Volume 1, Nomor 7, Juli 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
629 http://sosains.greenvest.co.id
PEMBERHENTIAN PNS DI PEMDA KABUPATEN TIMOR TENGAH
SELATAN YANG TERLIBAT KORUPSI DITINJAU DARI SEGI
KEADILAN
Yoserizel Nisnoni
Universitas Nusa Cendana
E-mail: nisnoniyos[email protected]
Diterima:
16 Juni 2021
Direvisi:
05 Juli 2021
Disetujui:
15 Juli 2021
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui substansi perundang-
undangan dalam penegakan sanksi administrasi, sejauhmana
bentuk keadilan yang diberikan pemerintah terhadap PNS yang
terlibat korupsi, Mewujudkan kepastian hukum dan keadilan
hukum, mengetahui pemberhentian PNS berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 2014,bagi PNS yang melakukan korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, mengetahui
keadilan dalam penerapan sanksi bagi PNS yang terlibat korupsi
dan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS. Penelitian
ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Berdasarkan hasil penilitian, maka dapat dismpulkan bahwa
pemberhentian secara tidak dengan hormat kepada PNS yang
terlibat korupsi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 namun diberhentikan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2014 tidak tepat karena bertentangan dengan
prosedur, substansi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kata Kunci: Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,
Korupsi, Keadilan
Abstract
This study aims to find out the laws and regulations in enforcing
sanctions, the extent to which the form of justice provided by the
government for civil servants involved in corruption, realizing
law and legal justice, knowing the dismissal of civil servants
based on Law Number 5 of 2014, for civil servants who commit
corruption under the law. -Law Number 8 of 1974, Knowing
justice in the application of sanctions for civil servants who are
involved in corruption and have no respect as civil servants. This
research is a normative research using the approach of applying
the law and a conceptual approach. Based on the results of the
research, it can be concluded that the dishonorable discharge of
the civil servants involved since the enactment of Law Number 8
of 1974 but was dismissed based on Law Number 5 of 2014 is
not appropriate because it is contrary to the procedure,
substance according to the applicable laws and regulations.
Keywords: Dismissal of civil servants, Corruption , Justice
Pemberhentian PNS Di Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan
Yang Terlibat Korupsi Ditinjau Dari Segi Keadilan
2021
Yoserizel Nisroni 630
Pendahuluan
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara
indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap
oleh pejabat pembina kepegawaian untuk memnduduki jabatan pemerintahan (SAWITRI,
2019). Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut pegawai ASN adalah
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh
pejabat pembina kepegawaian dan diberikan tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau
diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pegawai pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah
warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan
perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan (Ramadhani & Joesoef, 2020).
Menurut Djoko Prakoso kejahatan jabatan adalah kejahatan yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau pejabat dalam masa pekerjaannya, serta kejahatan yang termasuk
dalam salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua
KUHP (Fahmi, Syahbandir, & Efendi, 2017). Wirjono Prodjodikiro berpendapat bahwa
kejahatan jabatan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh para pejabat yang
memegang kekuasaan dan harus dihukum pidana. Pemberhentian dari jabatan merupakan
pemberhentian yang mengakibatkan PNS tidak lagi menduduki jabatan administrasi,
jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi (Sudrajat, 2017). Berbicara mengenai
tindak pidana kejahatan jabatan atau yang ada hubungannya dengan jabatan oleh Pegawai
Negeri Sipil sangat identik dengan tindak pidana korupsi. Kata korupsi berasal dari
bahasa latin coruptio atau corruptus yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik dan menyogok. Istilah corruption, corrups (Inggris), corruption (Perancis),
corruptie, korruptie (Belanda) dan korupsi (Indonesia) (Sholikhati & Mardikantoro,
2017). Dalam arti luas korupsi diartikan sebagai sebuah penyalahgunaan jabatan resmi
oleh pejabat publik untuk mendapat keuntungan pribadi.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatakan
bahwa yang termasuk dalam tindak pidaana korupsi yakni “setiap tindakan yang melawan
hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” (Saragih, 2018).
Pegawai Aparatur Sipil Negara atau ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, yang diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas
negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Kadarisman,
2018). Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disebut PPPK
merupakan warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat
berdasarkan perjanjian kerjauntuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan
tugas pemerintahan. Pegawai Negeri menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian menyatakan bahwa Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara
lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pramita &
Markeling, 2013). Pada bulan September Tahun 2018, Kementerian Dalam Negeri telah
menerbitkan Surat Edaran dengan nomor SE 180/6867/SJ tentang Penegakan Hukum
terhadap Aparat Sipil Negara yang melakukan tindak pidana korupsi (LISTIANI, 2020).
Keluarnya kebijakan ini terkait dengan banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap
Volume 1, Nomor 7, Juli 2021
p-ISSN 2774-7018; e-ISSN 2774-700X
631 http://sosains.greenvest.co.id
(inkracht), dimana Menteri Dalam Negeri meminta agar mereka segera diberhentikan
dengan tidak hormat. Disamping surat edaran, maka terdapat pula Surat Keputusan
Bersama antara Mendagri, Menpan RB dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tentang
proses pemberhentian PNS korupsi. SKB yang bernomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun
2018, dan Nomor 153/KEP/2018 itu mengatur tentang penegakan hukum terhadap PNS
yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht) karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan (Jiwantara, 2019).
Hakikat keadilan pada dasarnya tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, dan dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan
dengan UU nomor 17 tahun 2007. Kata adil terdapat pada Pancasila yaitu Sila ke dua dan
ke lima, Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea II dan IV, RPJPN 2005-2025 dalam visi,
misi dan arah Pembangunan Nasional. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
keadilan yang berasal dari kata dasar “adil”, dan mendapat awalan ke dan akhiranan
(Pahlevi, 2016). Makna kata adil mempunyai arti kejujuran, kelurusan dan keikhlasan
yang tidak berat sebelah, netral atau seimbang, tidak memihak, berpegang pada
kebenaran sehingga keadilan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat
sebelah atau tidak memihak dan tidak sewenang-wenang (Yunus, 2017).
Kewenangan penegakan hukum administrasi merupakan bagian dari kewenangan
pemerintah. Sebagai bagian dari wewenang pemerintah, maka pihak pemerintahlah yang
berwenang dan bertanggung jawab dalam proses penegakan hukum publik sebagaimana
dikemukakan J.B.M. ten Berge bahwa de overheid is primair verant wooedelijk voor de
handhaving van publiekrechtelijk (Murni & Nurjanah, 2020).
Penegakan hukum administrasi dilakukan dengan menggunakan sarana hukum
administrasiyang mencakup wewenang pengawasan dan wewenang penerapan sanksi
pemerintahan. Relevan dengan penggunaan sarana pengawasan dan penerapan sanksi
administrasi dalam penegakan hukum administrasi, P. Nicola et al, mengemukakan
sebagai berikut:
De bestuursrechtelijke handhavings middelen omvatten (1) het toezich das
bestuursorganen kunnen uitoefenen op de naleving vande bij besluit of krachtens de wet
gestelde voorschriften en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2)
de toepasing van bestuursrechtelijk sanctie bevoegdheden. Terjemahan bebasnya: sarana
penegakan hukum administrasi berisi (1) pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat
melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang diterapkan secara
tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakan kewajiban kepada individu,
dan (2) penerapan kewenagan sanksi pemerintahan.
Penegakan hukum administrasi merupakan bagian dari besturan. Menurut P. de
Haan, penegakan hukum administrasi seringkali diartikan sebagai penerapan sanksi.
Sanksi dalam hukum administrasi menurut van Wijk Konijnenbelt adalah de publiek
rechtelijke matcsmiddelen die de overheadkan aanwenden alsreactive op niet-naleving
van verplichtingen die voortvloein uit administratief rechtelijkenormen yang artinya
sebagai alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh
pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam
norma hukum administrasi (Susanto, 2019).
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui substansi perundang-undangan dalam
penegakan sanksi administrasi, Sejauhmana bentuk keadilan yang diberikan pemerintah
terhadap PNS yang terlibat korupsi, Mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum,
Mengetahui pemberhentian PNS berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014,bagi
PNS yang melakukan korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974,
Pemberhentian PNS Di Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan
Yang Terlibat Korupsi Ditinjau Dari Segi Keadilan
2021
Yoserizel Nisroni 632
Mengetahui keadilan dalam penerapan sanksi bagi PNS yang terlibat korupsi dan
diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS (Didi, 2018).
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam meneliti isu hukum dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah untuk menemukan jawaban
terhadap isu hukum yang dikembangkan dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan
antara lain: pendekatan perundang-undangan (statuteapproach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian
adalah bersumber pada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan
bahan hukum yang diperlukan untuk membantu dalam proses penelitian, maka prosedur
pengumpulan bahan hukum yang dipakai yaitu menggunakan Studi Kepustakaan. Studi
kepustakaan adalah suatu prosedur penelitian dengan cara membaca, memahami dan
mengutip sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
serta bahan hukum tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Menjawab isu hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui 2 (dua) tahapan,
yaitu: tahapan pertama melakukan penelusuran, pengumpulan bahan-bahan hukum, baik
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Tahapan kedua dengan melakukan
analisis bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.
Hasil dan Pembahasan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dapat dilakukan dengan hormat ataupun
tidak dengan hormat, hal itu tergantung pada kewenangan maupun pertimbangan
pejabat yang berwenang atas berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan dan besar
kecilnya akibat yang timbul dari perbuatan itu. Namun pembehentian tidak dengan
hormat sebagai PNS akan menghilangkan salah satu hak kepegawaiannya yaitu jaminan
pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 21 huruf c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Berbicara mengenai pemberhentian PNS seperti yang telah disebutkan diatas,
maka tidak terlepas dari kewenangan seorang kepala daerah sebagai Pejabat Pembina
Kepegawaian. Salah satu asas penting dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah asas
keabsahan pemerintahan (rechtmatigheid van bestuur), yang mencakup aspek
wewenang, prosedur dan substansi. Wewenang (bevoegheid) merupakan substansi dari
asas legalitas yang bersumber dari undang-undang. Secara teoritik wewenang yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara yakni :
1) Atribusi
Wewenang atributif menurut H.D. van Wijk : atributie, toekening van een
bestuurbevoegdheid door een wetgeven aan een bestuursorganen (atribusi, adalah
pemberian wewenang oleh pembuat undang-undang kepada pemerintah).
2) Delegasi
Wewenang delegasi sebagai konsekwensi dari desentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan, maka sebagian kewenangan pemerintah diserahkan kepada organ atau
badan lain menjadi tanggung jawabnya. Menurut Philipus M. Hadjon delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintah
(Pejabat TUN kepada pihak lain tersebut).
3) Mandat
Mandat menurut Huisman , merupakan perintah untuk melaksanakan
(opdracht tot uitvoering); kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh
mandans (bevoeghdheid kan door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden);
tidak terjadi peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid); tidak
Volume 1, Nomor 7, Juli 2021
p-ISSN 2774-7018; e-ISSN 2774-700X
633 http://sosains.greenvest.co.id
harus berdasarkan UU (geen wetelijke basis vereist); dapat tertulis, dapat pula secara
lisan.
Kewenangan menurut H.D. Sout bahwa, “bevoegheid...wat kaan worden
omschreven als het geheel van bestuurrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke
rechtssubject-ten in het bestuurrechtelijke rechtsverkeer” (wewenang...dapat dijelaskan
sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum
publik).
Hal ini merupakan suatu ketidakadilan hukum dalam penerapan saksi serta
bertentangan dengan asas kepastian hukum, karena seolah olah kepala daerah
berdasarkan kewenagannya dalam menerapkan sanksi administrasi kepada PNS yang
terlibat korupsi merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) bukan pada undang-
undang. Padahal kita tahu bahwa kedudukan undang-undang lebih tinggi dan jika
melihat dari hirarki perundang-undangan maka, kedudukan SKB tidak dapat
mengesampingkan undang-undang.
Penegakan sanksi merupakan hal yang mendasar dalam mengefektifkan
penyelenggaraan pemerintah. Namun terkadang penerapan sanksi administrasi yang
diberikan oleh PPK kepada PNS yang melakukan suatu pelanggaran cenderung
bertentangan dengan peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Berdasarkan SE 180/6867/SJ tentang Penegakan Hukum terhadap Aparatur Sipil
Negara yang melakukan tindak pidana korupsi serta Surat Keputusan Bersama dengan
nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018, dan Nomor 153/KEP/2018 itu mengatur
tentang penegakan hukum terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena melakukan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan yang ditujukan keseluruh kepala daerah provinsi, kabupaten/kota, maka Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) di Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan tanpa
melihat hirarki peraturan perundang-undangan serta prosedur pemberhentian PNS
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PPK
langsung membehentikan PNS secara tidak dengan hormat. Mengenai permasalahan
yang terjadi, maka regulasi yang dipakai kepala daerah dalam memberhentikan PNS
yang telibat korupsi tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan seolah-olah hanya
melaksanakan perintah sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB).
Hal ini merupakan bentuk ketidapastian hukum yang diterapkan kepada beberapa
PNS yang pernah terlibat korupsi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Namum hal
yang sangat tidak adil disini bahwa terdapat PNS di kabupaten Manggarai Timur
dengan kasus yang sama namun sampai saat ini kepala daerahnya tidak
memberhentikan PNS yang bersangkutan. Jika mengacu pada teori keadilan oleh Hans
Kelsen bahwa suatu peraturan umum adalah adil” jika ia benar-benar diterapkan,
sementara itu suatu perautan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus
dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Maka dapat dikatakan bahwa
pemberhentian PNS secara tidak dengan hormat berdasarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) tersebut jelas tidak adil dan merupakan penyelewengan hukum serta
Pemberhentian PNS Di Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan
Yang Terlibat Korupsi Ditinjau Dari Segi Keadilan
2021
Yoserizel Nisnoni 634
penyelewengan kewenangan sebagai PPK. Seperti yang terjadi di pemerintah
kabupaten Timor Tengah Selatan, dimana terdapat Pegawai Negeri Sipil yang
diberhentikan tidak dengan hormat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian pada tahun
2019 yang lalu. Yang menjadi perdebatan dalam keputussan Bupati Timor Tengah
Selatan tersebut adalah bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan oleh Bupati
Timor Tengah Selatan merupakan Pegawai Negeri Sipil yang berdasarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) harus diberhentikan secara tidak dengan hormat.
Berbicara mengenai keadilan, maka berdasarkan kamus bahasa indonesia
menyebutkan bahwa kata adil berdasarkan kamus bahasa Indonesia berarti berimbang,
tidak berpihak dan tidak sewenang-wenang .Jika melihat pengertian keadilan menurut
Hans Kelsen sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya yang menjelaskan bahwa
keadilan bermakna legalitas. Artinya Suatu peraturan umum adalah “adil”jika ia benar-
benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil”jika
diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Hans
Kelsen dalam bukunya general Theory of law and state, berpandangan bahwa hukum
sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan
manusia dengan cara yang memuaskansehingga dapat menemukan kebahagiaan
didalamnya.
Ketidakadilan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini, dapat dijelaskan
bahwa Pegawai Negeri Sipil yang terlibat korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap di pemerintah kabupaten Timor Tengah Selatan,
berdasarkan Surat Keputusan Bersama oleh 3 (tiga) menteri (SKB) tanggal 13
September 2018, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara tanggal 02 Oktober 2018,
Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia tanggal 28 Februar 2019 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 10
Mei 2019, maka Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai perintah tersebut
memberehentikan secara Tidak Dengan Hormat kepada Pegawai Negeri Sipil yang
terlibat korupsi.
Disisi lain terdapat kasus yang sama yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Rote
Ndao dan Kabupaten Manggarai Timur namun tidak diberhentikan. Menurut Dr.Yanto
Ekon,SH,M.Hum, mengatakan bahwa hal ini memang sesuatu yang sangat bertentangan
dengan prinsip keadilan. Mengapa, karena ASN yang melakukan tindak pidana korupsi
diwajibkan untuk diberhentikan secara tidak dengan hormat, tetapi mantan terpidana
lain justru dibolehkan untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur,
Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dan Anggota DPR atau
DPRD. Padahal ketika mereka mencalonkan diri menjadi Gubernur atau Wakil
Gubernur, Walikota atau Wakil Walikota, Bupati atau Wakil Bupati kedudukannya
adalah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Hal ini menurut saya sangat tidak adil
bagi ASN, seharusnya adalah jika menerapkan hal yang sama, maka mantan terpidana
terutama terpidana korupsi tidak boleh memberikan kesempatan untuk mencalonkan diri
menjadi pejabat publik seperti Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati
dan Walikota, Wakil Walikota.
Kesimpulan
Sesuai dengan masalah yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Timor Tengah
Selatan mengenai Apakah Pegawai Negeri Sipil yang melakukan korupsi berdasarkan
Undang-Undang No.8 Tahun 1974 jo.Undang-Undang No.43 Tahun 1999, dan telah
dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat
diberhentikan berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kewenangan Pejabat Pembina
Volume 1, Nomor 7, Juli 2021
p-ISSN 2774-7018; e-ISSN 2774-700X
635 http://sosains.greenvest.co.id
kepegawaian (PPK) dalam menjatuhkan sanksi kepegawaian berupa pemberhentian
secara tidak dengan hormat kepada Pegawai Negeri Sipil yang terlibat korupsi dan telah
berkekuatan hukum tetap sangat jelas bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Beberapa Pegawai Negeri Sipil yang terlibat korupsi dan telah berkekuatan
hukum tetap tersebut tidak dapat diberhentikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, karena sesuai kenyataan yang terjadi bahwa
Pegawai Negeri Sipil yang terlibat korupsi dilakukan sejak tahun 2010, 2011, 2012, 2013
dan 2014 yang pada saat itu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 Jo. Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih berlaku dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara belum ada atau belum
diterbitkan.
Bibliografi
Didi, Didi. (2018). Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap
Kecenderungan Pegawai Untuk Berbuat Curang (Fraud) Dengan Ketaatan Aturan
Akuntansi Sebagai Variabel Mediasi. JURNAL AKUNIDA, 2(2), 4154.
Fahmi, Wirza, Syahbandir, Mahdi, & Efendi, Efendi. (2017). Kedudukan Pegawai Negeri
Sipil Yang Diberhentikan Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan Jabatan. Syiah Kuala Law Journal, 1(1), 246265.
Jiwantara, Firzhal Arzhi. (2019). Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi, Dan
Badan Kepegawaian Negara dalam hierarki peraturan perUndang-Undangan di
Indonesia. Jatiswara, 34(3), 260267.
Kadarisman, Muh. (2018). Manajemen aparatur Sipil negara.
LISTIANI, SEPTI. (2020). ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN SURAT EDARAN
WALIKOTA BENGKULU NO. 800/31/B. III/2019 TENTANG HIMBAUAN
LARANGAN PERCERAIAN PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH. Bengkulu:
IAIN BENGKULU.
Murni, Fanindhita Anggia, & Nurjanah, Imas. (2020). Ibu Hamil dengan Kepatuhan
Kunjungan Antenatal Care (ANC) K4 Di Puskesmas. Jurnal Ilmiah Kebidanan
Indonesia, 10(01), 912. https://doi.org/10.33221/jiki.v10i01.423
Pahlevi, Farida Sekti. (2016). Revitalisasi Pancasila Dalam Penegakan Hukum Yang
Berkeadilan Di Indonesia. Justicia Islamica, 13(2), 173198.
Pramita, Kadri D., & Markeling, K. (2013). Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi
Pegawai Negeri Sipil Daerah. Fakultas Hukum Universitas Udayana. Denpasar.
Ramadhani, Dwi Aryanti, & Joesoef, Iwan Erar. (2020). Perlindungan Hukum Pegawai
Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Dalam Konsep Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu Di Institusi Perguruan Tinggi. Jurnal Yuridis, 7(1), 126.
Saragih, Yasmirah Mandasari. (2018). Problematika Gratifikasi Dalam Sistem
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Analisis Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Responsif, 5(5), 7686.
SAWITRI, HUNIK S. R. I. RUNING. (2019). PERAN MEDIASI KOMITMEN
ORGANISASIONAL PADA PENGARUH KEPEMIMPINAN, KEPUASAN
KERJA, DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI
NEGERI SIPIL. The 5th National Conference on Applied Business.
Sholikhati, Nur Indah, & Mardikantoro, Hari Bakti. (2017). Analisis tekstual dalam
konstruksi wacana berita korupsi di Metro TV dan NET dalam perspektif analisis
wacana kritis Norman Fairclough. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Pemberhentian PNS Di Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan
Yang Terlibat Korupsi Ditinjau Dari Segi Keadilan
2021
Yoserizel Nisroni 636
Indonesia, 6(2), 123129.
Sudrajat, Tedi. (2017). Menelaah Persoalan Penyalahgunaan Wewenang Dalam
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Civil Service Journal, 11(2 November), 10.
Susanto, Sri Nur Hari. (2019). Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu
Pendekatan Komparasi. Administrative Law and Governance Journal, 2(1), 126
142.
Yunus, Ahyuni. (2017). Aspek Keadilan Perjanjian Baku (Standard Contract) Dalam
Perjanjian Kredit Perbankan. Maleo Law Journal, 1(1), 106118.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-
ShareAlike 4.0 International License.