Civic Virtue Ketaatan Warga Terhadap Negara Dalam
Gagasan Maupun Praktik Sebagai Tantangan Indonesia
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing 1078
responden yang menjawab dirinya lahir sebagai warga negara maka wajib taat pada
negara. Terkait situasi Pandemi Covid-19, 78,3% Responden menjawab bahwa Covid-19
dapat diatasi jika masyarakat taat pada negara. Hanya 18,2% yang menjawab sepenuhnya
tergantung kemauan pribadi. Selebihnya menjawab bahwa ketaatan terhadap pemerintah
tidak berhubungan sama sekali dengan Covid.
Tidak berlebihan jika Erich From, dalam salah satu karyanya, mengatakan bahwa
sejarah umat manusia berawal dari ketidak-patuhan. Begitu dikatakan Fromm sebagai
reaksi terhadap Humanisme yang dangkal dan sempit, yang mana atas nama agama
manusia rela berbuat apa saja dan ketidak-taatan menjadi sejenis problem psikologis dan
moral. Fromm juga mengkritik Humanisme-Marxis yang kedodoran sehingga tidak
melihat kenyataan apa adanya dan dianggapnya memaksakan diri.
Sebagai psikolog Humanis-Materialis, Fromm mengkritik keras agama. Tetapi
selain itu Fromm juga melakukan hal yang sama terhadap Komunisme. Meskipun kritik
terhadap Komunisme dilancarkan akibat perseteruannya dengan Frankfurt School, tetapi
apa yang dikatakannya mungkin benar, yakni agama-agama modern sekarang ini
(termasuk Islam, agama mayoritas di Indonesia) selalu melancarkan kritik terhadap
kemanusiaan, sama seperti Komunisme. Padahal Kapitalisme, sebagaimana dinyatakan
Samuel Huntington telah terbukti lebih mampu menyesuaikan diri terhadap
perkembangan manusia.
Selain itu harus dikatakan pula bahwa sejarah merupakan peristiwa kehidupan
yang terdiri dari berbagai kepentingan, emosionalitas, fenomena, kegetiran, frustasi, ego,
inisiatif, kemenangan, dan bagaimanapun seluruh kenyataan yang menggambarkan
aspek-aspek tersebut tidak boleh gagal diterangkan (Marli, 2020). Keinginan dan hasrat
terdalam pada diri manusia yang meluap dan merajalela pada saat revolusi tidak mungkin
dapat dilihat jika dibingkai dalam hukum sebab-akibat. Dan akhirnya, hanya dari
keberhasilan menggambaran revolusi itulah sejarawan dapat melihat, mengurai dan
memaknai kebebasan dan kemerdekaan yang diagung-agungkan manusia. Inilah yang
disebut super-ego (Suhendi, 2020).
Selain Fromm, kita juga dapat belajar dari Hannah Arendt, seorang filosof,
pemikir sekaligus individu yang memiliki sifat-sifat ketidak-taatan, bahkan kritis dan
radikal. Tidak hanya melalui pikiran, penampilannya sejak belia telah menunjukkan
karakter wanita yang cenderung menyimpang dari arus pandangan dan kebiasaan umum.
Karya-karyanya sejak dekade 1950an mencerminkan hasil eksplorasi intelektual yang
serius dan mendalam tentang kejahatan totaliter, tema yang saat itu boleh dikatakan masih
jauh dari benak kaum perempuan.
Melalui The Origin of Totalitarianism, Arendt dengan tegas menolak peta jalan
damai politik yang penuh kejahatan. Radikalisme Arendt bahkan sudah tampak dalam
proses studi Totaliterisme itu sendiri, yang akhirnya membuahkan sebuah jejaring
pemikiran yang menantang konsep-konsep sebelumnya, yang sudah permanen dalam
tradisi pemikiran politik Eropa. Alhasil, sebagian besar universitas ternama di Eropa dan
Amerika perlahan-lahan tunduk pada sikap kritisnya.
Tidak hanya berhasil membalikkan kebenaran yang lama bercokol dalam dunia
filsafat politik Barat, Arendt juga mempertontonkan sebuah hasrat yang luar biasa, yakni
menggali ‘harta yang telah lama terpendam’ sejak akhir abad XIX: bahwa dalam tradisi
pemikiran Barat, para filosof dan kaum intelektual hanya menenggelamkan diri ke dalam
penjelajahan teori-teori dan tidak peduli dengan praksis politik sebab yang disebut
terakhir sepenuhnya merupakan ‘urusan dunia manusia yang kasar dan tak bermartabat’
(Rakhmat, 2013). Namun ambivalensi itu akhirnya kelihatan. Fakta-fakta di sekitar