Volume 3, Nomor 12, Desember 2023
p-ISSN 2774-7018; e-ISSN 2774-700X
1333 http://sosains.greenvest.co.id
Maraknya ketimpangan antara para pejabat dengan kalangan masyarakat biasa dapat
melahirkan banyak kericuhan dan pemberontakan dalam kehidupan masyarakat. Dengan
ini seseorang dapat merasa Deprivasi. Deprivasi adalah perasaan yang timbul karena
adanyapengalaman timpang dalam diri individusebagai akibat adanya
ketidaksesuaianantara harapan dengan apa yang diperoleh (Santhoso & Hakim, 2012).
Disisi lain, teori Institusional juga berasumsi bahwa setiap institusi dapat bertindak sesuai
dengan tujuan dan kepentingan terbaiknya. Ungkapan tersebut sama hal nya dengan para
aktor politik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk kepentingan dirinya sendiri.
Maraknya kasus korupsi di Indonesia dapat menimbulkan turunnya kepercayaan
masyarakat terhadap para pejabat negara. Lemahnya Public Trust masyarakat terhadap
pejabat negara bisa terjadi karena pemerintah selama ini dianggap tidak serius dalam
menangani kasus-kasus korupsi besar. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya meraih
kembali kepercayaan masyarakat yang hilang. Hal ini sejalan dengan yan dijelaskan (Launa
& Lusianawati, 2021) dalam jurnalnya bahwa dalam konteks Public Trust, pemerintah
tentu perlu mengkontruksi (menata kembali) penggunaan bahasa, simbol, citra, atribut, dan
representasi tertentu yang bisa merajutkembali mutual trust antarainstitusi negara dan
publik, atau sebaliknya—dengan melibatkan peranmedia sebagai agen mediasi
Faktor Terjadinya Korupsi Pada Kaum Elite
New Fraud Triangle Model yang merupakan titik akhir dari penyempurnaan yang
dilakukan. New Fraud Triangle memiliki 4 faktor yang lebih spesifik mengenai faktor
pendorong fraud, yaitu Peluang (Opportunity), Motivasi (Motivation atau MICE Models
terdiri dari Money, Ideology, Coercion dan Ego), Integritas Personal (Personal Integrity),
dan Kemampuan Pelaku Kecurangan (Fraudster’s Capabilities). (Yanti, 2021) (1) Peluang
(Opportunity) adalah faktor penyebab korupsi yang disebabkan karena adanya kelemahan
di dalam suatu sistem, dimana seorang karyawan mempunyai kuasa atau kemampuan untuk
memanfaatkan kelemahan yang ada, sehingga dapat melakukan perbuatan curang dan
penyalahgunaan wewenang. Peluang umumnya ditandai dengan aspek pengawasan
yang meliputi sistem pengendalian internal. (2) Motivasi (Motivation) adalah motif atau
alasan pelaku melakukan kecurangan. Teori MICE Models mengidentifikasi motivasi
menjadi 4 faktor, yaitu uang (Money), ideologi (Ideology), paksaan (Coercion) dan
keserakahan diri (Ego). (3) Integritas Personal (Personal integrity) adalah aktor yang
mengacu kepada kode etik personal yang dimiliki oleh tiap individu. (4) Kemampuan
pelaku kecurangan (Fraudster’s Capability) adalah kemampuan yang dimiliki seorang
individu jika ingin melakukan suatu tindakan korupsi. Sedangkan dikutip dalam Istianah et
al (2014) aspek-aspek penyebab korupsi diantaranya (Istianah et al., 2014)
1) Aspek perilaku individu, apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia
melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula
dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab
manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain (a) sifat tamak manusia, (b)
moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (c) penghasilan kurang mencukupi
kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hidup yang mendesak, (e) gaya hidup
konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaran agama kurang diterapkan
secara benar, (h) upaya untuk mengembalikan modal.
2) Aspek organisasi kepemerintahan, aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah
kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
3) Aspek peraturan perundang-undangan, tindakan korupsi mudah timbul karena ada
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya
peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat
dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang
memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e)