Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
424
http://sosains.greenvest.co.id
FENOMENOLOGI PENGIKUT TAREKAT SYATTARIYAH DI
KERATON KACIREBONAN CIREBON
Dastim, Ubaidillah dan Khaerul Wahidin
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
E-mail: dastimmubarok@yahoo.com, Ubaialhamzy610@gmail.com dan
khaerulwahidin@syekhnurjati.ac.id.
Diterima: 1 Mei
2021
Direvisi: 10 Mei
2021
Disetujui: 14 Mei
2021
Abstrak
Keraton Kacirebonan adalah keraton yang didirikan pertama kali
oleh Pangeran Muhamad Haerudhin. Dia adalah Putra Mahkota
Sultan Kanoman ke empat yang melakukan perlawanan terhadap
Belanda kala itu. Bersamaan dengan itu ajaran tarekat muncul
yang bawa oleh para ulama terdahulu dan perkembangan
ajarannya di wilayah Cirebon melalui jalur silsilah. Tujuan dari
penelitian ini adalah ingin mengetahui tentang fenomena tentang
Tarekat Syattariyah yang ada di wilayah kacirebonan. Metode
yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil dari penelitian ini
adalah bahwasanya Tarekat Syattariyah sudah ada sejak jaman
dulu. Yaitu pertama kali dibawa oleh syekh Ahmad Qursyayi di
Mekkah, dimana beliau belajar dari gurunya yang bernama
Qursyasi ketika berada di mekkah. Perkembangannya mulai
menyebar ke bagian pulau jawa dan menyebar ke cirebon lewat
jalur keturunan. Untuk ajarannya sendiri tarekat ini lebih menuju
pada baiat dan juga talqin.
Kata Kunci : pengikut tarekat, Tarekat Syattariyah dan keraton
kacirebonan.
Abstrack
Keraton Kacirebonan is a palace that was first founded by Prince
Muhamad Haerudhin. He was the fourth Crown Prince of Sultan
Kanoman who fought against the Dutch at that time. At the same
time, the teachings of the tarekat emerged, which were brought by
the previous scholars and the development of their teachings in the
Cirebon region through genealogical lines. The purpose of this
research is to know about the phenomenon of the Syattariyah
tarekat in the kacirebonan area. The method used is a qualitative
method. The result of this research is that the syattariyah tarekat
has existed since ancient times. It was first brought by Sheikh
Ahmad Qursyayi in Mecca, where he learned from his teacher
named Qursyasi while in Mecca. Its development began to spread
to parts of the island of Java and spread to Cirebon through the
descent. For its own teaching, this tarekat is more towards baiat
and talqin.
Keywords: followers of the tarekat, the syattariyah order and the
keraton kacirebonan.
Fenomenologi Pengikut Tarekat Syattariyah Di Keraton
Kacirebonan Cirebon
2021
425
Pendahuluan
Tarekat adalah konsep baru yang muncul pada abad ke lima akhir atau awal abad
ke 6 H, konseptual tarekat bisa didefisinikan cara atau metode sufi yang mengantarkan
hamba kepada Allah SWT. Tarekat tidak hanya memiliki fungsi keagamaan saja, tetapi
juga fungsi sosial, ekonomi dan bahkan budaya (Rina Wati, 2019).
Tarekat Syattariyah pertama kali pelopori oleh Syaik abdullah al-Syattar, (W.
890/1485M). Ia adalah putra Syaikh Husamud al-Din, salah seorang keturunan dari
Syaikh Syihab al Din 'Umar al-Suhrawardi. Jadi tokoh ini adalah seorang ulama India
yang masih punya hubungan kekeluargaan dengan Syihab al Din Abu Hafs 'Umar al-
Suhrawardi (539-632H/l 145-1234M), yaitu ulama yang mempopulerkan tarekat
Suhrawardiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, yakni al-
Din Abu Najib al-Suhrawardi (490-563H/1097-l 168M). Namun, sepeninggal Syaikh
'Abd Allah al-Syattar tarekat yang didirikannya ini lambat laun kurang mendapat
pengikut, sehingga bersamaan dengan berjalannya waktu seakan tenggelam dan tergeser
oleh pengaruh tarekat lainnya, yakni tarekat Suhrawardiyah yang memang didirikan oleh
pamannya sendiri (Ushuluddin, 2018).
Risālah Shattariyyah sendiri menunjukkan eksistensi tarekat tersebut di Jawa
Timur. Naskah tersebut ditulis oleh Abu Arifani, seorang tokoh Syattariyyah yang
berasal dari Gresik, yang kemudian hijrah ke Tandes Surabaya. Naskah Risālah
Shattariyyah memiliki arti penting untuk mengungkap ajaran tarekat Syattariyyah dan
melihat ontologi yang berkembang dalam tarekat tersebut (Fanani, 2012).
Awal masuk Tarekat Syattariyah masuk nusantara sendiri dibawa oleh ulama
asal Aceh. Perkembangan tasawuf dalam wujud tarekat di Aceh jaman dulu, khususnya
Tarekat Syattariyah. Tarekat ini memiliki dasar yang sangat kuat untuk sejarah Islam
yang ada di Aceh. Seorang ulama besar di Aceh, Abdurrauf As-Singkili adalah tokoh
yang menyebarkan tarekat ini di Nusantara (Shadiqin, 2017). Secara etimologi tarekat
berasal dari bahasa Arab yakni ṭarīqah yang berarti jalan, cara, mazhab, aliran, haluan
atau keadaan menurut Ahmad Warson dalam (Asih Pertiwi, 2017), Sedangkan secara
terminologi para pengkaji telah mendefinisikan pengertian itu, satu diantaranya adalah
menurut Aboebakar Atjeh dalam (Sanusi, 2012), tarekat mempunyai arti petunjuk dalam
melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan
dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, keturunan sampai kepada guru-guru, secara berantai,
salah satunya mengajarkannya dengan pendidikan islam yang biasanya di ajarkan
disekolah formal maupun non formal. Pendidikan Islam harus berkomitmen pada
perwujudan pendidikan multikultural dan harus memahami konsep perbedaan budaya
melalui pembedaan suku, bahasa dan praktik budaya (Purrostami, 2012).
Penyebaran Islam melalui tarekat berawal dari keyakinan mereka akan adanya
berkah dan karomah. Keyakinan akan adanya berkah, mengundang datangnya para
peziarah yang sekaligus berbai’ah dengan Pemimpinnya. Hal lain, yang membentuk
jaringan ulama tarekat dan pengikutnya adalah kesamaan mereka dalam silsilah
(Tarihoran, 2015). Dibarengin dengan dakwah.
Kekuatan dakwah yang dioptimalkan kelompok tarekat adalah menjadikan
tradisi sebagai sebuah rujukan. Tentu dengan sendirinya tidak dapat dipungkiri, tradisi
yang ada tidak terusik dengan adanya islam, malah tradisi yang ada semakin eksis dan
mempunyai arti sendiri dalam penyampaian Islam. Sehingga pada akhirnya terjadi
pembaharu Islam dengan tradisi yang telah melegenda dimasyarakat. Secara perlahan
tetapi pasti, tradisi yang menyimpang secara beransur-ansur mulai diganti dengan yang
baru atau disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang baik (Wahab, 2020).
Tarekat Syattariyah yang dibawa dan diajarkan Syekh Abdurrauf di Indonesia
Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
426
http://sosains.greenvest.co.id
dan Tanah Melayu, menurut Bisri Affandi dalam (Damanhuri, 2005) telah membuka
jalan kepada mereka yang mendambakan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
melalui amal zikir. Manusia diseimbangkan antara sikap dan objek mereka dan
fenomena seluruh dunia, untuk membuat koherensi dan harmoni (Purrostami, 2012).
Menurut Rivay Seregar dalam (Faslah, 2016) sejarah menunjukkan, bahwa
sufisme (tarekat) tidak pernah meninggakan dasar dari keislaman. Maka seirama dengan
kebangkitan umat islam, bangkit pula gerakan spiritualis islam, yang oleh Fazlur
Rahman yang dinamai “neo sufisme” sufisme baru. Secara umum terlihat, bahwa ciri
utama corak neo-sufisme ini adalah, penekanan pada motif moral melalui penerapan
metode zikir dan muraqabah guna “mendekati” Allah. Tata aturan konsentrasi harus
disejajarkan dengan doktrin syariah dan bertujuan untuk memperkukuh keimanan dalam
akidah yang benar dan kemurnian hati. Selain dari itu, gejala sufisme atau tarekat baru
ini adalah menanamkan kembali sikap positif pada duniawi. Dan yang terpenting,
nampaknya gerakan ini sampai batas tertentu mengakui kebenaran klaim sufisme
intelektual.
Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, Tarekat Syattariyah pada periode
ini lebih diarahkan pada perjuangan untuk meningkatkan nilai moral dan spritual melalui
penyebaran ajaran Islam. Dan dalam upaya ini, syekh Abd Allah al-Syattar beserta para
pengikutnya mengembangkan kecendrungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri
dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran
atau ritual Hindu menurut Mulyadi dalam (Maharani, 2020). Ada beberapa perbedaan
pendapat dalam ajaran tarekat syttariyah salah satunya menentukan awal ramadhan,
Seiring berjalannya waktu, ternyata didalam tubuh Tarekat Syattariyah itu sendiri telah
terjadi perbedaan pendapat yaitu tentang menentukan awal Ramadhan (Bara, n.d.).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang fenomenologi pengikut
tarekat syattariyah di keraton kacirebonan cirebon. Manfaat penelitian adalah dengan
adanya penelitian ini kita berharap bisa mengetahui fenomena apa aja yang di lakukan
tarekat syattariyah di kacirebonan Cirebon.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis relevan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh (Arjaen & Irianto, 2008) yang berjudul ”Pengikut Tarekat Syattariyah”
Penelitian tersebut sama-sama mengkaji tentang bagaimana cara yang dilakukan orang-
orang pengikut ajaran islam tarekat syattariyah, dan metode yang yang digunakanpun
sama serta cara pengamalannya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskripstif karena data dalam
penelitian ini berupa hasil wawancara, pengamatan, penjabaran suatu dokumen dan
bukan termasuk angka. Disamping itu juga penelitian ini termasuk penelitian eksploratif
dengan menggunakan metode naturalistic, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi
alamiah (natural setting).
Hasil Penelitian
Syattariyah mulai dikenalkan ke Nusantara oleh Syekh Abdal Raufal Singkili 11
di Aceh yang telah belajar kepada Syekh Ahmad Qusyasyi di Mekkah. Kemudian
Syattariyah menyebar ke wilayah sekitarnya oleh para murid Syekh Abdal Rauf hingga
kedaerah Jawa. Syekh Abdal Muhyi merupakan salah seorang murid Syekh Abdal-Rauf
yang menyebarkan Syattariyah di wilayah Jawa. Dinamika Syattariyah di Jawa kemudian
berkembang pula di Cirebon. Kehadiran Syattariyah di Cirebon melalui beberapa jalur
silsilah, baik Fakih Ibrahim putra Abdal Muhyi ,Kyai Muqayim dari Abdal Muhyi
(Pamijahan) yang berguru kepada Abdal Rauf, Abd Allahi bin Abdal Qahar maupun yang
Fenomenologi Pengikut Tarekat Syattariyah Di Keraton
Kacirebonan Cirebon
2021
427
lainnya, seperti Kyai Anwaral Din Kriyan melalui Kyai Asy’ari (Kendal). Melalui para
ulama tersebut, muncul pula tokoh tokoh Syattariyah lokal di Cirebon, seperti Kyai
Muqayyim, Kyai Anwaruddin Kriyani, Kyai Muhammad Arjain dan Pangeran
Jatmaningrat Muhammad Safiuddin (Bambang, 2008).
Tarekat ini didirikan oleh Abdullah al Syattar adalah seorang da’i dari India,
murid seorang alim bernama Muhammad Arif. Semula ia tinggal di Jawnpur pada masa
pemerintahan Ibrahim Shah Sharqi (1402-1440), kemudian pindah ke Malwa (Multan)
sampai ia wafat. Salah seorang muridnya yang kemudian mengembangkan ajaran-
ajarannya adalah Muhammad Ala dari Bengali yang dikenal dengan nama Qazan Syattari.
Sedangkan orang yang kemudian berjasa menyempurnakan tarekat ini sehingga menjadi
suatu tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghawth dari Gwalior (w.1562). Ia
kemudian digantikan oleh Syah Wajihal Din yang menulis beberapa karangan dan
mendirikan madrasah. Dari kawasan India tarekat ini berkembang ke negeri-negeri lain.
Tarekat ini masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar tahun 1665 dengan tokoh
pembawanya Abdul Raufal-Singkili (1620-1695), seorang ulama Aceh.
Pengangkatan Mursyid Di Lingkungan Keraton Cirebon Melalui penulusuran
kami diketahui bahwa syaikh atau mursyid atau guru Tarekat Syattariyah dilingkungan
Keraton Cirebon biasa disebut dengan Ramaguru. Mursyid dilingkungan Keraton Cirebon
biasanya masih keturunan dari Keraton Cirebon baik dari Keraton Kasepuhan, Kanoman
atau Kacirebonan. Namun semenjak didirikannya Keraton Kaprabonan pada masa
Adipati Raja Kaprabon di abad-17 sebagai Keraton yang khusus untuk mengurusi tarekat,
maka semua mursyid Tarekat Syattariyah harus dari keturunan Keraton Kaprabonan.
Kebijakan ini telah disepakati oleh semua pihak Keraton Cirebon (Bambang, 2008).
Dilingkungan Keraton Cirebon, pengangkatan seorang mursyid baru diserahkan kepada
mursyid lama dengan mendapat restu dari Sultan
Keraton Kaprabonan sebagai pemegang otoritas spiritual dilingkungan Keraton
Cirebon. Hal ini merupakan salah satu tradisi yang sudah berjalan lama (Bambang, 2008).
Pengangkatan seorang mursyid Tarekat Syattariyah dilingkungan Keraton Cirebon
tidaklah seperti pengangkatan seorang sultan yang berdasarkan atas keturunan atau
geneologi. Jadi, seorang mursyid Tarekat Syattariyah di lingkungan Keraton Cirebon
tidak secara otomatis mengangkat anaknya sebagai penerus.
Boleh jadi ia mengangkat keponakannya atau muridnya sebagai mursyid. Yang
menjadi pertimbangan bagi seorang mursyid dalam menentukan penggantinya adalah
kemampuan sang calon penggantinya dalam menghayati ajaran dan amalan tarekat serta
ditambah dengan wawasan yang luas tentang ilmu agama. Tetapi memang akan lebih baik
jika seorang mursyid Tarekat Syattariyah itu seseorang yang masih memiliki pertalian
darah dengan Rasulullah saw atau masih termasuk ahlul bait. Pengguron-pengguron
Tarekat Syattariyah di Cirebonan dua macam yang pertama adalah pengguron yang
mempunyai nama resmi sebagai sebuah lembaga dan yang kedua adalah yang tidak
memiliki nama khusus sebagai sebuah lembaga (Bambang, 2008).
Kesimpulan.
Tarekat syattariah pada awalnya dibawa langsung oleh ulama asal mekkah yang
kemudian ajarannya menyebar ke wilayah Aceh. Yang pertama kali membawa Tarekat
Syattariyah bernama Syekh Abdal Raufal Singkili yang telah belajar terlebih dahulu
kepada Syekh Ahmad Qusyasyi di Mekkah, Tarekat Syattariyah kemudian menyebar
hingga ke pulau jawa yang dibawa oleh para murid syekh Ahmad Qusyasyi. Hingga pada
akhirnya masuk ke wilayah Cirebon dibawa oleh tokoh lokal yang berada di wilayah
Cirebon seperti halnya kyai Muqoyyim, kyai Anwaruddin dan kyai Arjain dan masih
Volume 1, Nomor 5 , Mei 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
428
http://sosains.greenvest.co.id
banyak ulama lain yang ikut berpartisipasi dalam penyebaran Tarekat Syattariyah.
Ajaran yang dilakukan oleh pengikut Tarekat Syattariyah adalah dengan tata cara baiat
dan juga talqin. Mursyid dalam ajaran Tarekat Syattariyah juga ulama ulama yang
mumpuni bidang ke ilmuannya.
Bibliography
Arjaen, Kyai Muhammad, & Irianto, Bambang. (2008). Dinamika Tarekat Syattariyah di
Lingkungan Keraton. (November).
Asih Pertiwi, Agus Nurhadi. (2017). Metode Penentuan 1 Ramadan Menurut Tarekat
Syattariyah Pengikut Abu Peuleukung Asih. 86, 18.
Bambang. (2008). Hasil Wawancara dengan Rama Guru.
Bara, Tera. (n.d.). Dinamika Hisab T Aqwim T Areka T Sy a Tt Ah Di Suma. 120.
https://doi.org/10.24090/IBDA.V17i1.1720
Damanhuri. (2005). ‘Umdah Al-Muhtājăn: Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara.
Fanani, Ahwan. (2012). Ajaran Tarekat Syattariyyah Dalam Naskah Risālah
Shattariyyah Gresik. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2), 347.
https://doi.org/10.21580/ws.2012.20.2.203
Faslah, Roni. (2016). Corak Neo-Sufisme Ulama Tarekat Syatariyah: Studi Jaringan
Ulama Nusantara Abad ke-17. At-Turāṡ, III(2), 143160.
Maharani, Aulia Devi. (2020). Aktivitas Dakwah Tarekat Syattariyah dan Fenomena
Islam Tradisionalis dan Modernis di Nagari Sabu Sumatra Barat. Idarotuna, 2(2),
5169. https://doi.org/10.24014/idarotuna.v2i2.9533
Purrostami, Hamed. (2012). The Role of Religious and Ethical Teachings in the Modern
System of Education. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 46, 47754781.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.333
Rina Wati, Khairulyadi dan Siti Ikramatoun. (2019). Ritual Dan Solidaritas Sosial Dalam
Perspektif Interaksi Ritual Randal Collins (Studi Kasus Tarekat Syatariyah Abu
Habib Muda Seunagan). 4, 16. Retrieved from www.jim.unsyiah.ac.id/FISIP
Sanusi, Kasmuri selamat dan ihsan. (2012). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
Shadiqin, Sehat Ihsan. (2017). Di Bawah Payung Habib: Sejarah, Ritual, Dan Politik
Tarekat Syattariyah Di Pantai Barat Aceh. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 19(1), 7598. Retrieved from http://substantiajurnal.org
Tarihoran, Adlan Sanur. (2015). “Maliek Bulan” Sebuah Tradisi Lokal Pengikut Tarekat
Syatthariyyah di Koto Tuo Agam. Islam Realitas: Journal of Islamic and Social
Studies, 1(1), 3544. Retrieved from
http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/Islam_realitas/article/view/10
Ushuluddin, Fakultas. (2018). Naskah Al-Jawahiral-Khamsah Seba Gai Sumber Rujukan
Ajaran Tareka T Syattariyah Dan Persebaran Salinannya. 35(01), 75102.
Wahab, Zainul. (2020). Pengembangan Dakwah Kelompok Tarekat Syattariyah Di
Sumatera Barat. Dakwah Dan Pemberdayaan Masyarkat, 4(1), 12.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.