Yesi Gasela, Sujadmi dan Luna Febriani 655
Pendahuluan
Permasalahan sosial merupakan perilaku penyimpangan yang terjadi pada
masyarakat (Setyatmoko & Supriyanto, 2017). Permasalahan sosial salah satunya berupa
tindak kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang menyimpang dari
norma-norma, aturan-aturan serta hukum yang berlaku, biasa di sebut dengan kriminalitas
(Astri, 2014). Tindak kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan oleh pelaku kejahatan,
akan mendapatakan ganjaran berupa sanksi secara sosial maupun sanksi secara hukum.
Sanksi sosial yang didapatkan berupa dikucilkan dalam lingkungan masyarakat,
mendapatkan labeling atas tindak kejahatan yang dilakukan dan sebagainya. Sedangkan
sanksi secara hukum berupa hukuman penjara yang di dasarkan kepada Undang-Undang
Dasar 1945. Sanksi berupa hukuman penjara yang sekarang lebih di kenal dengan lembaga
pemasyarakatan (Lapas). Menurut UU RI nomor 12 tahun 1995 bab 1 pasal 1, Lembaga
Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik
narapidana (Wahidin, 2016).
Proses pembinaan terhadap narapidana dan anak didik di lembaga pemasyarakatan
berlangsung dalam rangka untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi
manusia seutuhnya yang menyadari kesalahannya, serta tidak mengulangi perbuatan yang
sama dan bisa di terima kembali dalam lingkungan masyarakat (Jufri & Anisariza, 2017).
Penciptakan warga binaan menjadi manusia seutuhnya adalah dengan melakukan
pemberdayaan terhadap narapidana di Lapas (Saraswaty & Dewi, 2020).
Pemberdayaan merupakan sebuah proses agar setiap orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan dan memengaruhi, kejadian-kejadian
serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya (Sururi, 2015). Menurut Parson
dalam (Totok & Poerwoko, 2013), pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh
keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk memengaruhi kehidupannya
dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Pemberdayaan diperlukan sebagai
upaya untuk memberikan ilmu baru kepada orang yang diberdayakan.
Berdasarkan pemaparan di atas, pemberdayaan dilakukan terhadap pihak yang
kurang berdaya. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap narapidana didasarkan narapidana
sebagai pihak yang tidak berdaya, kebebasan yang dibatasi dan terasingkan dalam
kehidupan masyarakat yang berada di Institusi total yakni lembaga pemasyarakatan.
Narapidana harus mengikuti semua peraturan dan kebijakan yang terdapat di Lapas,
sehingga hal ini lah yang membatasi aspek kebebasan narapidana. Berdasarkan pernyataan
yang dikatakan (Pratiwi, 2016), narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana dan
hilang kemerdekaannya di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan masyarakat yang
mempunyai kedudukan lemah dan tidak mampu dibandingkan dengan masyarakat pada
umumnya yang memiliki kebebasan, karena narapidana akan terampas kemerdekaannya
untuk selama waktu tertentu dan mampunyai ruang gerak yang terbatas oleh tembok
penjara. Melihat hal tersebut, penting dilakukannya pemberdayaan untuk narapidana oleh
pihak Lapas.
Berdasarkan pemaparan diatas, salah satu unit pelaksanaan teknis (UPT)
pemasyarakatan pada jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kepulauan
Bangka Belitung yang melaksanakan pemberdayaan terhadap narapidana yaitu Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Pangkalpinang. Pemberdayaan yang dilakukan saat ini
yaitu salah satunya berupa pemberdayaan melalui pengembangan potensi kemandirian
yang dimiliki narapidana atau berdasarkan bakat maupun keinginan narapidana (Yani,
2018).
Pemberdayaan yang dilakukan terhadap narapidana melalui pengembangan potensi
kemandirian mengarah kepada bidang ekonomi (Ababil, 2020). Pengembangan potensi
pada bidang ekonomi perlu dilakukan oleh narapidana agar nantinya bisa menjadi bekal