Pendahuluan
Tarekat adalah konsep baru yang muncul pada abad ke lima akhir atau awal abad
ke 6 H, konseptual tarekat bisa didefisinikan cara atau metode sufi yang mengantarkan
hamba kepada Allah SWT. Tarekat tidak hanya memiliki fungsi keagamaan saja, tetapi
juga fungsi sosial, ekonomi dan bahkan budaya (Rina Wati, 2019).
Tarekat Syattariyah pertama kali pelopori oleh Syaik abdullah al-Syattar, (W.
890/1485M). Ia adalah putra Syaikh Husamud al-Din, salah seorang keturunan dari
Syaikh Syihab al Din 'Umar al-Suhrawardi. Jadi tokoh ini adalah seorang ulama India
yang masih punya hubungan kekeluargaan dengan Syihab al Din Abu Hafs 'Umar al-
Suhrawardi (539-632H/l 145-1234M), yaitu ulama yang mempopulerkan tarekat
Suhrawardiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, yakni al-
Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563H/1097-l 168M). Namun, sepeninggal Syaikh
'Abd Allah al-Syattar tarekat yang didirikannya ini lambat laun kurang mendapat
pengikut, sehingga bersamaan dengan berjalannya waktu seakan tenggelam dan tergeser
oleh pengaruh tarekat lainnya, yakni tarekat Suhrawardiyah yang memang didirikan oleh
pamannya sendiri (Ushuluddin, 2018).
Risālah Shattariyyah sendiri menunjukkan eksistensi tarekat tersebut di Jawa
Timur. Naskah tersebut ditulis oleh Abu Arifani, seorang tokoh Syattariyyah yang
berasal dari Gresik, yang kemudian hijrah ke Tandes Surabaya. Naskah Risālah
Shattariyyah memiliki arti penting untuk mengungkap ajaran tarekat Syattariyyah dan
melihat ontologi yang berkembang dalam tarekat tersebut (Fanani, 2012).
Awal masuk Tarekat Syattariyah masuk nusantara sendiri dibawa oleh ulama
asal Aceh. Perkembangan tasawuf dalam wujud tarekat di Aceh jaman dulu, khususnya
Tarekat Syattariyah. Tarekat ini memiliki dasar yang sangat kuat untuk sejarah Islam
yang ada di Aceh. Seorang ulama besar di Aceh, Abdurrauf As-Singkili adalah tokoh
yang menyebarkan tarekat ini di Nusantara (Shadiqin, 2017). Secara etimologi tarekat
berasal dari bahasa Arab yakni ṭarīqah yang berarti jalan, cara, mazhab, aliran, haluan
atau keadaan menurut Ahmad Warson dalam (Asih Pertiwi, 2017), Sedangkan secara
terminologi para pengkaji telah mendefinisikan pengertian itu, satu diantaranya adalah
menurut Aboebakar Atjeh dalam (Sanusi, 2012), tarekat mempunyai arti petunjuk dalam
melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan
dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, keturunan sampai kepada guru-guru, secara berantai,
salah satunya mengajarkannya dengan pendidikan islam yang biasanya di ajarkan
disekolah formal maupun non formal. Pendidikan Islam harus berkomitmen pada
perwujudan pendidikan multikultural dan harus memahami konsep perbedaan budaya
melalui pembedaan suku, bahasa dan praktik budaya (Purrostami, 2012).
Penyebaran Islam melalui tarekat berawal dari keyakinan mereka akan adanya
berkah dan karomah. Keyakinan akan adanya berkah, mengundang datangnya para
peziarah yang sekaligus berbai’ah dengan Pemimpinnya. Hal lain, yang membentuk
jaringan ulama tarekat dan pengikutnya adalah kesamaan mereka dalam silsilah
(Tarihoran, 2015). Dibarengin dengan dakwah.
Kekuatan dakwah yang dioptimalkan kelompok tarekat adalah menjadikan
tradisi sebagai sebuah rujukan. Tentu dengan sendirinya tidak dapat dipungkiri, tradisi
yang ada tidak terusik dengan adanya islam, malah tradisi yang ada semakin eksis dan
mempunyai arti sendiri dalam penyampaian Islam. Sehingga pada akhirnya terjadi
pembaharu Islam dengan tradisi yang telah melegenda dimasyarakat. Secara perlahan
tetapi pasti, tradisi yang menyimpang secara beransur-ansur mulai diganti dengan yang
baru atau disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang baik (Wahab, 2020).
Tarekat Syattariyah yang dibawa dan diajarkan Syekh Abdurrauf di Indonesia