Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
645 http://sosains.greenvest.co.id
NILAI ETIKA DALAM TATANAN GLOBALISASI DAN
DIGITALISASI BUDAYA
Hery Gunawan
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Diterima:
20 Juni 2021
Direvisi:
8 Juli 2021
Disetujui:
14 Juli 2021
Abstrak
Globalisasi merupakan salah bentuk penjajahan modern, kini
sebuah Negara tidak perlu mengirimkan pasukan untuk
bertempur di medan perang tetapi cukup melalui perdagangan
internasional maka sebuah Negara melalui industrinya dapat
menata dan menjajah Negara lain. Fokus dari penelitian ini
adalah menganalisa dan mengkritisi pergeseran nilai-nilai
budaya lokal kedalam budaya asing yang sedikit demi sedikit
mengikis nilai-nilai etika manusia sebagai makhluk sosial.
Penelitian ini mencermati maraknya budaya asing yang sangat
digemari kaum muda di Indonesia mulai dari bahasa, fashion
hingga gaya hidup. berkembangnya budaya asing di Indonesia
merupakan ancaman bagi kearifan lokal yang akan terkikis
akibat globalisasi dan digitalisasi. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data
adalah melalui observari dan studi literatur. Hasil penelitian
menunjukkan banyak kaum muda di Indonesia yang lebih
tertarik budaya asing daripada budaya lokal. Hal tersebut
menyebabkan perubahan perilaku seperti cara berbusana,
berkomunikasi hingga hilangnya etika pada generasi muda.
Kemudahan untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai
budaya asing, mengakibatkan nilai-nilai budaya tersebut
berhasil merubah tatanan sosial masyarakat Indonesia secara
luas. K-pop merupakan budaya asing yang kini sangat
digemari masyarakat dunia dan Indonesia, kaum muda sebagai
target globalisasi dan digitalisasi telah berkontribusi
membantu penyebaran budaya asing ke berbagai lapisan
masyarakat khususnya Indonesia.
Kata kunci: Budaya; Globalisasi; Digitalisasi
Abstract
Globalization is a form of modern colonialism, now a country
does not need to send troops to fight on the battlefield, but it is
enough through international trade that a country through its
industry can organize and colonize other countries. The focus
of this research is to analyze and criticize the shift of local
cultural values into foreign cultures which gradually erode the
ethical values of humans as social beings. This study examines
the proliferation of foreign cultures that are very popular with
young people in Indonesia, ranging from language, fashion to
lifestyle. The development of foreign culture in Indonesia is a
threat to local wisdom which will be eroded due to
globalization and digitalization. This research uses descriptive
qualitative method and data collection technique is through
Nilai Etika dalam Tatanan Globalisasi dan Digitalisasi
Budaya
2021
Hery Gunawan 646
observation and literature study. The results of the study show
that many young people in Indonesia are more interested in
foreign culture than local culture. This causes changes in
behavior such as the way of dressing, communicating to the
loss of ethics in the younger generation. The ease of obtaining
various information about foreign cultures has resulted in
these cultural values successfully changing the social fabric of
Indonesian society at large. K-pop is a foreign culture that is
now very popular with the world community and Indonesia,
young people as targets of globalization and digitalization
have contributed to helping the spread of foreign culture to
various levels of society, especially Indonesia.
Keywords: Culture; Globalization; Digitization
Pendahuluan
Globalisasi merupakan salah bentuk penjajahan modern (Riwanto, 2016), kini
sebuah Negara tidak perlu mengirimkan pasukan untuk bertempur di medan perang tetapi
cukup melalui perdagangan internasional maka sebuah Negara melalui industrinya dapat
menata dan menjajah Negara lain (Putri, 2014). Senjata yang canggih tidak diperlukan
untuk melancarkan serangan (Ashari, Jamsari, Safian, & Safiai, 2020), cukup dengan
bantuan teknologi informasi saja maka serangan dapat dilancarkan dan tidak perlu pasukan
yang banyak untuk berperang, tetapi cukup memiliki pelanggan yang loyal dan fanatik
terhadap produk dan jasa yang merupakan pasukan yang siap membela dan menjaga
keberlangsungan perang ini. Teknologi merupakan ifluencer yang efektif terutama dalam
menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya ke berbagai belahan dunia tidak terkecuali
Indonesia (Novianti, 2019), salah satunya adalah budaya Korean Pop (k-pop) yang
meledak di seluruh dunia termasuk Indonesia (Pramadya & Oktaviani, 2021).
Budaya korea masuk ke Indonesia sebagai salah satu bentuk globalisasi yang lebih
popular disebut sebagai Hallyu” (Pramita & Harto, 2016), dahsyatnya Hallyu dapat
dicermarti dari tingginya fans k-pop di Indonesia seperti fashion, musik pop, make up,
model rambut, makanan, gaya bicaya dan bahasa korea makin digemari oleh kaum muda
(Ummul Hasanah & Mery Kharismawati, 2019). Efek dari sebuah industri ini belum pernah
ada yang memiliki dampak yang luas dan bertahan lama, contohnya budaya barat dengan
aliran Hip-Hop atau RnB yang sempat meledak juga pada tahun 2000an diseluruh dunia
termasuk di Indonesia (Muhammad, 2018). Hal tersebut tidak bertahan lama dan cenderung
tidak berkembang karena saat itu teknologi informasi belum berkembang secara pesat
sehingga adanya batasan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dicari
(Prasetyo, 2018).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Riwanto, 2016) yang lebih
menekankan pada fenomena ekonomi dan tahapan globalisasi, penelitian ini lebih kepada
dampak terhadap tatanan sosial dan perubahan perilaku manusia. Menurut (Nasution,
2017) keberhasilan budaya asing melekat pada suatu bangsa akan menjadi ancaman dan
mengikis budaya lokal, hal tersebut cukup beralasan jika dilihat dari dampak yang
dirasakan dimana kaum muda sebagai generasi penerus bangsa makin menggemari budaya
asing daripada budaya lokal. Masalah yang timbul bukanlah sekuat apa budaya asing
tersebut, tetapi bagaimana mempertahankan budaya lokal sebagai warisan dan nilai-nilai
yang harus dilestarikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengindikasi pergerseran nilai-
nilai etika terhadap globalisasi dan digitalisasi, hasil penelitian ini diharapkan dapat
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
647 http://sosains.greenvest.co.id
bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak globalisasi dan
digitalisasi budaya serta untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul nilai etika dalam tatanan globalisasi dan digitalisasi budaya
adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan pada pencarian makna,
pengertian, konsep, karakteristik maupun deskripsi tentang sebuah fenomena. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode observasi yang dilakukan dengan cara
nonparticipant observation dan studi literatur yang digunakan untuk mempertajam
penelitian ini mengenai pergeseran budaya dan etika di era globalisasi dan digitalisasi.
Obyek penelitian ini adalah budaya, dimana pengamatan lapangan dilakukan agar
mendapatkan bukti konkrit serta dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat. Dari pengamatan tersebut kemudian dikaji dengan literatur pendukung agar
mendapatkan kesimpulan yang empiris
Hasil dan Pembahasan
Soft Power: Budaya dan Teknologi 4.0
Soft power adalah kemampuan dalam membentuk persepsi orang lain dengan cara
membujuk dan menarik perhatian. Salah satu contoh soft power adalah budaya dan
teknologi, dimana menurut E.B Tylor dalam (Setiadi, 2017), unsur budaya terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, kemampuan
serta kebiasaan. Unsur-unsur budaya tersebut akan menjadi kekuatan yang sangat ampuh
daripada sebuah persenjataan, budaya sebagai soft power dengan mudah akan masuk dan
mengakar dalam sebuah masyarakat daripada persenjataan yang canggih. Soft power ini
tidak menimbulkan korban jiwa, namun dapat menimbulkan ancaman yang serius terutama
bagi sosial budaya sebuah bangsa, keberhasilan distribusi soft power ke dalam lapisan
masyarakat akan merubah nilai-nilai etika dan akan menimbulkan gesekan antara yang bisa
menerima dan tidak, gesekan tersebut terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai
unsur-unsur baru yang masuk dalam masyarakat.
Hallyu adalah soft power Korea dalam dunia hiburan saat ini. Menyebar melalui
kecanggihan teknologi ke seluruh dunia dan menjadi bukti globalisasi budaya yang tengah
terjadi di masyarakat, fans hallyu mencapai 100 juta jiwa pada tahun 2020 dan angka
tersebut meningkat 11% dari tahun 2019 di seluruh dunia. Demam korea di Indonesia
sendiri berawal dari masuknya drama korea dan K-pop kemudian untuk memperluas
bisnisnya mulai diperkenalkan makanan, kosmetik dan fashion. Kampanye kebudayaan
korea diperkenalkan dan disebarluaskan dengan memanfaatkan teknologi 4.0 seperti
Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dan produk-produk korea juga mudah ditemukan
diberbagai platform e-commerce. E-commerce ternama lebih memilih artis/aktor K-pop
sebagai brand ambassador daripada artis/aktor lokal dan bukannya tanpa alasan hal tersebut
terjadi, artis/aktor K-pop dianggap lebih memiliki pengaruh daripada artis/aktor lokal dan
dipercaya e-commerce yang menggunakan jasa mereka akan lebih menguntungkan.
Budaya sebagai aset bangsa
Industri hiburan Korea Selatan terus berkembang dan negara ini mendapat julukan
“The Land of the Morning Calm” memilki keunggulan selain industri manufaktur yaitu
industri jasa, kreatif dan digital. Keberhasilan K-pop juga mendorong sektor lain seperti
industri fesyen dan kecantikan yang semakin digemari masyarakat di seluruh dunia,
sehingga budaya sebagai aset merujuk kepada pertumbuhan perekonomian suatu negara
dimana kesuksessan memperkenalkan budaya lokal menjadi budaya global akan
menghasilkan devisa bagi negara itu sendiri. Kehadiran K-pop di Indonesia sendiri dapat
Nilai Etika dalam Tatanan Globalisasi dan Digitalisasi
Budaya
2021
Hery Gunawan 648
mendorong perilaku berbelanja masyarakat khusunya kaum muda, dimana permintaan
barang adaptasi Korea meningkat pesat dan hal tersebut akan meningkatkan nilai investasi
juga (Diananto, 2021).
Aset adalah sumber daya yang memiliki nilai ekonomis. Budaya sebagai aset berarti
budaya memiliki nilai ekonomis yang dapat dijual dan merupakan komoditas unggulan
karena pengaruh yang ditimbulkan dari sebuah budaya tersebut, semakin luas budaya
sebuah bangsa dikenal luas maka akan menambah nilai-nilai sebuah bangsa dan sebaliknya.
Budaya sebagai aset karena berawal dari budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat akan
tercipta etika-etika yang berlaku di masyarakat, etika melalui budaya diturunkan generasi
ke generasi agar nilai-nilai etika tetap berlaku di masyarakat. Era globalisasi menyebabkan
tantangan untuk menjaga keutuhan budaya sebagai dasar pembentukan etika semakin sulit,
masuknya budaya asing kerap kali menimbulkan perubahan diantaranya sistem atau tata
nilai, mental, pola pikir hingga tingkah laku masyarakat secara luas (Umanailo, Sos,
Umanailo, & Sos, 2016)
Etika sebagai jati diri Bangsa
Globalisasi budaya sangat berpengaruh dan memiliki dampak yang luas khususnya
dalam nilai-nilai etika yang diyakini masyarakat. Etika sendiri merupakan nilai-nilai yang
mengatur manusia baik sebagai individu atau kelompok yang terkadang tidak tertulis tetapi
diyakini sebagai nilai yang benar di masyarakat (Budi, 2019). Masyarakat menganggap
budaya asing lebih menarik terutama kaum muda, yang gemar berpakaian dengan trend
terbaru, meniru model dan warna rambut yang lagi hits tanpa melihat sisi kepantassan dan
etika yang ada, kaum muda juga kerap mencampur bahasa nasional dengan bahasa asing
saat berkomunikasi. Kaum muda sebagai tulang punggung Negara telah digerogoti oleh
semangat budaya global dari berbagai sumber yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai
etika yang ada, lalu bagaimana dengan kelangsungan budaya lokal yang merupakan jati
diri dan identitas sebuah bangsa? Bagaimana dengan semua warisan budaya bangsa yang
telah memberikan pengaruh positif terhadap perbaikan etika dari masa ke masa? Akankah
hilang karena pengaruh globalisasi budaya asing lebih kuat? Akankah kaum muda sebagai
penerus dan penjaga kearifan lokal hilang begitu saja karena gelombang globalisasi?
Globalisasi sendiri merupakan proses masuknya unsur-unsur baru dari berbagai
belahan dunia kedalam sebuah tatanan sebuah Negara dan mengakibatkan perubahan sikap,
perilaku dan pola pikir masyarakat dalam sebuah Negara (Hitt, Ireland, & Hoskisson,
2016). Upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya tidak semata-mata dapat
menyelamatkan bangsa dari arus globalisasi, budaya asing yang terus masuk melalui
digitalisasi tidak mudah dibendung apalagi hanya diacuhkan saja. Etika sebagai jati diri
bangsa memerlukan kedewasaan mental agar dapat membedakan yang baik dan buruk serta
mengetahui batasan-batasan mengenai etika (Bleibleh & Awad, 2020).
Tujuan dari globalisasi dan digitalisasi pada dasarnya adalah bagaimana menata
kembali manusia melalui sistem teknologi, alasanya karena dampak yang paling terasa dan
terlihat adalah revolusi manusia itu sendiri. Manusia merupakan obyek globalisasi dan
digitalisasi dimana perubahan pola pikir, tingkah laku, hubungan, pola bepergian, belajar-
mengajar dan sebagainya merupakan bukti konkrit manusia adalah target revolusi itu
sendiri. Menteri Keuangan Sri Mulyani berpesan agar jangan meninggalkan etika dalam
era digital karena globalisasi akan berdampak positif jika berlandaskan etika. Dampak yang
terkadang kurang disadari adalah keberadaan etika yang tidak lagi penting dan tidak
diperlukan dalam dunia virtual, etika sudah tidak relevan dalam dunia digital karena
teknologi dianggap dapat mewakili perasaan, simpati dan cinta. Etika dianggap terlalu
bertele-tele, terlalu formal karena banyaknya aturan yang harus dipahami dan ditaati
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
649 http://sosains.greenvest.co.id
sehingga etika banyak ditinggalkan oleh sebagian orang terutama kaum muda yang belum
dewasa.
Kampanye ”mencintai poduk lokal”
Hingga hari ini sektor mana yang tidak terpengaruh globalisasi dan digitalisasi? Saya
kira tidak ada dan secara masif perlahan-lahan globalisasi dan digitalisasi akan membunuh
produk lokal, artinya fenomena globalisasi pada akhirnya hanya dirasakan oleh beberapa
orang yang paham dan mampu mengelola teknologi. Globalisasi kurang berpihak kepada
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sehingga Presiden Jokowi berusaha
melindungi dan memberdayakan produk lokal dengan mengajak seluruh masyarakat untuk
“membenci”produk asing dan mencintai produk lokal. Ajakan tersebut bukan tanpa alasan,
produk asing lebih mendapat tempat strategis dan perhatian khusus dari pengelola bisnis,
hal tersebut dipicu dari realita masyarakat yang lebih suka pada produk asing dan bermerk.
Orang indonesia sebanyak 60%, lebih suka produk asing karena daripada produk lokal,
sehingga hal tersebut menyebabkan peningkatan import barang dari beberapa negara
terutama Tiongkok.
Gambar 1: Negara Asal Impor RI Tahun 2018 (%)
Sumber : Badan Pusat Statistik
Bukti konkrit yang dapat kita lihat dari banyaknya gerai dengan merk asing di pusat
perbelanjaan dan masyarakat lebih suka memakai baju yang betuliskan “I love SGD atau I
love HKG”, menggunakan tas bermerk serta kosmetik asing karena ingin tampil seperti
idolanya. Fenomena tersebut justru datang dari kalangan menengah keatas yang memiliki
modal yang cukup dan hal tersebut dinilai sebagai bisnis yang menjanjikan bagi pusat
perbelanjaan. Fenomena tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat menengah
keatas memiliki budaya untuk berbelanja produk asing daripada produk lokal, sedangkan
UMKM jika hanya berharap kepada masyarakat menengah kebawah maka tidak akan
berkembang dengan baik, karena terbatasnya modal dan daya beli. Bisnis kerap kali
dibangun dan berkembang jika memiliki modal besar, keberhasilan globalisasi dan
digitalisasi dapat dicapai oleh negara-negara yang memiliki modal, teknologi dan tingkat
indeks pengembangan manusia yang unggul, sedangkan negara miskin dan berkembang
hanya menjadi sasaran bagi negara-negara dengan kekuatan sumber daya yang unggul dan
maju.
Idealnya globalisasi dan digitalisasi harus bisa memberikan kesempatan yang sama
untuk maju dan berkembang, sehingga hal tersebut juga merupakan bisnis yang memiliki
etika karena memberikan kesempatan yang sama merupakan bentuk penghargaan dan
Nilai Etika dalam Tatanan Globalisasi dan Digitalisasi
Budaya
2021
Hery Gunawan 650
penghormatan bagi setiap individu untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Etika
memberikan batasan-batasan dalam menghadapi era globalisasi dan digitalisasi, karena
bisnis yang beretika menganggap pesaing dan masyarakat sebagai mitra bisnis yang bisa
memberikan manfaat bagi masyarakat luas (Budi, 2019).
Globalisasi dan Digitalisasi sebagai bentuk kebebasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bebas berarti tanpa halangan dan
gangguan. Kebebasan salah satu produk dari globalisasi dan digitalisasi, batasan-batasan
perdagangan, budaya dan informasi hilang karena teknologi yang memangkas jarak sebagai
tanda dimulainya tatanan baru dalam revolusi 4.0. Kebebasan berekspresi adalah tindakan
yang memuat karakteristik dari sikap ekspresif yang mencakup komunikasi, informasi dan
pengaruh. Kebebasan tersebut diakomodir oleh kehadiran teknologi sebagai media yang
atraktif dan ekspresif bagi sebagian orang yang impulsif untuk mengekspresikan
kebebasannya dalam bentuk tulisan dalam dunia digital. Masyarakat rajin dan tekun
memposting foto, komentar dan status tentang perasaan, fenomena hingga makian dan
cacian terhadap suatu peristiwa yang sedang viral sehingga tampak perilaku tersebut tidak
beretika dan berbudaya.
Kebebasan berekspresi merupakan dampak dari globalisasi dan digitalisasi,
masyarakat dengan bangganya mengadopsi budaya asing sebagai identitas baru mereka
yang didapat dari berbagai media digital. Masyarakat bebas untuk mencari informasi
mengenai apapun yang disukai dan sedang viral, masyarakat juga secara bebas dapat
belajar berbagai hal di dunia ini terutama budaya asing dengan segala keunikannya.
Bentuk-bentuk kebebasan tersebut diadopsi oleh masyarakat dan secara perlahan-lahan
akan merubah tatanan sosial sebuah masyarakat dan akhirnya merubah identitas bangsa
secara keseluruhan. Cara untuk mengatasi dan mencegah pengaruh buruk dari globalisasi,
perlu adanya penguatan nilai-nilai budaya lokal yang menjadi identitas dan perekat dalam
masyarakat. Penguatan nilai budaya-budaya lokal tentu saja tergantung dari kesediaan
masyarakat dalam menjaga nilai-nilai tersebut, jika budaya asing lebih diterima daripada
budaya lokal maka pergeseran budaya akan terjadi dan sebaliknya.
Tantangan globalisasi dan digitalisasi justru mengenai bagaimana menjaga keutuhan
masyarakat sebagai benteng dari kuatnya arus globalisasi dan digitalisasi, melestarikan
etika dan budaya tidak bisa hanya dari pemerintah atau masyarakat saja, tetapi kerjasama
keduanya sangat diperlukan untuk melestarikan identitas bangsa. identitas bangsa bersifat
kekal dan asli sedangkan bentuk identitas lain seperti jenis kelamin, kelas sosial, agama
bersifat sementara dan akan berubah sesuai situasinya. Identitas nasional akan melekat pada
diri setiap orang yang dinilai berdasarkan etika yang dimilikinya, jika kita bertingkah laku
buruk maka orang lain secara tidak langsung akan menilai buruk budaya kita dan
sebaliknya jika kita bertingkah laku baik maka kita akan dinilai sebagai bangsa dengan
budaya yang baik pula. (Antonsich, 2011). Kita boleh tertarik dengan budaya asing apapun,
tetapi harus dalam batasan yang wajar dimana kita tidak boleh mengadopsi budaya asing
tersebut sebagai identitas nasional. Karena budaya asing tersebut belum tentu sesuai
dengan etika yang dianut dalam masyarakat.
Budaya asing yang dipaksakan akan menimbulkan gesekan-gesekan antara yang bisa
menerima dan tidak bisa menerima, kemudian gesekan tersebut akan menimbulkan
perpecahan di masyarakat, dari perpecahan yang kecil akan menimbulkan perpecahan
tatanan sosial secara luas dan pada akhirnya menghancurkan peradaban sebuah bangsa.
Persamaan etika dan budaya adalah sama-sama menyangkut perilaku manusia, kedua hal
tersebut membentuk dan mengatur perilaku manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik,
dengan kata lain etika dan budaya memeberikan batasan antara yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan, baik-buruk dan benar-salah sebuah perbuatan. Sehingga budaya
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
651 http://sosains.greenvest.co.id
merupakan sumber atau induk dari penanaman dan pembentukan nilai-nilai etika yang
berlaku di masyarakat dan budaya juga merupakan dasar pembetukan aturan-aturan atau
norma-norma dalam tatanan sosial.
Etika dalam tatanan globalisasi dan digitalisasi budaya
Revolusi industri melahirkan teknologi-teknologi yang canggih yang menjadi teman
hidup dan menghubungkan kita dengan orang diseluruh dunia. Apakah kita benar-benar
terhubung satu sama lain dalam ikatan emosional? antropologi manusia kini telah bergeser
ke dunia digital, dimana manusia cenderung memilih pola narsistik senagai bentuk relasi
baru (Riyanto, 2019). Kita perlu mencermati perubahan tersebut dimana manusia lebih
percaya dan yakin dengan teknologi yang canggih daripada hubungan sosialnya dan
interaksi lebih banyak terjadi dalam dunia maya seperti media sosial dan chat engine.
Manusia merasa praktis dengan hanya mengirimkan pesan eletronik atau sekedar videocall
daripada harus kumpul dalam komunitas yang membuang tenaga dan waktu, manusia kini
cukup mengirimkan pesan sebagai bentuk perhatian dan cinta kepada teman tanpa perlu
bertemu satu sama lain. Digitlaisasi yang mengglobal justru sebagai penghalang manusia
dalam memupuk cinta kasih dan etika.
Prinsip Utilitarianism dapat mengkaji suatu perbuatan bisa dikatakan baik jika
memilki manfaat bagi orang banyak dan bukan hanya bagi dirinya sendiri. Prinsip ini
menekankan manfaat atau nilai guna dari perbuatan seseorang terhadap lingkungannya.
Keberagaman budaya diseluruh dunia memang sangat menarik untuk dikagumi, tetapi
perlu diingat mengagumi bukan berarti kita meninggalkan identitas kita sehingga rasa
nasionalisme kita juga luntur. Rasa kagum yang berlebihan merupakan salah satu indikasi
gangguan jiwa, dimana penggemar berusaha meniru budaya asing atau idolanya dan
mereka merasa marah jika terjadi penghinaan dan penolakan. Kekaguman yang berlebihan
akan menimbulkan perselisihan dan perpecahan di masyarakat, sebagian yang menilai
ketidaksesuaian budaya asing akan menolak dan akhirnya menimbulkan dampak sosial
yang berkepanjangan dari generasi ke generasi.
Kaum muda yang terobsesi akan sebuah budaya asing merupakan ancaman bagi
keberlangsungan budaya lokal, karena saat seseorang terobsesi maka pikirannya akan
terganggu dan akibat pikiran yang terganggu tersebut akan menyebabkan perilaku yang
kompulsif. Seseorang akan kehilangan kendali atas dirinya, perasaan, dan kemampuan
untuk berpikir logis. Hal tersebut juga menimbulkan sifat hedonis yang berlebihan, dimana
seseorang tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk membeli produk-produk asing
meskipun lebih mahal. Pergeseran perilaku masyarakat tersebut merupakan ancaman bagi
keberlangsungan budaya lokal dan tantangannya adalah bagaimana cara melestarikan
budaya lokal sebagai identitas sebuah bangsa?
Pelestarikan budaya lokal dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
1. Culture Experience
Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara berpartisipasi langsung
dalam mempelajari dan meyebarluaskan salah satu budaya lokal.
2. Culture Knowledge
Merupakan bentuk pelestarian budaya dengan cara membangun pusat informasi bagi
konvensional maupun secara digital yang bertujuan sebagai sarana edukasi ataupun
untuk kepentingan pengembangan kebudayaan lokal dan potensi kepariwisataan
daerah tertentu.
Kedua metode tersebut diharapkan kaum muda dari generasi ke generasi dapat
mengenal budaya lokal dengan benar, sehingga budaya lokal tidak akan hilang akibat
dampak dari globalisasi budaya asing. Hal tersebut juga upaya menjaga agar budaya
nasional tidak diambil atau dicuri oleh bangsa lain.
Nilai Etika dalam Tatanan Globalisasi dan Digitalisasi
Budaya
2021
Hery Gunawan 652
Kesimpulan
1. Dampak positif dari globalisasi dan digitalisasi adalah menggerakkan roda
perekonomian suatu negara, akibat globalisasi dan digitalisasi produk dan jasa lebih
cepat disampaikan dan ditemukan oleh pelanggan. Keberadaan teknologi informasi
sebagai mediasi merupakan sarana yang kuat untuk menyebarluaskan soft power yang
dimiliki berbagai negara.
2. Salah satu bentuk soft power adalah budaya, budaya merupakan aset dan identitas
sebuah bangsa. Budaya yang dikelola dengan baik akan berkembang secara global dan
jika semakin dikagumi oleh masyarakat luas, maka pengagum tersebut merupakan
pasukan yang siap membela budaya tersebut.
3. Tantangan globalisasi dan digitalisasi budaya, bukan bagaimana sebuah bangsa
menyeleksi budaya asing yang masuk. Tetapi bagaimana atau dengan cara apa sebuah
bangsa mempertahankan budaya lokal agar tidak dilupakan dan hilang karena arus
globalisasi dan digitalisasi.
4. Kaum muda sebagai generasi penerus kebudayaan justru lebih memilih budaya asing
untuk diadopsi kedalam tatanan sosial masyarakat. Cara berpakaian dan bertutur kata
para generasi muda kini sangat bervariatif karena budaya asing yang lebih dominan
dan digemari. Hal tersebut merupakan fenomena pergeseran nilai-nilai etika dalam
globalisasi dan digitalisasi.
5. Melestarikan budaya lokal bukan hanya tugas dari pemerintah, budaya sebagai jati diri
suatu bangsa harus dibangun dari komitmen seluruh lapisan masyarakat. Terlepas dari
perbedaan suku, agama dan ras, semuanya yang mendiami dan hidup dalam suatu
tatanan masyarakat wajib memperhatikan nilai-nilai budaya dan etika sebagai acuan
untuk berperilaku.
6. Semakin terbukanya suatu bangsa maka semakin heterogen pula budaya yang dimiliki
dan sebaliknya, keberagaman budaya harus diadopsi sewajar mungkin tanpa fanatisme
yang berlebihan. Mencintai budaya lokal sama seperti mencintai diri sendiri sebagai
bagian dari sumber daya dalam era globalisasi dan digitalisasi dan selektif dalam
memilih budaya yang sesuai adalah ciri sumber daya yang beretika
Bibliografi
Antonsich, Marco. (2011). National identities in the age of globalisation: The case of
Western Europe. National Identities, 11(3), 281299.
Ashari, Mohamad Zulfazdlee Abul Hassan, Jamsari, Ezad Azraai, Safian, Nursafira Lubis,
& Safiai, Mohd Hafiz. (2020). Sejarah Pembangunan Teknologi Ketenteraan
Kerajaan Banu Marin di Al-Maghrib. Journal of Al-Tamaddun, 15(2), 147161.
Bleibleh, Sahera, & Awad, Jihad. (2020). Preserving cultural heritage: Shifting paradigms
in the face of war, occupation, and identity. Journal of Cultural Heritage, 44, 196
203. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.culher.2020.02.013
Budi, Prihatminingtyas. (2019). Etika Bisnis Suatu Pendekatan dan Aplikasinya Terhadap
Stakeholders. Purwokerto: CV IRDH.
Hitt, Michael A., Ireland, R. Duane, & Hoskisson, Robert E. (2016). Strategic
management: concepts: competitiveness and globalization. America: Cengage
Learning.
Muhammad, Soghi. (2018). Jaringan Sosial Asosiasi Komunitas Musisi Indie Indonesia
(ASKOMINDO). Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah.
Novianti, Evi. (2019). Komunikasi Budaya dan Dokumentasi Kontemporer. In Unpad
Press. Bandung: Unpad Press.
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
653 http://sosains.greenvest.co.id
Pramadya, Teguh Puja, & Oktaviani, Jusmalia. (2021). Korean Wave (Hallyu) dan Persepsi
Kaum Muda di Indonesia: Peran Media dan Diplomasi Publik Korea Selatan.
Insignia: Journal of International Relations, 8(1), 87100.
Pramita, Yuli, & Harto, Syafri. (2016). Pengaruh Hallyu terhadap minat masyarakat
Indonesia untuk berwisata ke Korea Selatan. Riau University.
Prasetyo, Joko. (2018). Perubahan Perilaku Remaja oleh Teknologi Informasi di Desa
Pekuwon Kecamatan Juwana Kabupaten Pati. Universitas Negeri Semarang.
Putri, Feby Dasa Eka. (2014). Krisis Minyak Tahun 1973-1974 di Negara-negara Industri
sebagai Penggerak Tata Ekonomi Dunia Baru. AVATARA, Journal Pendidikan
Sejarah, 2, 4257.
Riwanto, Riwanto. (2016). Globalisasi Perubahan Sosial Budaya Dan Krisis Multidimensi
Di Indonesia. Social Studies, 4(2), 1729.
Riyanto, F. X. E. K. O. Armada. (2019). “Percikan” Revolusi 4.0 Refleksi Filosofis
Tentang Siapa Manusia Dan allah. Seri Filsafat Teologi, 29(28), 125.
Setiadi, Elly M. (2017). Ilmu sosial & budaya dasar. Jakarta: Kencana.
Umanailo, M. Chairul Basrun, Sos, S., Umanailo, M. Chairul Basrun, & Sos, S. (2016).
Ilmu sosial budaya dasar. Kediri: FAM PUBLISHING.
Ummul Hasanah, S. S., & Mery Kharismawati, S. S. (2019). Penggunaan budaya pop korea
dalam proses pembelajaran bahasa korea bagi mahasiswa dengan gaya belajar
campuran. Jurnal Lingua Applicata, 3(1), 1731.