JURNAL SOSIAL DAN SAINS VOLUME 3 NOMOR 9 2023 P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X |
|
|
KLASIFIKASI, DIAGNOSIS DAN PENGOBATAN
TERKINI UNTUK GLAUKOMA: TINJAUAN PUSTAKA Feby
Bantoyot Universitas
Sam Ratulangi, Indonesia Email:
[email protected] |
|
|
Kata kunci: Glaucoma; optic; disease Keywords: Glaucoma; optic; disease |
ABSTRAK Latar Belakang: Glaukoma
merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “glaukos”, keadaan
ini merupakan sekelompok penyakit yang merusak saraf mata yang dikenal
sebagai nervus optikus dan jika tidak ditangani akan mengakibatkan kebutaan.
Definisi glaukoma telah berubah, saat ini glaukoma merupakan penyakit neuropati
optik yang ditandai dengan penipisan dari diskus optikus, kerusakan dari sel
– sel ganglion dan akson retina hingga terjadi penurunan fungsi penglihatan. Tujuan: untuk mengetahui klasifikasi,
diagnosis dan pengobatan terkini untuk Glaukoma Metode: penelitian ini menggunakan metode studi tinjauan
kepustakaan yang secara khusus akan membahas tentang klasifikasi, diagnosis
dan tatalaksana glaukoma saat ini. Hasil: Berdasarkan
hasil penelitian tatalaksana terdiri dari tatalaksana
medikamentosa dimana pada kasus glaukoma kronik, analog prostaglandin yang
dikombinasikan dengan beta blockers nerupakan lini pertama sedangkan
pada glaukoma akut sebelum tatalaksana definitif, perlu diberikan agen
hiperosmotik maupun penghambat karbonik anhidrase sistemik. Tatalaksana bedah
diperlukan untuk pasien dengan perburukan glaukoma meskipun sudah diberikan
terapi medikamentosa yang maksimal. Kesimpulan: Glaukoma merupakan penyakit
mata yang memerlukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk mencegah
kebutaan, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan mencari faktor
risiko dan gejala yang berkaitan dengan glaukoma, pemeriksaan fisik dan
penunjang seperti OCT, foto fundus, perimetri dan pakimetri. ABSTRACT Background: Glaucoma is a term derived from the
Greek word "glaukos", this condition is a group of diseases that
damage the eye nerve known as the optic nerve and if left untreated will
result in blindness. The definition of glaucoma has changed, currently
glaucoma is a disease of optic neuropathy characterized by thinning of the
optic disc, damage from ganglion cells and retinal axons to decreased vision
function. Purpose: the
study aim to examine the current
classification, diagnosis and treatment for Glaucoma. Methods: this study uses a literature review study method that will specifically
discuss the classification, diagnosis and management of current glaucoma. Results: Based on the results of the study the management consists of
medicamentose treatment where in cases of chronic glaucoma, prostaglandin
analogues combined with beta blockers are first-line while in acute glaucoma
before definitive treatment, it is necessary to give hyperosmotic agents and
systemic carbonic anhydrase inhibitors. Surgical treatment is necessary for
patients with worsening glaucoma even though maximum medical therapy has been
given. Conclusion: Glaucoma is an eye disease that requires proper diagnosis and management
to prevent blindness, diagnosis is established based on history by looking
for risk factors and symptoms related to glaucoma, physical examination and
support such as OCT, fundal photos, perimetry and pachymetry. |
|
PENDAHULUAN
Glaukoma adalah kumpulan kondisi yang terdiri dari
neuropati optik progresif kronis, dengan
karakteristik gangguan pada jaringan neuroretina dan caput nervus optikus yang mengakibatkan gangguan lapang pandang
yang jika tidak diobati akan mengakibatkan kebutaan yang ireversibel (American Academy of Ophthalmology, 2023; Stein et
al., 2023).
Suatu glaukoma tidak harus selalu memiliki peningkatan
tekanan intraokular (TIO). Namun adanya peningkatan dari TIO merupakan faktor
risiko utama penyakit ini. Faktor risiko lain terjadinya glaukoma diantaranya
adalah riwayat keluarga dengan glaukoma, keturunan Afrika atau Hispanik,
penyakit diabetes melitus, miopia tinggi maupun trauma pada mata (American Academy of Ophthalmology, 2023; McMonnies,
2017).
Epidemiologi
Jumlah penderita glaukoma di seluruh dunia
diperkirakan berjumlah 57,5 juta orang di dengan prevalensi global untuk
glaukoma sudut terbuka primer sebesar 2,2%. Keturunan Afrika berdasarkan
penelitian memiliki prevalensi tertinggi untuk penyakit ini dibandingkan mereka
dengan ras Kaukasia dan Asia. Diperkirakan pada tahun 2040, kejadian glaukoma
akan mencapai angka 111,8 juta individu (Allison et al., 2020).
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI
tahun 2019 tentang situasi glaukoma di Indonesia, dikatakan bahwa prevalensi
glaukoma adalah sebesar 0,46%, yang artinya bahwa 4 hingga 5 orang dari 1000
penduduk Indonesia menderita glaucoma (Kementrian Kesehatan RI, 2019).
Klasifikasi Glaukoma
Glaukoma memiliki dua klasifikasi utama yaitu glaukoma
sudut terbuka primer atau glaukoma kronik dan glaukoma sudut tertutup yang
dapat terjadi secara akut (Krogmann, 2019; Qadir, 2020).
Glaukoma
sudut terbuka primer atau glaukoma kronik
Keadaan glaukoma ini timbul akibat kelainan yang
terjadi pada struktur bilik mata depan yang dikenal sebagai jalinan trabekular
(trabecular meshwork) dimana terjadi obstruksi aliran keluar humor
aqueous yang progresif dan kemudian diikuti peningkatan tekanan intraokular
(TIO). Glaukoma sudut terbuka awalnya tidak menimbulkan gejala yang mengganggu
penderitanya atau asimtomatik dan biasanya tidak sengaja dijumpai saat skrining
mata rutin, seiring berjalannya waktu akan timbul gejala hilangnya lapang
pandang perifer hingga menjadi parah dan menyebabkan kerusakan yang ireversibel
(Kanski & Bowling, 2011; Schuster et al., 2020).
Glaukoma
sudut tertutup
Glaukoma sudut tertutup ditandai dengan peningkatan
TIO secara tiba – tiba yang terjadi akibat obstruksi mekanis pada struktur
sudut mata di dekat iris root. Keadaan ini merupakan suatu
kegawadaruratan medik, glaukoma jenis ini menimbulkan gejala penglihatan yang
kabur dengan cepat, mata merah, nyeri pada mata dan sering terdapat halo di
sekitar cahaya, jika tidak mendapat tatalaksana segera, kebutaan dapat terjadi
dengan cepat (Kanski & Bowling, 2011; Schuster et al., 2020).
Glaukoma Jenis Lainnya
Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah keadaan glaukoma yang terjadi
akibat suatu kondisi yang mendasari. Konsisi ini bisa terjadi dari penyakit
mata sendiri atau akibat dari penyakit sistemik luas. Bebagai konsisi yang
dapat menimbulkan glaukoma sekunder adalah trauma, hifema, iritis dan
subluksasi lensa (Edmunds et al., 2015; Schuster et al., 2020).
Glaukoma kongenital
Glaukoma kongenital yang dikenal dengan buftalmus atau
“mata sapi” terjadi pada bayi dengan tanda yang khas yaitu mata yang nampak
membengkak dan membesar akibat peningkatan TIO. Dikatakan seorang menderita
glaukoma kongenital jika terjadi sebelum usia 3 tahun (Badawi et al., 2019).
Normotension
glaucoma
Istilah glaukoma dengan tekanan normal mengacu pada
glaukoma namun dengan TIO yang normal. Seringnya glaukoma tekanan normal
diakibatkan oleh disregulasi vaskular luas yang mengakibatkan stres pada akson
– akson nervus optikus pada lamina kribosa. Saat pemeriksaan dapat ditemui
eskavasi pada diskus optikus dan gangguan lapang pandang meskipun TIO <21mmHg
(American Academy of Ophthalmology, 2023; Killer &
Pircher, 2018; Stein et al., 2023).
Patofisiologi
Glaukoma
sudut terbuka
Pada glaukoma, kerusakan sel – sel ganglion retina
berhubungan dengan tekanan intraokular. Tekanan intraokular ditentukan oleh
keseimbangan antara sekresi humor aqueous dari badan silier dan
pengalirannya melalui aliran uveosklera dan jalinan trabekular. Obstruksi
aliran humor aqueous pada jalinan trabekular mengakibatkan cairan
tersebut tidak dapat mengalir keluar dari mata dan terjadi kelebihan humor
aqueous. Ilustrasi mekanisme terjadinya glaukoma sudut terbuka dapat dilihat
pada gambar 1 (Kanski & Bowling, 2011; Killer & Pircher,
2018; Qadir, 2020; Stein et al., 2023).
Gambar 1.
Ilustrasi mekanisme terjadinya glaukoma sudut terbuka
Glaukoma sudut tertutup
Mekanisme pemicu umum yang menyebabkan menyempitnya
dan tertutupnya sudut bilik mata depan adalah dilatasi pupil. Dilatasi pupil mengakibatkan
relaksasi iris sehingga jaringannya menonjol menuju dasar iris, yang secara
efektif menghalangi struktur aliran keluar (outflow) pada sudut bilik
mata depan. Dilatasi pupil juga dapat merelaksasi bagian perifer iris sehingga
tekanan di bilik mata belakang melebihi tekanan di bilik mata depan dan
menyebabkan perpindahan iris lebih jauh ke depan sehingga struktur sudutnya
menjadi lebih tertutup. Jika batas pupil pada iris merekat ke bawah pada kapsul
lensa anterior, atau jika pupil terobstruksi oleh badan vitreus yang prolaps,
maka akan terjadi mekanisme blokade pupil. Hal ini dapat menyebabkan iris
bombé. Dalam situasi ini, pupil menjadi terobstruksi sehingga tekanan aqueous
dari bilik mata belakang membengkokkan iris ke depan dan menghalangi sudut
bilik mata depan serta mencegah aqueous outflow. Gambar 2 merupakan
ilustrasi mekanisme terjadinya glaukoma sudut tertutup (Kanski & Bowling, 2011; Killer & Pircher,
2018; Qadir, 2020; Stein et al., 2023).
Gambar 2. Ilustrasi Patofisiologi pada Glaukoma Sudut Tertutup
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur atau
tinjauan pustaka. Metode ini dilakukan dengan melakukan pencarian dan analisis
terhadap literatur atau sumber-sumber yang relevan dengan topik penelitian,
seperti jurnal ilmiah, buku, dan dokumen online. Sumber-sumber tersebut
kemudian dianalisis dan disintesis untuk memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang klasifikasi, diagnosis, dan pengobatan terkini untuk glaukoma. Dalam
penelitian ini, sumber-sumber yang digunakan adalah jurnal ilmiah, dokumen
online, dan buku yang terkait dengan topik glaukoma. Data yang diperoleh dari
sumber-sumber tersebut kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tinjauan
pustaka yang komprehensif dan terstruktur. Metode studi literatur atau tinjauan
pustaka sangat berguna dalam memberikan pemahaman yang lebih baik tentang topik
penelitian dan dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Semakin
tua usia individu maka risiko glaukoma juga meningkat. Glaukoma berhubungan
dengan penyakit – penyakit degenerasi mata seperti degenerasi makula, penyakit
vaskular dan obstructive sleep apnea. Diketahui jenis kelamin laki –
laki lebih mungkin menderita glaukoma sudut terbuka dibandingkan mereka yang
berjenis kelamin perempuan. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat
glaukoma pada anggota keluarga, literatur mengatakan mereka yang memiliki riwayat
keluarga dengan glaukoma 2,1 kali memiliki kemungkinan menderita glaukoma sudut
terbuka. Riwayat miopia pada pasien juga perlu diketahui sebab perkembangan
glaukoma meningkat dengan derajat miopia. Penyakit sistemik seperti hipertensi,
hipotensi akut dan diabetes melitus merupakan faktor risiko potensial
terjadinya glaukoma. Kebiasaan merokok pada pasien yang memiliki kerentanan
genetik untuk menderita glaukoma akan menimbulkan onset terjadinya glaukoma
lebih dini (McMonnies, 2017;
Schuster et al., 2020; Thomas & Parikh, 2006).
Pada
glaukoma sudut terbuka pasien sering datang tanpa keluhan glaukoma saat pertama
kali namun seiring memburuknya penyakit, akan mulai timbul gejala hilangnya
lapang pandang perifer yang terdeteksi saat kerusakannya sudah signifikan. Pada
glaukoma sudut tertutup, kejadiannya akut dengan penglihatan yang tiba – tiba
kabur dengan cepat, mata terasa sangat nyeri, pasien mengeluhkan adanya halo
disekitar cahaya dan ada keluhan mata merah (McMonnies, 2017).
Pemeriksaan
Fisik
Slit Lamp
Pemeriksaan
slit lamp saat pasien datang diperlukan untuk menyingkirkin kemungkinan
penyebab glaukoma sekunder (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Tonometri
Pemeriksaan
tekanan intraokular dapat dilakukan menggunakan tonometri, biasanya pasien
dengan glaukoma cenderung memiliki tekanan intraokular di atas normal, dimana
kita ketahui bahwa tekanan intraokular yang normal memiliki rentang antara 10 –
21 mmHg. Secara normal, TIO memiliki nilai yang tinggi pada pagi hari dan
terendah pada siang hari. Variasi TIO diurnal ini jarang melebihi 3 atau 4 mm
Hg. Namun, pada pasien glaukoma, tekanannya bisa melebihi 7 hingga 8 mmHg.
Pengukuran tekanan mata dilakukan sepanjang hari dan terkadang pada malam hari,
dengan memperhatikan waktu-waktu TIO yang menunjukkan nilai yang paling tinggi.
Kelemahannya adalah biayanya mahal dan memakan waktu karena pasien harus
dirawat di rumah sakit untuk melakukan tes diurnal 24 jam penuh (Thomas & Parikh,
2006; Yanoff & Duker, 2019).
Tes
Provokasi
Tes
provokasi yang dikenal dalam mendeteksi glaukoma adalah water drinking test (WDT),
dimana pasien diminta menelan air minum dan jika terdapat peningkatan 6 hingga
8 mmHg pada TIO maka hasil dianggap positif ataupun tes posisi terbalik 300.
Penelitian oleh Kanadani et al menunjukkan bahwa pemeriksaan WDT pada posisi
terbalik sama efektifnya dnegan
pemeriksaan WDT untuk memeriksa TIO puncak (Kanadani et al., 2016).
Gonioskopi
Gonioskopi
adalah pemeriksaan klinis yang digunakan untuk memeriksa struktur sudut bilik
mata depan. Lensa gonioskopi diperlukan untuk memeriksa sudut irido-kornea,
yaitu area di antara iris dan kornea, tempat dimana jalinan trabekular berada.
Pemeriksaan gonioskopi memungkinkan identifikasi perkiraan lebar sudut area
tersebut dan dapat membedakan tipe glaukoma apakah glaukoma sudut terbuka atau
tertutup, setiap pasien yang memiliki peningkatan TIO saat pemeriksaan mata
rutin memerlukan pemeriksaan gonioskopi (Nolan & Onakoya,
2021).
Pemeriksaan
Penunjang
Optical
Coherence Tomography (OCT)
Optical
coherence tomography – angiography merupakan modalitas yang memungkinkan pencitraan
komponen vaskular pada penyakit glaukoma, pemeriksaan ini dapat mengevaluasi
struktur saraf termasuk lapisan serabut saraf retina, caput nervus optikus dan macula
(Qadir, 2020; Schuster
et al., 2020; Thomas & Parikh, 2006).
Foto Fundus
Foto
diskus optikus pada glaukoma menunjukkan penipisan pada bagian tepi dan defek
pada lapisan serabut saraf retina. Gambar 3 menunjukkan penipisan bagian tepi
dan lapisan serabut saraf retina yang terlokalisasi di bagian superior dan
inferior pada bagian temporal mata kanan dan pada mata kiri, dimana terdapat
adanya kehilangan batas – batas tepi lapisan serabut saraf retina pada lokasi
temporal inferior, namun tepi superior masih baik (Hemelings et al.,
2021).
Gambar 3. Foto Fundus pada Glaukoma (American Academy of Ophthalmology, 2023).
Perimetri
Metode
dalam mengukur gangguan penglihatan pada glaukoma adalah dengan menilai lapang
pandang dengan perimetri. Perimetri digunakan untuk mengukur sensitivitas terhadap cahaya
yang berbeda maupun kemampuan dalam mendeteksi stimulus dari latar belakang
yang teriluminasi. Alat diagnostik ini banyak digunakan untuk membantu menilai
lapang pandang pada penyakit seperti glaukoma, neuropati optik, kelainan segmen
posterior, dan kondisi yang mempengaruhi fungsi penglihatan. Lapang pandang sendiri
merupakan luas suatu area yang terlihat oleh seseorang selama fiksasi mata yang
stabil pada satu pandangan atau arah. Perimetri sangat krusial dalam menegakkan
diagnosis dan derajat glaukoma, saat ini jenis perimetri yang digunakan secara
umum adalah perimetri otomatis standar (EyeWiki AAO, 2022).
Pakimetri
Ketebalan
kornea sentral atau yang dikenal sebagai central corneal thickness (CCT)
merupakan parameter yang penting dalam menilai kemungkinan glaukoma pada
pasien, komponen ini dinilai menggunakan pakimetri ultrasonografi. Literatur
yang disusun oleh Belovay et al menyimpulkan bahwa CCT pada pasien dengan
hipertensi okular dan glaukoma dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti etnis
pasien, pengobatan glaukoma, usia dan subtipe glaukoma. CCT yang lebih tipis
dijumpai pada pasien dengan normotension glaucoma dan glukoma sudut
tertutup (Belovay &
Goldberg, 2018).
TATALAKSANA
GLAUKOMA TERKINI
Terapi
glaukoma bertujuan untuk menjaga agar fungsi penglihatan tidak menjadi lebih
buruk dan juga mengatur tekanan intraocular (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Qadir, 2020; Schuster et al., 2020).
Berdasarkan
American Academy of Opthalmology, langkah pertama sebelum memulai
pengobatan adalah dengan menentukan tekanan target yang disesuaikan berdasarkan
individu, yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Tabel 1. Memperkirakan Tekanan Target
Tekanan target inisial: ·
Hipertensi
okular (lapang pandang dan diskus optikus normal) :
<25mmHg dan 20% di bawah baseline ·
Kerusakan akibat
glaukoma ringan (kerusakan diskus optikus dengan lapang pandang normal) : <21mmHg dan 25% di bawah baseline ·
Kerusakan akibat
glaukoma sedang (kerusakan lapang pandang pada salah satu hemifield di
luar dari 100 sentral) : <18mmHg dan
30% di bawah baseline ·
Kerusakan
glaukoma berat (kerusakan lapang pandang pada kedua hemifield dan mengenai 100
sentral) : <15mmHg dan 30% di bawah baseline |
Faktor risiko yang memerlukan penyesuaian ke bawah
tekanan target : ·
Riwayat
perdarahan diskus optikus ·
Kornea sentral
yang lebih tipis ·
Riwayat progresi
cepat atau hilangnya penglihatan parah pada salah satu mata ·
Riwayat keluarga
dengan kebutaan karena glaukoma ·
Onset usia lebih
dini saat mengalami kerusakan akibat glaukoma |
Faktor yang memungkinkan penyesuaian ke atas tekanan
target : ·
Harapan hidup
yang rendah dan komorbiditas lainnya ·
Riwayat
kerusakan progresif yang stabil atau lambat sebelumnya ·
Kornea sentral
yang tebal |
Terapi
Medikamentosa
Analog
Prostaglandin
Agen
ini dapat menembus kornea dan aktif ketika terhidrosilase dengan enzim esterase
pada kornea. Analog prostaglandin menurunkan TIO dengan meningkatkan outflow
humor aqueous melalui jalur uveosklera. Mekanisme pasti perubahan
diakibatkan agen ini dianggap melalui ikatan dengan berbagai reseptor
prostaglandin, khususnya prostaglandin F2α (PGF2α) yang
memicu rangkaian proses yang mengaktifkan matriks metaloproteinase dan kemudian
menghasilkan remodelling dari badan silier, jalinan trabekular dan
matriks ekstraselular sklera, sehingga laju aliran dari humor aqueous melalui
jaringan ini meningkat. Analog prostaglandin merupakan lini pertama dalam
tatalaksana glaucoma (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Zhou et al., 2022).
Analog
prostaglandin yang tersedia saat ini diantaranya adalah latanoprost,
travoprost, bimatoprost, tafluprost dan latanopostene bunod yang merupakan
analog prostaglandin terbaru dengan efikasi yang lebih mampuni dibandingkan
dengan latanoprost dalam menurunkan TIO diurnal rata – rata.
Antagonis
β-Adrenergik
Antagonis
beta adrenergik atau beta blocker merupakan agen topikal yang dapat
menurunkan TIO melalui mekanisme inhibisi produksi cyclic adenosisne
monophosphate (cAMP) pada epitel siliar, sehingga selanjutnya akan mengurangi
sekresi humor aqueous hingga 20 – 50 % yang diikuti penurunan TIO 20 – 30 %.
Terdapat 5 jenis antagonis beta adrenergik topikal yang tersedia untuk terapi
glaukoma diantaranya betaxolol, carteolol, levobunolol, metipranolol dan
timolol yang secara garis besar diberikan dua kali sehari. Berdasarkan
pengalaman klinis yang telah ditunjukkan pada banyak pasien, timolol maleate
0,25% sama efektifnya dengan timolol maleate 0,5% dalam menurunkan TIO (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Efek
samping sistemik dari beta blocker topikal dapat berupa bronkospasme,
bradikardia, hipotensi sistemik, menurunnya toleransi aktivitas dan depresi
sistem saraf pusat. Khusus untuk pasien dengan asma, pemberian agen ini perlu
perhatian sebab reseptor beta-2 ditemukan pada sel – sel otot polos bronkus
sehingga pada pasien asma dapat menginduksi bronkospasme yang dapat mengancam
nyawa (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Schuster et al., 2020).
Agonis
Adrenergik Selektif Alfa-2
Mekanisme
kerja utama agen ini adalah dengan menurunkan produksi humor aqueous.
Adrenoreseptor alfa-2 dijumpai pada epitel siliar yang berpasangan dengan
protein G yang memiliki sifat menghambat. Ketika adrenoreseptor ini berikatan
dengan katekolamin atau ketika secara farmakologis agonis alfa-2 menjadi aktif,
kaskade intraselular akan mengakibatkan penurunan aktivitas adenylate
cyclase dan konsentrasi intraselular dari cAMP yang secara resultan akan
menghasilkan pengurangan pada produksi humor aqueous (Qadir, 2020; Schuster et al.,
2020).
Brimonidine
tartrate merupakan jenis agonis alfa-2 adrenergik yang umum digunakan.
Penelitian menunjukkan bahwa agen tersebut tidak dapat menurunkan TIO
nokturnal. Penggunaan agen ini adalah dua kali sehari dan perlu dikombinasikan
dengan setidaknya satu agen lainnya. Efek samping lokal yang dapat dijumpai
dari penggunaan agen ini adalah reaksi alergi okular maupun blefarodermatitis
kontak. Efek samping sistemik diantaranya adalah xerostomia maupun letargi (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Penghambat
Enzim Karbonik Anhidrase
Penghambat
karbonik anhidrase bekerja dengan menghambat produksi humor aqueous
dengan menghambat enzim karbonik anhidrase yang terdapat pada epitel siliar.
Terapi sistemik penghambat karbonik anhidrase dapat lebih jauh menurunkan
pembentukan humor aqueous karena secara resultan menghasilkan asidosis
metabolik renal yang dapat menurunkan aktivitas dari Na+, K+,-ATPase
pada epitel siliar. Enzim karbonik anhidrase terdapat pada banyak jaringan
termasuk epitel kornea, iris, epitel pigmen retina, sel darah merah, lapisan
sel epitel pada pleksus koroid pada otak dan ginjal (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Greiner et al., 2022; Schuster et al., 2020).
Sediaan
topikal tersedia untuk agen ini misalnya dorzolamide dan brinzolamide yang
tersedia untuk penggunaan jangka panjang untuk TIO yang meningkat dan
berhubungan dengan efek samping sistemik yang lebih rendah dibandingkan agen
ini jika diberikan secara sistemik. Penggunaannya yang dianjurkan adalah 3 kali
sehari (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Greiner et al., 2022; Schuster et al., 2020).
Penghambat
karbonik anhidrase sistemik dapat diberikan secara oral maupun intravena dan
bermanfaat pada pasien dengan TIO yang meningkat tajam misalnya pada kasus
glukoma sudut tertutup. Asetazolamide dan methazolamide merupakan agen oral
yang tersedia, yang mana asetazolamide merupakan agen yang lebih efektif
dibandingkan dengan methazolamide. Dosis tipikal asetazolamide pada orang
dewasa adalah 250 mg sebanyak empat kali sehari sedangkan methazolamide efektif
jika diberikan pada dosis 25 – 50 mg diberikan 2 atau 3 kali sehari (Greiner et al., 2022;
Schuster et al., 2020).
Efek
samping yang umum diakibatkan oleh agen topikal obat golongan ini adalah
gangguan pengecapan, penglihatan kabur, dan keratopati pungtata. Efek samping
penghambat enzim karbonik anhidrase sistemik adalah asidosis metabolik sebab
dari penjelasan sebelumnya agen ini dapat menghasilkan hilangnya bikarbonat
pada urin yang menghasilkan sifat asam dalam darah. Alasan tersebut membuat
perlunya menanyakan riwayat penyakit ginjal dan pemeriksaan fungsi ginjal
sebelum memberikan agen ini (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Agen Parasimpatomimetik
Agen
parasimpatomimetik atau miotik, yaitu pilokarpin dapat digunakan untuk
tatalaksana glaukoma pada beberapa keadaan meskipun tidak umum diresepkan untuk
penggunaan jangka panjang. Agen ini baik digunakan pada keadaan misalnya
peningkatan TIO tiba – tiba saat lari dan manajemen TIO pada mata afakia atau
pada pasien dengan sudut yang tetap teroklusi meskipun sudah dilakukan operasi
iridotomi. Agen ini biasanya diberikan sebanyak 3 – 4 kali sehari (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Agen
parasimpatomimetik menghasilkan aliran humor
aqueous menjadi lancar dengan membuka jalinan trabekular dan melebarkan
kanal Schlemm. Pilokarpin dapat menurunkan TIO sebanyak 15 – 25% (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Schuster et al., 2020).
Pilokarpin
dikaitkan dengan beberapa efek samping misalnya miopia yang diinduksi dari
kontraksi otot siliar. Keadaan ini juga dikaitkan dengan ablasio retina
sehingga pemeriksaan retina perifer disarankan sebelum memulai terapi dengan
obat ini (American Academy of
Ophthalmology, 2023).
Penghambat
Rho Kinase
Aktivitas
rho kinase adalah meningkatkan fosforilasi dan aktivasi dari fosfatase rantai
ringan miosin. Rho kinase (ROCK 1 dan ROCK2) mengaktifkan protein G yang
meregulasi berbagai aspek dari struktur sel termasuk kekakuan sel, morfologi
sel, adhesi sel, apoptosis dan kontraksi otot polos. Penghambat Rho kinase
mengurangi TIO dengan merelaksasikan sitoskeleton pada sel – sel jalinan
trabekular dan kanal Schlemm yang meningkatkan aliran keluar humor aqueous
(Mohan et al., 2022).
Ripasudil
merupakan contoh penghambat Rho kinase yang diakui sebagai agen glaukoma
pertama kali di Jepang namun di Amerika Serikat, agen tersebut tidak diakui
namun Netarsudil yang juga masuk golongan penghambat Rho kinase disetujui
penggunaannya oleh US Food and Drugs Administration (FDA), dosisnya
adalah sekali sehari. Efek samping tersering dari agen penghambat Rho kinase
adalah hiperemis kongjungtiva (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Mohan et al., 2022).
Agen
Hiperosmotik
Agen
hiperosmotik digunakan pada episode akut peningkatan TIO yang parah. Contoh
agen ini adalah gliserol dan manitol intravena. Ketika diberikan secara
sistemik, agen hiperosmotik ini meningkatkan osmolalitas darah, menciptakan
gradien osmotik antara darah dan vitreus humor yang menarik air dari
kavitas vitreus dan menurunkan TIO. Semakin besar dosis agen hiperosmotik yang
diberikan maka semakin tinggi juga efek penurunan TIO yang dihasilkan (American Academy of Ophthalmology,
2023).
Agen
hiperosmotik hanya diberikan dalam waktu singkat karena efeknya yang hanya
sementara. Efek samping yang dapat dihasilkan adalah sakit kepala, kebingungan,
nyeri pinggang, dan gagal jantung. Gliserol perlu perhatian khusus pada pasien
diabetes melitus karena bisa memicu hiperglikemia dan bahkan ketoasidosis. Obat
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Schuster et al., 2020).
Kombinasi
terapi medimentosa untuk glaukoma sudut terbuka
Analog
prostaglandin yang dikombinasikan dengan β-blocker merupakan pilihan
yang sesuai sebagai lini pertama untuk glaukoma sudut terbuka karena
efektivitasnya yang unggul, hanya diberikan sehari sekali dan cukup aman dalam
hal efek samping. Jika kedua rejimen tersebut dikontraindikasikan maka dokter
dapat meresepkan penghambat Rho kinase, agonis alfa – adrenergik maupun
penghambat enzim karbonik anhidrase topical (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Mohan et al., 2022).
Tatalaksana
akut untuk glaukoma sudut tertutup
Tujuan
terapi pada keadaan glaukoma sudut tertutup dimana terdapat peningkatan TIO
akut adalah untuk mencegah kerusakan pada nervus optikus dan menurunkan edema
pada kornea. Agen yang digunakan untuk menurunkan TIO secara cepat adalah agen
hiperosmotik dan penghambat karbonik anhidrase sistemik sebelum dilakukan
tatalaksana definitive (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Mohan et al., 2022).
Tatalaksana
Bedah
Pembedahan
pada glaukoma dirancang untuk menurunkan TIO dengan menurunkan aliran humor
aqueous maupun menurunkan produksi humor aqueous. Bedah insisi
merupakan tatalaksana lini pertama. Pembedahan diperlukan pada situasi dimana
pengobatan medikamentosa tidak mempan atau saat pengobatan sudah maksimal namun
glaukoma tetap memburuk (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Mohan et al., 2022; Qadir, 2020; Schuster et al., 2020).
Laser
Trabeculoplasty (LTP)
Laser
Trabeculoplasty (LTP) merupakan
prosedur di mana energi laser ditempatkan pada jalinan trabekular pada titik
yang terpisah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menurunkan TIO dengan
meningkatkan kelancaran aliran humor aqueous. Tindakan ini hanya
diindikasikan pada pasien dengan glaukoma sudut terbuka atau hipertensi ocular (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Mohan et al., 2022; Qadir, 2020; Schuster et al., 2020).
Prosedur
Sikloreduksi
Prosedur
lainnya adalah siklodestruksi bertujuan mengurangi produksi humor aqueous
melalui proses penghancuran dengan sengaja epitel siliar yang tidak berpigmen.
Prosedur ini dapat diterapkan pada seluruh jenis glaucoma (Qadir, 2020).
Laser
Peripheral Iridotomy
Pada
prosedur ini, energi laser digunakan untuk menciptakan lubang pada bagian iris
perifer yang menyediakan jalur alternatif agar humor aqueous dapat
melewati bilik mata depan. Iridotomi merupakan prosedur yang diindikasikan
untuk kasus glaukoma sudut tertutup (Schuster et al., 2020).
Peripheral
Iridoplasty
Prosedur
iridoplasty dilakukan dengan menggunakan laser thermal pada stroma iris dan
kemudian mengakibatkan kontraksi serat kolagen dan penipisan iris bagian
perifer. Prosedur ini diindikasikan untuk mencegah pengembangan dari penyakit
glaukoma sudut tertutup yang tidak membaik setelah iridotomi perifer (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Qadir, 2020).
Trabekulektomi
Trabekulektomi
merupakan prosedur insisi dimana fistula diciptakan diantara bilik mata depan
dan cavum subkonjungtiva, menciptakan jalur bypass aliran aqueous
normal. Prosedur ini dapat diterapkan
bagi pasien yang sudah mencoba pengobatan medikamentosa dan terapi laser namun
tidak mencukupi untuk mencegah kerusakan progresif (American Academy of
Ophthalmology, 2023; Qadir, 2020)
Glaukoma
merupakan penyakit mata yang memerlukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat
untuk mencegah kebutaan, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan
mencari faktor risiko dan gejala yang berkaitan dengan glaukoma, pemeriksaan
fisik dan penunjang seperti OCT, foto fundus, perimetri dan pakimetri.
Tatalaksana terdiri dari tatalaksana medikamentosa dimana pada kasus glaukoma
kronik, analog prostaglandin yang dikombinasikan dengan beta blockers nerupakan
lini pertama sedangkan pada glaukoma akut sebelum tatalaksana definitif, perlu
diberikan agen hiperosmotik maupun penghambat karbonik anhidrase sistemik.
Tatalaksana bedah diperlukan untuk pasien dengan perburukan glaukoma meskipun
sudah diberikan terapi medikamentosa yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Allison, K., Patel, D., & Alabi, O. (2020). Epidemiology
of glaucoma: the past, present, and predictions for the future. Cureus, 12(11).
American Academy of Ophthalmology.
(2023). BCSC 10: Glaukoma.
Badawi, A. H., Al-Muhaylib, A. A., Al
Owaifeer, A. M., Al-Essa, R. S., & Al-Shahwan, S. A. (2019). Primary
congenital glaucoma: An updated review. Saudi Journal of Ophthalmology, 33(4),
382–388.
Belovay, G. W., & Goldberg, I.
(2018). The thick and thin of the central corneal thickness in glaucoma. Eye,
32(5), 915–923.
Edmunds, B., Loh, A., Fenerty, C.,
& Papadopoulos, M. (2015). Secondary Glaucoma: Glaucoma Associated with
Acquired Conditions. American Academy of Opthalmology.
https://www.aao.org/education/disease-review/secondary-glaucoma-glaucoma-associated-with-acquir
EyeWiki AAO. (2022). Standard
Automated Perimetry.
Greiner, R. C., Beasley, H. M.,
Bodhireddy, H., Bouterse, C. R., Eggleston, M. T., & Pfeiffer, D. C.
(2022). Revisiting acidosis in acetazolamide treatment of severe glaucoma: A
case report. American Journal of Ophthalmology Case Reports, 27,
101658.
Hemelings, R., Elen, B.,
Barbosa-Breda, J., Blaschko, M. B., De Boever, P., & Stalmans, I. (2021).
Deep learning on fundus images detects glaucoma beyond the optic disc. Scientific
Reports, 11(1), 20313.
Kanadani, F. N., Moreira, T. C. A.,
Campos, L. F., Vianello, M. P., Corradi, J., Dorairaj, S. K., Freitas, A. L.
A., & Ritch, R. (2016). A new provocative test for glaucoma. Journal of
Current Glaucoma Practice, 10(1), 1.
Kanski, J. J., & Bowling, B. (2011).
Clinical ophthalmology: a systematic approach. Elsevier Health Sciences.
Kementrian Kesehatan RI. (2019). Pusat
Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi Glaukoma di Indonesia.
Killer, H. E., & Pircher, A.
(2018). Normal tension glaucoma: review of current understanding and mechanisms
of the pathogenesis. Eye, 32(5), 924–930.
Krogmann, F. (2019). 2000 years
under pressure – The history of glaucoma research. Acta Ophthalmol. Dec
19;97(S263).
McMonnies, C. W. (2017). Glaucoma
history and risk factors. Journal of Optometry, 10(2), 71–78.
Mohan, N., Chakrabarti, A., Nazm, N.,
Mehta, R., & Edward, D. P. (2022). Newer advances in medical management of
glaucoma. Indian Journal of Ophthalmology, 70(6), 1920.
Nolan, W., & Onakoya, A. (2021).
Gonioscopy skills and techniques. Community Eye Health, 34(112),
40.
Qadir, M. I. (2020).
Glaucoma-Etiology, Pathophysiology and Management. Biomedical Journal of
Scientific & Technical Research, 30(5), 23695–23698.
Schuster, A. K., Erb, C., Hoffmann,
E. M., Dietlein, T., & Pfeiffer, N. (2020). The diagnosis and treatment of
glaucoma. Deutsches Ärzteblatt International, 117(13), 225.
Stein, H., Stein, R., Freeman, M.,
& Stein, S. (2023). The Ophthalmology Assistant (11th ed.).
Elsevier.
Thomas, R., & Parikh, R. S.
(2006). How to assess a patient for glaucoma. Community Eye Health, 19(59),
36.
Yanoff, M., & Duker, J. S.
(2019). Oftalmologia. Elsevier.
Zhou, L., Zhan, W., & Wei, X.
(2022). Clinical pharmacology and pharmacogenetics of prostaglandin analogues
in glaucoma. Frontiers in Pharmacology, 13, 1015338.
This
work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License. |