Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
980 http://sosains.greenvest.co.id
paradigma interpretif dan konstruktif, memandang realitas sosial sebagai suatu yang
holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna (Suryani, 2017). Metode ini disebut juga
sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola)dan
disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan
interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode ini disebut juga sebagai
metode konstruktif karena dengan metode kualitatif dapat ditemukan data-data yang
berserakan selanjutnya dikonstruksikan dalam suatu tema yang lebih bermakna dan
mudah dipahami untuk menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang atau prilaku yang diamati dan selanjutnya dikuatkan dengan sumber data
primer dan sumber data sekunder.
Hasil dan Pembahasan
Isbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah, kata isbat berasal
dari bahasa Arab yaitu
yang berarti penetapan, penyungguhan, penentuan.
Sedangkan nikah secara bahasa berarti
artinya "bersenggama atau bercampur”.
Para ulama’ ahli fikih berbeda pendapat tentang makna nikah, namun secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fikih yaitu akad nikah yang ditetapkan oleh
syara’ sehingga seorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan
kehormatan seorang istri serta seluruh tubuhnya. Sedang nikah menurut hukum positif
yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan agama Islam dengan terpenuhinya syarat dan rukun nikah (Huda, 2014). Tetapi
pernikahan tetapi tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA
(Kantor Urusan Agama) yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab Fikih klasik maupun
kontemporer. Akan tetapi syarat Isbat nikah ini dapat dianalogikan dengan syarat
pernikahan. Hal ini karena isbat nikah (penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan
suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan
syarat dan rukun nikah akan tetapi pernikahan ini belum dicatatkan ke pejabat yang
berwenang yaitu Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Maka untuk mendapatkan penetapan
harus mengajukan terlebih dahulu perkara permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Dasar hukum isbat nikah merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama yang
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan nikah siri sebelum diberlakukannya Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Juncto (Jo) Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 tahun 1974). Namun
kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan merujuk kepada ketentuan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 7 (2 dan 3), yaitu bahwa perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan buku nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama.” Sedangkan
ayat(3) berbunyi: isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan a) adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian. b) hilangnya Akta Nikah. c) aanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan. d) adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, perkawina yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Melihat uraian dari
pasal 7 ayat (2 dan 3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut, berarti bahwa KHI telah