan Praktik Asuhan Kelpelrawatan Kelselhatan Jiwa: Gangguan
Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru Prelss.
UNICElF. (2021). Profil Relmaja 2021. Unicelf.
Wilujelng, C. S., Habibiel, I. Y., & Indiah,
A. D. (2023). Hubungan Antara Jelnis Kellamin delngan
Katelgori Strels Pada Relmaja di SMP Brawijaya
Smart School. 3(1), 6–11.
This
work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License. |