Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
669 http://sosains.greenvest.co.id
ETIKA BISNIS DALAM MEMPEROLEH PROFIT DI ERA REVOLUSI
INDUSTRI 4.0
Mulyadi Kamijaya
Unversitas Katolik Widya Mandala Surabaya
E-mail: mulyadik[email protected]
Diterima:
20 Juni 2021
Direvisi:
10 Juli 2021
Disetujui:
14 Juli 2021
Abstrak
Industri 4.0 memiliki potensi manfaat yang besar. Kondisi bisnis
yang penuh persaingan di era industri 4.0 dewasa ini, berbisnis
secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak
mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan
etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari
nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cara menyelaraskan
antara etika bisnis dan orientasi profit di era 4.0. Harapan besar
kita adalah para pebisnis dapat mengetahui etika-etika yang
harus dipegang kuat sebagai seorang pebisnis dengan tetap
menghasilkan profit yang optimal pada era industri 4.0. Hasil
dari penelitian ini adalah menggugah pencerahan kita bahwa
keberhasilan usaha dan manajemen nir hanya dipengaruhi sang
keberhasilan material berupa profit dan pertumbuhan
perusahaan. Kenyataan menerangkan bahwa lingkup aktivitas
usaha dan manajemen hanya menyangkut lingkup ekonomi dan
manajemen secara murni, melainkan menyentuh jua aspek-
aspek manusiawi dan etika. Oleh karenanya dalam setiap
keputusan dan tindakan usaha, aspek-aspek manusiawi dan etika
tersebut ikut berperan pada dalamnya. Sesuai dengan dengan
peran etika yang semakin vital dalam bisnis modern, maka para
pebisnis harus melihat bahwa mereka memiliki peran yang
sangat strategis dalam menyelaraskan wajah dunia bisnis kita di
masa depan. Semakin aspek-aspek manusiawi dan etis
diperhatikan dalam kegiatan bisnis, maka masyarakat dan
budaya juga akan menjadi semakin etis dan bermoral seperti
yang diharapkan yang berpedoman pada jalan Tuhan dan Al
Kitab.
Kata Kunci: Etika, Revolusi Industri 4.0, Proft, Bisnis.
Abstract
Industry 4.0 has great potential benefits. In today's competitive
business environment 4.0, doing business ethically while
seeking maximum profit seems impossible. Many business
people abandon ethics, namely doing actions that deviate from
moral values and norms that are generally accepted in society.
This research was conducted to find out how to harmonize
business ethics and profit orientation in the 4.0 era. Our great
hope is that business people can know the ethics that must be
firmly held as a businessman while still generating optimal
profits in the industrial era 4.0. The result of this research is to
inspire our enlightenment that the success of business and
management is not only influenced by material success in the
Etika Bisnis dalam Memperoleh Profit di Era Revolusi
Industri 4.0
2021
Mulyadi Kamijaya 670
form of profit and company growth. The fact explains that the
scope of business and management activities only concerns the
purely economic and management scope, but also touches on
human and ethical aspects. Therefore, in every business
decision and action, these human and ethical aspects play a role
in it. In accordance with the increasingly vital role of ethics in
modern business, business people must see that they have a very
strategic role in aligning the face of our business world in the
future. The more human and ethical aspects are considered in
business activities, the society and culture will also become
more ethical and moral as expected which is guided by the way
of God and the Bible.
Keywords: Ethics, Industrial Revolution 4.0, Proft,
Business.
Pendahuluan
Industri 4.0 memiliki potensi manfaat yang besar. Potensi manfaat Industri
4.0 adalah mengenai perbaikan kecepatan-fleksibilitas produksi, peningkatan
layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya potensi manfaat
tersebutakan memberi dampak positif terhadap perekonomian suatu negara. Industri 4.0
memang menawarkan banyak manfaat, namun juga memilikitantangan yang harus
dihadapi. Tantangan yang dihadapi oleh suatu negara ketika menerapkan Industri 4.0
adalah munculnya resistansi terhadap perubahan demografi dan aspek sosial,
ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan sumber daya, risiko bencana alam dan
tuntutan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Kesenjangan yang cukup lebar dari
sisi teknologi terjadi diantara kondisi dunia industri saat ini dengan kondisi yang
diharapkan dari Industri 4.0 (Prasetyo & Sutopo, 2018).
Kondisi bisnis yang penuh persaingan di era industri 4.0 dewasa ini, cara berbisnis
secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan
(Purwanto, 2020). Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan
perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam
masyarakat. (Bala, 2019). Manusia moderen tidak lagi percaya kepada dan bergantung total
pada Allah yang benar (Yuono, 2019). Para pebisnis lebih cenderung untuk
memaksimalkan profit dengan teknologi digital dengan cara yang bertantangan dengan Al
Kitab. Sebagai contoh yaitu berkembangnya pinjaman online (pinjol) menggunakan
aplikasi yang tampaknya memudahkan bagi peminjam namun sesuangguhnya sangat
merugikan (Syukur & Syahbudin, 2017).
Banyak pihak prihatin akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak
etis atau amoral tersebut, bahkan ada anggapan bahwa praktik bisnis amoral sebagai
sesuatu yang sah jika ingin meraih profit yang melimpah (Setiawati, 2015). Hal tersebut
jelas sebuah anggapan yang keliru. Mengutakan harta kekayaan daripada aspek moral
merupakan sebuah kesesatan. (Bala, 2019) menyatakan bahwa harta kekayaan bisa menjadi
Allah” bagi orang-orang Israel, ketika Allah tidak lagi dijadikan pusat dan sumber hidup
mereka.
Perkembangan bisnis yang begitu pesat sering mendorong pebisnis untuk meraih
profil bersilangan dengan persoalan etika (Pangiuk, 2021). Bentuk-bentuk pengabaian dari
etika di era industri 4.0 yaitu dalam marketing sering terjadi ketidaksetaraan, ketidakadilan
dan penyalahgunaan kuasa (Suraji & Istianingsih, 2020). Profit finansial lebih banyak
dinikmati oleh bangsa atau perusahan-perusahan besar dari pada bangsa dan konsumen-
konsumen yang kecil dan miskin (Bala, 2019)
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
671 http://sosains.greenvest.co.id
Memang dalam hal bisnis meraih profit adalah hal yang wajar tidak ada rumusnya
dalam bisnis orang mencari rugi (Trisnantoro, 2018). Namun, menjadikan profit sebagai
alasan untuk menerapkan hal-hal yang menyimpang dari etika dan aturan yang sudah
ditetapkan dalam Al Kitab adalah sebuah kesalahan besar. Ada banyak pebisnis yang
melakukan segala cara untuk mendatangkan profit (Ariyadi, 2018). Tindakan itu, antara
lain dengan meminimalkan biaya produksi dengan mengesampingkan hak-hak karyawan,
menurunkan upah karyawan, mengabaikan jaminan sosial dan keselamatan kerja. Dengan
demikian implementasi terlihat jelas bahwa orientasi bisnis sudah bergeser jauh. Orientasi
bisnis yang menuju pada ketentuan Tuhan dalam Al Kitab masih jauh dari ekpektasi.
Berdasarkan referensi dari (Purwanto, 2020), bisnis pada Era Revolusi Industri 4.0
memerlukan banyak pemikiran dan perencanaan, serta tidak melupakan etika dalam bisnis.
Penulis tertarik untuk fokus pada pertanyaan besar saat ini, yaitu bagaimana menyelaraskan
antara etika bisnis dan orintasi profit di era industri 4.0 ini. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui cara menyelaraskan antara etika bisnis dan orientasi profit di Era Industri 4.0.
Manfaat dari penelitian ini bagi pebisnis adalah dapat menjadi pandangan bagi para
pebisnis dapat mengetahui etika-etika yang harus dipegang kuat sebagai seorang pebisnis
dengan tetap menghasilkan profit yang optimal pada Era Industri 4.0. Manfaat yang akan
didapatkan masyarakat adalah dapat menjadi motivasi bagi masyarakat luas tentang bisnis
yang beretika dengan tetap meraih profit.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian kualitatif menjadi releven karena peneliti membutuhkan data secara
deskriptif untuk mengkaji permasalahan yang akan diteliti peneliti yakni etika bisnis dalam
memperoleh profit di Era Revolusi Industri 4.0
Hasil dan Pembahasan
Orientasi Bisnis di Revolusi Industri Era 4.0 telah menempatkan teknologi digital
sebagai teknologi cipataan manusia yang menggeser pada posisi Tuhan sebagai Maha
Pencipta (Suprayitno & Wahyudi, 2020). Teknologi digital secara cepat telah mendorong
manusia menjauh dari tuntunan dan pedoman Tuhan yang telah ditetapkan di Al Kitab.
Manusia lebih fokus kepada temuan-temuan barunya yang telah membawa banyak
perubahan perputaran uang dan kekayaan. Kondisi inilah yang kemudian menempatkan
manusia pada suatu kondisi yang rentan untuk tergelincir kepada kesombongan.
Para peserta didik di era R 4.0 dengan mudah dapat bergeser dari “pembelajar”
menjadi “followers” yang sangat rentan digerakan oleh para admin sosial media (Riyanto,
2019). Para admin sering memberikan penawaran-penawaran yang menggerakkan manusia
ke arah yang semakin menjauh dari pedoman atau aturan Tuhan.
Etika dan Moralitas dalam konteks Revolusi Industri 4.0 harus diutamakan. Para
pelaku bisnis perlu memahami dan membedakan antara moralitas dan moralitas. Moralitas
adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup seperti manusia. Sistem nilai yang
terkandung dalam doktrin berupa nasehat, nasehat, nasehat, aturan dan perintah. Nasehat
ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui agama atau budaya tertentu tentang
bagaimana seharusnya manusia hidup agar bisa menjadi orang yang benar-benar baik.
Moralitas adalah tradisi keimanan yang memberikan bimbingan khusus kepada orang-
orang tentang bagaimana hidup, bagaimana bertindak, hidup sebagai orang baik dan
bagaimana menghindari perilaku buruk.
Berbeda dengan moralitas, moralitas harus dipahami sebagai cabang filsafat yang
berbeda tentang nilai moral dan norma yang menentukan perilaku hidup manusia. Sebagai
Etika Bisnis dalam Memperoleh Profit di Era Revolusi
Industri 4.0
2021
Mulyadi Kamijaya 672
salah satu cabang filsafat, etika menekankan pada metode kritis untuk mengamati nilai dan
norma moral serta isu-isu yang berkaitan dengan nilai dan norma moral tersebut.
Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok
(Anggraini, 2013). Karena etika merupakan refleksi kritis terhadap moralitas maka etika
tidak bermaksud untuk bertindak sesuai moralitas begitu saja. Etika menghimbau orang
untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena diperintahkan oleh nenek
moyang atau guru, melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik bagi
dirinya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Ia sendiri sadar secara kritis bahwa tindakan seperti
itu baik bagi dirinya dan bagi masyarakat karena alasan-alasan yang rasional.
Ada dua macam etika, yaitu etika deskriptif dan etika normatif (Abadi, 2016). Etika
deskriptif berusaha mengakaji secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan
apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai etika
deskriptif, berbicara mengenai fakta seperti apa adanya. Yaitu mengenali nilai dan pola
perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkret yang
membudaya. Etika deskriptif berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa
menilai tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini dan tentang kondisi-kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak secara etis.
Etika normatif berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia dan apa tindakan yang harus diambil untuk mencapai apa
yang bernilai dalam hidup ini. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma yang
menuntun tingkah laku manusia serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia
untuk bertindak sebagaimana seharusnya menurut norma-norma.Ia menghimbau manusia
untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek. Dalam hidup ini kita menemukan
begitu banyak norma yang memberikan pedoman bagaimana kita harus hidup dan
bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar penilaian mengenai baik buruknya
perilaku dan tindakan itu. Norma dapat dibedakan menjadi norma khusus dan norma
umum. Norma khusus adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan khusus, misalnya
olah raga. Sedangkan norma umum memiliki sifat keberlakuan yang lebih luas dan
universal.
Norma umum ini terbagi menjadi tiga, yaitu norma sopan-santun, norma hukum dan
norma moral. Pertama, norma sopan santun mengatur pola perilaku dan sikap lahiriyah
dalam pergaulan sehari-hari.Walaupun sikap dan perilaku lahiriyah ini bersumber dari
dalam hati sehingga mempunyai kualitas moral, namun sikap lahiriyah itu sendiri tidak
bersifat moral. Kedua, norma hukum yaitu yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Keberlakuan
norma hukum ini lebih tegas dan pasti karena dijamin oleh sangsi hukuman terhadap para
pelanggarnya. Ketiga, norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku orang sebagai
manusia. Norma moral mengacu pada baik buruknya sesorang sebagai manusia.
Norma moral menjadi tolok ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan
baik buruknya manusia sebagai manusai, dan bukan kaitannya dengan tugas dan jabatan
tertentu maupun status sosial tertentu lainnya.
Sesuai dengan pola pendekatan etika yang kritis dan rasional, maka kedua jenis etika
ini pada akhirnya menuntun manusia untuk mengambil sikap dalam hidup ini. Bedanya,
etika deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang atau sikap
yang akan diambil, sedangkan etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma
sebagai dasar dan kerangka tindakan yang seharusnya diambil. Etika memberi manusia
orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya sehari-hari. Itu berarti manusia membantu
manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini.
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
673 http://sosains.greenvest.co.id
Etika pada akhirnya membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang menjelma
dalam sikap dan perilaku kita yang sangat menentukan makna hidup ini.
Perspektif pebisnis sering dihadapkan pada suatu dilema antara pilihan berbisnis
dengan orientasi priofit atau berbisnis secara etis di Era Industri 4.0. Sedangkan pilihan lain
yaitu bisnis yang berorientasi profit sekaligus etis, yang selama ini sepertinya sulit
dilakukan, sebab kedua hal tersebut lebih sebagai pilihan orientasi yang mutually exclusive
atau saling menghilangkan dan tidak sejalan satu dengan lainnya. Apabila laba yang
sebesar-besarnya yang ingin dicapai, maka kemungkinan harus mengabaikan etika,
sebaliknya jika lebih mengutamakan etika maka mustahil diperoleh profit yang sebesar-
besarnya. Ketika bisnis secara etis masih sejalan dengan orientasi profit karena biayanya
tidak besar maka kemungkinan pelaku bisnis masih bersedia berbisnis secara etis. Namun
jika harus dihadapkan pada pilihan yang dilematis antara profit dan etika, maka fenomena
yang ada memaksa pebisnis pada pilihan yang mengutamakan profit, karena profit mutlak
diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan bisnisnya.
Diakui oleh banyak pebisnis sangatlah sulit untuk memperoleh win-win solution
sehingga pebisnis memperoleh profit sekaligus berdimensi etis. Namun apabila
perdagangan bebas telah berjalan sepenuhnya, akan terjadi perubahan paradigma berbisnis
secara bertahap. Dimensi etika dalam bisnis menjadi kunci keberhasilan barang dan jasa
yang ditawarkan bisa diterima atau tidak diterima oleh konsumen. Suatu cara berbisnis
tidak etis yang selama ini masih bisa berjalan sukses karena berbagai jaminan dari penguasa
tertentu, akan mendapat kecaman, tekanan dan reaksi internasional. Bahkan kecenderungan
perilaku konsumen di pasar global bersedia membeli produk dengan pertimbangan etika.
Apakah suatu praktik bisnis bisa dikatakan berdimensi etis atau tidak etis bisa dikaji
dengan memahami esensi dari etika bisnis dari pandangan utilitariabism (kemanfaatan),
relativism (relativitas) dan legalism (legalitas). Menurut pandangan utilitariabism, bisnis
dinyatakan etis jika memberikan manfaat kepada banyak orang. Tetapi pandangan ini akan
akan berdampak adanya pihak-pihak yang dikorbankan. Sebagai contoh pembangunan
jalan layang jelas menguntungkan, namun dalam profit yang diperoleh pebisnis
mempunyai dampak berupa hilangnya kesempatan petani mengelola tanah produktif dan
rusaknya keseimbangan ekosistem.
Berdasarkan perspektif relativism, bisnis dinyatakan etis bila mayoritas
berpandangan setuju atau sesuatu yang bersifat umum dilakukan. Namun berbisnis secara
etis bukan merupakan pengikut relativism. Seprti misalnya banyak kasus bribery dan
extorsion yang keduanya merupakan kasus penyuapan. Pada bribery, inisial penyuapan
berasal dari pemberi (giver), sedangkan extorsion inisial penyuapan dari pihak penerima
(receiver). Demikian juga berbisnis secara etis bukan pengikut pandangan legalism, karena
berbisnis lebih dari sekedar taat pada aturan hukum yang ada, namun ketentuan legal
merupakan persyaratan minimum dari suatu tindakan bisnis yang etis. Seperti misalnya
ketentuan upah minimum, maka perusahaan yang berdimensi etis akan memberikan upah
lebih dari jumlah tersebut yaitu pemberian upah yang berorientasi pada terpenuhinya
kebutuhan karyawan lebih luas dengan memperhatikan kemampuan perusahaan secara
jujur.
Etika bisnis merupakan sesuatu yang berlaku secara universal, artinya esensi etika
bisnis berlaku di mana saja, kapan saja dan siapa saja tanpa memandang jabatan, ras,
pendidikan dan agama. Pertimbangan normatif yang menjadi basis apakah sesuatu itu baik
atau buruk mempunyai karakteristik memperhatikan sungguhsungguh seberapa besar
kerugian dan profit bagi manusia, menentang upaya memperoleh profit sendiri (override
self-interest) dan didasari pada pertimbangan yang fair. Bisnis yang berdimensi etis akan
selalu memprioritaskan sumber daya manusia dari pada modal, menghargai martabat
manusia, menghormati human right, profit sharing dan lebih memperhatikan pihak yang
Etika Bisnis dalam Memperoleh Profit di Era Revolusi
Industri 4.0
2021
Mulyadi Kamijaya 674
lemah. Tantangan terbesar manusia di abad-21 adalah menggunakan kekuatan teknologi
untuk memenuhi tuntutan kekuatan penduduk untuk membebaskan tiga perempat jumlah
penduduk dunia yang miskin.
Karena teknologi digunakan dan dikembangkan oleh manusia, maka teknologi tidak
hanya memengaruhi hidup manusia, tetapi juga mengungkapkan siapa manusia itu sendiri.
Setiap manusia diciptakan secitra dengan Allah. Maka, setiap manusia memiliki
keserupaan dengan Allah Sang Penciptanya. Keserupaan dengan Allah Sang Pencipta itu
tampak dalam kehendak bebas manusia, dalam akal budi manusia, dalam kemampuan
manusia untuk membangun relasi, dalam kreativitas manusia, dalam kemapuan manusia
untuk mencintai dan dicintai. Keserupaan itu juga hendaknya terungkap dalam bagaimana
manusia mengembangkan teknologi dan menggunakannya. Penyalahgunaan teknologi
melawan keluhuran martabat manusia yang diciptakan secitra dengan Allah. Ketika
manusia setia pada martabatnya sebagai yang diciptakan secitra dengan Allah, maka
teknologi yang dikembangkan dan digunakannya benar-benar mengekspresikan keluhuran
martabat tersebut (Pasi, 2019).
Pemangku kepentingan yang mempunyai peran besar dalam menentukan bisnis
berorientasi etis atau tidak adalah manajer. Dia berperan dalam menentukan kebijakan
perusahaan, kode etik perusahaan, serta pendidikan dan pelatihan etika bisnis bagi para
pekerjanya. Berkembangnya bisnis berdimensi etis akan memberi harapan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat dengan tersedianya lebih banyak pilihan produk yang harganya
murah, kualitas dan pelayanan yang lebih baik, dan adanya jaminan keselamatan konsumen
yang memadai.
Etika bisnis dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini.
Jika dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti etika
politik dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan semakin
gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama dengan hidupnya
kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika bisnis perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka perilaku bisnis di Indonesia.
Menyadari akan tuntutan dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan
keras yang mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang
makin ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh
menjadi profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namun yang masih sangat
memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai profesi
yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bisnis
adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapatkan konotasi jelek, sebagai
kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan lintah darat yaitu orang yang mengeruk
profit secara tidak halal menghisap darah orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti
ini sebenarnya disebabkan oleh orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra
negatif tentang bisnis di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak
bermutu dengan harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga
banyak pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang,
penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal, yang
semuanya itu merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan menjatuhkan citra bisnis di
Indonesia. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika manusia berorientasi dan
menyandarkan dirinya termasuk bisnis-bisnisnya kepada jalan Tuhan.
Kerusakan image bisnis tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis
di masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal.
Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang berlaku
umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia
untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh profit. Pada
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
675 http://sosains.greenvest.co.id
pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis
adalah kegiatan profit making, bahkan laba dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok
bisnis. Dasar pemikiran mereka adalah profit itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu.
Tanpa profit bisnis tidak mungkin berjalan. Dalam kenyataan profitlah yang menjadi satu-
satunya motivasi dasar orang berbisnis. Karena orang berbisnis ingin mencari profit, maka
orang yang tidak mau mencari profit bukan tempatnya di bidang bisnis. Inilah suatu
kenyataan yang tidak bisa disangkal.
Berbeda dengan pandangan ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena
dilatarbelakangi oleh idealisme yang luhur. Menurut pandangan ini bisnis adalah suatu
kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah
pertukaran timbal balik secara fair, di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin
ditegakkan adalah keadilan kumulatif dan keadilan tukarmenukar yang sebanding. Tujuan
bisnis sebenarnya bukanlah mencari profit, melainkan untuk melayani masyarakat.
Sedangkan profit adalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita
lakukan. Fokus perhatian bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan kita akan memperoleh profit dari pelayanan tersebut. Pandangan bisnis
ideal semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi tertentu yang luhur dan tidak
sekedar mencari profit. Misi itu adalah meningkatkan standar hidup masyarakat dan
membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan secara
etis.
Mengacu pada perspektif bisnis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis
di Indonesia masih jelek. Image jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama yang
melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari profit. Tentu saja mencari profit sebagaimana
dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya mencari
profit telah mengakibatkan perilaku yang menjurus menghalalkan segala cara demi
mencari profit yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya
seperti adanya persaingan tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh
dan sebagainya. Profit adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis
selanjutnya, bahkan tanpa profit, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai. Persoalan
dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar profit yang diperoleh itu wajar-
wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam bisnis ini. Perkembangan etika
bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya hingga sekarang masih jauh dari
harapan.
Pada dunia bisnis, upaya untuk mendapatkan profit yang sebesar-besarnya
merupakan hal yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem
perekonomian nasional, dalam arti profit yang sebesarbesarnya didapatkan dengan
melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun
sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan profit tersebut cenderung mengabaikan
etika bisnis.
Profit yang besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya.
Perilaku bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan profit maksimum akan berdampak
sebagai berikut.
1. Penurunan Upah dan kesejahteraan karyawan. Seperti diketahui bahwa salah satu
ukuran yang digunakan untuk memperoleh profit sebesar-besarnya adalah
memaksimumkan hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan.
Upaya meminimumkan biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga
kerja. Akibatnya kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan
Etika Bisnis dalam Memperoleh Profit di Era Revolusi
Industri 4.0
2021
Mulyadi Kamijaya 676
kontribusi kerja yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah
melanggar etika bisnis.
2. Penghentian usaha pemasok yang disebabkan karena pengusaha seringkali menekan
harga faktor input yang diperoleh dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung
menunda pembayaran. Hal ini akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian
para pemasok. Bahkan beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan
baru atau mengakuisisi perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para
pemasok. Keadaan tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah
mendorong perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan
menguntungkan perusahaan yang bersangkutan.
3. Perusakan lingkungan dengan memaksimalkan profit. Masih banyak pengusaha yang
cenderung menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini
terjadi pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari alam.
Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang mencemari
lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena profit yang
didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal ini berarti bahwa
profit yang diperolehnya didapat atas korban dari masyarakat lainnya.
4. Kerugian Customen (konsumen). Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan profit
yang sebesar-besarnya, masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara
lain dengan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar,
pengiriman barang yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma
kewajaran. Di dalam etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha. Selain
itu, penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering dilaksanakan
melalui pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan distribusi.
Tindakan akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan produsen akan
membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi bank dan lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang
dalam membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan untuk
mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak jujur.
Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama memberikan
kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal ini pun merupakan tindakan perusahaan
yang melanggar etika bisnis.
Hal-hal di atas merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis.
namun demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral
yang termuat dalam Al Kitab. sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang
halal dan berkah. Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan
para pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis.
Upaya mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan
melalui berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1. Menumbuhkan lingkungan usaha yang etis. Pengusaha yang berasal dari lingkungan
keluarga yang tidak etis akan menghasilkan usahawan yang tidak etis pula. Etika
seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan kelauarga orang tersebutl. Usahawan
dari lingkungan keluarga yang baik dan moralis akan menjadi usahawan etis inti, yang
diharapkan dapat menyebar kepada usahawan lain. Pemerintah dan asosiasi pengusaha
dapat membantu menciptakan lingkungan usaha yang kondusif menuju peningkatan
etika dan moral usaha di Indonesia.
2. Membuat kredo perusahaan yang etis dan moralis. Peranan kredo perusahaan yaitu
nilai-nilai falsafah perusahaan yang tercermin dalam visi dan misi bisnis akan selalu
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
677 http://sosains.greenvest.co.id
mengingatkan pimpinan perusahaan dan seluruh staf terhadap etika dan moral dalam
bisnisnya.
3. Menciptakan etika lewat pendidikan manajemen. Pendidikan dan latihan manajemen
dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan etika usaha di perusahaan. Di sini
perlu ditekankan bahwa pengusaha yang etis dan moralis akan dapat langgeng dalam
jangka panjang.
Teknologi seharusnya seiring sejalan dengan moral yang ada dalah pedoman di Al
Kitab. Sebab, menyembah hasil buatan tangan manusia sendiri berarti menarik diri dari
persekutuan dengan Allah. Selain itu, menyembah buatan manusia sendiri merupakan suatu
penyelewengan atau pembelokan perasaan religius manusia yang ditanam oleh Allah
sendiri. Allah menaruh pada manusia suatu kerinduan akan Allah. Kerinduan itu tidak
terhapuskan. Dengan kerinduan itu, manusia mengarahkan diri kepada Allah, Pencipta
langit dan bumi. Dengan menyembah berhala, kerinduan tersebut diarahkan kepada sesuatu
yang lain (Pasi, 2019)
Kesimpulan
Kajian ini menggugah pencerahan kita bahwa keberhasilan usaha dan manajemen
nir hanya dipengaruhi sang keberhasilan material berupa profit dan pertumbuhan
perusahaan. Kenyataan menerangkan bahwa lingkup aktivitas usaha dan manajemen hanya
menyangkut lingkup ekonomi dan manajemen secara murni, melainkan menyentuh jua
aspek-aspek manusiawi dan etika. Oleh karenanya dalam setiap keputusan dan tindakan
usaha, aspek-aspek manusiawi dan etika tersebut ikut berperan pada dalamnya. Sesuai
dengan dengan peran etika yang semakin vital dalam bisnis modern, maka para pebisnis
harus melihat bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam menyelaraskan
wajah dunia bisnis kita di masa depan. Semakin aspek-aspek manusiawi dan etis
diperhatikan dalam kegiatan bisnis, maka masyarakat dan budaya juga akan menjadi
semakin etis dan bermoral seperti yang diharapkan yang berpedoman pada jalan Tuhan dan
Al Kitab.
Bibliografi
Abadi, Totok Wahyu. (2016). Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika. Kanal:
Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2), 187204.
Anggraini, Dini. (2013). Studi Tentang Perilaku Pengendara Kendaraan Bermotor di Kota
Samarinda. EJournal Sosiatri-Sosiologi, 1(1), 1019.
Ariyadi, Ariyadi. (2018). Bisnis dalam Islam. Jurnal Hadratul Madaniyah, 5(1), 1326.
Bala, Kristoforus. (2019). Cur Homo Deus? Tantangan Beriman Kepadaallah Di Revolusi
Industri Era 4.0. Seri Filsafat Teologi, 29(28), 230254.
Pangiuk, Ambok. (2021). Strategi Daya Saing Pasar Tradisional di Indonesia. Nusa
Tenggara Timur: Forum Pemuda Aswaja.
Pasi, Gregorius. (2019). Pergulatan Batin Manusia Di Era Revolusi Industri Keempat
(4ir). Seri Filsafat Teologi, 29(28), 255269.
Prasetyo, Hoedi, & Sutopo, Wahyudi. (2018). Industri 4.0: Telaah Klasifikasi aspek dan
arah perkembangan riset. Jurnal Teknik Industri, 13(1), 1726.
Purwanto, Eko. (2020). Pengantar Bisnis: Era Revolusi Industri 4.0. Purwokerto: Sasanti
Press.
Riyanto, F. X. E. K. O. Armada. (2019). “Percikan” Revolusi 4.0 Refleksi Filosofis
Tentang Siapa Manusia Dan allah. Seri Filsafat Teologi, 29(28), 125.
Setiawati, Rokhis. (2015). Integritas Ilmu dalam Perpekstif Pendidikan. Jurnal
Penelitian, 9(2), 295324.
Etika Bisnis dalam Memperoleh Profit di Era Revolusi
Industri 4.0
2021
Mulyadi Kamijaya 678
Suprayitno, Adi, & Wahyudi, Wahid. (2020). Pendidikan Karakter di Era Milenial.
Yogyakarta: Deepublish.
Suraji, Robertus, & Istianingsih, Istianingsih. (2020). Entrepreneurship (Sistem Ekonomi
Pasca-Kapitalis). Yogyakarta: UPP STIM YKPM.
Syukur, Patah Abdul, & Syahbudin, Fahmi. (2017). Konsep Marketing Mix Syariah.
Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 5(1), 7194.
Trisnantoro, Laksono. (2018). Memahami penggunaan ilmu ekonomi dalam manajemen
rumah sakit. Yogyakarta: UGM press.
Yuono, Yusup Rogo. (2019). Melawan Etika Lingkungan Antroposentris Melalui
Interpretasi Teologi Penciptaan Sebagai Landasan Bagi Pengelolaan-Pelestarian
Lingkungan. Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 2(1), 186206.