�JURNAL��� �� SOSAINS

JURNAL SOSIAL DAN SAINS

VOLUME 3 NOMOR 12 2023

P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG CRYPTOCURRENCY DI INDONESIA

 

Yovianda Arief Pratama

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

 

 

 

Kata kunci:

Mata Uang, Investasi, Bappebti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Currency, Investment, Bappebti

 

 

ABSTRAK

Latar Belakang: Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Cryptocurrency di Indonesia� ini ingin mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang cryptocurrency di Indonesia. Terdapat satu pertanyaan hukum penting yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang cryptocurrency di Indonesia ?

Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cryptocurrency di Indonesia.

Metode: Tipologi penelitian ini adalah hukum normatif (legal research) dengan teknik pengumpulan data sekunder yang mengambil dari data kepustakaan dan studi dokumen dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Kemudian dilakukan analisis data dengan metode analisis secara yuridis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kepastian hukum tentang uang kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah tidak diakui atau tidak sah.

Hasil: perlindungan hukum terhadap transaksi elektronik termasuk di dalamnya adalah uang kripto jika objek ini disebut sebagai barang (bukan uang secara aturan yang berlaku) investasi. Aturan perlindungan hukum tersebut diberikan oleh pemangku kebijakan melalui Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Aturan yang dimuat oleh Bappebti dan aturan-aturan lainnya yang terkait.

Kesimpulan: Perlindungan hukum tersebut yang diberikan kepada pemegang melalui peraturan yang telah berlaku meliputi Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang di dalamnya mengatur tentang Lembaga Kustodian dan Kliring sera Pasar Bursa yang dapat melindungi para investor.

 

ABSTRACT

Background: Legal Protection of Cryptocurrency Holders in Indonesia" wants to know the legal protection for cryptocurrency holders in Indonesia. There is one important legal question, namely how to protect cryptocurrency holders in Indonesia.

Purpose: The purpose of this study is to analyze the Legal protection of Cryptocurrency Holders in Indonesia.

Method: The typology of this research is normative law (legal research) with secondary data collection techniques that take from literature data and document studies with the approaches used are the statutory approach (statute approach) and conceptual approach (conceptual approach). Then data analysis is carried out using juridical analysis methods. The results of this study show that legal certainty regarding crypto money as a means of payment in Indonesia is neither recognized nor legal.

Results: Legal protection against electronic transactions includes crypto money if this object is referred to as goods (not money by applicable rules) investment. The legal protection rules are provided by policymakers through the Trade Law, Electronic Information and Transaction Law, Law on Consumer Protection, Rules contained by Bappebti and other related regulations.

Conclusion: The legal protection provided to holders through applicable regulations includes Bappebti Regulation Number 7 of 2020 concerning the Establishment of a List of Tradable Crypto Assets, Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector which regulates Custodian and Clearing Institutions and the Stock Exchange Market that can protect investors..

 

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan informasi saat ini mendorong lahirnya akses yang mudah di semua sektor. Akses yang mudah ini memberikan dampak percepatan terhadap pengetahuan tentang investasi dan jumlah peningkatan investasi yang tinggi. Terutama pada masa pandemi Covid-19. Investasi menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kejenuhan dari WFH (Work From Home) akibat dari pandemi sehingga banyak dari pekerja yang pendapatannya tidak sesuai dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Penurunan pendapatan mempengaruhi sirkulasi ekonomi para pekerja ataupun masyarakat secara umum. Sebab penurunan pendapatan ini, diperlukan alternatif� penambah penghasilan lain yang salah satunya melalui investasi (Ningsih, 2023).

Salah satu jenis investasi yang sedang populer ialah cryptocurrency. A cryptocurrency atau mata uang kripto merupakan sistem mata uang digital yang memungkinkan pemegangnya menggunakan pembayaran digital sebagai mata uang standar dalam kegiatan bisnis (Syamsiah, 2017). Cryptocurrency mengambil istilah nama yang digunakan untuk suatu sistem dalam kriptografi, dalam proses pelepasan data secara aman dan untuk melakukan proses pergantian token digital secara tersebar (Dourado & Brito, 2014). Cryptocurrency berkembang cukup masif di beberapa negara seperti Turki, Argentina, Afrika Selatan, Singapura dan beberapa negara lainnya (Dourado & Brito, 2014) . Di Indonesia sendiri, cryptocurrency menjadi investasi yang sedang gencar dilakukan. Terbukti dengan banyaknya tindakan pemerintah dan artis yang membuat token atau coin di Cryptocurrency (Dourado & Brito, 2014).

Ada beberapa negara yang telah menggunakan Cryptocurrency tersebut yaitu Elsavador (Dourado & Brito, 2014). Berkaitan dengan aspek legalitas mata uang tersebut, Indonesia telah memiliki aturan berupa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, diatur dalam� Pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan bahwa Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut rupiah. Jika merujuk pada aturan tersebut maka alat pembayaran yang sah adalah rupiah. Namun dalam konteks mata uang kripto ini, Indonesia telah memiliki aturan rujukan yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa komoditi adalah semua barang, hak, dan kepentingan lainnya dan setia derivatif dari komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif lainnya.

Aturan lain adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang & INDONESIA, (2020) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lahir kemudian. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan teknis terkait seperti Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).

Berdasarkan ketentuan tersebut, kripto sebagai sarana investasi disebut sebagai aset kripto. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain. Dengan beragamnya regulasi tersebut, pembacaan kritis terhadap produk hukum ini tentu sangat diperlukan sebagai upaya memberikan kepastian dalam memfasilitasi roda perekonomian (Rusydianta, 2017).

Sekalipun terdapat berbagai aturan mengenai Cryptocurrency, namun tidak selalu menjamin perlindungan hukum bagi investor. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan dalam aspek kerugian yang dialami investor. Cryptocurrency memiliki nilai uang yang tidak stabil. Hal ini disebabkan ketidakpastian tentang kondisi uang kripto di dunia. Terbukti ada beberapa kasus uang kripto mengalami anjlok sehingga dapat merugikan banyak pemegang. Selain itu, terdapat resiko lain seperti pembajakan akun pemegang mata uang kripto dan berpeluang kehilangan segala aset kripto yang mendiam di dalamnya (Hediati, 2022). Sama seperti yang dialami oleh negara el salvador yang hampir saja mengalami kehancuran pemerintah tersebut melegalkan kripto bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Dari latar belakang diatas maka penulis ingin membahas mengenai �Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cryptocurrency di Indonesia.�

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum pemegang Cryptocurrency di Indonesia.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menurut Peter Mahmud Marzuki adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki & Sh, 2021). Penelitian hukum normatif ini menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan di atas digunakan atas dasar analisis konseptual bentuk perlindungan hukum pemegang Cryptocurrency dan pengaturannya berdasarkan peraturan Bappebti dan peraturan OJK tentang pengaturan investasi Cryptocurrency di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan sumber data sekunder dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian ini dianalisis dengan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah menguraikan data penelitian menjadi sebuah struktur bangunan pemikiran melalui rangkaian kata-kata atau pernyataan secara deskriptif.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cryptocurrency di Indonesia.

Sejarah menyatakan bahwa mata uang kripto memang diniatkan sebagai �uang� dengan fungsi pembayaran sebagaimana uang pada umumnya. Uang kripto dapat dipakai sebagai alat tukar atau standar pengukur nilai. Keberadaan uang kripto selaras dengan kebutuhan global tentang �dunia tanpa perbatasan� (borderless world) yang dapat membentuk negara tanpa batas (a single global society). Dunia dipandang lebih efisien jika tidak dibatasi oleh �politik teritorial� suatu negara, termasuk dalam pemegangan mata uangnya. Uang kripto ini bersifat desentralisasi sehingga berbeda dengan sistem sentralisasi yang terdapat pada mata uang tradisional dan sistem perbankan saat ini (Rohman, 2021).

Salah satu mata uang digital yang banyak diminati oleh para investor untuk di Investasikan adalah Bitcoin. Bitcoin adalah sebuah mata uang baru atau uang elektronik yang diciptakan pada 2009 lalu oleh seseorang yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto (Raharjo, 2022). Dia merancang perangkat lunak sumber terbuka dikaitkan dengan nama samarannya. Ia juga menggunakan jaringan peer-to-peer tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal di mana Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut Bitcoin sebagai sebuah mata uang yang terdesentralisasi (Wong, 2014).

Dalam rangka memberi kepastian dan perlindungan hukum dalam transaksi Cryptocurrency, pemerintah membuat kebijakan yang melindungi pemegangan uang kripto di Indonesia. Kebijakan tersebut berupa aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Peraturan Kepala Bappebti Nomor 3 Tahun 2019 tentang Komoditi yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka. Selanjutnya diatur juga di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Aturan lainnya tentang transaksi aset kripto yang juga disahkan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena proses transaksi dilakukan melalui jaringan internet. Adanya perlindungan hukum yang diberikan dapat meminimalisir adanya kerugian, sengketa dan tindak pidana dalam investasi Cryptocurrency. Maraknya penipuan berkedok investasi yang menjanjikan untung besar untuk menarik calon investor membuat pemerintah terus berusaha untuk memperbaharui aturan hukum yang ada.

Cryptocurrency harus memenuhi seluruh syarat yang diatur di dalam aturan Bappebti dengan mengumpulkan seluruh dokumen yang diminta. Dokumen tersebut meliputi data diri pendaftar dengan mengisi isian permohonan pendaftaran calon pedagang fisik Aset Kripto serta melengkapi dokumen yang terdiri dari 1) salinan akta pendirian badan hukum calon Pedagang Fisik Aset Kripto beserta identitas kelengkapan data pengurus dan pemegang saham; 2) penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk (daftar Aset Kripto yang diperdagangkan, volume, dan jumlah Nasabah per-Aet Kripto); 3) Penjelasan singkat bisnis proses dan peraturan dan tata tertib terkait dengan penyelenggaraan perdagangan Aset Kripto; 4) Rencana bisnis; 5) Struktur Organisasi (bagan, jumlah, pegawai, serta uraian tugas dan masing-masing fungsi/bagian/divisi); 6) Daftar Bank dan nomor rekening yang dipergunakan untuk melakukan transaksi perdagangan Aset Kripto dan menyimpan dana� pelanggan Aset Kripto; 7) Bukti pendaftaran sistem elektronik pada Kementerian Komunikasi dan Informatika atas sistem yang dipergunakan; 8) Keterangan mengenai server, lokasi, pemilik, dan hal-hal lain terkait dengan sistem perdagangan Aset Kripto; 9) Daftar identitas Pelanggan Aset Kripto yang telah terdaftar; dan 10) Daftar seluruh Wallet yang dikelola.

Peraturan di atas mengedepankan prinsip pengelolaan usaha dengan benar seperti mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi dari resiko yang dapat merugikan (Faishal, 2019). Oleh karena perlindungan hukum bagi pemegang kripto harus diutamakan dengan melihat ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Perbappebti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, Aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain. Aset kripto telah berkembang luas di di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan di Bursa Berjangka, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2018 dan Pasal 1 huruf f Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Komoditi Yang Dapat Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, Dan/Atau Kontrak Derivatif lainnya Yang Diperdagangkan Di Bursa Berjangka, bahwa aset Kripto ditetapkan sebagai komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka.

Selain itu ketentuan mengenai penyelenggaraan perdagangan Aset Kripto di Bursa Berjangka dan ketentuan teknisnya telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka dan diatur secara lebih khusus dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka. Berdasar pertimbangan huruf c Permendag Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).

Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi lain, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Dalam ketentuannya, Bank Indonesia menekankan kembali bahwa virtual currency dilarang digunakan oleh penyelenggara teknologi finansial sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2. Penyelenggara finansial selain diwajibkan menggunakan rupiah, salah satunya, diminta untuk menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebagaimana diatur dala� Pasal 8 ayat (1) huruf e. Adapun penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:

�Yang dimaksud dengan �virtual currency� adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward). Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency karena virtual currency bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.�

Peraturan lain yang juga mengatur mengenai virtual currency adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. Sama seperti dua peraturan sebelumnya, peraturan ini merupakan respon dari kebutuhan untuk menanggapi iklim keuangan digital yang semakin kuat. Dalam Pasal 62 menyebutkan bahwa pemrosesan pembayaran uang elektronik dilarang menggunakan virtual currency dengan penjelasan yang sama, yaitu sebagai uang yang tidak dikeluarkan oleh otoritas moneter. Dengan demikian, membaca regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dapat dikatakan bahwa baik uang elektronik maupun virtual currency merupakan uang digital.

Dari segi yuridis normatif, masyarakat membutuhkan kepastian perlindungan hukum untuk menggunakan uang kripto dalam kegiatan transaksi. Hal itu menjadi perhatian oleh Kementrian Perdagangan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Dalam regulasi ini ternyata terdapat pergeseran ketetapan atau definisi. Uang kripto tidak lagi disebut sebagai �uang digital�, melainkan �komoditas�. Pasal 1 Permendag No. 99 Tahun 2018 mengatur bahwa aset kripto dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka.� Regulasi tersebut kemudian secara teknis diikuti dengan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka. Dengan mengubah uang kripto sebagai �barang dagangan�, maka keuntungan dan resiko dari pergerakan harga dan nilai tukar dialihkan kepada investor atau anggota Bursa Berjangka (Iswara, Yahanan, & Syaifuddin, 2019).

Aset kripto yang dapat diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut diatur di dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka. Pasal 2 pada aturan tersebut menyebutkan bahwa:

(1) �Perdagangan Aset Kripto harus memperhatikan:

a.     prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dengan mengedepankan kepentingan Anggota Bursa Berjangka, Pedagang Fisik Aset Kripto, dan Pelanggan Aset Kripto untuk memperoleh harga yang wajar dan sesuai;

b.    tujuan pembentukan Pasar Fisik Aset Kripto sebagai sarana pembentukan harga yang transparan dan penyediaan sarana serah terima fisik, serta dipergunakan sebagai referensi harga di Bursa Berjangka;

c.     kepastian hukum;

d.    perlindungan Pelanggan Aset Kripto; dan

e.     memfasilitasi inovasi, pertumbuhan, dan perkembangan kegiatan usaha perdagangan fisik Aset Kripto.

Pada pasal 3 juga mengatur perihal sebagai berikut:

(2) �Aset kripto wajib diperdagangkan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Badan ini.

(3) �Aset Kripto dapat diperdagangkan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut:

a.     berbasis distributed ledger technology;

b.    berupa Aset Kripto utilitas (utility crypto) atau Aset Kripto beragun aset (Crypto Backet Asset);

c.     nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam peringkat 500 (lima ratus) besar kapitalisasi pasar Aset Kripto (coinmarketcap) untuk Kripto Aset utilitas;

d.    masuk dalam transaksi bursa Aset Kripto terbesar di dunia;

e.     memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan kompetensi tenaga ahli di bidang informatika (digital talent); dan

f.     telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.

Aset Kripto hanya dapat diperdagangkan apabila telah ditetapkan oleh Kepala

 

Bappebti dalam daftar Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Macam-macam aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia mengacu pada Perba Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto terdapat 229 aset kripto diantaranya Bitcoin, Ethereum, Tether, Xrp/ripple. Bitcoin cash, Binance coin, Polkadot, Chainlink, Lightcoin, Bitcoin SV, Litecoin, Crypto.com coin, Usd coin, Eos, Tron, Cardano, Tezos, Stellar, Neo, Nem, Cosmos, Wrapped bitcoin, Iota, Vechain, Dash, Ehtereum classic, Yearn.finance, Theta, Binance usd, dan Omg network. Sedangkan dasar penetapan daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Perba Np. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.

Ketentuan mengenai aset kripto yang dapat diperdagangkan namun harus memenuhi persyaratan paling sedikit; a) berbasis distributed ledger technology, 2) berupa aset kripto utilitas (utility crypto) atau aset kripto beragun aset (Crypto Backed Asset), 3) nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam peringkat 500 (lima ratus) besar kapitalisasi pasar aset kripto (coinmarketcap) untuk Kripto Aset utilitas. 4) masuk dalam transaksi bursa aset kripto terbesar di dunia. 5) memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan kompetensi tenaga ahli di bidang informatika (digital talent) dan, 6) telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal (Perdagangan Aset Kripto: Bappebti)

Sedangkan pedoman yang harus dipenuhi dalam menjalankan aset kripto diatur di dalam Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto, Pasal 1 (4) yang menyatakan bahwa Pedoman Penetapan Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari Pedoman Umum Penilaian Kesesuaian Aset Kripto, dan Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Jenis Aset Kripto yang memuat prinsip-prinsip umum dan kriteria penetapan Aset Kripto sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

Pengaturan pergeseran memiliki dua cara penetapan. Dari Bank Indonesia mendefinisikannya sebagai "uang digital" dan layanan yang dilarang untuk di jual belikan. Namun uang digital atau rupiah digital menurut Bank Indonesia diterbitkan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan rupiah digital tidak akan menghilangkan keberadaan uang tunai dan uang elektronik. Kementerian Perdagangan mendefinisikannya sebagai "bisnis digital" yang bisa berdagang. Bisnis digital merupakan bisnis yang menggunakan teknologi untuk menciptakan produk atau jasa dan memasarkan secara online melalui media digital yaitu internet. Otoritas Jasa Keuangan juga lebih memilih netral dalam perbedaan ini mengawasi lembaga keuangannya (Rohman, 2021). Perbedaan makna dalam pemegangan istilah tersebut menyebabkan kerancuan dalam proses legalisasi transaksi menggunakan uang kripto di Indonesia. Oleh karena itu, penetapan tersebut sudah jelas berada pada kewenangan Bank Indonesia selaku Bank Sentral Negara Republik Indonesia atau BI selaku otoritas moneter yang memiliki wewenang untuk menerbitkan uang digital tersebut.

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang harus dilakukan dengan membangun lembaga khusus yang mengawasi tentang perdagangan uang kripto tersebut, terutama dalam regulasi Cryptocurrency ini dengan mempertimbangkan segala manfaat dan segala perubahan ekonomi yang terjadi (Harjono, 2011). Oleh karena itu, pemerintah telah memberikan pengaturan turunan yaitu Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, khususnya mengenai aset kripto. Ada kewenangan regulasi pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh Bappebti namun selanjutnya akan dialih kewenangannya oleh Badan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui peraturan tersebut pemerintah dapat fokus pada pengawasan terhadap aset yang disimpan di pihak Kustodian sebagai lembaga yang khusus untuk menyimpan aset dan lembaga bursa aset sebagai lembaga yang mengatur tentang pasar bursa.

Dampak dari kerancuan pemaknaan tersebut dan praktek yang terjadi dilapangan sebagaimana ketidakpastian antara uang kripto sebagai aset atau sebagai alat pembayaran Harjono, (2011), hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum dan kekhawatiran bagi setiap pengguna maupun masyarakat. Hal tersebut dapat disalahgunakan untuk modus pencucian uang. Informasi terakhir diuraikan melalui Kompas melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya dugaan tiga tersangka kasus korupsi PT Asabri melalui pencucian uang dengan menggunakan bitcoin atau transaksi mata uang kripto. Jika terjadi permasalahan hukum bagi pemegang cryptocurrency ataupun kasus hukum sebagaimana seperti pencucian uang, maka perlu perlindungan hukum� yang konkrit. Hal ini dapat dilakukan melalui perlindungan� hukum berupa pengawasan dari Bappebti, pengawasan dari Satgas Pengawas Investasi, perlindungan keamanan dan pengelola pasar aset kripto dan perlindungan hukum melalui UU ITE. Setelah melakukan perlindungan tersebut dalam langsung melakukan upaya hukum yang dapat dilakukan setelah perlindungan hukum di atas masih terjadi.

Upaya hukum tersebut memerlukan penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi yaitu Arbitrase. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 1 menyebutkan �Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak bersengketa�. Apabila tidak tercapai mufakat, para pihak dalam Perdagangan transaksi Fisik Asset Cryptocurrency yang berselisih dapat menyelesaikan melalui wadah yang telah disediakan oleh Bursa Berjangka melalui Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI). BAKTI mengkhususkan diri pada sengketa perdata berhubungan dengan Perdagangan Berjangka Komoditi, Sistem Resi Gudang serta transaksi-transaksi lain yang diatur dalam Bappebti (Nitha & Westra, 2020).

Upaya hukum litigasi akan dilakukan apabila penyelesaian masalah melalui jalan mediasi dan BAKTI tidak tercapai. Para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa BPSK memiliki kewenangan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, arbitrase dan konsiliasi (Puspasari, 2020). Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap kerugian yang dialami oleh investor dalam transaksi aset kripto yang dilakukan dengan mengandung unsur penipuan oleh pelaku usaha yang menjual Aset Cryptocurrency, maka investor dapat mengajukan gugatan penyelesaian sengketa kepada BPSK dimana putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Puspasari, 2020).

Dampak dari kerancuan pemaknaan tersebut dan praktek yang terjadi dilapangan sebagaimana ketidakpastian antara uang kripto sebagai aset atau sebagai alat pembayaran (wahyunanda Kusuma, 2021), hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum dan kekhawatiran bagi setiap pengguna maupun masyarakat. Hal tersebut dapat disalahgunakan untuk modus pencucian uang. Informasi terakhir diuraikan melalui Kompas melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya dugaan tiga tersangka kasus korupsi PT Asabri melalui pencucian uang dengan menggunakan bitcoin atau transaksi mata uang kripto. Jika terjadi permasalahan hukum bagi pemegang cryptocurrency ataupun kasus hukum sebagaimana seperti pencucian uang, maka perlu perlindungan hukum yang konkrit. Hal ini dapat dilakukan melalui perlindungan hukum berupa pengawasan dari Bappebti, pengawasan dari Satgas Pengawas Investasi, perlindungan keamanan dan pengelola pasar aset kripto dan perlindungan hukum melalui UU ITE. Setelah melakukan perlindungan tersebut dalam langsung melakukan upaya hukum yang dapat dilakukan setelah perlindungan hukum di atas masih terjadi.

Penjelasan-penjelasan diatas dapat paparkan kembali bahwa sebenarnya penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran tidak diatur di dalam perundang-undangan di indonesia. Permasalahan hukum yang belakang masih terjadi adalah kerancuan pemaknaan dan praktek yang terjadi di lapangan. Disisi lain rentang terjadi praktik yang tidak diinginkan seperti pencucian uang. Adanya ketidakpastian antara uang kripto sebagai aset atau sebagai alat pembayaran. lemahnya perlindungan bagi investor sehingga mengkhawatirkan menurunnya kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi melalui media digital yaitu uang kripto. Namun perlindungan hukum bagi investor adalah upaya penting yang perlu segera diejawantahkan oleh pemerintah. Melalui sarana apapun namun dengan lembaga yang khusus untuk menjangkau dan mengawasi pergerakan pasar serta perlindungan yang kuat bagi investor.� Perlindungan tersebut meliputi aturan yang dikeluarkan oleh Bappebti dan UU terkait lainnya. Undang-Undang lain yang hadir untuk melindungi transaksi digital adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur tentang penerapan penyelenggara yang melakukan bisnis melalui sistem elektronik (Kurniawan et al., 2021). Hal lain dari perlindungan hukum bagi pemegang Cryptocurrency adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang secara riil memberikan perlindungan hukum bagi pemegang yang mengalami kerugian yang diderita oleh pemegang atau investor dengan memberikan kejelasan yang pasti tentang transaksi yang diperbolehkan atau yang dilarang.

Perlindungan hukum tersebut dapat pula mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selanjutnya yang berkaitan dengan perlindungannya adalah dapat dilakukan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang merupakan badan yang bertugas untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

Aturan lainnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kaitannya dengan Undang-Undang ini adalah pemegang kripto atau investor dapat dikategorikan sebagai konsumen yang dalam hal ini juga sangat perlu diberikan perlindungan hukum. Secara dasar perihal konsumen dikenal ada empat. Pertama, hak untuk mendapatkan keamanan, kedua hak untuk mendapatkan informasi, ketiga hak untuk memilih dan keempat adalah hak untuk didengar. Oleh sebab semua berlaku untuk para konsumen sejati diberikan haknya jika terdapat kerugian yang diderita oleh pemegang uang kripto atau investor selaku sejajar sebagai konsumen.

Perkembangan berikutnya, pemerintah telah mengesahkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi investor. pemerintah telah melakukan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, khususnya mengenai aset kripto. Di dalam aturan tersebut juga mengatur tentang peralihan kewenangan yang semula dimiliki oleh Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Pasal 6 disebutkan bahwa :

(1) Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a.     kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b.    kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon;

c.     kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun;

d.    kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK lainnya;

e.     kegiatan di sektor ITSK serta aset keuangan digital dan aset kripto;

f.     perilaku pelaku usaha jasa keuangan serta pelaksanaan edukasi dan Perlindungan Konsumen, dan;

g.    sektor keuangan secara terintegrasi serta melakukan asesmen dampak sistemik Konglomerasi Keuangan.

Melalui aturan tersebut, pemerintah telah membentuk lembaga resmi yaitu lembaga kustodian sebagai tempat penyimpanan aset kripto. Sedangkan kliring berfungsi sebagai mekanisme pencarian transaksi. Lembaga kliring sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8B sebagai berikut:

Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/ atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau WK Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pembubaran dan/ atau pailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya.

Infrastruktur pasar hadir setelah penyelenggara pasar di sektor keuangan serta juga mengikut perkembangan teknologi. Sedangkan infrastruktur pasar tersebut meliputi; a) sarana transaksi; b) sarana kliring dan/atau penjaminan (central counterparty); c) sarana penyelesaian transaksi, penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral); d) sarana penyelesaian dana (sistem pembayaran); e) sarana pengelolaan informasi transaksi (trade repository), dan; f) sarana lainnya. Sedangkan lembaga kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, harta yang berkaitan dengan portofolio investasi kolektif, serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, serta mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

Dengan demikian, ratio legis dari adanya beberapa peraturan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat dan memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha di bidang perdagangan berjangka aset kripto. Namun ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki tentang kepastian hukum untuk pemegang uang kripto harus segera diperjelas. Bahwa uang kripto bukanlah sebagai alat pembayaran yang salah di Indonesia, karena berdasarkan UU Mata uang hanya uang rupiah yang memiliki legalitas sebagai mata uang untuk digunakan sebagai alat pembayaran. Namun uang kripto tetaplah eksis sebagaimana perkembangan teknologi serta semakin banyak diterima oleh masyarakat, meski statusnya sebagai alat pertukaran barang dan dapat ditukarkan untuk berbagai investasi. Tidak ada tumpang tindih peraturan sebagaimana disebutkan bahwa mata uang yang sah adalah rupiah namun dalam praktek banyak transaksi menggunakan uang kripto sebagai alat pembayaran maupun sebagai barang yang dapat diinvestasikan tetap saja perlu diberikan produk hukum yang jelas sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang telah menggunakan uang digital tersebut.

KESIMPULAN

Investasi yang terjadi di Indonesia bukan didasari pengetahuan oleh orang yang mulai investasi tersebut. Namun dari orang yang melakukan investasi secara terus menerus dan memperoleh keuntungan, dan pada saat melakukan investasi tersebut tidak melihat bagaimana fundamental suatu perusahaan tersebut namun mengikuti orang untuk membelinya atas dasar mengikuti.

Masyarakat mengikuti perkembangan teknologi yang menerima perkembangan investasi dengan melihat sarana kripto sebagai alat untuk diinvestasikan dan mengambil keuntungan darinya. Perkembangan teknologi ini yang diikuti oleh perkembangan investasi digital dengan uang kripto sebagai sarana untuk alat transaksi memiliki kemampuan tersendiri dalam berinvestasi. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari perkembangan investor yang mencapai 17,54 juta orang Indonesia. Namun perlu ada perlindungan hukum untuk menjaga para investor agar terjadi keseimbangan perekonomian yang semakin maju.

Perlindungan hukum tersebut yang diberikan kepada pemegang melalui peraturan yang telah berlaku meliputi Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang di dalamnya mengatur tentang Lembaga Kustodian dan Kliring sera Pasar Bursa yang dapat melindungi para investor. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur tentang penerapan penyelenggara yang melakukan bisnis melalui sistem elektronik.� Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, melalui Undang-Undang ini pemegang kripto atau investor dapat dikategorikan sebagai konsumen dan sangat perlu diberikan perlindungan hukum.

�Secara dasar perihal konsumen dikenal ada empat. Pertama, hak untuk mendapatkan keamanan, kedua hak untuk mendapatkan informasi, ketiga hak untuk memilih dan keempat adalah hak untuk didengar. Oleh sebab semua berlaku untuk para konsumen sejati diberikan haknya jika terdapat kerugian yang diderita oleh pemegang uang kripto atau investor selaku sejajar sebagai konsumen. Undang-Undang secara riil memberikan perlindungan hukum bagi pemegang yang mengalami kerugian yang diderita oleh pemegang atau investor dengan memberikan kejelasan yang pasti tentang transaksi yang diperbolehkan atau yang dilarang.� Undang-Undang konsumen dapat dikaitkan dengan transaksi uang kripto dan dijadikan sebagai barang investasi. Jika terjadi persoalan maka dapat dijumpai aturan yang mengatur tentang perlindungan konsumen.

Pada akhirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menaikkan pengawasan yang lebih optimal dan dibantu dengan penguatan di sektor kelembagaan seperti lembaga kustodian dan lembaga kliring sehingga investor tidak ragu untuk melakukan investasi oleh pemegang cryptocurrency. Penguatan itu dilakukan melalui Undang-Undang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan pelaksanaan yang betul-betul� melindungi para pemegang kripto. Namun disisi lain, investor harus jeli dan mengerti bagaimana fundamental setiap perusahaan yang terjun langsung ke dalam bursa baik itu bursa efek Indonesia atau terjun ke Cryptocurrency yang semuanya dapat mencari keuntungan antara perusahaan dan investor.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dourado, Eli, & Brito, Jerry. (2014). Cryptocurrency. The New Palgrave Dictionary of Economics. Online Edition.

Faishal, Galih. (2019). Legalitas Bitcoin Menurut Hukum Investasi Di Indonesia. UNIVERSITAS PASUNDAN.

Harjono, Dhaniswara K. (2011). Konsep Pembangunan Hukum dan Perannya Terhadap Sistem Ekonomi Pasar. Jurnal Hukum, 18(4), 564�584.

Hediati, Febri Noor. (2022). Perkembangan Mata Uang Kripto Dan Perlindungan Hukum Terhadap Investasi Mata Uang Kripto Di Indonesia�. Pawiyatan.

Iswara, Ryan, Yahanan, Annalisa, & Syaifuddin, Muhammad. (2019). Perlindungan Hukum Nasabah Perdagangan Berjangka Komoditi Atas Wanprestasi Pialang Perdagangan Berjangka Komoditi Berbasis Online. Tesis.

Kurniawan, Itok Dwi, Sasono, Satryo, Septiningsih, Ismawati, Santoso, Bambang, Harjono, Harjono, & Rustamaji, Muhammad. (2021). Transformasi Penggunaan Cryptocurrency Melalui Bitcoin Dalam Transaksi Komersial Dihubungkan Dengan Diskursus Perlindungan Hukum (Legal Protection) Konsumen Di Indonesia. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, 7(1), 65�86.

Marzuki, Peter Mahmud, & Sh, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media.

Ningsih, Widia. (2023). Marketplace As An Effort To Sustainable Business Strategy For Fashion Msmes. Interdiciplinary Journal and Hummanity, 2(4), 357�365.

Nitha, Dewa Ayu Fera, & Westra, I. Ketut. (2020). Investasi Cryptocurrency Berdasarkan Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 9(4), 712�722.

Puspasari, S. (2020). Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi. Jurist-Diction, 3 (1), 303.

Raharjo, Budi. (2022). Uang Masa Depan: Blockchain, Bitcoin, Cryptocurrencies. Penerbit Yayasan Prima Agus Teknik, 1�68.

Rohman, M. Najibur. (2021). Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Regulasi Mata Uang Kripto (Crypto Currency) Di Indonesia. Jurnal Supremasi, 1�10.

Rusydianta, Muhammad. (2017). Dinamika Hukum dan Ekonomi dalam Realitas Sosial di Indonesia (Studi Kritis terhadap Kebijakan Hukum-Ekonomi di Indonesia). Jurnal Rechtsvinding, 6.

Syamsiah, Nurfia Oktaviani. (2017). Kajian atas cryptocurrency sebagai alat pembayaran di Indonesia.

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti, & INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK. (2020). Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekon. Nas. Dan/Atau Stabilitas Sist. Keuang.

wahyunanda Kusuma. (2021). Kripto Halal sebagai Aset, Haram Jika Dipakai untuk Alat Pembayaran. Retrieved from https://tekno.kompas.com/read/2021/11/12/11250257/kripto-halal-sebagai-aset-haram-jika-dipakai-untuk-alat-pembayaran

Wong, Willy. (2014). Bitcoin: Panduan Praktis Memahami, Menambang dan Mendapatkan Bitcoin. Semarang: Indraprasta Media.

 

 

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.