1219 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 3 NOMOR 11 2023
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN REVENGE PORN
DALAM YURISDIKSI VIRTUAL BERDASARKAN HUKUM DI
INDONESIA
Yuliana Beatrich Yosephine Purba
Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Indonesia
Email: yulian[email protected].id
Kata kunci:
Revenge Porn,
Perlindungan
Hukum, Yurisdiksi
Virtual
Keywords:
Revenge Porn,
Legal Protection,
Virtual
Jurisdiction
ABSTRAK
Latar Belakang: Perkembangan Teknologi yang cepat menimbulkan berbagai jenis
kejahatan baru di ranah cyberspace atau yurisdiksi virtual. Tidak kriminal yang
dilakukan dalam ranah cyberspace, yakni dengan menggunakan teknologi komputer
dan/atau internet sebagai alat kejahatan utama disebut juga sebagai tindakan cybercrime.
Tujuan: tujuan penelitian ini membahas secara mendalam terkait perlindungan
hukum nasional bagi korban Revenge Porn.
Metode: Yurisdiksi adalah refleksi dari kedaulatan suatu negara yang dilaksanakan
dalam batas-batas wilayahnya.
Hasil: Dalam hukum Indonesia, terdapat istilah yurisdiksi virtual yang merupakan
bagian dari yurisdiksi negara sehingga dalam hal ini negara dapat ikut campur dalam hal
kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksi virtual atau Cyberspace.
Kesimpulan: Sejalan dengan itu, Hukum di Indonesia telah mengatur terkait kejahatan
Revenge Porn seperti dalam Undang-Undang Pornografi dan juga UU ITE.
ABSTRACT
Background: The rapid development of technology gives rise to various new types of
crime in the realm of cyberspace or virtual jurisdictions. No crime committed in the
realm of cyberspace, namely by using computer technology and / or the internet as the
main crime tool is also called cybercrime.
Purpose: The purpose of this study is to discuss in depth the national legal protection
for victims of Revenge Porn.
Method: Jurisdiction is a reflection of a country's sovereignty exercised within its
territorial boundaries.
Results: In Indonesian law, there is a term virtual jurisdiction which is part of the
jurisdiction of the state so that in this case the state can interfere in the event of crimes
that occur within the virtual jurisdiction or Cyberspace.
Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge Porn
Dalam Yurisdiksi Virtual Berdasarkan Hukum di
Indonesia
2023
Yuliana Beatrich Yosephine Purba 1220
Conclusion: In line with that, Indonesian law has regulated the crime of Revenge Porn
as in the Pornography Law and also the ITE Law.
PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi yang cepat menimbulkan berbagai jenis kejahatan baru di
ranah cyberspace atau yurisdiksi virtual. Tidak kriminal yang dilakukan dalam ranah
cyberspace, yakni dengan menggunakan teknologi komputer dan/atau internet sebagai alat
kejahatan utama disebut juga sebagai tindakan cybercrime (Galih, 2019). Bentuk kejahatan
ini memiliki banyak jenis, salah satunya yang sedang marak terjadi adalah revenge porn
atau pornografi balas dendam. Istilah revenge porn memang belum diatur secara khusus
di dalam hukum nasional Indonesia bahkan, dapat dikatakan, istilah ini jarang terdengar
di dalam masyarakat. Namun, kasus terkait revenge porn sudah banyak terjadi dan menjadi
isu yang sering menimbulkan korban namun masih jarang diangkat. Hal ini, salah satunya,
diakibatkan oleh situasi korban yang langsung di diskriminasi oleh masyarakat, seperti
pada kasus revenge porn artis Gisella Anastasia dengan Michael Yukinobu de Fretes yang
dianggap oleh masyarakat sebagai pelaku kejahatan bahkan sempat ditetapkan sebagai
tersangka dan dijerat pasal 29 Undang-Undang Pornografi dan pasal 45 ayat 1 Undang-
Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang pada faktanya ia merupakan
korban dari penyebaran konten pribadi tanpa izin yang dilakukan oleh pihak tidak
bertanggung jawab atau revenge porn (Uneto, 2018). Revenge porn juga dijadikan sebagai
ladang bisnis oleh berbagai oknum yang mana pelaku menjual konten revenge porn
melalui akun anonim di berbagai platform sosial media seperti twitter dan telegram. Selain
itu, terdapat oknum yang menjadikan revenge porn sebagai media untuk melakukan
pemerasan terhadap korban,seperti yang dialami oleh Gendis. Pada saat itu, ia akhirnya
melakukan laporan terhadap kasus pemerasan melalui revenge porn yang ia alami namun
pihak yang dihubungi , seperti SAFEnet , Komnas Perempuan,LSM Savy Amira, hingga
Polda tidak bisa menjawab permasalahannya sehingga kasusnya menjadi terabaikan dan
tidak kunjung menemukan titik terang (Febrianna & Ayu, 2021). Hal ini, di satu sisi,
menunjukkan bahwa rendahnya perlindungan hukum Indonesia pada para korban revenge
porn.
Revenge porn sangat berhubungan dengan hak privasi seseorang. Istilah revenge
porn digunakan untuk mendeskripsikan gambar atau video intim yang pada awalnya dibuat
dalam konteks hubungan pribadi, tetapi kemudian diungkapkan kepada publik melalui
internet. Pengungkapan ini dilakukan tanpa persetujuan dari individu yang ditampilkan
dalam konten tersebut yang pada umumnya didorong oleh niat menyakiti,
mempermalukan, dan melecehkan salah satu pihak ketika suatu hubungan berakhir buruk
(Perangin-Angin, Rahayu, & Dwiwarno, 2019). Apabila kita melihat penjelasan ini,
terdapat pelanggaran hak privasi yang dialami oleh korban karena tidak adanya persetujuan
terlebih dahulu dari korban untuk melakukan penyebaran video asusila tersebut.
Dasar hukum mengenai hak privasi dapat kita lihat pada Pasal 28G UUD 1945 yang
menyatakan bahwa salah satu hak yang dimiliki oleh manusia adalah hak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda , rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Widyaningsih & Suryaningsi,
2022). Pada kasus revenge porn, terjadi kegagalan perlindungan atas martabat dan
kehormatan seseorang sebab selama ini, reaksi masyarakat terhadap revenge porn lebih
menyudutkan pihak korban (victim blaming) dan mempermalukan korban (slut shaming)
sehingga hak atas kehormatan, martabat dan rasa aman korban pun menjadi terlanggar
sebab korban revenge porn akan dihujat oleh masyarakat atas perbuatan asusilanya
walaupun pada faktanya ia tidak memiliki niat untuk menyebarkan ke publik. Menurut
Oxford Dictionary, pengertian slut shaming adalah suatu kontrol sosial yang menstigma
Volume 2, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1221 http://sosains.greenvest.co.id
perempuan karena berperilaku sensual dan liar. Sementara victim blaming adalah adalah
tindakan menyalahkan korban atas peristiwa yang terjadi karena peristiwa tersebut
disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Walaupun korban revenge porn kebanyakan
bergender perempuan, sesuai dengan yang dilansir oleh Cyber Civil Rights Initiative namun
bukan berarti pria tidak akan mengalami revenge porn (Hidayat, Haris, Safiuddin, &
Gaisar, 2023).
Dampak yang diterima oleh korban dari tindakan revenge porn ini tidak ringan.
Seperti pada kasus Ariel Noah, Luna Maya, dan Cut Tari yang akhirnya harus menelan
kenyataan bahwa dirinya harus di boikot oleh stasiun TV karena kasus penyebaran video
asusila yang akhirnya menghancurkan karirnya sebagai artis pada saat itu. Walaupun pada
kasus ini, hukuman pidana penjara hanya dijatuhi pada Ariel Noah karena terbukti
menyebarkan video tersebut melalui tindakan memperlihatkan video asusila pada
temannya namun Luna Maya dan Cut Tari juga terkena dampak atas kasus penyebaran
video asusila ini. Selain berdampak pada ekonomi dan karir seseorang , revenge porn juga
berdampak pada psikologi korban yang mana banyaknya hujatan dan penyudutan yang
dilakukan oleh masyarakat dapat mengganggu kehidupannya dan membuat korban menjadi
dihantui oleh kesalahan masa lalunya. Dampaknya yang begitu luas sampai memberikan
dampak baik eksternal maupun internal kehidupan korban membuat pentingnya
perlindungan hukum bagi korban revange porn dalam Yurisdiksi Virtual di Indonesia
menjadi penting untuk dibahas.
Saat ini, hukum di Indonesia belum mengatur secara spesifik terkait kasus revenge
porn dan hanya mengatur mengenai kekerasan berbasis gender secara general dengan titik
berat pembahasan pada tindakan penyebaran konten dan belum mengatur secara spesifik
terkait pemulihan korban (Febrianna & Ayu, 2021). Adapun Peraturan Perundang-Undang
yang dimaksud adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi dan Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual
METODE PENELITIAN
Dalam hukum Indonesia, terdapat istilah yurisdiksi virtual yang merupakan bagian
dari yurisdiksi negara sehingga dalam hal ini negara dapat ikut campur dalam hal kejahatan
yang terjadi di dalam yurisdiksi virtual atau Cyberspace. Yurisdiksi Virtual atau
Cyberspace adalah konvergensi penerapan asas, kaidah, proses, dan lembaga terhadap
subyek hukum virtual yang melakukan perbuatan hukum virtual serta memiliki akibat
hukum virtual dan/atau faktual. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa terjadi penarikkan
hukum-hukum yang berlaku di dunia nyata ke dalam dunia virtual atau bisa kita sebut
dengan cyber law yakni hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya). Penarikkan
hukum ini dimaksudkan agar adanya pelindungan bagi subjek hukum karena cyber law
dapat menjadi dasar hukum untuk mencegah tindak pidana, ataupun sebagai dasar untuk
melakukan penanganan tindak pidana. Salah satu ruang lingkup yang ditangani di dalam
cyber law adalah mengenai privasi, pencemaran nama baik, ataupun pornografi.
Undang-Undang pornografi Indonesia menjelaskan bahwa sepanjang konten
pornografi dimaksudkan untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri tidak serta merta
menjadi hal yang dapat diduga melanggar pidana melainkan harus dilihat kembali adanya
pelanggaran unsur dalam delik lain yang kemudian menjadi rangkaian perbuatan pidana
(voortgezette delict) yang dapat memenuhi unsur delik dari norma pasal pornografi yang
Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge Porn
Dalam Yurisdiksi Virtual Berdasarkan Hukum di
Indonesia
2023
Yuliana Beatrich Yosephine Purba 1222
secara kumulatif berakibat konten yang dibuat tersebut dapat diakses publik, bahkan
berdampak menjadi konsumsi umum (Prang, 2011). Dalam kasus revenge porn tidak ada
keinginan atau niat dari pihak tersebut untuk menyebarkan ke umum dan menjadikannya
sebagai korban revenge porn. Ezzat A. Fattah menjelaskan keterkaitan korban dengan
kejahatan yang terjadi dalam 5 (lima) bentuk, yaitu, Pertama Non participating
victims yaitu korban yang menganggap bahwa kejahatan tidak ada dan dirinya tidak akan
terkena kejahatan ,Kedua Latent or Predisposed Victims yaitu seorang yang karakternya
memudahkan dirinya menjadi korban kejahatan , Ketiga Provocative Victims yaitu
orang karena kondisi atau tingkah lakunya memicu terjadinya kejahatan,Keempat
Participating Victims yaitu orang yang menjadi korban karena tingkah lakunya sendiri,
dan Kelima False Victims yaitu orang yang menjadi korban karena kehendaknya sendiri
(Bisogno, Dawson-Faber, & Jandl, 2015). Berdasarkan kelima pilihan bentuk korban
tersebut, siapa yang menjadi korban dalam revenge porn pun sangat bervariasi jika melihat
pada tahap mana perbuatan itu dilakukan. Misalnya saja, ketika pembuatan pornografi
untuk kepentingan sendiri dari perspektif viktimologi, kedua belah pihak dapat
dikategorikan sebagai korban dalam bentuk latent or predisposed victims, provocative
victims, participating victims bahkan false victims. Hanya saja pada kondisi revenge porn
ketika materi pornografi telah tersebar luas, korban revenge porn pun semakin sulit
ditentukan dalam tataran konsep viktimologi. Hal tersebut mengingat korban sendiri
dipandang sebagai pelaku yang ikut menyetujui dan dianggap memahami risiko tersebar
luasnya materi pornografi (Christianto, 2020).
Revenge porn sangat berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia, yakni,
hak privasi seseorang yang mana secara sederhana hak privasi memiliki arti “the right to
be alone atau hak untuk tidak diganggu hak privasinya. Hal ini juga diatur dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, secara khusus pada pasal 3
yang mengatur bahwa Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan
keselamatan sebagai individu”. Namun dengan adanya penyebarluasan video tanpa seizin
pemiliknya membuat banyak orang menjadi menghujat sampai akhirnya terjadi cyber
bullying. Hal ini berhubungan dengan kondisi sosiologis indonesia yang sangat
menjunjung norma kesopanan sehingga respon masyarakat terhadap perbuatan asusila
menjadi sangat menekan korban dan berefek pada psikologis korban yang terkadang
mengakibatkan korban harus menjalankan terapi psikologi. Walaupun demikian, dampak
yang begitu besar dari revenge porn ini belum diakomodasi dengan baik dalam undang-
undang di Indonesia. Undang-undang di Indonesia lebih mengatur mengenai penghukuman
terhadap pelaku daripada pemulihan korban. Padahal korban lebih mementingkan
pemulihan daripada penuntutan (Edwards, 2014). Seperti dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang mengatur terkait
pemanfaatan Teknologi Informasi yang harus dilakukan secara aman dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam undang-
undang tersebut menjelaskan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang
Volume 2, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1223 http://sosains.greenvest.co.id
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya
sehingga dapat kita simpulkan bahwa video asusila yang disimpan dalam handphone
korban merupakan informasi elektronik yang disebarkan dan dapat memiliki muatan
pengancaman/pemerasan sehingga bisa terkena pasal 27 ayat (4) yang berbunyi "Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.” Adanya undang-undang tersebut
memberikan kesempatan korban untuk melapor ke polisi karena tujuan revenge porn tidak
hanya membalaskan sakit hati yang dialaminya, tetapi juga pada untuk melakukan
pencemaran nama baik atau merusak citra pihak lain, digunakan pelaku sebagai alat guna
memaksa perempuan untuk melakukan sesuatu, seperti meminta uang,mengancam, dan
dapat berlanjut pada kekerasan seksual (Sugiyanto, 2021).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlindungan Korban pada Hukum terkait
Secara teori, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yaitu
perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan
hukum preventif adalah proteksi yang telah dibuat berupa pencegahan yang
dilakukan dengan moralistik serta abolisionistik. Moralistik mempunyai
kekuatan dengan menaikkan upaya kesadaran masyarakat terhadap isu balas
dendam pornografi dengan tidak melakukan hal tersebut. Sedangkan
abolisionistik sebuah upaya dengan menghilangkan akibat terjadinya balas
dendam pornografi, dengan kata lain memberantas seluruh yang menjadi akar
konflik. Upaya preventif ini lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan. Sedangkan, perlindungan hukum represif bisa dilihat melalui
adanya sanksi aturan yang diatur melalui peraturan Perundang-undangan dan
menjalani alur verifikasi sehingga hasil dari putusan yang bermuatan keadilan.
Sanksi ini bukan menjadi bentuk dari balas dendam, atau kecaman tetapi
bertujuan untuk membawa pelaku kepada jalan yang benar serta tidak melakukan
kejahatan pornografi balas dendam kembali (Dewi, Dewi, & Widyantara, 2022).
Indonesia belum memiliki ketentuan khusus yang mengatur mengenai revenge
porn. Namun, terdapat tiga undang-undang yang dapat digunakan untuk
menanganinya, yaitu Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang ITE, dan
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
memberikan batasan bahwa melalui pasal 4 dan 8 undang-undang tersebut bahwa
selama konten tersebut dimaksudkan untuk dirinya sendiri ataupun jika pelaku
dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang
lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dapat
dipidana. Di sisi lain, terkait batasan penyebaran disini menurut Deputi III
Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo, mengatakan bahwa yang dimaksud di
dalam pedoman adalah jika konten asusila itu disebarkan secara pribadi ke orang
yang tidak terlibat dalam proses produksi. Sebagai contoh, dua orang membuat
video bermuatan asusila menggunakan ponsel milik pihak pertama, kemudian
ditransmisikan kepada pihak kedua, maka itu bukan tindak pidana. Namun, jika
Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge Porn
Dalam Yurisdiksi Virtual Berdasarkan Hukum di
Indonesia
2023
Yuliana Beatrich Yosephine Purba 1224
video itu ditransmisikan lagi ke orang lain maka itu dianggap tindak pidana
(Mohammad Barnie, 2021).
Hukum di Indonesia sudah mengakomodir terkait penjatuhan pidana pada
pelaku melalui pasal 27 ayat (3) dan (4) Undang-Undang nomor 19 tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa pada ayat (3) melarang adanya
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal pendistribusian
/transmisi atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang mengacu pada
ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP dan ayat
(4) yang melarang adanya muatan pemerasan dan/atau pengancaman dalam hal
pendistribusian /transmisi atau membuat dapat diakses informasi elektronik yang
mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam
KUHP. Adapun penjatuhan pidana terkait hal tersebut diatur dalam pasal 45 bahwa
setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar ketentuan Pasal 27 ayat
(3) terkait pelarangan adanya muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan
setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan 27 ayat (4) terkait adanya
muatan pemerasan dan/atau pengancaman akan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Sedangkan, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual, dalam pasal 14 menjelaskan bahwa setiap orang yang tanpa hak
mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
bermuatan seksual diluar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan
seksual dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman dan
pemaksaan dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah ) dengan penambahan berupa
restitusi yang besar nominal restitusi tersebut akan ditentukan oleh hakim.
Right To Be Forgotten sebagai Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge
Porn dan Yurisdiksi Virtual
Perlindungan hukum terkait korban revenge porn merupakan hal krusial
untuk dilakukan mengingat semakin meningkatnya kasus revenge porn dan banyak
dari korban memilih untuk tidak melapor terkait kasus revenge porn yang
dialaminya. Menurut, Kyodo News menyatakan bahwa kasus revenge porn yang
menimpa anak 18 tahun ke bawah mencapai 1.728 kasus pada tahun 2022 dengan
pelaku yang berbeda-beda seperti pacar, sahabat, hingga orang yang dikenal secara
online (Ayuningtyas, 2022). Perlindungan hukum terbentuk karena adanya
keinginan untuk memaksimalkan kebutuhan hak dan pemberian perasaan aman
terhadap saksi maupun korban yang direalisasikan dalam bentuk restitusi,
pemberian kompensasi, tenaga medis, dan bantuan hukum (Dewi et al., 2022).
Walaupun demikian, ada baiknya jika peraturan di Indonesia tidak hanya
memfokuskan pada penjatuhan hukuman bagi pelaku namun juga pemulihan
korban yakni dengan menggunakan prinsip right to be forgotten dalam
menangani kasus revenge porn. Penggunaan prinsip ini dimulai dari kasus Google
Spain SL v Agencia Española de Protección de Datos (AEPD ), Mario Costeja
González (2014). Kasus berawal dari keterlibatan Taziana Cantone/TZ, seorang
Volume 2, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1225 http://sosains.greenvest.co.id
perempuan berusia 30 tahun yang merekam aktivitas seksual dirinya bersama
beberapa orang pria sambil mengatakan Stai facendo il video? Bravo! (You’re
filming? Bravo!). Video tersebut dikirim oleh dirinya kepada mantan
kekasihnya, Sergio di Palo dan 5 (lima) orang teman lainnya melalui media
sosial Whatsapp , namun akhirnya beredar luas di media internet, dimuat dalam
laman internet dewasa bahkan menjadi viral di media internet sehingga TZ
meminta untuk mendapatkan right to be forgotten” bagi dirinya (Christianto,
2020). Ia memohon kepada AEPD untuk menghapus artikel berita yang ditulis oleh
Vanguardia Ediciones SL, penerbit surat kabar di Spanyol dan yang terdapat di
halaman pencarian Google Spain and Google Inc karena menurutnya berita tentang
dirinya tidaklah relevan untuk diterbitkan (Hutapea, 2021). Maka dari itu, pada
putusan CJEU No. C-131/12 pada 13 Mei 2014 menegaskan bahwa hak untuk
dilupakan dalam hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang yang
dirugikan akibat data elektronik yang dimuat oleh penyedia jasa internet.
Berdasarkan hal tersebut, fokus CJEU pada kasus ini terletak pada
penghormatan hak privasi yang dimiliki oleh korban. Hal tersebut menjadi penting
mengingat pemahaman akan CJEU tersebut selaras dengan putusannya yang
mewajibkan Google Spain SL untuk menghapus data informasi tentang korban
dari search engine miliknya (Christianto, 2020).
Pada hukum positif Indonesia juga menggunakan prinsip right to be
forgotten melalui Pasal 26 ayat (3) sampai ayat (5) Undang-Undang Informasi
dan Teknologi yang mewajibkan adanya penghapusan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan. Adapun Proses
penegakan hukum pun diarahkan pada mekanisme litigasi dengan waktu
lama, mekanisme bertahap dan biaya yang tidak murah. Kondisi tersebut
semakin menempatkan orang yang dirugikan dalam keadaan sulit dan harus
mengeluarkan pembiayaan yang mahal. Belum lagi tidak ada kewajiban bagi
penyedia jasa untuk menghapus data informasi yang dianggap merugikan
tersebut. Informasi merugikan tetap beredar bahkan semakin beredar luas dalam
sistem informasi tanpa ada kendali, begitu pula dengan kerugian yang dialami
korban. Penghapusan data informasi oleh pengguna jasa dapat dilakukan ketika
ada permohonan dari korban atau perintah pengadilan untuk itu. Berdasarkan hal
tersebut, korban dalam pengaturan Undang-Undang Informasi dan Teknologi
tampak belum diatur dengan baik (Christianto, 2020).
Dalam hal perlindungan yurisdiksi virtual, prinsip right to be forgotten
dapat memberikan perlindungan agar tidak semakin menyebar luasnya konten
tersebut di dalam yurisdiksi virtual sehingga tujuan Undang-Undang Informasi dan
Teknologi untuk terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum bisa
tercapai.
KESIMPULAN
Masuknya era globalisasi membuat terjadinya berbagai jenis kejahatan di dalam
Yurisdiksi virtual. Hal ini mengakibatkan tidak amannya yurisdiksi virtual sehingga
dibentuklah hukum cyber atau cyber law sebagai dasar hukum untuk mencegah tindak
pidana, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penanganan tindak pidana. Salah satu hal
yang diatur di dalam yurisdiksi virtual adalah terkait pornografi. Kejahatan pornografi
memang merupakan kejahatan yang menarik perhatian masyarakat karena masyarakat
Perlindungan Hukum Bagi Korban Revenge Porn
Dalam Yurisdiksi Virtual Berdasarkan Hukum di
Indonesia
2023
Yuliana Beatrich Yosephine Purba 1226
Indonesia sangat menjunjung norma kesopanan. Namun, terkadang kejahatan ini
merupakan hal yang tidak sengaja ia lakukan seperti pada kasus revenge porn yang mana
tersebarnya video asusila korban terjadi bukan karena keinginannya melainkan adanya
orang lain yang dengan motif tertentu menyebarkan video asusila korban. Adapun motif
tersebut dapat berbagai macam seperti untuk mengancam, mencemarkan nama baik
ataupun untuk memeras korban. Terkait motif tersebut hukum Indonesia sudah
mengakomodirnya melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dapat menjatuhkan hukuman
pidana terhadap pelaku penyebaran. Namun, belum ada pengaturan terkait pemulihan
korban karena hukum Indonesia masih memfokuskan pada penjatuhan pidana pelaku.
Terdapat satu prinsip dalam Undang-Undang Informasi Teknologi dan Transaksi
Elektronik yakni prinsip “ right to be forgotten”. Prinsip ini memberikan kesempatan bagi
korban untuk menghapus video asusila korban di internet. Hal ini, secara tidak langsung
memberikan kesempatan untuk pemulihan korban. Walaupun dalam praktiknya,
mekanisme bertahap dan biaya yang tidak murah. Sehingga, perlu adanya pembenahan
terkait fasilitas dan penerapan sistem prinsip right to be forgotten”. Apalagi kasus
revenge porn sangat berhubungan dengan pelanggaran privasi sebagai salah satu hak asasi
manusia yang juga terdapat pada pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu
hak yang dimiliki oleh manusia adalah hak atas perlindungan diri pribadi,keluarga
,kehormatan , martabat, harta benda , rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Maka dari itu, perlu untuk dilakukan pengaturan lebih
lanjut terkait pelaksanaan penerapan prinsip tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, Nabila Chandra. (2022). Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Korban
Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn). Recidive: Jurnal Hukum Pidana Dan
Penanggulangan Kejahatan, 10(3), 164173.
Bisogno, Enrico, Dawson-Faber, Jenna, & Jandl, Michael. (2015). The International
Classification Of Crime For Statistical Purposes: A New Instrument To Improve
Comparative Criminological Research. European Journal Of Criminology, 12(5),
535550.
Christianto, Hwian. (2020). Konsep Hak Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak
Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik. Mimbar Hukum: Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 32(2), 175192.
Dewi, Ni Komang Ayu Triana, Dewi, Anak Agung Sagung Laksmi, & Widyantara, I. Made
Minggu. (2022). Kajian Viktimologi Terhadap Perlindungan Korban Balas Dendam
Pornografi (Revenge Porn). Jurnal Konstruksi Hukum, 3(1), 217221.
Edwards, Lilian. (2014). Revenge Porn: Why The Right To Be Forgotten Is The Right
Remedy. The Guardian, 29.
Febrianna, Alfida, & Ayu, Nadia. (2021). Kasus Jual Beli Revenge Porn, Korban
Dieksploitasi Dan Belum Terlindungi Hukum.
Galih, Yuliana Surya. (2019). Yurisdiksi Hukum Pidana Dalam Dunia Maya. Jurnal Ilmiah
Galuh Justisi, 7(1), 5974.
Hidayat, Sabrina, Haris, Oheo Kaimuddin, Safiuddin, Sahrina, & Gaisar, Muhammad
Anton Bhayangkara. (2023). Kebijakan Formulasi Kejahatan Sekstorsi Dalam
Sistem Pidana Indonesia. Halu Oleo Legal Research, 5(2), 662674.
Hutapea, Sintong Arion. (2021). Right To Be Forgotten Sebagai Bentuk Rehabilitasi Bagi
Korban Pelanggaran Data Pribadi. Jurnal Jurisprudentia, 4(1), 110.
Mohammad Barnie. (2021). Isi Skb Uu Ite Dan Peluang Korban Revenge Porn Lapor
Volume 2, Nomor 11, November 2023
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1227 http://sosains.greenvest.co.id
Polisi. Retrieved From Https://Tirto.Id/Isi-Skb-Uu-Ite-Dan-Peluang-Korban-
Revenge-Porn-Lapor-Polisi-Ghct
Perangin-Angin, Ita Iya Pulina, Rahayu, Rahayu, & Dwiwarno, Nuswantoro. (2019).
Kewajiban Dan Tanggungjawab Negara Memberikan Perlindungan Hukum
Terhadap Perempuan Korban Revenge Porn Di Indonesia. Diponegoro Law Journal,
8(1), 457483.
Prang, Amrizal J. (2011). Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, 13(1), 7794.
Sugiyanto, Okamaisya. (2021). Perempuan Dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial
Terhadap Perempuan Indonesia Dari Preskpektif Viktimologi. Jurnal Wanita Dan
Keluarga, 2(1), 2231.
Uneto, Nirmala Pertama. (2018). Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi. Lex Crimen, 7(7).
Widyaningsih, Tika, & Suryaningsi, Suryaningsi. (2022). Kajian Perlindungan Hukum
Terhadap Data Pribadi Digital Anak Sebagai Hak Atas Privasi Di Indonesia. Nomos:
Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, 2(3), 93103.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.