Asep Kusno Suseno 710
tidak pernah diupayakan untuk bisa terwujud di sekolah. Sekolah yang berhasil
menerjemahkan visi dan misinya dalam program-program pengembangan kultur yang
nyata ternyata lebih berhasil dalam membangun akhlak mulia, seperti terlihat dalam
sekolah-sekolah sampel penelitian ini. Semakin rinci program-program yang dibuat
sekolah, maka akan semakin jelas hasil yang bisa dilihat terutama dalam mengembangkan
pembinaan akhlak peserta didik.
Mesti juga disadari bahwa dengan membina akhlak peserta didik di sekolah
memerlukan waktu yang relatif lama, membiasakan budaya salam, senyum, sapa, jabat
tangan, dan ucapan selamat harus selalu diupayakan dan tidak hanya berhenti sampai batas
waktu tertentu, tetapi sampai tercapai kultur akhlak mulia yang dicita-citakan sekolah.
Tercapainya budaya akhlak mulia yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-
haribagi peserta didik baik di sekolah maupun di luar sekolah yang disertai dengan nilai-
nilai ibadah yang tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Usaha yang telah
dilakukan oleh peserta didik di sekolah-sekolah sampel yang dikondisikan dan diupayakan
untuk melakukan aktivitas inti selaku umat beragama adalah usaha yang konkrit dalam
rangka membangun kultur akhlak mulia melalui kegiatan-kegiatan keagamaan.
Seluruh sekolah sampel yang diteliti oleh penulis dapat disimpulkan bahwa memulai
pembinaan akhlak peserta didik dapat dimulai dari berbagai macam kegiatan keagamaan
dari peserta didik, seperti pembudayaan salat wajib maupun sunat secara berjamaah
maupun secara munfarid (sendiri), pembiasaan puasa dan zakat pada bulan ramadhan,
mengadakan pesantren kilatuntuk menambah pengetahuan dan wawasan keagamaan yang
modal untuk pengamalan agama, tadarus Al-Qur’an atau menghafal surat-surat pendek dan
doa-doa, serta pendalaman agama melalui berbagai aktivitas yang telah dirancang oleh
sekolah. Bersamaan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan itu dibudayakan juga nilai-nilai
kebaikan seperti disiplin, kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, empati, dan nilai-nilai
lainnya di sekolah. Nilai-nilai universal ini seharusnya tidak hanya dilakukan di sekolah,
tapi dimana saja dan oleh siapa saja.
Semua sekolah sampel dalam penelitian ini memandang begitu pentingnya tata tertib
atau aturan sekolah dalam rangka membina akhlak peserta didik di sekolah. Semua sekolah
sampel memiliki tata tertib sekolah yang arahnya untuk terwujudnya pembinaan akhlak.
Pengawalan berlakunya tata tertib ini masing-masing sekolah berbeda-beda. Terdapat
sekolah yang ketat memberlakukan tata tertib sekolah dan bagi yang melakukan
pelanggaran dikenai sanksi yang tegas. Ketentuan yang tegas dapat menghasilkan aturan
dapat berjalan dengan baik, sehingga apabila peserta didik sudah terbiasa mengikuti aturan,
maka tidak ada beban lagi bagi peserta didik untuk tunduk dan patuh pada aturan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, para peserta didik di SMA Negeri 24
Bandung terlihat tanpa beban ketika mereka harus pergi pagi-pagi sudah sampai di sekolah,
harus bersalaman dengan guru yang menyambutnya, harus berpakaian yang rapih sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan dalam aturan, atau melakukan berbagai aktivitas yang
dituntut harus sesuai aturan, membaca Al-Qur’an, melaksanakan salat baik salat wajib
maupun sunat, dan aktivitas keagamaan lainnya. Hal yang sama juga terjadi di sekolah-
sekolah lain, misalnya SMA Negeri 1 Bandung yang sangat menekankan pengamalan
agama secara praktis dalam kehidupan di sekolah. Ternyata ketaatan peserta didik dalam
mengikuti aturan atau menjalankan ajaran agama itu sangat didukung oleh keteladanan dan
kepala sekolah.
Terdapat keharusan di SMA Negeri 24 Bandung, bahwa kepala sekolah harus datang
lebih awal dari guru/pendidik, guru datang lebih awal dari para karyawan, dan karyawan
datang lebih dahulu dari peserta didik/siswa. Jika kepala sekolah, guru, dan karyawan mau
dan mampu memberi contoh (teladan) seperti itu, maka tidak sulit mengajak dan
mengarahkan peserta didik untuk berakhlak mulia. Sebaliknya, jika kepala sekolah, guru