�JURNAL��� �� SOSAINS JURNAL SOSIAL DAN SAINS VOLUME 3 NOMOR 12 2023 P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X |
||
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG CRYPTOCURRENCY DI
INDONESIA Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, Indonesia Email: [email protected] |
||
Kata kunci: Mata Uang, Investasi, Bappebti Keywords: Currency, Investment, Bappebti |
ABSTRAK Latar Belakang: Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Cryptocurrency di Indonesia� ini
ingin mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang cryptocurrency di
Indonesia. Terdapat satu pertanyaan hukum penting yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang cryptocurrency di Indonesia ? Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis
perlindungan Hukum Terhadap
Pemegang Cryptocurrency di Indonesia. Metode: Tipologi penelitian ini adalah hukum normatif (legal research) dengan
teknik pengumpulan data sekunder yang mengambil dari data kepustakaan dan studi dokumen dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Kemudian
dilakukan analisis data dengan metode analisis secara yuridis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kepastian hukum tentang uang kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah tidak diakui atau tidak
sah. Hasil: perlindungan hukum
terhadap transaksi elektronik termasuk di dalamnya adalah uang kripto jika
objek ini disebut sebagai barang (bukan uang secara aturan yang berlaku)
investasi. Aturan perlindungan hukum tersebut diberikan oleh pemangku
kebijakan melalui Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Aturan
yang dimuat oleh Bappebti dan aturan-aturan lainnya yang terkait. Kesimpulan: Perlindungan hukum
tersebut yang diberikan kepada pemegang melalui peraturan yang telah berlaku
meliputi Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset
Kripto yang Dapat Diperdagangkan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang di dalamnya mengatur tentang
Lembaga Kustodian dan Kliring sera Pasar Bursa yang dapat melindungi para
investor. ABSTRACT Background: Legal Protection of Cryptocurrency Holders in
Indonesia" wants to know the legal protection for cryptocurrency holders
in Indonesia. There is one important legal question, namely how to protect
cryptocurrency holders in Indonesia. Purpose: The purpose of this study is to analyze
the Legal protection of Cryptocurrency Holders in Indonesia. Method: The typology of this research is normative law
(legal research) with secondary data collection techniques that take from
literature data and document studies with the approaches used are the
statutory approach (statute approach) and conceptual approach (conceptual
approach). Then data analysis is carried out using juridical analysis
methods. The results of this study show that legal certainty regarding crypto
money as a means of payment in Indonesia is neither recognized nor legal. Results: Legal protection against electronic transactions
includes crypto money if this object is referred to as goods (not money by
applicable rules) investment. The legal protection rules are provided by policymakers
through the Trade Law, Electronic Information and Transaction Law, Law on
Consumer Protection, Rules contained by Bappebti
and other related regulations. Conclusion: The legal protection provided to holders through
applicable regulations includes Bappebti Regulation
Number 7 of 2020 concerning the Establishment of a List of Tradable Crypto
Assets, Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of
the Financial Sector which regulates Custodian and Clearing Institutions and
the Stock Exchange Market that can protect investors.. |
|
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi dan informasi saat ini mendorong lahirnya akses yang mudah di semua
sektor. Akses yang mudah ini memberikan dampak percepatan terhadap pengetahuan
tentang investasi dan jumlah peningkatan investasi yang tinggi. Terutama
pada masa pandemi Covid-19. Investasi menjadi suatu hal yang sangat
diperhatikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kejenuhan dari WFH (Work
From Home) akibat dari pandemi sehingga banyak dari pekerja yang
pendapatannya tidak sesuai dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Penurunan
pendapatan mempengaruhi sirkulasi ekonomi para pekerja ataupun masyarakat
secara umum. Sebab
penurunan pendapatan ini, diperlukan alternatif� penambah penghasilan lain yang
salah satunya melalui investasi (Ningsih, 2023).
Salah satu jenis investasi yang sedang populer ialah cryptocurrency.
A cryptocurrency atau mata
uang kripto merupakan sistem mata uang digital yang memungkinkan pemegangnya menggunakan pembayaran digital sebagai mata uang standar dalam kegiatan
bisnis (Syamsiah, 2017). Cryptocurrency mengambil
istilah nama yang digunakan untuk suatu sistem dalam
kriptografi, dalam proses pelepasan data secara aman dan untuk melakukan proses pergantian token
digital secara tersebar (Dourado & Brito, 2014). Cryptocurrency berkembang
cukup masif di beberapa negara seperti Turki, Argentina, Afrika Selatan,
Singapura dan beberapa negara lainnya (Dourado & Brito, 2014) .
Di Indonesia sendiri, cryptocurrency menjadi
investasi yang sedang gencar dilakukan. Terbukti dengan banyaknya tindakan
pemerintah dan artis yang membuat token atau coin di Cryptocurrency (Dourado & Brito, 2014).
Ada beberapa negara yang telah menggunakan Cryptocurrency tersebut yaitu Elsavador (Dourado & Brito, 2014). Berkaitan
dengan aspek legalitas mata uang tersebut, Indonesia telah memiliki aturan
berupa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, diatur dalam� Pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan bahwa Mata
Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut rupiah. Jika merujuk pada aturan tersebut maka alat pembayaran
yang sah adalah rupiah. Namun dalam konteks
mata uang kripto ini, Indonesia telah memiliki aturan rujukan yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa komoditi adalah semua barang, hak,
dan kepentingan lainnya dan
setia derivatif dari komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif
lainnya.
Aturan
lain adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang & INDONESIA, (2020) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lahir kemudian. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan teknis terkait seperti Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).
Berdasarkan
ketentuan tersebut, kripto sebagai sarana investasi disebut sebagai aset kripto. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, aset kripto adalah
komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku
besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan
pihak lain. Dengan beragamnya regulasi tersebut, pembacaan kritis terhadap produk hukum ini tentu
sangat diperlukan sebagai upaya memberikan kepastian dalam memfasilitasi roda perekonomian (Rusydianta, 2017).
Sekalipun
terdapat berbagai aturan mengenai Cryptocurrency, namun
tidak selalu menjamin perlindungan hukum bagi investor. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan
dalam aspek kerugian yang dialami investor. Cryptocurrency memiliki
nilai uang yang tidak stabil. Hal ini disebabkan ketidakpastian tentang kondisi uang kripto di dunia. Terbukti ada beberapa kasus
uang kripto mengalami anjlok sehingga dapat merugikan banyak pemegang. Selain itu, terdapat resiko
lain seperti pembajakan akun pemegang mata
uang kripto dan berpeluang kehilangan segala aset kripto yang mendiam di dalamnya (Hediati, 2022). Sama seperti yang dialami oleh negara el salvador yang hampir saja mengalami
kehancuran pemerintah tersebut melegalkan kripto bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Dari latar belakang diatas maka penulis ingin
membahas mengenai �Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cryptocurrency
di Indonesia.�
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum pemegang Cryptocurrency di Indonesia.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menurut Peter Mahmud
Marzuki adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki
& Sh, 2021). Penelitian hukum normatif
ini menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Pendekatan di atas digunakan atas dasar analisis konseptual
bentuk perlindungan hukum pemegang Cryptocurrency
dan pengaturannya berdasarkan peraturan Bappebti dan peraturan OJK tentang
pengaturan investasi Cryptocurrency
di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan sumber data sekunder dengan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian ini dianalisis dengan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah menguraikan data penelitian menjadi sebuah struktur bangunan pemikiran melalui rangkaian kata-kata atau pernyataan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cryptocurrency
di Indonesia.
Sejarah menyatakan bahwa mata uang kripto memang diniatkan
sebagai �uang� dengan fungsi pembayaran sebagaimana uang pada umumnya.
Uang kripto dapat dipakai sebagai alat tukar atau
standar pengukur nilai. Keberadaan uang kripto selaras dengan kebutuhan global tentang �dunia tanpa perbatasan� (borderless
world) yang dapat membentuk
negara tanpa batas (a single global society). Dunia
dipandang lebih efisien jika tidak dibatasi oleh �politik teritorial� suatu
negara, termasuk dalam pemegangan mata uangnya. Uang kripto ini bersifat
desentralisasi sehingga berbeda dengan sistem sentralisasi yang terdapat pada
mata uang tradisional dan sistem perbankan saat ini (Rohman, 2021).
Salah satu mata uang digital yang banyak diminati oleh
para investor untuk di Investasikan adalah Bitcoin.
Bitcoin adalah sebuah mata uang baru
atau uang elektronik yang diciptakan pada 2009 lalu oleh seseorang yang
menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto (Raharjo, 2022). Dia
merancang perangkat lunak sumber terbuka dikaitkan dengan nama samarannya. Ia
juga menggunakan jaringan peer-to-peer
tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal di mana Departemen
Keuangan Amerika Serikat menyebut Bitcoin
sebagai sebuah mata uang yang terdesentralisasi (Wong, 2014).
Dalam rangka memberi kepastian dan perlindungan hukum
dalam transaksi Cryptocurrency, pemerintah
membuat kebijakan yang melindungi pemegangan uang kripto di Indonesia. Kebijakan tersebut berupa aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Peraturan Kepala Bappebti Nomor 3 Tahun 2019 tentang Komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka. Selanjutnya diatur juga di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).
Aturan lainnya tentang transaksi aset kripto yang juga disahkan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena proses
transaksi dilakukan melalui jaringan internet. Adanya
perlindungan hukum yang diberikan dapat meminimalisir adanya kerugian, sengketa dan tindak pidana dalam
investasi Cryptocurrency.
Maraknya penipuan berkedok investasi yang menjanjikan untung besar untuk menarik
calon investor membuat pemerintah terus berusaha untuk memperbaharui aturan hukum yang ada.
Cryptocurrency
harus memenuhi seluruh syarat yang diatur di dalam aturan Bappebti dengan mengumpulkan seluruh dokumen yang diminta. Dokumen tersebut meliputi data diri pendaftar dengan mengisi isian permohonan pendaftaran calon pedagang fisik Aset Kripto serta melengkapi
dokumen yang terdiri dari 1) salinan akta pendirian badan hukum calon Pedagang
Fisik Aset Kripto beserta identitas kelengkapan data pengurus dan pemegang saham; 2) penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk (daftar Aset Kripto yang diperdagangkan,
volume, dan jumlah Nasabah
per-Aet Kripto); 3) Penjelasan
singkat bisnis proses dan peraturan dan tata tertib terkait dengan penyelenggaraan perdagangan Aset Kripto; 4) Rencana bisnis; 5) Struktur Organisasi (bagan, jumlah, pegawai, serta uraian tugas
dan masing-masing fungsi/bagian/divisi);
6) Daftar Bank dan nomor rekening
yang dipergunakan untuk melakukan transaksi perdagangan Aset Kripto dan menyimpan dana� pelanggan Aset Kripto; 7) Bukti pendaftaran sistem elektronik pada Kementerian Komunikasi
dan Informatika atas sistem yang dipergunakan; 8) Keterangan mengenai server, lokasi, pemilik, dan hal-hal lain terkait dengan sistem perdagangan
Aset Kripto; 9) Daftar identitas
Pelanggan Aset Kripto yang telah terdaftar; dan 10) Daftar seluruh Wallet
yang dikelola.
Peraturan
di atas mengedepankan prinsip pengelolaan usaha dengan benar
seperti mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi dari resiko yang dapat merugikan (Faishal, 2019). Oleh karena perlindungan hukum bagi pemegang
kripto harus diutamakan dengan melihat ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Perbappebti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, Aset kripto adalah komoditi
tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan
pihak lain. Aset kripto telah berkembang
luas di di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan di
Bursa Berjangka, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 99 Tahun
2018 dan Pasal 1 huruf f Peraturan
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Komoditi Yang Dapat Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, Dan/Atau Kontrak
Derivatif lainnya Yang Diperdagangkan Di Bursa Berjangka,
bahwa aset Kripto ditetapkan sebagai komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di
Bursa Berjangka.
Selain itu ketentuan mengenai penyelenggaraan perdagangan Aset Kripto di Bursa Berjangka dan ketentuan teknisnya telah diatur dalam
Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka dan diatur secara lebih
khusus dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan
Pasar Fisik Aset Kripto
(Crypto Asset) di Bursa Berjangka. Berdasar pertimbangan huruf c Permendag Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto
Asset).
Bank Indonesia juga mengeluarkan
regulasi lain, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam ketentuannya,
Bank Indonesia menekankan kembali
bahwa virtual
currency dilarang digunakan
oleh penyelenggara teknologi
finansial sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2. Penyelenggara finansial selain diwajibkan menggunakan rupiah,
salah satunya, diminta untuk menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana diatur dala� Pasal 8 ayat (1) huruf e. Adapun penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:
�Yang dimaksud dengan �virtual
currency� adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward). Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual
currency karena virtual currency bukan
merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.�
Peraturan
lain yang juga mengatur mengenai
virtual currency adalah
Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.
Sama seperti dua peraturan sebelumnya, peraturan ini merupakan respon
dari kebutuhan untuk menanggapi iklim keuangan digital yang semakin kuat. Dalam Pasal 62 menyebutkan bahwa pemrosesan pembayaran uang elektronik dilarang menggunakan virtual
currency dengan penjelasan
yang sama, yaitu sebagai uang yang tidak dikeluarkan oleh otoritas moneter. Dengan demikian, membaca regulasi yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia dapat dikatakan
bahwa baik uang elektronik maupun virtual currency merupakan
uang digital.
Dari segi yuridis normatif, masyarakat membutuhkan kepastian perlindungan hukum untuk menggunakan
uang kripto dalam kegiatan transaksi. Hal itu menjadi perhatian
oleh Kementrian Perdagangan
dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Dalam regulasi ini ternyata
terdapat pergeseran ketetapan atau definisi. Uang kripto tidak lagi disebut
sebagai �uang digital�, melainkan
�komoditas�. Pasal 1 Permendag
No. 99 Tahun 2018 mengatur bahwa aset kripto
dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di
Bursa Berjangka.�
Regulasi tersebut kemudian secara teknis diikuti dengan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset)
di Bursa Berjangka. Dengan mengubah uang kripto sebagai �barang dagangan�, maka keuntungan dan resiko dari pergerakan harga dan nilai tukar dialihkan kepada investor atau anggota Bursa Berjangka (Iswara, Yahanan, & Syaifuddin, 2019).
Aset kripto yang dapat diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut diatur di dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset)
di Bursa Berjangka. Pasal 2 pada aturan
tersebut menyebutkan bahwa:
(1) �Perdagangan Aset Kripto harus memperhatikan:
a. prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dengan mengedepankan
kepentingan Anggota Bursa Berjangka, Pedagang Fisik Aset Kripto, dan Pelanggan Aset Kripto untuk memperoleh harga yang wajar dan sesuai;
b. tujuan pembentukan
Pasar Fisik Aset Kripto sebagai sarana pembentukan harga yang transparan dan penyediaan sarana serah terima
fisik, serta dipergunakan sebagai referensi harga di Bursa Berjangka;
c. kepastian hukum;
d. perlindungan Pelanggan Aset Kripto; dan
e. memfasilitasi inovasi, pertumbuhan, dan perkembangan kegiatan usaha perdagangan fisik Aset Kripto.
Pada pasal 3 juga mengatur perihal sebagai berikut:
(2) �Aset kripto
wajib diperdagangkan sesuai dengan mekanisme
yang diatur dalam Peraturan Badan ini.
(3) �Aset Kripto dapat diperdagangkan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut:
a. berbasis distributed ledger technology;
b. berupa Aset Kripto
utilitas (utility
crypto) atau Aset Kripto
beragun aset (Crypto Backet Asset);
c. nilai kapitalisasi
pasar (market cap) masuk ke dalam
peringkat 500 (lima ratus) besar
kapitalisasi pasar Aset Kripto
(coinmarketcap)
untuk Kripto Aset utilitas;
d. masuk
dalam transaksi bursa Aset Kripto terbesar di dunia;
e. memiliki
manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan
kompetensi tenaga ahli di bidang informatika (digital talent); dan
f. telah
dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan
terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.
Aset Kripto hanya dapat diperdagangkan apabila telah
ditetapkan oleh Kepala
Bappebti dalam daftar Aset Kripto yang diperdagangkan
di Pasar Fisik Aset Kripto.
Macam-macam aset kripto yang dapat diperdagangkan di
Indonesia mengacu pada Perba Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset
Kripto terdapat 229 aset kripto diantaranya Bitcoin, Ethereum, Tether,
Xrp/ripple. Bitcoin cash, Binance coin, Polkadot, Chainlink, Lightcoin, Bitcoin
SV, Litecoin, Crypto.com coin, Usd coin, Eos, Tron, Cardano, Tezos, Stellar,
Neo, Nem, Cosmos, Wrapped bitcoin, Iota, Vechain, Dash, Ehtereum classic,
Yearn.finance, Theta, Binance usd, dan Omg network. Sedangkan dasar penetapan
daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto
berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Perba Np. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis
Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.
Ketentuan mengenai aset kripto yang dapat
diperdagangkan namun harus memenuhi persyaratan paling sedikit; a) berbasis distributed ledger technology, 2) berupa
aset kripto utilitas (utility crypto)
atau aset kripto beragun aset (Crypto
Backed Asset), 3) nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam
peringkat 500 (lima ratus) besar kapitalisasi pasar aset kripto (coinmarketcap) untuk Kripto Aset
utilitas. 4) masuk dalam transaksi bursa aset kripto terbesar di dunia. 5)
memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika
dan kompetensi tenaga ahli di bidang informatika (digital talent) dan, 6) telah dilakukan penilaian risikonya,
termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi
senjata pemusnah massal (Perdagangan Aset Kripto: Bappebti)
Sedangkan pedoman yang harus dipenuhi dalam
menjalankan aset kripto diatur di dalam Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020
tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik
Aset Kripto, Pasal 1 (4) yang menyatakan bahwa Pedoman Penetapan Aset Kripto
yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terdiri dari Pedoman Umum Penilaian Kesesuaian Aset Kripto, dan
Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Jenis Aset Kripto yang memuat prinsip-prinsip
umum dan kriteria penetapan Aset Kripto sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pengaturan
pergeseran memiliki dua cara penetapan. Dari Bank
Indonesia mendefinisikannya sebagai
"uang digital" dan layanan yang dilarang untuk di jual belikan. Namun
uang digital atau rupiah digital menurut
Bank Indonesia diterbitkan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan rupiah digital tidak akan menghilangkan keberadaan uang tunai dan uang elektronik. Kementerian Perdagangan
mendefinisikannya sebagai
"bisnis digital" yang bisa
berdagang. Bisnis digital merupakan bisnis yang menggunakan teknologi untuk menciptakan produk atau jasa
dan memasarkan secara
online melalui media digital yaitu
internet. Otoritas Jasa Keuangan juga lebih memilih netral dalam
perbedaan ini mengawasi lembaga keuangannya (Rohman, 2021). Perbedaan
makna dalam pemegangan istilah tersebut menyebabkan kerancuan dalam proses
legalisasi transaksi menggunakan uang kripto di Indonesia. Oleh karena itu,
penetapan tersebut sudah jelas berada pada kewenangan Bank Indonesia selaku
Bank Sentral Negara Republik Indonesia atau BI selaku otoritas moneter yang
memiliki wewenang untuk menerbitkan uang digital tersebut.
Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang harus
dilakukan dengan membangun lembaga khusus yang mengawasi tentang perdagangan
uang kripto tersebut, terutama dalam regulasi Cryptocurrency ini dengan mempertimbangkan segala manfaat dan
segala perubahan ekonomi yang terjadi (Harjono, 2011). Oleh
karena itu, pemerintah telah memberikan pengaturan turunan yaitu Undang-Undang
Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, khususnya
mengenai aset kripto. Ada kewenangan regulasi pengawasan yang sebelumnya
dilakukan oleh Bappebti namun selanjutnya akan dialih kewenangannya oleh Badan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui peraturan tersebut pemerintah dapat fokus
pada pengawasan terhadap aset yang disimpan di pihak Kustodian sebagai lembaga
yang khusus untuk menyimpan aset dan lembaga bursa aset sebagai lembaga yang
mengatur tentang pasar bursa.
Dampak dari kerancuan pemaknaan tersebut dan praktek
yang terjadi dilapangan sebagaimana ketidakpastian antara uang kripto sebagai
aset atau sebagai alat pembayaran Harjono, (2011), hal
tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum dan kekhawatiran bagi setiap
pengguna maupun masyarakat. Hal tersebut dapat disalahgunakan untuk modus
pencucian uang. Informasi terakhir diuraikan melalui Kompas melalui Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya dugaan tiga
tersangka kasus korupsi PT Asabri melalui pencucian uang dengan menggunakan bitcoin atau transaksi mata uang kripto.
Jika terjadi permasalahan hukum bagi pemegang cryptocurrency ataupun kasus hukum sebagaimana seperti pencucian
uang, maka perlu perlindungan hukum� yang
konkrit. Hal ini dapat dilakukan melalui perlindungan� hukum berupa pengawasan dari Bappebti,
pengawasan dari Satgas Pengawas Investasi, perlindungan keamanan dan pengelola
pasar aset kripto dan perlindungan hukum melalui UU ITE. Setelah melakukan
perlindungan tersebut dalam langsung melakukan upaya hukum yang dapat dilakukan
setelah perlindungan hukum di atas masih terjadi.
Upaya hukum tersebut memerlukan penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi yaitu Arbitrase. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 1 menyebutkan
�Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak bersengketa�. Apabila tidak tercapai
mufakat, para pihak dalam Perdagangan transaksi Fisik Asset Cryptocurrency yang berselisih dapat menyelesaikan melalui wadah yang telah disediakan oleh Bursa Berjangka melalui Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI). BAKTI mengkhususkan
diri pada sengketa perdata berhubungan dengan Perdagangan Berjangka Komoditi, Sistem Resi Gudang serta transaksi-transaksi lain yang diatur
dalam Bappebti (Nitha & Westra, 2020).
Upaya hukum litigasi akan dilakukan
apabila penyelesaian masalah melalui jalan mediasi dan BAKTI tidak tercapai. Para pihak dapat memilih
penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa BPSK memiliki kewenangan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi, arbitrase dan konsiliasi (Puspasari, 2020). Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap kerugian yang dialami oleh investor dalam transaksi aset kripto yang dilakukan dengan mengandung unsur penipuan oleh pelaku usaha yang menjual Aset Cryptocurrency,
maka investor dapat mengajukan gugatan penyelesaian sengketa kepada BPSK dimana putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Puspasari, 2020).
Dampak
dari kerancuan pemaknaan tersebut dan praktek yang terjadi dilapangan sebagaimana ketidakpastian antara uang kripto sebagai aset atau sebagai
alat pembayaran (wahyunanda Kusuma, 2021), hal tersebut dapat
menimbulkan permasalahan hukum dan kekhawatiran bagi setiap pengguna
maupun masyarakat. Hal tersebut dapat disalahgunakan untuk modus pencucian uang. Informasi terakhir diuraikan melalui Kompas melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang
adanya dugaan tiga tersangka kasus korupsi PT Asabri melalui pencucian uang dengan menggunakan bitcoin atau transaksi mata uang kripto. Jika terjadi permasalahan hukum bagi pemegang
cryptocurrency ataupun
kasus hukum sebagaimana seperti pencucian uang, maka perlu perlindungan hukum yang konkrit. Hal ini dapat dilakukan
melalui perlindungan hukum berupa pengawasan
dari Bappebti, pengawasan dari Satgas Pengawas Investasi, perlindungan keamanan dan pengelola pasar aset kripto dan perlindungan hukum melalui UU ITE. Setelah melakukan perlindungan tersebut dalam langsung melakukan upaya hukum yang dapat dilakukan setelah perlindungan hukum di atas masih
terjadi.
Penjelasan-penjelasan
diatas dapat paparkan kembali bahwa sebenarnya penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran
tidak diatur di dalam perundang-undangan di indonesia. Permasalahan hukum yang belakang masih terjadi adalah
kerancuan pemaknaan dan praktek yang terjadi di lapangan. Disisi lain rentang terjadi praktik yang tidak diinginkan seperti pencucian uang. Adanya ketidakpastian
antara uang kripto sebagai aset atau
sebagai alat pembayaran. lemahnya perlindungan bagi investor sehingga mengkhawatirkan menurunnya kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi melalui media
digital yaitu uang kripto. Namun perlindungan hukum bagi investor adalah upaya penting
yang perlu segera diejawantahkan oleh pemerintah. Melalui sarana apapun namun dengan
lembaga yang khusus untuk menjangkau dan mengawasi pergerakan pasar serta perlindungan yang kuat bagi investor.� Perlindungan tersebut meliputi aturan yang dikeluarkan oleh Bappebti dan UU terkait lainnya. Undang-Undang lain yang hadir untuk melindungi
transaksi digital adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur tentang penerapan penyelenggara yang melakukan bisnis melalui sistem elektronik (Kurniawan et al., 2021). Hal lain dari perlindungan hukum bagi pemegang
Cryptocurrency adalah
mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang secara riil memberikan perlindungan hukum bagi pemegang yang mengalami kerugian yang diderita oleh pemegang atau investor dengan memberikan kejelasan yang pasti tentang transaksi
yang diperbolehkan atau
yang dilarang.
Perlindungan
hukum tersebut dapat pula mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selanjutnya yang berkaitan dengan perlindungannya adalah dapat dilakukan
di Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang merupakan
badan yang bertugas untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
Aturan
lainnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kaitannya dengan Undang-Undang ini adalah pemegang kripto atau investor dapat dikategorikan sebagai konsumen yang dalam hal ini
juga sangat perlu diberikan
perlindungan hukum. Secara dasar perihal
konsumen dikenal ada empat. Pertama,
hak untuk mendapatkan keamanan, kedua hak untuk
mendapatkan informasi, ketiga hak untuk
memilih dan keempat adalah hak untuk
didengar. Oleh sebab semua berlaku untuk
para konsumen sejati diberikan haknya jika terdapat kerugian
yang diderita oleh pemegang
uang kripto atau investor selaku sejajar sebagai konsumen.
Perkembangan
berikutnya, pemerintah telah mengesahkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi investor. pemerintah telah melakukan aturan turunan dari Undang-Undang
Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan, khususnya mengenai
aset kripto. Di dalam aturan tersebut
juga mengatur tentang peralihan kewenangan yang semula dimiliki oleh Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Pasal 6 disebutkan bahwa :
(1) Otoritas Jasa
Keuangan melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan
jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan
jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon;
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun;
d. kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK lainnya;
e. kegiatan di sektor ITSK serta aset keuangan digital dan aset kripto;
f. perilaku pelaku usaha jasa
keuangan serta pelaksanaan edukasi dan Perlindungan Konsumen, dan;
g. sektor
keuangan secara terintegrasi serta melakukan asesmen dampak sistemik
Konglomerasi Keuangan.
Melalui aturan tersebut, pemerintah telah membentuk
lembaga resmi yaitu lembaga kustodian sebagai tempat penyimpanan aset kripto.
Sedangkan kliring berfungsi sebagai mekanisme pencarian transaksi. Lembaga
kliring sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8B sebagai berikut:
Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak
yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/ atau permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank,
perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring
dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana
perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga
Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang
memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek,
Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau WK
Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang
pembubaran dan/ atau pailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang
lainnya.
Infrastruktur pasar hadir setelah penyelenggara pasar
di sektor keuangan serta juga mengikut perkembangan teknologi. Sedangkan
infrastruktur pasar tersebut meliputi; a) sarana transaksi; b) sarana kliring
dan/atau penjaminan (central counterparty); c) sarana penyelesaian transaksi,
penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral); d)
sarana penyelesaian dana (sistem pembayaran); e) sarana pengelolaan informasi
transaksi (trade repository), dan; f) sarana lainnya. Sedangkan lembaga kustodian
adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek, harta yang berkaitan dengan portofolio investasi kolektif, serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan
transaksi Efek, serta mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
Dengan demikian, ratio legis dari adanya beberapa
peraturan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat dan memberikan kepastian
hukum kepada pelaku usaha di bidang perdagangan berjangka aset kripto. Namun
ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki tentang kepastian hukum untuk
pemegang uang kripto harus segera diperjelas. Bahwa uang kripto bukanlah
sebagai alat pembayaran yang salah di Indonesia, karena berdasarkan UU Mata
uang hanya uang rupiah yang memiliki legalitas sebagai mata uang untuk
digunakan sebagai alat pembayaran. Namun uang kripto tetaplah eksis sebagaimana
perkembangan teknologi serta semakin banyak diterima oleh masyarakat, meski
statusnya sebagai alat pertukaran barang dan dapat ditukarkan untuk berbagai
investasi. Tidak ada tumpang tindih peraturan sebagaimana disebutkan bahwa mata
uang yang sah adalah rupiah namun dalam praktek banyak transaksi menggunakan
uang kripto sebagai alat pembayaran maupun sebagai barang yang dapat
diinvestasikan tetap saja perlu diberikan produk hukum yang jelas sehingga
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang telah menggunakan uang digital
tersebut.
KESIMPULAN
Investasi
yang terjadi di Indonesia bukan didasari pengetahuan oleh orang yang mulai
investasi tersebut. Namun dari orang yang melakukan investasi secara terus
menerus dan memperoleh keuntungan, dan pada saat melakukan investasi tersebut
tidak melihat bagaimana fundamental suatu perusahaan tersebut namun mengikuti
orang untuk membelinya atas dasar mengikuti.
Masyarakat
mengikuti perkembangan teknologi yang menerima perkembangan investasi dengan
melihat sarana kripto sebagai alat untuk diinvestasikan dan mengambil
keuntungan darinya. Perkembangan teknologi ini yang diikuti oleh perkembangan
investasi digital dengan uang kripto sebagai sarana untuk alat transaksi
memiliki kemampuan tersendiri dalam berinvestasi. Kemampuan tersebut dapat
dilihat dari perkembangan investor yang mencapai 17,54 juta orang Indonesia.
Namun perlu ada perlindungan hukum untuk menjaga para investor agar terjadi
keseimbangan perekonomian yang semakin maju.
Perlindungan
hukum tersebut yang diberikan kepada pemegang melalui peraturan yang telah
berlaku meliputi Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar
Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang di dalamnya mengatur tentang
Lembaga Kustodian dan Kliring sera Pasar Bursa yang dapat melindungi para
investor. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur
tentang penerapan penyelenggara yang melakukan bisnis melalui sistem
elektronik.� Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, melalui Undang-Undang ini pemegang kripto atau investor dapat
dikategorikan sebagai konsumen dan sangat perlu diberikan perlindungan hukum.
�Secara dasar perihal konsumen dikenal ada
empat. Pertama, hak untuk mendapatkan keamanan, kedua hak untuk mendapatkan
informasi, ketiga hak untuk memilih dan keempat adalah hak untuk didengar. Oleh
sebab semua berlaku untuk para konsumen sejati diberikan haknya jika terdapat
kerugian yang diderita oleh pemegang uang kripto atau investor selaku sejajar
sebagai konsumen. Undang-Undang secara riil memberikan perlindungan hukum bagi
pemegang yang mengalami kerugian yang diderita oleh pemegang atau investor dengan
memberikan kejelasan yang pasti tentang transaksi yang diperbolehkan atau yang
dilarang.� Undang-Undang konsumen dapat
dikaitkan dengan transaksi uang kripto dan dijadikan sebagai barang investasi.
Jika terjadi persoalan maka dapat dijumpai aturan yang mengatur tentang
perlindungan konsumen.
Pada
akhirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menaikkan pengawasan yang lebih
optimal dan dibantu dengan penguatan di sektor kelembagaan seperti lembaga
kustodian dan lembaga kliring sehingga investor tidak ragu untuk melakukan
investasi oleh pemegang cryptocurrency. Penguatan itu dilakukan melalui
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan dengan pelaksanaan yang betul-betul� melindungi para pemegang kripto. Namun disisi
lain, investor harus jeli dan mengerti bagaimana fundamental setiap perusahaan
yang terjun langsung ke dalam bursa baik itu bursa efek Indonesia atau terjun
ke Cryptocurrency yang semuanya dapat mencari keuntungan antara perusahaan dan
investor.
Dourado, Eli, & Brito, Jerry. (2014). Cryptocurrency. The
New Palgrave Dictionary of Economics. Online Edition.
Faishal, Galih.
(2019). Legalitas Bitcoin Menurut Hukum Investasi Di Indonesia. UNIVERSITAS
PASUNDAN.
Harjono,
Dhaniswara K. (2011). Konsep Pembangunan Hukum dan Perannya Terhadap Sistem
Ekonomi Pasar. Jurnal Hukum, 18(4), 564�584.
Hediati, Febri
Noor. (2022). Perkembangan Mata Uang Kripto Dan Perlindungan Hukum Terhadap
Investasi Mata Uang Kripto Di Indonesia�. Pawiyatan.
Iswara, Ryan,
Yahanan, Annalisa, & Syaifuddin, Muhammad. (2019). Perlindungan Hukum
Nasabah Perdagangan Berjangka Komoditi Atas Wanprestasi Pialang Perdagangan
Berjangka Komoditi Berbasis Online. Tesis.
Kurniawan, Itok
Dwi, Sasono, Satryo, Septiningsih, Ismawati, Santoso, Bambang, Harjono,
Harjono, & Rustamaji, Muhammad. (2021). Transformasi Penggunaan
Cryptocurrency Melalui Bitcoin Dalam Transaksi Komersial Dihubungkan Dengan
Diskursus Perlindungan Hukum (Legal Protection) Konsumen Di Indonesia. Jurnal
Hukum Mimbar Justitia, 7(1), 65�86.
Marzuki, Peter
Mahmud, & Sh, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media.
Ningsih, Widia.
(2023). Marketplace As An Effort To Sustainable Business Strategy For Fashion
Msmes. Interdiciplinary Journal and Hummanity, 2(4), 357�365.
Nitha, Dewa Ayu
Fera, & Westra, I. Ketut. (2020). Investasi Cryptocurrency Berdasarkan
Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana
Master Law Journal), 9(4), 712�722.
Puspasari, S.
(2020). Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa
Berjangka Komoditi. Jurist-Diction, 3 (1), 303.
Raharjo, Budi.
(2022). Uang Masa Depan: Blockchain, Bitcoin, Cryptocurrencies. Penerbit
Yayasan Prima Agus Teknik, 1�68.
Rohman, M.
Najibur. (2021). Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Regulasi Mata Uang Kripto
(Crypto Currency) Di Indonesia. Jurnal Supremasi, 1�10.
Rusydianta,
Muhammad. (2017). Dinamika Hukum dan Ekonomi dalam Realitas Sosial di Indonesia
(Studi Kritis terhadap Kebijakan Hukum-Ekonomi di Indonesia). Jurnal
Rechtsvinding, 6.
Syamsiah, Nurfia
Oktaviani. (2017). Kajian atas cryptocurrency sebagai alat pembayaran di
Indonesia.
Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti, & INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK. (2020).
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekon. Nas. Dan/Atau Stabilitas Sist. Keuang.
wahyunanda Kusuma.
(2021). Kripto Halal sebagai Aset, Haram Jika Dipakai untuk Alat Pembayaran.
Retrieved from
https://tekno.kompas.com/read/2021/11/12/11250257/kripto-halal-sebagai-aset-haram-jika-dipakai-untuk-alat-pembayaran
Wong, Willy.
(2014). Bitcoin: Panduan Praktis Memahami, Menambang dan Mendapatkan Bitcoin.
Semarang: Indraprasta Media.
This work is licensed under a Creative
Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. |