1197 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 3 NOMOR 11 2023
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
PELUANG DAN TANTANGAN BAGI PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI
TENGAH AGENDA MIC 2025 TIONGKOK
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini, Sovira Hikari Luna Shinkoo
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Kata kunci:
MiC 2025; MNC;
China
Keywords:
MiC 2025; MNCs;
China
ABSTRAK
Latar Belakang: Sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978, perusahaan multinasional
mulai berdatangan, berinvestasi, dan beroperasi di Tiongkok. Hal ini dikarenakan
Tiongkok memiliki upah yang rendah, pasar yang besar, dan kebijakan pemerintah yang
longgar. Tiongkok sering dikaitkan dengan persepsi negatif sebagai pusat tenaga kerja
murah dan produk berkualitas rendah. Agenda MiC 2025 bertujuan untuk mengubah
persepsi negatif tersebut. Selain itu, agenda ini juga bertujuan untuk mengejar
ketertinggalan Tiongkok dalam bidang teknologi tinggi di pasar global. Tulisan ini
menggunakan teori neo-merkantilisme dengan asumsi bahwa inisiasi pemerintah
Tiongkok untuk mengakumulasi kekayaan negara dengan cara melindungi pasar dalam
negeri dan mendukung investasi asing. Melalui MiC 2025, pemerintah berencana
memperkuat dominasi Tiongkok di pasar global.
Tujuan: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh agenda MiC 2025
terhadap perusahaan multinasional (MNC) di Tiongkok.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
Hasil: Hasilnya menunjukkan bahwa MNC mendapatkan peluang sekaligus tantangan
dari realisasi agenda MiC 2025 yang penulis bagi menjadi 4 subbab besar yaitu 1)
persaingan ekonomi, 2) kolaborasi dan transfer teknologi, 3) robotisasi tenaga kerja, dan
4) perang tarif dengan Amerika Serikat.
Kesimpulan: MNC perlu beradaptasi dan melakukan restrukturisasi di tengah agenda
MiC 2025 yang dicanangkan pemerintah agar dapat beroperasi secara optimal.
ABSTRACT
Background: Since the economic reforms in 1978, multinational companies have begun
to arrive, invest, and operate in China. This was because China had low wages, huge
markets, and loose government policies. China is often associated with a negative
perception as a center for cheap labor and low-quality products. The MiC 2025 agenda
aims to change that negative perception. Besides, this agenda also plans to catch up with
China's high-tech in the global market. This paper uses the neo-mercantilism theory,
assuming that the Chinese government's initiation to accumulate state wealth by
protecting the domestic market and supporting foreign investment. Through MiC 2025,
the government plans to strengthen China's dominance in the global market.
Purpose: This paper aims to describe the influence of the MiC 2025 agenda on
multinational companies (MNCs) in China.
Methods: This research uses descriptive qualitative research methods.
Results: The results show that MNCs receive both opportunities and challenges from the
realization of the MiC 2025 agenda, which the author divides into 4 major subchapters,
Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Multinasional
di Tengah Agenda MiC 2025 Tiongkok
2023
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini,
Sovira Hikari Luna Shinko 1198
namely 1) economic competition, 2) collaboration and technology transfer, 3)
robotization of labor, and 4) tariff war with the United States.
Conclusion: MNCs need to adapt and restructure amidst the MiC 2025 agenda initiated
by the government to operate optimally.
PENDAHULUAN
Desakan dunia internasional untuk membuka pasar global mendorong Tiongkok
untuk melakukan reformasi ekonomi pada tahun 1978. Reformasi di era Deng Xiaoping ini
memberlakukan kebijakan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy) yang menyebabkan
banyak perusahaan multinasional (Multi National Company/MNC) berdatangan ke
Tiongkok dan beroperasi baik dalam lingkup domestik maupun internasional (Oswin et al.,
2019). Tiongkok menjadi tujuan potensial bagi perusahaan asing karena beberapa hal,
diantaranya gaji/upah pekerja yang minim, target pasar yang besar, dan kebijakan
pemerintah yang longgar (Goldstein, 2019). Pada kuarter pertama tahun 2023, Tiongkok
menjadi negara ketiga terbesar penerima dan pemberi investasi asing langsung (Foreign
Direct Investment/FDI) dengan masing-masing jumlah investasi mencapai 21 miliar USD
dan 50 miliar USD (Pantelopoulos, 2023). Perusahaan multinasional cukup memberikan
dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dengan pertumbuhan PDB
riil sekitar 10% per tahun dalam kurun waktu 29 tahun terhitung sejak 1990-2019 (Peng,
2012). Keuntungan ini didapat dari lapangan kerja yang diserap dan proporsi ekspor yang
tinggi dari perusahaan multinasional terutama perusahaan yang menanamkan modal asing
(Foreign Invested Enterpises/FIE).
Kesuksesan perusahaan multinasional di Tiongkok tidak terlepas dari tantangan
yang mengiringinya. Rendahnya upah tenaga kerja beriringan dengan tingginya pasar lokal
menimbulkan persepsi yang melekat pada Tiongkok yaitu sebagai pusat pabrik dunia yang
menghasilkan produk murah dengan kualitas rendah (Fang & Walsh, 2018). Oleh karena
itu, pemerintah Tiongkok menginisiasi agenda Buatan Tiongkok (Made in Tiongkok/MiC
2025) sebagai bentuk perubahan persepsi negatif terhadap idustri Tiongkok. MiC 2025
berusaha untuk mengurangi ketergantungan industri Tiongkok terhadap teknologi asing
dengan menargetkan penambahan komponen teknologi lokal sebesar 40% pada tahun 2020
dan 70% pada tahun 2025 (Kennedy, 2015). Agenda MiC 2025 dianggap sebagai langkah
yang tepat untuk mengatasi persaingan dagang internasional yang semakin mengedepankan
penggunaan teknologi, salah satunya dalam industri manufaktur.
Namun, agenda MiC 2025 tidak sepenuhnya menjadi langkah yang tepat bagi
perusahaan multinasional. Brown, (2016) dalam artikel jurnal yang berjudul “Made in
Tiongkok 2025: Implications of Robotization and Digitalization on Perusahaan
Multinasional Labor Supply Chains and Workers’ Labor Rights in Tiongkok”, menjelaskan
mengenai pengaruh agenda MiC 2025 terhadap rantai pasokan tenaga kerja perusahaan
multinasional di Tiongkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agenda MiC 2025 yang
berusaha melakukan perubahan fungsi tenaga kerja dengan robot berdampak pada
menurunnya efektifitas nilai tenaga kerja. Hal ini menyebabkan perusahaan multinasional
berpotensi untuk menarik investasi dari Tiongkok dan kembali beroperasi di negara asal
dengan menggunakan teknologi robot daripada menggunakan tenaga kerja Tiongkok. Hal
ini terjadi karena asumsi bahwa teknologi robot akan lebih efisien daripada tenaga kerja
yang masih harus memerhatikan hak dan hukum dalam mempekerjakan tenaga kerja (L. D.
Brown, 2003). Artikel ini menguraikan secara singkat mengenai peluang dan tantangan
perusahaan multinasional. Digitalisasi dapat meningkatkan persaingan ekonomi secara
besar-besaran antara perusahaan lokal dengan perusahaan multinasional. Namun,
digitalisasi ini juga dapat memberikan peluang bagi perusahaan yang bergerak dalam sektor
prioritas agenda MiC 2025. Perusahaan multinasional dapat berkolaborasi dan
menyediakan komponen penting, teknologi, dan manajemen kepada perusahaan lokal (C.
M. Brown et al., 2021).
Volume 3, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1199 http://sosains.greenvest.co.id
Tulisan ini berusaha untuk menguraikan secara rinci pengaruh agenda MiC 2025
terhadap eksistensi perusahaan multinasional di Tiongkok. Penulis berargumen bahwa
perusahaan multinasional berpotensi mendapatkan peluang dan ancaman dari agenda
reformasi ekonomi ini. Oleh karena itu, tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
langkah yang tepat bagi perusahaan multinasional dalam memanfaatkan peluang dan
mengatasi ancaman yang mungkin muncul dalam keberlangsungan agenda MiC 2025.
Penelitian ini menggunakan teori neo-merkantilisme sebagai landasan teori untuk
menganalisis peluang dan tantangan bagi perusahaan multinasional di tengah agenda MiC
2025 Tiongkok. Teori neo-merkantilisme merupakan teori yang dikembangkan dari teori
merkantilisme klasik. Teori merkantilisme klasik merupakan teori yang mengukur
kemakmuran suatu negara dari banyaknya emas dan perak yang dimiliki. Oleh karena itu,
teori ini menjustifikasi pengumpulan kekayaan sebesar-besarnya guna mencapai
kepentingan nasional. Teori ini juga menjelaskan bahwa suatu negara berpotensi
menerapkan kebijakan proteksionisme untuk melindungi perekonomian dalam negeri,
salah satunya dengan mendorong ekspor dan membatasi impor. Timothy C. Lim
mengungkapkan pembaruan dalam neo-merkantilisme dimana suatu negara tidak lagi
bergantung kepada cadangan emas dan perak, tetapi juga cadangan devisa negara terutama
mata uang asing (Lim, 2014). Negara juga cenderung protektif dan lebih memperhatikan
industri pasar domestiknya (Lim, 2014). Pemerintah kerap kali ikut campur dalam
pengembangan industri pasar domestik, salah satunya dengan menggunakan kampanye
nasionalisme untuk mendorong penjualan produk domestik agar tidak kalah dengan produk
asing (Lim, 2014). Oleh karena itu, pemerintah memegang peran penting dalam
pertumbuhan ekonomi negara.
Teori neo-merkantilisme menganggap bahwa campur tangan pemerintah pusat itu
penting tidak hanya pada pasar internasional, tetapi juga pada pasar domestik untuk
mengelola perekonomian di suatu negara. Teori ini dapat melihat bagaimana campur
tangan pemerintah Tiongkok terkait dengan kebijakan domestik agenda MiC 2025. Sebagai
inisiator, pemerintah ikut berkontribusi dalam mewujudkan agenda MiC 2025 dengan
tujuan untuk mendominasi pasar global. Teori neo-merkantilisme cocok digunakan untuk
analisis kebijakan pemerintah Tiongkok yang lain, seperti ketika Tiongkok menerapkan
Dual Circulation Strategy (GIS Reports, 2021), yang mana strategi tersebut bertujuan
untuk menguatkan pasar domestik dengan cara meningkatkan peran konsumen,
memajukan teknologi, serta meningkatkan industri manufaktur dan jasa. Di samping
memperkuat pasar domestik, Tiongkok juga membuka investasi untuk asing yang
dimanfaatkan untuk transfer teknologi agar pasar lokal juga berkembang (Rooi et al.,
2023).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode
deskriptif diartikan sebagai metode penelitian dengan menggambarkan subjek dan objek
beserta fakta-fakta dari sumber yang dapat dipercaya, seperti karya ilmiah, buku, artikel,
dan publikasi relevan yang berkaitan dengan topik penelitian. Penggambarannya dilakukan
secara kualitatif berdasarkan keadaan sebenarnya dengan menggali fakta secara
menyeluruh dan mendalam. Melalui metode ini akan membantu mengeksplorasi dan
menganalisis tentang peluang dan tantangan bagi perusahaan multinasional di tengah
agenda MiC 2025 tiongkok.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perusahaan Multinasional di Tiongkok
Perusahaan Multinasional adalah perusahaan yang beroperasi di dua negara atau
lebih. Perusahaan Multinasional di Tiongkok dibedakan menjadi dua, yaitu perusahaan
multinasional milik Tiongkok yang beroperasi di Tiongkok, dan yang kedua yaitu Foreign
Invested Enterprise (FIE). FIE merupakan perusahaan multinasional asing yang melakukan
investasi di Tiongkok dan beroperasi di Tiongkok, FIE biasanya akan menaati norma dan
Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Multinasional
di Tengah Agenda MiC 2025 Tiongkok
2023
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini,
Sovira Hikari Luna Shinko 1200
aturan pemerintah yang ada pada home country (Dalla Valle, 2021)vv.Istilah FIE sendiri
sering digunakan di wilayah Asia terutama Tiongkok.
Tiongkok adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia (IDX
Channel, 2023). Hal ini dapat dilihat dari pendapatan PDB Tiongkok pada tahun 2022
sebesar $17,96 triliun kemudian pada tahun 2023 pendapatan PDB Tiongkok $19,3 triliun
(The World Bank, 2019). Perkembangan yang cukup pesat ini didasari oleh keinginan
Tiongkok untuk terus mengembangkan perekonomiannya. Melihat perkembangan
Tiongkok yang begitu pesat, para investor asing melihat hal tersebut sebagai peluang untuk
berinvestasi terutama para perusahaan multinasional asing (Seong et al., 2023). Oleh
karena itu, Tiongkok menjadi salah satu negara tujuan perusahaan multinasional untuk
menanamkan modalnya.
Selain menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, faktor populasi
menjadi faktor lain yang menjadikan Tiongkok sebagai tempat strategis oleh perusahaan
multinasional asing untuk menanamkan modalnya. Populasi Tiongkok yang mencapai
1,425 miliar jiwa pada tahun 2023 Yao et al., (2013), dipastikan bahwa tingkat konsumen
di Tiongkok tinggi (Wang, 2000). Hal tersebut menjadikan Tiongkok sebagai ladang
pekerja bagi perusahaan multinasional yang ingin berinvestasi. Jika dibandingkan dengan
negara lain Tiongkok merupakan pilihan yang tepat bagi perusahaan multinasional yang
ingin berhemat, karena tingkat efisiensi pekerja di Tiongkok lebih tinggi dan dapat dibayar
dengan upah yang rendah. Jika dibandingkan dengan negara lain rata-rata upah pekerja
dalam bidang manufaktur adalah $6.50 perjam dan efisiensinya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara bidang manufaktur dengan pekerja upah rendah lainnya
seperti Vietnam dan Mesiko. Meskipun jika dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki
upah rata-rata $2.99 namun efisiensi pekerja Vietnam adalah sepertiga pekerja Tiongkok,
jadi jika dipertimbangkan akan lebih murah menanamkan modal di Tiongkok.
Selain itu, ada beberapa kebijakan pemerintah Tiongkok yang dianggap
menguntungkan bagi perusahaan asing yang ingin menanamkan modalnya, hal ini menjadi
magnet tersendiri bagi perusahaan multinasional. Kebijakan tersebut diantaranya seperti
fleksibilitas dalam merekrut pekerja, kemudahan dalam mengurus administrasi
pemerintahan, untuk impor peralatan pada proyek penanaman modal asing dibebaskan dari
bea masuk, akses harga lahan yang lebih murah serta peraturan penggunaan lahan yang
lebih longgar.
Banyaknya perusahaan perusahaan multinasional yang melakukan FDI di Tiongkok
membuat perusahaan multinasional lokal Tiongkok harus bersaing dan menemukan target
pasarnya tersendiri agar tidak kalah dengan perusahaan multinasional asing yang masuk
dan meluaskan pasarnya di Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan dulunya Tiongkok dikenal
sebagai negara dengan persaingan pasar yang rendah jika dibandingkan dengan negara Asia
lainya yang pada saat itu sudah mengembangkan tekhnologi modern. Setelah adanya
kebijakan Open Door Policy, banyak perusahaan barat maupun asia yang berinvestasi dan
beroprasi di Tiongkok. Sebagai contoh, Korea Selatan dalam industri elektronik dan
otomotifnya, seperti merk Hyundai, Samsung, LG, dan Kia (Lundvall & Rikap, 2022).
Kemudian, untuk perusahaan tekhnologi dan retail dari barat seperti Apple dan Walmart
(Lundvall & Rikap, 2022).
Disamping beroperasinya perusahaan multinasional asing di Tiongkok, perusahaan
multinasional lokal Tiongkok juga terus berinovasi dan mengikuti perkembangan
tekhnologi. Ada beberapa perusahaan multinasional lokal Tiongkok yang terus-terusan
bersaing dan berkembang pesat, seperti Lenovo, Huawei, dan EV Maker NIO.
Agenda MiC 2025
MiC (Made in Tiongkok) 2025 adalah sebuah strategi nasional yang diterbitkan oleh
pemerintah Tiongkok pada tahun 2015. Strategi ini dimaksudkan untuk mengembangkan
dan mengkonsolidasi perekonomian pada bidang industri manufaktur secara menyeluruh
(Balderrama & Trejo, 2018). MiC 2025 merupakan fase pertama dari 3 fase yang
Volume 3, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1201 http://sosains.greenvest.co.id
diupayakan Tiongkok untuk mendominasi rantai pasokan global serta mempengaruhi
standar internasional (CRS, 2019). Pada fase berikutnya yaitu pada tahun 2035, pemerintah
Tiongkok akan fokus pada pengembangan industri manufaktur di tingkat menengah serta
meningkatkan inovasi dan menciptakan produk terobosan baru. Kemudian pada fase
terakhir yaitu pada tahun 2049, perkembangan industri manufaktur di Tiongkok akan
mencapai puncaknya yang mana produk-produk Tiongkok akan mendominasi pasar global.
Fase terakhir pada tahun 2049 memiliki makna tersendiri untuk pemerintah dan masyrakat
Tiongkok yang mana tahun tersebut menepati peringatan 100 tahun berdirinya RRC
(Balderrama & Trejo, 2018).
Strategi MiC 2025 juga dimaksudkan untuk melindungi posisi Tiongkok sebagai
kekuatan internasional dalam industri teknologi tinggi (ISDP, 2018). Pemerintah Tiongkok
melalui Kementrian Perindustrian dan Teknologi Informasi mengambil langkah
modernisasi struktur produktif dalam industri manufaktur sebagai langkah awal dalam MiC
2025. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas produksi dan juga
menjadi peluang untuk menciptakan produk-produk unggul yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Modernisasi struktur produktif juga merupakan salah satu upaya
pemerintah Tiongkok untuk mengubah persepsi global mengenai produk Tiongkok yang
dikenal sebagai produk murah dengan kualitas rendah.
Pada projek MiC 2025, Pemerintah Tiongkok berusaha untuk mengurangi
ketergantungan Tiongkok dalam impor teknologi asing. Tiongkok menargetkan kenaikan
jumlah kandungan komponen serta bahan inti dalam negeri yaitu 40% pada tahun 2020 dan
70% pada tahun 2025 (Kennedy, 2015). Pemerintah Tiongkok juga melakukan investasi
dalam jumlah besar kepada inovasi-inovasi lokal, sehingga perusahaan lokal dapat bersaing
baik pada tingkat nasional maupun internasional (ISDP, 2018). Investasi yang diberikan
berupa bantuan dana dalam bentuk pinjaman serta subsidi untuk penelitian dan
pengembangan terkait dengan inovasi baru yang menekankan pada kualitas produk.
Investasi yang berfokus pada kualitas produk ini nantinya akan mengembangkan inovasi
teknologi dan manufaktur yang unggul sehingga teknologi-teknologi yang dihasilkan akan
sulit untuk ditiru. Hal tersebutlah yang nantinya menjadikan produk Tiongkok sebagai
produk yang mendominasi pasar global.
Sejauh ini menurut para ahli, dukungan Pemerintah Tiongkok dalam hal finansial
sangatlah besar. Setiap proyek pengembangan MiC 2025 akan mendapatkan bantuan dana
sebesar 30 - 50 juta Yuan (Zheng & Lavruhina, 2019). Angka tersebut jika dikonversikan
ke dalam USD akan setara dengan 4,10 juta - 6,83 Juta USD. Selain itu, para ahli juga
menyebutkan untuk proyek-proyek teknologi umum atau utama akan memperoleh
dukungan dana lebih dari 100 juta Yuan atau lebih dari 13,66 Juta USD (Zheng &
Lavruhina, 2019). Terhitung pada tahun 2019, jumlah proyek MiC 2025 yang mendapatkan
dukungan finansial dari pemerintah Tiongkok telah mencapai lebih dari 100 proyek (Zheng
& Lavruhina, 2019). Hal tersebut berarti bahwa pemerintah Tiongkok sudah menyalurkan
lebih dari 10 miliar Yuan untuk projek MiC 2025 pada tahun 2019.
Projek MiC 2025 berfokus pada 10 sektor industri yang menjadi prioritas utama.
Sektor-sektor tersebut adalah teknologi informasi baru, peralatan mesin otomatis dan
robotika, peralatan dirgantara dan penerbangan, peralatan teknik kelautan dan kapal
teknologi tinggi, peralatan kereta api, kendaraan hemat energi dan energi terbarukan,
peralatan listrik, peralatan pertanian, bahan baru, serta biofarmasi dan produk kesehatan
tingkat lanjut (Balderrama & Trejo, 2015). Pada sektor tersebutlah, pemerintah Tiongkok
menyalurkan bantuan dana berupa investasi yang akan mendukung perkembangan masing-
masing sektor. Pemerintah Tiongkok juga melakukan beberapa upaya untuk mengukur
kinerja masing-masing sektor dari 2015 hingga 2025. Upaya tersebut berupa indikator
kinerja utama yang meliputi biaya penelitian dan pengembangan, paten, daya saing
manufaktur, penetrasi Broadband dan lain-lain (Sprugel, 2023).
Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Multinasional
di Tengah Agenda MiC 2025 Tiongkok
2023
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini,
Sovira Hikari Luna Shinko 1202
Tabel 1.Perusahaan Besar di 10 Sektor Utama di MiC 2025 (O'Connor, 2018)
Sektor Industri
Perusahaan Besar Tiongkok
Teknologi Informasi Baru
Perusahaan Huawei
Teknologi
Perusahaan ZTE
Tencent
Peralatan Mesin Otomatis
dan Robotika
Perusahaan Peralatan CNC
GSK
Perusahaan Kontrol
Numerik Huazhong
Wuhan (HNC)
Perusahaan Peralatan
Mesin Shenyang
Perusahaan Robot &
Otomasi SIASUN
Perusahaan Industri Riland
Shenzhen
Teknologi Jasic Shenzhen
Peralatan Dirgantara dan
Penerbangan
Perusahaan Industri
Penerbangan Tiongkok
(AVIC)
COMAC
Perusahaan Pesawat Xi'an
Peralatan Teknik Kelautan
dan Kapal Teknologi
Tinggi
Perusahaan Pembuatan
Kapal Negara Tiongkok
(CSSC)
Perusahaan Industri
Pembuatan Kapal Tiongkok
(CSIC)
Perusahaan CMA CGM
Peralatan Kereta Api
Perusahaan Terbatas
CRRC
Perusahaan Sinyal Kereta
Api Shenyang
Perusahaan Grup Listrik
Chuan Tse
Kendaraan Hemat Energi
dan Energi Terbarukan
Perusahaan BYD
Perusahaan BAIC Grup
Perusahaan Mobil Chery
Peralatan Listrik
Perusahaan Grup XUJI
Perusahaan Teknologi
ARI
Perusahaan ‘Tiongkok
Datang’
Volume 3, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1203 http://sosains.greenvest.co.id
Peralatan Pertanian
Perusahaan Grup Yunchai
Perusahaan Industri Berat
Internasional Foton Lovol
Perusahaan Listrik
Weichai
Bahan Baru
Perusahaan Teknologi
Tinggi Huateng Beijing
Perusahaan Dongguan
EONTEC
Perusahaan ENE-Karbon
Biofarmasi dan Produk
Kesehatan Tingkat Lanjut
Perusahaan Grup Farmasi
Yantai Dongcheng
Perusahaan Tongrentang
(TRT)
Perusahaan Instrumen
Medis Zhuhai Hokai
Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Tiongkok telah melakukan
konsolidasi di beberapa perusahaan lokal pada sektor-sektor penting yang menjadi fokus
utama MiC 2025. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tujuan Tiongkok dalam
meningkatkan kapasitas bahan inti dalam negeri tidak serta merta menghilangkan
kesempatan untuk bekerjasama dengan perusahaan multinasional dalam 10 sektor utama.
Rencana perwujudan MiC 2025 didukung oleh beberapa kebijakan, salah satunya
adalah kebijakan ‘Internet Plus’ yang diresmikan ditahun yang sama dengan MiC 2025
yaitu pada tahun 2015. Kebijakan Internet plus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk
mengintegrasi penggunaan internet pada industri manufaktur tradisional di seluruh
wilayah/prefektur Tiongkok terutama yang menjadi pusat pengembangan 10 sektor inti
dalam MiC 2025 (Hvistendahl & Pardhi, 2020). Prefektur/wilayah tersebut antara lain
adalah Shenzen, Beijing, Shanghai, Shenyang, Guangdong, dan lain-lain.
Perusahaan teknologi Huawei yang berfokus pada sektor teknologi dan informasi
diyakini menjadi salah satu kunci pemerintah Tiongkok dalam MiC 2025 (Hvistendahl &
Pardhi, 2020). Salah satu produk yang dikembangkan oleh Huawei adalah teknologi
jaringan 5G yang menjadi strategi pemerintah Tiongkok dalam MiC 2025. Pengembangan
teknologi 5G ini diyakini akan sangat membantu, tidak hanya pada pereknomian negara
tetapi juga pada asek sosial masyarakat. 5G menciptakan revolusi industri keempat dengan
mengintegrasikan dunia digital, biologis, dan fisik (TEKİR, 2020). Adanya jaringan 5G
menciptakan sistem yang otonom dan cerdas melalui dorongan data dan pembelajaran
mesin sehingga meningkatkan dan mengembangkan produksi industri.
Upaya pemerintah Tiongkok dalam mendukung pengembangan jaringan 5G dapat
dilihat melalui pembangunan jaringan kabel optik lintas batas. Pemerintah Tiongkok telah
meningkatkan 7% pembangunan kabel optik lintas batas di wilayah selatan pada tahun
2012-2015 serta 20% pada tahun 2016-2019 (TEKİR, 2020). Kabel optik ini akan sangat
penting bagi perkembangan jaringan 5G. Kabel inilah yang akan meningkatkan arus lalu
lintas data antar negara. Dengan pembangunan infrastruktur kabel optik lintas batas,
perusahaan-perusahaan di Tiongkok dapat memanfaatkan jaringan 5G dengan lebih baik
dan dapat memasuki pasar jaringan telekomunikasi.
Dampak Agenda MiC 2025 terhadap Perusahaan Multinasional
1. Persaingan ekonomi
Perlu dipahami bahwa perusahaan multinasional di Tiongkok terbagi menjadi dua
jenis, perusahaan asal Tiongkok dan perusahaan asing (Foreign-Invested Enterprises).
Adanya MiC 2025 menyebabkan adanya persaingan antara keduanya. MiC 2025
Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Multinasional
di Tengah Agenda MiC 2025 Tiongkok
2023
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini,
Sovira Hikari Luna Shinko 1204
seperti yang telah dijelaskan, adalah sebuah strategi dari pemerintah Tiongkok untuk
mengembangkan dan meningkatkan industri manufaktur dalam negeri. Salah satu
langkahnya adalah dengan memberikan bantuan finansial kepada perusahaan-
perusahaan asal Tiongkok untuk mengembangkan dan meningkatkan produk-produk
yang dihasilkan. Pemberian subsidi atau bantuan dana inilah yang dinilai menjadi
sebuah kesenjangan antara perusahaan lokal dan perusahaan asing. Selain itu,
kebijakan pemerintah Tiongkok yang mendukung penuh perusahaan-perusahaan lokal
juga menjadi tantangan tersendiri.
Persaingan ekonomi meliputi 10 sektor utama MiC 2025, salah satu satunya adalah
sektor teknologi informasi. Adanya agenda MiC 2025 mendorong masyarakat
Tiongkok untuk mendukung produk-produk dalam negeri, salah satunya adalah
penggunaan handphone dari perusahaan lokal yaitu Huawei. Hal tersebut juga yang
mendasari pemerintah untuk melarang iPhone masuk ke pasar Tiongkok. Perusahaan
Huawei sendiri merupakan perusahaan manufaktur telepon terbesar kedua setelah
Samsung, dan perusahaan penyedia telekomunikasi terbesar di pasar global (Pranto &
Nazmul, 2020). Hubungan baik antara perusahaan Huawei dengan pemerintahan
Tiongkok mempermudah jalan Huawei dalam mendominasi pasar domestik dan juga
Internasional.
Pelarangan penggunaan iPhone di Tiongkok telah mengakibatkan berkurangnya
jangkauan pasar Apple. Meskipun sumber penghasilan Apple bukan hanya pada
penjualan iPhone, tetapi penjualan iPhone merupakan sumber penghasilan terbesar
Apple. Adanya pelarangan iPhone ini mengakibatkan Apple kehilangan penghasilan
sebesar 19% di pasar Tiongkok (Pranto & Nazmul, 2020). Hal tersebut dikarenakan
Tiongkok merupakan pasar besar dengan kapasitas penduduk yang besar. Disisi lain,
harga jual iPhone yang tinggi mengakibatkan konsumen-kosumen di Tiongkok beralih
pada produk lain seperti Huawei. Selain harga Huawei lebih terjangkau, Huawei juga
sudah menawarkan kualitas produk yang unggul serta dilengkapi dengan inovasi baru
Huawei yaitu teknologi jaringan 5G (Terry, 2019). Dukungan penuh pemerintah
dengan pembangunan infrastruktur untuk jaringan 5G berdampak besar pada
peningkatan penjualan produk Huawei.
2. Kolaborasi dan transfer teknologi
Persaingan ekonomi secara ketat dapat diatasi melalui kolaborasi dan transfer
teknologi antara perusahaan multinasional lokal dan perusahaan multinasional asing.
Langkah ini merupakan salah satu alternatif yang dapat menguntungkan kedua belah
pihak di tengah inisiasi MiC 2025. Transfer teknologi dapat memenuhi ekspektasi
pemerintah agar perusahaan lokal yang bergerak di sektor prioritas lebih mudah dalam
mengelola dan memajukan teknologinya. Alih-alih bersaing dengan perusahaan lokal
yang disokong pemerintah Tiongkok, perusahaan multinasional asing dapat
berkolaborasi untuk memperoleh keuntungan yang stabil.
Bentuk kolaborasi antara perusahaan lokal dengan perusahaan multinasional asing
dilakukan oleh perusahaan SAIC Motor (Sanghai Automotive Industry Corporation)
yang melakukan kemitraan (joint venture) dengan perusahaan asing asal Jerman, Audi
AG. Pada Juli 2023 lalu, Audi dan SAIC mengkonfirmasi kolaborasi dalam projek
kendaraan elektronik berbasis listrik (Mihalascu, 2023). Sebelumnya, perusahaan
induk Audi, Volkswagen Group sudah pernah melakukan joint venture dengan SAIC
Motor dalam produksi mobil bertenaga bensin. Kolaborasi antara SAIC dan Audi
termasuk dalam transfer teknologi antarkedua perusahaan. Tujuan dari kolaborasi ini
adalah untuk mempercepat elektrifikasi portofolio kedua perusahaan dalam pasar
kendaraan listrik yang berkembang pesat di Tiongkok (Mihalascu, 2023).
Meskipun begitu, transfer teknologi juga dapat memberikan dampak buruk bagi
perusahaan multinasional asing. Perusahaan lokal bersama-sama dengan pemerintah
Tiongkok berpotensi untuk menggunakan teknologi hasil transfer sebagai alat
penyeimbang dan bersaing dengan perusahaan multinasional asing di pasar global. Hal
Volume 3, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1205 http://sosains.greenvest.co.id
ini tidak terlepas dari tujuan utama dari MiC 2025 yaitu untuk menciptakan dominasi
Tiongkok dalam sektor industri utama pasar global. Oleh karena itu, perusahaan
multinasional perlu waspada dan mempertimbangkan ajakan kolaborasi dengan
perusahaan lokal. Ajakan kolaborasi harus memberikan keuntungan yang sebanding
dengan teknologi yang dibagikan.
3. Robotisasi pekerja
Salah satu alasan perusahaan multinasional mendirikan perusahaan cabang di
negara lain adalah melimpahnya tenaga kerja dengan upah/gaji yang terjangkau.
Namun, digitalisasi industri Tiongkok ini mendorong perubahan fungsi pekerja
dengan teknologi, salah satunya adalah robot. Bagi pemerintah, robotisasi pekerja
dianggap sebagai langkah yang efektif di tengah banyaknya kasus kurangnya
pemenuhan hak pekerja dan buruknya kondisi kerja. Langkah ini menekankan aspek
efektifitas dan efisiensi industri manufaktur untuk memaksimalkan rencana MiC 2025
yang tujuan utamanya adalah dominasi Tiongkok dalam pasar global.
Bagi perusahaan multinasional, robotisasi pekerja dapat menjadi peluang sekaligus
ancaman yang signifikan dalam hal teknis dan operasional perusahaan. Upaya
pengubahan persepsi “tenaga kerja murah” di Tiongkok akan mendorong perusahaan
multinasional untuk melakukan restrukturisasi pasokan tenaga kerja di Tiongkok dan
lebih memerhatikan profit yang didapat. Dalam industri bidang tertentu, robotisasi
pekerja memberikan keuntungan bagi perusahaan multinasional dengan tidak perlu
membayar asuransi pekerja dan tidak perlu terjerat dalam ketidakpastian hukum
ketenagakerjaan (Brown, 2021). Dampak lainnya dari robotisasi pekerja adalah
hengkangnya perusahaan multinasional dari Tiongkok. Hal ini akan mengurangi
inflow FDI dan berakibat buruk terhadap stabilitas ekonomi Tiongkok. Efisiensi robot
yang lebih memberikan keuntungan daripada tenaga kerja murah akan mendorong
perusahaan multinasional untuk kembali ke negara asal dengan menerapkan teknologi
robot daripada beroperasi di luar negeri (Brown, 2021). Terlebih lagi, image tenaga
kerja murah yang melekat pada Tiongkok sudah perlahan hilang.
4. Perang tarif dengan Amerika Serikat
Rencana Tiongkok dalam digitalisasi industri mendapatkan reaksi yang cukup
negatif dari dunia internasional. Agenda ini dianggap dapat mengancam perusahaan
pemasok teknologi tinggi asing dan bahkan melanggar peraturan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah Tiongkok merespon kritikan ini dengan
memastikan bahwa MiC 2025 bersifat transparan, terbuka, dan tidak diskriminatif
(CRS, 2019). Ketika inisiasi ini diluncurkan pada tahun 2015 lalu, presiden Amerika
Serikat merupakan salah satu pihak yang menentang rencana MiC 2025. Donald
Trump mengeluarkan pernyataan bahwa usaha Tiongkok dalam digitalisasi industri
merupakan kebijakan distorsi terkait transfer teknologi, kekayaan intelektual, dan
inovasi (CRS, 2019). Pernyataan ini berujung pada pemberlakuan tindakan pasal 301
termasuk kenaikan tarif selama dua tahun kepada Tiongkok pada tahun 2018 lalu oleh
Perwakilan dagang AS (US Trade Representative/USTR) (CRS, 2019). Meskipun
mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan, pemberlakuan pasal ini dianggap
kurang efektif karena belum mampu menghentikan tekad Tiongkok untuk menguasai
pasar global melalui realisasi MiC 2025.
Pemerintah Tiongkok merespon dengan kebijakan penambahan tarif balasan
kepada Amerika Serikat. Perang tarif ini cukup memberikan dampak negatif bagi
perusahaan multinasional di Tiongkok, salah satunya adalah hilangnya pasar Amerika
Serikat. Menurut data dari statistica.com, impor barang dari Tiongkok menurun dari
538,51 milliar USD pada tahun 2018 menjadi 432,68 miliar USD pada tahun 2020
(Statistica, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif ini membuat konsumen
Amerika Serikat lebih memilih produk lokal dibandingkan dengan produk Tiongkok
karena keterjangkauan harga. Di samping itu, perusahaan multinasional kesulitan
dalam menekan harga jual barang di pasar global. Survei dari Cambridge University
Press menunjukkan lebih dari 63% perusahaan multinasional Amerika Serikat di
Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Multinasional
di Tengah Agenda MiC 2025 Tiongkok
2023
Hasna Dherin Syakira, Aisyah Zakiyah Nur Aini,
Sovira Hikari Luna Shinko 1206
Tiongkok terkena dampak buruk dari perang tarif, 22% diantaranya menyuarakan
penolakan, dan 7% lainnya hengkang dari Tiongkok (R. et al., 2022).
KESIMPULAN
MiC 2025 telah mencipatakan tantangan dan peluang untuk perusahaan
multinasional di Tiongkok. Adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung strategi MiC
2025 turut serta menjadi penyebab tantangan dan peluang bagi para perusahaan
multinasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah Tiongkok memegang kendali
penuh terhadap perekonomian nasional melalui MiC 2025. Pada 10 sektor utama yang
berusaha dikembangkan oleh pemerintah Tiongkok, perusahaan multinasional dituntut
untuk mencari peluang yang menguntungkan. Pada kondisi ini, perusahaan multinasional
baik perusahaan lokal Tiongkok maupun perusahaan asing haruslah mematuhi atau
beradaptasi dengan kebijakan yanng telah ditetapkan.
Strategi MiC 2025 sendiri merupakan perwujudan dari kebijakan proteksionisme
terhadap perekonomian nasional. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori neo
merkantilis yang mana melalui MiC 2025, pemerintah Tiongkok berusaha untuk
membatasi jumlah impor dan ketergantungan pada produk asing serta mendorong jumlah
ekspor. Pemerintah Tiongkok juga berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan
dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Melalui 3 tahap pengembangan,
pemerintah Tiongkok berusaha untuk membangun perekonomian secara perlahan. Langkah
modernisasi struktur produktif meningkatkan dan menguatkan produktifitas industri
manufaktur di Tiongkok. Dengan menekankan pada kualitas dan daya jual, produk-produk
tersebut nantinya menjadi komoditas ekspor yang akan meningkatkan perekonomian
Tiongkok.
Selain menaikkan jumlah produk ekspor, pemerintah Tiongkok juga secara jelas
melakukan kampanye nasionalisme yang mana pemerintah berusaha untuk menaikkan
penjualan produk domestik. Salah satunya adalah sikap pemerintah Tiongkok yang
melarang pemasaran produk Apple untuk mendukung produk domestik yaitu Huawei. Hal
tersebut dilakukan untuk mengantisipasi dominasi produk asing pada pasar domestik.
Adanya MiC 2025 sebagai upaya kebijakan proteksionisme terhadap ekonomi nasional
sudah menunjukkan upaya Tiongkok untuk menjamin ketahanan dan keberlangsungan
ekonomi di masa depan. Selain berorientasi pada keuntungan, pemerintah Tiongkok juga
menargetkan dominasi pasar untuk menjamin keamanan ekonomi nasionalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Balderrama, R., & Trejo, A. (2018). made in china 2025. ReVista (Cambridge),
18(1), 63-1A.
Brown, C. M. Schubert, P. L. (2021). Outbreak of SARS-CoV-2 infections,
including COVID-19 vaccine breakthrough infections, associated with large
public gatheringsBarnstable County, Massachusetts, July 2021. Morbidity
and Mortality Weekly Report, 70(31), 1059.
Brown, L. D. (2003). Ranking journals using social science research network
downloads. Review of Quantitative Finance and Accounting, 20, 291307.
Brown, R. C. (2016). Made in China 2025: Implications of Robotization and
Digitalization on MNC Labor Supply Chains and Workers’ Labor Rights in
China. Tsinghua China L. Rev., 9, 186.
Dalla Valle, C. (2021). Foreign Invested Enterprises in China: evolution and
revolution of the legal framework with Chinese-English terminological
glossary.
Fang, J., & Walsh, M. (2018). Made in China 2025: Beijing’s manufacturing
Volume 3, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1207 http://sosains.greenvest.co.id
blueprint and why the world is concerned. ABC News.
Goldstein, S. M. (2019). China briefing, 1984. Routledge.
Kennedy, S. (2015). Made in China 2025 In CSIS Analysis. Available
athttps://www. csis. org/analysis/made-china-2025.
Lim, T. C. (2014). International political economy: An introduction to approaches,
regimes, and issues. [KNXB].
Lundvall, B.-Å., & Rikap, C. (2022). China’s catching-up in artificial intelligence
seen as a co-evolution of corporate and national innovation systems. Research
Policy, 51(1), 104395.
Oswin, A. A. … Nana, K. N. (2019). The 1978 economic reforms of China and its
impact on economic growth-A time series data analysis. Journal of Statistics
and Management Systems, 22(8), 15111538.
Pantelopoulos, G. (2023). Human Capital, Gender Equality and Foreign Direct
Investment: Evidence from OECD Countries. Journal of the Knowledge
Economy, 117.
Peng, M. W. (2012). The global strategy of emerging multinationals from China.
Global Strategy Journal, 2(2), 97107.
Rooi, N. … Van der Waldt, G. (2023). Corporate social responsibility applications
in the retail sector: Lessons from the international experience. Journal of
Contemporary Management, 20(1), 499535.
Seong, J. Leung, M. N. (2023). The China imperative for multinational companies.
Sprugel, L. M. (2023). China Market Entry. In Contemporary Strategic Chinese
American Business Negotiations and Market Entry (pp. 231280). Springer.
Wang, Y. (2000). Menembus Pasar Cina. Kepustakaan Populer Gramedia.
Yao, W. Hamori, S. (2013). An empirical analysis of the relationship between
economic development and population growth in China. Applied Economics,
45(33), 46514661.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License.