Volume 1, Nomor 7 , Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
664 http://sosains.greenvest.co.id
berbagai pertanyaan kritis terhadap kekuasaan mengenai fairness, transparansi serta
hubungan negara–rakyat dan Civil Society. Pertanyaan yang juga menguat apakah format
politik Orde Baru telah cukup berhasil membawa Indonesia menuju masyarakat tinggal
landas atau minimal mendekati formasi Negara-Bangsa (Nation-State).
Arus deras gelombang dan tuntutan demokratisasi di Indonesia akhir abad XX
memang cukup tepat diarahkan pada sistem pemerintahan Negara yang otoriter, namun
menjadi fakta sosiologis yang tidak dapat dikesampingkan pula bahwa tuntutan
demokratisasi juga terarah pada kondisi-kondisi fundamental empirik masyarakat
Indonesia.
Pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda memunculkan praktik berdemokrasi
terutama dihiasi tingkah laku parlementaris dengan kekuatan oposisi yang masif hingga
menimbulkan turbulensi seolah tiada henti (Mukmin, 2015). Pergantian (personil) kabinet
bisa terjadi secara tiba-tiba (mendadak) dan berbagai konflik cenderung tidak terselesaikan
antara kelompok nasionalis–sekuler dengan nasionalis–agama dan sosialis versus agama.
beberapa daerah sering terjadi kekacauan dan memaksa Soekarno memakai kekuatan
militer, yang secara langsung maupun tidak menimbulkan chaos atau pertikaian antar elit,
baik secara terbuka maupun tertutup. Kondisi-kondisi inilah yang membuat Soekarno
menyimpulkan bahwa gagasan Demokrasi Barat, dengan penekanan pada aspek
parlementer yang bebas, sama sekali tidak sesuai dengan kultur Bangsa Indonesia
(Priyowidodo, 2018).
Mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari posisi wakil presiden pada akhir tahun 1956
seperti menenggelamkan demokrasi dari panggung utama politik Indonesia. Tetapi, kepala
negara dan kepala pemerintahan kala itu, Soekarno, memberi isyarat bahwa pengunduran
diri wakil presiden bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Soekarno seperti melihat
pengunduran diri Hatta patut dicegah, hal tersebut merupakan masalah Dwi Tunggal
kekuasaan, tetapi bukan persoalan yang menggoncang sistem politik kenegaraan, apalagi
meremukkan sendi demokrasi. Sebab perjalanan bangsa sendiri masih sangat belia serta
perlu dan wajar jika dibetulkan ulang dalam koridor. Melalui pidato tersebut, setidaknya 2
(dua) gagasan pokok dapat dipetik. Pertama, founding father Indonesia sendiri sebetulnya
merasa tidak puas terhadap praktik demokrasi dalam sistem politik Indonesia pasca
pengakuan kedaulatan. Kedua, terungkap pula bahwa Indonesia diyakini mempunyai
pondasi demokrasi yang sesuai dengan karakter kultural dan psikologi sosial rakyat
Indonesia sendiri (Tania, 2019).
Diskursus demokrasi Indonesia periode 1946-1957 mendapat sebutan beraneka
ragam dari perspektif akademik. ahli-ahli menyebutnya demokrasi liberal, demokrasi
parlementer, bahkan juga demokrasi konstitusional (Hamzani, 2014). Boyd R. Campton
menjelaskan, situasi 1950-1955, bahkan sebelumnya (1945-1949), merupakan kondisi-
kondisi yang wajar dalam sebuah negara baru bebas (merdeka) dan gagasan demokrasi
yang bertebaran itu harus dilihat sebagai proses penyempurnaan konstriksi pemerintahan.
Sedangkan Magnis Suseno, menyatakan Indonesia pada periode 1946-1957 belum
sepenuhnya menjalankan demokratisasi sesuai gagasan inti kerakyatan yang merupakan
Roh Demokrasi (Khairazi, 2015).
Makna telaah demokrasi berdasarkan Hatta dan Supomo, Magnis Suseno
mengisyaratkan demokrasi dan demokrasi indonesia memiliki kesamaan sekaligus pula
perbedaan. Hatta tentu tidak menolak demokrasi (Barat), tetapi harus dilengkapi dengan
demokrasi Indonesia yang mencakup ekonomi kerakyatan (Ashari, 2020). Supomo
menolak demokrasi (Barat) sepenuhnya, demikian Magnis-Suseno. Bahkan irisan
pandangan kedua tokoh itu, kata Magnis-Suseno, sama-sama tidak terealisasi. Dalam kata-
kata Suseno sendiri, “Puncak kehidupan demoratis Republik muda sekaligus merupakan
permulaan kemerosotannya”.