Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
647 http://sosains.greenvest.co.id
bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak globalisasi dan
digitalisasi budaya serta untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul nilai etika dalam tatanan globalisasi dan digitalisasi budaya
adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan pada pencarian makna,
pengertian, konsep, karakteristik maupun deskripsi tentang sebuah fenomena. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode observasi yang dilakukan dengan cara
nonparticipant observation dan studi literatur yang digunakan untuk mempertajam
penelitian ini mengenai pergeseran budaya dan etika di era globalisasi dan digitalisasi.
Obyek penelitian ini adalah budaya, dimana pengamatan lapangan dilakukan agar
mendapatkan bukti konkrit serta dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat. Dari pengamatan tersebut kemudian dikaji dengan literatur pendukung agar
mendapatkan kesimpulan yang empiris
Hasil dan Pembahasan
Soft Power: Budaya dan Teknologi 4.0
Soft power adalah kemampuan dalam membentuk persepsi orang lain dengan cara
membujuk dan menarik perhatian. Salah satu contoh soft power adalah budaya dan
teknologi, dimana menurut E.B Tylor dalam (Setiadi, 2017), unsur budaya terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, kemampuan
serta kebiasaan. Unsur-unsur budaya tersebut akan menjadi kekuatan yang sangat ampuh
daripada sebuah persenjataan, budaya sebagai soft power dengan mudah akan masuk dan
mengakar dalam sebuah masyarakat daripada persenjataan yang canggih. Soft power ini
tidak menimbulkan korban jiwa, namun dapat menimbulkan ancaman yang serius terutama
bagi sosial budaya sebuah bangsa, keberhasilan distribusi soft power ke dalam lapisan
masyarakat akan merubah nilai-nilai etika dan akan menimbulkan gesekan antara yang bisa
menerima dan tidak, gesekan tersebut terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai
unsur-unsur baru yang masuk dalam masyarakat.
Hallyu adalah soft power Korea dalam dunia hiburan saat ini. Menyebar melalui
kecanggihan teknologi ke seluruh dunia dan menjadi bukti globalisasi budaya yang tengah
terjadi di masyarakat, fans hallyu mencapai 100 juta jiwa pada tahun 2020 dan angka
tersebut meningkat 11% dari tahun 2019 di seluruh dunia. Demam korea di Indonesia
sendiri berawal dari masuknya drama korea dan K-pop kemudian untuk memperluas
bisnisnya mulai diperkenalkan makanan, kosmetik dan fashion. Kampanye kebudayaan
korea diperkenalkan dan disebarluaskan dengan memanfaatkan teknologi 4.0 seperti
Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dan produk-produk korea juga mudah ditemukan
diberbagai platform e-commerce. E-commerce ternama lebih memilih artis/aktor K-pop
sebagai brand ambassador daripada artis/aktor lokal dan bukannya tanpa alasan hal tersebut
terjadi, artis/aktor K-pop dianggap lebih memiliki pengaruh daripada artis/aktor lokal dan
dipercaya e-commerce yang menggunakan jasa mereka akan lebih menguntungkan.
Budaya sebagai aset bangsa
Industri hiburan Korea Selatan terus berkembang dan negara ini mendapat julukan
“The Land of the Morning Calm” memilki keunggulan selain industri manufaktur yaitu
industri jasa, kreatif dan digital. Keberhasilan K-pop juga mendorong sektor lain seperti
industri fesyen dan kecantikan yang semakin digemari masyarakat di seluruh dunia,
sehingga budaya sebagai aset merujuk kepada pertumbuhan perekonomian suatu negara
dimana kesuksessan memperkenalkan budaya lokal menjadi budaya global akan
menghasilkan devisa bagi negara itu sendiri. Kehadiran K-pop di Indonesia sendiri dapat