Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
662 http://sosains.greenvest.co.id
INDONESIA 1945-2020: DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY
Samson Ganda J. Silitonga
Universitas Katolik Parahyangan
E-mail: samson.ga[email protected]
Diterima:
20 Juni 2021
Direvisi:
10 Juli 2021
Disetujui:
14 Juli 2021
Abstrak
Diskursus demokrasi indonesia periode 1946-1957 mendapat
sebutan beraneka ragam dari perspektif akademik. Ahli-ahli
menyebutnya demokrasi liberal, demokrasi parlementer,
bahkan juga demokrasi konstitusional. Makna telaah
demokrasi berdasarkan Hatta dan Supomo, Magnis Suseno
mengisyaratkan demokrasi dan demokrasi indonesia memiliki
kesamaan sekaligus pula perbedaan. Tujuan dalam penelitian
ini adalah menjelaskan demokrasi dan civil society dalam
konteks Indonesia Penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan analisis kuantitatif berdasarkan survei dan
menjaring lebih dari 2600 jawaban responden terkait
demokrasi dengan menyebar kuisioner melalui google form.
Butir-butir yang dapat disimpulkan dari jawaban 2640
responden dan penelitian ini adalah: daya tarik demokrasi bagi
masyarakat indonesia tidak terlalu tinggi, tetapi patut
diapresiasi. Bangsa Indonesia sudah cukup mengupayakan
demokrasi, namun tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut,
yang paling mungkin adalah karena agama lebih penting dari
demokrasi dan salah satu upaya mewujudkan demokrasi
adalah sosialisasi sila-sila pancasila di rumah ibadah.
Musyawarah untuk mufakat tetap lebih dipentingkan dari
teknologis, yang mana kebijakan negara harus lebih peduli
pada masyarakat daripada elit politik. Kondisi pandemi covid-
19 seperti saat ini menyebabkan demokrasi seperti dilupakan
dahulu. Difusi demokrasi internasional terhadap gerakan-
gerakan demokratisasi di indonesia berlangsung dalam 4
(empat) tipe penyikapan, adopsi, penyesuaian, penolakan dan
persuasi.
Kata kunci: Demokrasi, Diskursus, Ideologi
Abstract
The discourse on Indonesian democracy in the period 1946-
1957 received various names from an academic perspective.
Experts call it liberal democracy, parliamentary democracy,
even constitutional democracy. The meaning of the study of
democracy based on Hatta and Supomo, Magnis Suseno
suggests that democracy and Indonesian democracy have
similarities as well as differences. The purpose of this study is
to explain democracy and civil society in the context of
Indonesia. This research was conducted using quantitative
analysis based on surveys and collected more than 2600
respondents' answers related to democracy by distributing
questionnaires via google form. The points that can be
concluded from the answers of 2640 respondents and this
Indonesia 1945-2020: Demokrasi dan Civil Society
2021
Samson Ganda J. Silitonga 663
research are: the attractiveness of democracy for the
Indonesian people is not too high, but it should be appreciated.
The Indonesian people have tried enough for democracy, but
to no avail. This failure is most likely because religion is more
important than democracy and one of the efforts to realize
democracy is the socialization of the precepts of Pancasila in
houses of worship. Deliberation for consensus remains more
important than technology, in which state policy must care
more about the community than the political elite. The current
state of the COVID-19 pandemic has caused democracy to be
forgotten. The diffusion of international democracy towards
democratization movements in Indonesia takes place in 4
(four) types of attitude, adoption, adjustment, rejection and
persuasion.
Keywords: Democracy, Discourse, Ideology
Pendahuluan
Akhir abad XX ditandai sebagai dekade demokratisasi. Samuel Huntington
menyebutnya dekade Gelombang Demokratisasi Ketiga (Ladiqi & Wekke, 2018).
Gerakan-gerakan pada dekade ini memunculkan demokrasi lahir di berbagai belahan dunia,
termasuk juga di Indonesia (Susabun, 2020). Sistem pemerintahan otoriter mulai tergeser
bahkan tenggelam, dan yang menonjol terjadi di Eropa Timur dan Amerika Selatan (Denny,
2021). Khusus di Indonesia, runtuhnya pemerintahan Orde Baru secara akademik dianggap
membuka kesempatan untuk menelaah format politik yang diharapkan lapisan-lapisan
masyarakat non elitis (Mukmin, 2015). Format politik yang berjalan sejak Orde Soekarno
(1957) hingga Maret 1967, sampai Mei 1998 dianggap gagal mengedepankan gagasan serta
perilaku politik demokratis bagi sebuah negara sebesar dan se-majemuk Indonesia (Wijaya,
2014).
Format politik Orde Baru sepanjang 30 tahun lebih itu dicirikan oleh pelembagaan
peran sosial politik militer, sistem perwakilan yang tanggung sekaligus semu, sistem
kepartaian yang ‘seolah terbuka’ namun sebenarnya tertutup, penekanan sangat kuat
terhadap sentralisasi pemerintahan dan proses pembangunan sosial yang berorientasi
pertumbuhan ekonomi material (Rajab, 2004). Harus diakui, dengan format politik
bercirikan itu negara ini berhasil menciptakan stabilitas politik yang relatif‘nyaman,
dengan pertumbuhan ekonomi yang memadai pula dengan rerata 6-7 % pertahun.
Bermodalkan itu pula kekuasaan di Republik Indonesia bertahan selama 6 periode, yang
diinisiasi melalui pemilihan umum yang hasilnya telah dapat diprediksi sebelum proses
berakhir (Purba et al., 2020).
Menjelang akhir 1980an sebetulnya telah muncul berbagai pertanyaan mendasar
mengenai Indonesia dan sistem politik yang menaunginya (Afroniyati, 2014). Sejak
1950an atau selama setengah abad; menunjukkan bahwa demokratisasi Indonesia
sebenarnya telah diupayakan sejak Republik ini berdiri, dan makin kuat sejak pemerintahan
Orde Baru menyatakan diri (1966/1967), tetapi masih kurang efektif melayani masyarakat
Indonesia sesuai tujuan dan cita-cita negara. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
dimaksud: sejauh mana formasi politik Orde Baru telah mengantisipasi meningkatnya
aspirasi dan tuntutan masyarakat atas transparansi politik, demokratisasi, HAM (Hak Asasi
Manusia), clean government, pemerataan, dan termasuk pula implementasi Pancasila
sebagai falsafah, ideologi dan sekaligus sistem nilai sosial (Soleman & Noer, 2017).
Berkaitan dengan berbagai pertanyaan tersebut, mereka yang menyadari bahwa sejak
akhir dekade 1970an Indonesia sebetulnya telah dilanda globalisasi, juga menyodorkan
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
664 http://sosains.greenvest.co.id
berbagai pertanyaan kritis terhadap kekuasaan mengenai fairness, transparansi serta
hubungan negararakyat dan Civil Society. Pertanyaan yang juga menguat apakah format
politik Orde Baru telah cukup berhasil membawa Indonesia menuju masyarakat tinggal
landas atau minimal mendekati formasi Negara-Bangsa (Nation-State).
Arus deras gelombang dan tuntutan demokratisasi di Indonesia akhir abad XX
memang cukup tepat diarahkan pada sistem pemerintahan Negara yang otoriter, namun
menjadi fakta sosiologis yang tidak dapat dikesampingkan pula bahwa tuntutan
demokratisasi juga terarah pada kondisi-kondisi fundamental empirik masyarakat
Indonesia.
Pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda memunculkan praktik berdemokrasi
terutama dihiasi tingkah laku parlementaris dengan kekuatan oposisi yang masif hingga
menimbulkan turbulensi seolah tiada henti (Mukmin, 2015). Pergantian (personil) kabinet
bisa terjadi secara tiba-tiba (mendadak) dan berbagai konflik cenderung tidak terselesaikan
antara kelompok nasionalissekuler dengan nasionalisagama dan sosialis versus agama.
beberapa daerah sering terjadi kekacauan dan memaksa Soekarno memakai kekuatan
militer, yang secara langsung maupun tidak menimbulkan chaos atau pertikaian antar elit,
baik secara terbuka maupun tertutup. Kondisi-kondisi inilah yang membuat Soekarno
menyimpulkan bahwa gagasan Demokrasi Barat, dengan penekanan pada aspek
parlementer yang bebas, sama sekali tidak sesuai dengan kultur Bangsa Indonesia
(Priyowidodo, 2018).
Mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari posisi wakil presiden pada akhir tahun 1956
seperti menenggelamkan demokrasi dari panggung utama politik Indonesia. Tetapi, kepala
negara dan kepala pemerintahan kala itu, Soekarno, memberi isyarat bahwa pengunduran
diri wakil presiden bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Soekarno seperti melihat
pengunduran diri Hatta patut dicegah, hal tersebut merupakan masalah Dwi Tunggal
kekuasaan, tetapi bukan persoalan yang menggoncang sistem politik kenegaraan, apalagi
meremukkan sendi demokrasi. Sebab perjalanan bangsa sendiri masih sangat belia serta
perlu dan wajar jika dibetulkan ulang dalam koridor. Melalui pidato tersebut, setidaknya 2
(dua) gagasan pokok dapat dipetik. Pertama, founding father Indonesia sendiri sebetulnya
merasa tidak puas terhadap praktik demokrasi dalam sistem politik Indonesia pasca
pengakuan kedaulatan. Kedua, terungkap pula bahwa Indonesia diyakini mempunyai
pondasi demokrasi yang sesuai dengan karakter kultural dan psikologi sosial rakyat
Indonesia sendiri (Tania, 2019).
Diskursus demokrasi Indonesia periode 1946-1957 mendapat sebutan beraneka
ragam dari perspektif akademik. ahli-ahli menyebutnya demokrasi liberal, demokrasi
parlementer, bahkan juga demokrasi konstitusional (Hamzani, 2014). Boyd R. Campton
menjelaskan, situasi 1950-1955, bahkan sebelumnya (1945-1949), merupakan kondisi-
kondisi yang wajar dalam sebuah negara baru bebas (merdeka) dan gagasan demokrasi
yang bertebaran itu harus dilihat sebagai proses penyempurnaan konstriksi pemerintahan.
Sedangkan Magnis Suseno, menyatakan Indonesia pada periode 1946-1957 belum
sepenuhnya menjalankan demokratisasi sesuai gagasan inti kerakyatan yang merupakan
Roh Demokrasi (Khairazi, 2015).
Makna telaah demokrasi berdasarkan Hatta dan Supomo, Magnis Suseno
mengisyaratkan demokrasi dan demokrasi indonesia memiliki kesamaan sekaligus pula
perbedaan. Hatta tentu tidak menolak demokrasi (Barat), tetapi harus dilengkapi dengan
demokrasi Indonesia yang mencakup ekonomi kerakyatan (Ashari, 2020). Supomo
menolak demokrasi (Barat) sepenuhnya, demikian Magnis-Suseno. Bahkan irisan
pandangan kedua tokoh itu, kata Magnis-Suseno, sama-sama tidak terealisasi. Dalam kata-
kata Suseno sendiri, “Puncak kehidupan demoratis Republik muda sekaligus merupakan
permulaan kemerosotannya”.
Indonesia 1945-2020: Demokrasi dan Civil Society
2021
Samson Ganda J. Silitonga 665
Penelitian ini memiliki hubungan serupa dalam buku (Hikam & Magnis-Suseno,
1996), dimana dalam buku tersebut menjelaskan demokrasi dan civil society, tetapi
penelitian ini ditambahkan analisis kuantitatif berdasarkan survei dan tidak sekadar analisis
politik. Tujuan dalam penelitian ini adalah menjelaskan demokrasi dan civil society dalam
konteks Indonesia. Manfaat menghubungkan demokrasi dan civil society dalam konteks
Indonesia yaitu menegaskan, persoalan pertama sehubungan dengan diskursus demokrasi
indonesia adalah ambiguitas sudut pandang. Berdasarkan penelusuran sejarah kita teramat
mudah menemukan jarak antara historisitas demokrasi yang umum (sekaligus universal)
dengan gagasan kontekstual yang hendak dikembangkan. Tarik-manarik inilah yang
melahirkan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya formulasi demokrasi yang tepat untuk
indonesia. Kiblat mana yang harus dipilih, demokrasi global atau usaha kontekstualisai
dengan menggali tradisi kultural yang tersedia. Atau, mungkinkah memperoleh semacam
“jalan ketiga” bagi demokrasi Indonesia.
1. Artikel ini mengajukan pertanyaan, apakah tradisi berdemokrasi di Indonesia
kekuasaan Soekarno maupun Soeharto masih dalam ambiguitas di atas.
2. Jika bukan, bagaimanakah penyelenggaraan tradisi Demokrasi di Indonesia 1998
2020 setelah era Soekarno dan Soeharto dan bagaimana pula tradisi itu memberikan
artikulasi bagi masyarakat Indonesia sendiri.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan analisis kuantitatif berdasarkan
survei dan menjaring lebih dari 2600 jawaban responden terkait demokrasi dengan
menyebar kuisioner melalui Google Form: https://forms.gle/dvUino3nKUNj54CU8. Hasil
dari jawaban-jawaban responden tersebut kemudian diinterpretasikan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 60% responden tinggal di kota besar. Kota-
kota besar memang berkembang pesat dan tahun 2018 Indonesia meyelenggarakan Asian
Games dengan meriah yang membuktikan bahwa arus urbanisasi meningkat akhir-akhir
ini. Responden dalam penelitian ini 60%, adalah anak muda 18-24 tahun. Hasil tersebut
menunjukan bahwa responden dalam penelitian ini adalah mereka yang berusia dewasa
awal atau ambang usia produktif. Pengukuran dari tingkat pendidikan, 1919 orang
responden mengakui SMA sederajat, 575 responden mengakui sarjana, sebanyak 74
responden mengaku berpendidikan magister (S2) dan hanya 53 responden yang mengakui
telah menempuh jenjang doktor (S3), profesi sebanyak 64,4% responden mengaku
wirausaha, 13,6% responden mengaku pekerja seni, 11,7% responden mengaku sebagai
guru dan dosen, dan hanya 10,3% mengaku ASN (termasuk TNI Polri). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah pekerja swasta yang tidak
terikat kepada negara dalam hal mata pencariannya
Terkait karakteristik responden, analisis dalam penelitian ini membuktikan bahwa
daya tarik terhadap demokrasi tidak terlalu tinggi karena menurut Ted Fishman, demokrasi
yang baik adalah bila sebagian besar responden tinggal di kota menengah, berpendidikan
rata-rata, berafiliasi swasta atau tanpa negara.
Pertanyaan dilontarkan terkait apakah mengikuti pilpres terakhir (2019), sebanyak
65,4% responden menjawab ya dan angka ini sangat besar. Pertanyaan yang sama diajukan
tentang pemilihan gubernur, ternyata 51,8% menjawab ya dan menurut kami ini
membuktikan demokarsi kurang menarik. Pertanyaan lain seperti apakah arti demokrasi,
sebanyak 8,6% responden menjawab demokrasi adalah sistem negara, dan hanya 30,2%
menjawab partisipasi rakyat. Sebanyak 15,4% menjawab demokrasi adalah kualitas
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
666 http://sosains.greenvest.co.id
partisipasi rakyat dan sebanyak 7,9% menjawab bahwa demokrasi adalah suara terbanyak,
hanya 37,8% menjawab demokrasi adalah kebebasan rakyat. Hal tersebut menunjukan,
jawaban responden bukan soal kualitas tetapi partisipasi rakyat. Jika partisipasi
digabungkan dengan kebebasan, maka inilah jawaban responden terbesar.
Jawaban responden pada arti demokrasi juga harus dihubungan dengan pertanyaan
apakah jika responden mengikuti pilpres atau pilgub, akan memilih yang dipilihkan partai
politik atau pilihan sendiri. Lebih dari 60% responden menjawab pilihan sendiri, bukan
berdasarkan partai politik. Hal ini menunjukkan sebagian responden digerakkan oleh
subjektifitas, atau bahkan intersubyetifitas. Ini mirip paradigma milenial, tetapi harus
dibuktikan lebih spesifik. Selain itu harus dikatakan bahwa jawaban responden tidak
bersifat prosedural. Artinya, demokrasi yang diharapkan responden bukanlah demokrasi
formalitas.
Jawaban responden atas pertanyaan nomor berikutnya cukup mengejutkan. Sekitar
60,7% jawaban responden menunjukan bahwa indonesia sudah berupaya mewujudkan
demokrasi meski kurang berhasil. Ini dihubungkan dengan masyarakat indonesia beragama
islam (29,3%) yang menolak demokrasi (28,3%) dan ini terjadi tahun 2021 atau 23 tahun
setelah reformasi politik. Jawaban responden barusan agaknya sinkron dengan pertanyaan
barusan, yakni 30,2% + 28,6 menjawab bahwa sosialisasi pancasila sebaiknya berlangsung
pada rumah ibadah dan musyawarah untuk mufakat tetap lebih penting tinimbang pilihan-
pilihan teknologis lain.
Demokrasi tetap dianggap penting, 46,3% responden mengemukakan bahwa sia-sia
untuk bertahan dengan gagasan itu karena demokrasi hanya akan bertahan sebagai pikiran
saja dan itupun terjadi secara internasional semata (36,7), tidak pada skala nasional. Tidak
boleh dilupakan bahwa pandemi covid-19 tengah mewabah dan mayoritas responden
menjawab supaya demokrasi dilupakan saja, meski 47% lebih menganggap demokrasi
masih layak dipercaya sebagai sistem. Apakah karena demokrasi tidak mempunyai
alternatif lain yang sebanding? Akhirnya, 47,7% responden mengaku mengerti civil
society. Meski kurang, angka itu masih lebih baik dibanding perkiraan kami kurang dari
30%.
Inilah butir-butir yang dapat disimpulkan dari jawaban 2640 responden itu:
1. Daya tarik demokrasi bagi masyarakat indonesia tidak terlalu tinggi, tetapi patut
diapresiasi
2. Bangsa indonesia sudah cukup mengupayakan demokrasi, namun tidak berhasil
3. Ketidak-berhasilan tersebut, yang paling mungkin adalah karena agama lebih penting
dari demokrasi
4. Salah satu upaya mewujudkan demokrasi adalah sosialisasi sila-sila Pancasila di
rumah ibadah
5. Musyawarah untuk mufakat tetap lebih dipentingkan dari teknologi, yang mana
kebijakan negara harus lebih peduli masyarakat daripada elit politik.
6. Kondis pandemi covid-19 seperti saat ini menyebabkan demokrasi dilupakan dulu.
Bagi Anders Uhlin, difusi demokrasi internasional terhadap gerakan-gerakan
demokratisasi di Indonesia berlangsung dalam 4 (empat) tipe penyikapan, adopsi,
penyesuaian, penolakan dan persuasi (Umar, 2016). Keempat tipe ini sekaligus menjadi
refleksi bagaimana orang Indonesia melihat dinamika demokratisasi global, lalu
dikomparasi dengan pengalaman pribadi sendiri.
Tipe adopsi, ditunjukkan dengan kuatnya rujukan terhadap gagasan-gagasan barat
tentang indonesia sebagai titik pandang gerakan demokrasi. Pada intinya, kebutuhan
demokratisasi di indonesia merupakan refleksi bagi gagasan demokrasi liberal.
Tipe penyesuaian (adjusment), berisi pandangan yang menekankan bahwa kultur dan
tradisi bangsa indonesia memiliki kemampuan menyerap nilai-nilai demokrasi dalam
Indonesia 1945-2020: Demokrasi dan Civil Society
2021
Samson Ganda J. Silitonga 667
pengertian barat. Sekaligus terdapat kemungkinan memajukan tradisi untuk kemudian
diinkorporasikan dengan nilai-nila demokrasi barat. Tipe penyesuaian ini, oleh banyak
pihak, dianggap sebagai tipologi yang paling terlupakan dari seluruh periode diskursus
demokrasi indonesia.
Tipe penolakan (refection), merupakan untuk menyebut sikap-sikap yang menolak
beberapa ide demokrasi barat, salah satunya menolak kapitalisme sebagai manifestasi
kebebasan individu. Bidang ekonomi, kapitalisme dianggap sebagai manifestasi
demokrasi. Contoh refection lain adalah penolakan terhadap self determination karena
tidak sesuai konsep NKRI. Sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, Soekarno
menolak Papua terpisah dari NKRI, dan mengusahakan pengembaliannya pada 1961, lalu
diperkuat lagi oleh Soeharto (1969).
Tipe Persuasi, merupakan sikap yang memberi kesan positif terhadap Demokrasi
Global atau demokratisasi internasional. Terkandung usaha-usaha mengkomparasikan
pengalaman negara-negara Asia lain (seperti Malaysia, Singapura, Jepang dan Korea
Selatan) yang menghasilkan kesimpulan bahwa tanpa demokrasi, Indonesia tidak akan
lebih baik
Kesimpulan
Butir-butir yang dapat disimpulkan dari jawaban 2640 responden dan penelitian ini
adalah daya tarik demokrasi bagi masyarakat indonesia tidak terlalu tinggi, tetapi patut
diapresiasi. Bangsa indonesia sudah cukup mengupayakan demokrasi, namun tidak
berhasil. Ketidak-berhasilan tersebut, yang paling mungkin adalah karena agama lebih
penting dari demokrasi dan salah satu upaya mewujudkan demokrasi adalah sosialisasi sila-
sila pancasila di rumah ibadah. Musyawarah untuk mufakat tetap lebih dipentingkan dari
teknologis, yang mana kebijakan negara harus lebih peduli pada masyarakat daripada elit
politik. Kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini menyebabkan demokrasi dilupakan dulu.
Difusi demokrasi internasional terhadap gerakan-gerakan demokratisasi di Indonesia
berlangsung dalam 4 (empat) tipe penyikapan, adopsi, penyesuaian, penolakan dan
persuasi.
Bibliografi
Afroniyati, Lies. (2014). Analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh Majelis Ulama
Indonesia. JKAP (Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik), 18(1), 3752.
Ashari, Aan Nur Hasim. (2020). Pemikiran Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan
perspektif ekonomi Islam Mohammad Abdul Mannan. IAIN PONOROGO.
Denny, J. A. (2021). Jatuhnya Soeharto dan transisi demokrasi Indonesia. Jakarta: Cerah
Budaya Indonesia.
Hamzani, Achmad Irwan. (2014). Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang
Membahagiakan Rakyatnya. Yustisia Jurnal Hukum, 3(3), 137142.
Hikam, Muhammad A. S., & Magnis-Suseno, Franz. (1996). Demokrasi dan Civil Society.
Lp3es Jakarta.
Khairazi, Fauzan. (2015). Implementasi demokrasi dan hak asasi manusia di indonesia.
INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 7294.
Ladiqi, Suyatno, & Wekke, Ismail Suardi. (2018). Gambaran Demokrasi, Demokrasi, dan
Perkembangan. In Gawe Buku. Yogyakarta: Gawe Buku.
Mukmin, Ulul. (2015). Kontribusi Organisasi Kepemudaan Ampi Dalam Penguatan Basis
Massa Partai Golkar di Jawa Tengah. Universitas Negeri Semarang.
Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
668 http://sosains.greenvest.co.id
Priyowidodo, Gatut. (2018). Komunikasi Politik: Memahami Dari Sisi Kepribadian dan
Pemikiran Politik Soekarno dan Soeharto. In Komunikasi Politik: Memahami Dari
Sisi Kepribadian dan Pemikiran Politik Soekarno dan Soeharto. Depok: PT Rajawali
Pers.
Purba, Bonaraja, Sudarmanto, Eko, Syafii, Ahmad, Nugraha, Nur Arif, Zaman, Nur,
Ahdiyat, Madya, & Umarama, Ariyanto. (2020). Ekonomi Politik: Teori dan
Pemikiran. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Rajab, Budi. (2004). Negara Orde Baru: Berdiri di Atas Sistem Ekonomi dan Politik yang
Rapuh. Sosiohumaniora, 6(3), 182.
Soleman, Mochdar, & Noer, Mohammad. (2017). Nawacita sebagai strategi khusus Jokowi
periode Oktober 2014-20 Oktober 2015. Politik, 13(1).
Susabun, Antonius Oktaviano. (2020). Problematika Demokrasi Dalam Dinamika Politik
Lokal Di Indonesia Post-Soeharto Dan Alternatif Gerakan Kewarganegaraan Aktif.
STFK Ledalero.
Tania, Putri. (2019). Perspektif Abdurrahman Wahid terhadap Pelaksanaan Demokrasi di
Indonesia. UIN Raden Intan Lampung, Lampung.
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2016). Dari Negara Islam ke Politik Demokratis:
Wacana dan Artikulasi Gerakan Islam di Mesir dan Indonesia. Jurnal Masyarakat
Dan Budaya, 18(1), 118.
Wijaya, Arif. (2014). Demokrasi dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Al-
Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, 4(1), 136158.