Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1073 http://sosains.greenvest.co.id
CIVIC VIRTUE KETAATAN WARGA TERHADAP NEGARA DALAM
GAGASAN MAUPUN PRAKTIK SEBAGAI TANTANGAN INDONESIA
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing
Universitas Katolik Parahyangan, Indonesia
Diterima:
19 Agustus 2021
Direvisi:
08 September
2021
Disetujui:
15 September
2021
Abstrak
Untuk memahami Indonesia sekarang, haruslah mengerti empat
hal ini: bagaimana ekonomi politik diatur, bagaimana
perkembangan organisasi sosial, respon dan sejarah masyarakat.
Tanpa memahami keempatnya sekaligus, memahami Indonesia
hanyalah kumpulan kosa kata. Tetapi terdapat suatu hal yang
harus diperhitungkan dalam kontelasi ekonomi politik Indonesia,
khususnya dalam kaitan dengan hubungan Negara Masyarakat,
yakni persoalan Civic Virtue. Apakah warga taat kepada negara
Terutama dalam menghadapi Covid-19, persoalan ini menjadi
relevan dan kontekstual. Dalam bentang sejarah Indonesia
modern sejak 1945, harus dikatakan bahwa persoalan ini belum
dianggap penting. Yang utama adalah tindakan negara terhadap
masyarakat-nya, sementara masyarakat harus mampu merasakan
pengaruh negara, utamanya dalam hal keadilan & kesejahteraan
ekonomi. Jika tidak, maka negara dianggap kurang maksimal.
Apakah paradigma itu dibenarkan. Berikut ini kami melakukan
eksplorasi gagasan tentang siapa itu warga yang harus taat
kepada negara. Memang tidak mudah, dan kami harus pula
menyebar quesioner untuk menjaring pendapat umum, terutama
dari kalangan mahasiswa. Kalangan inilah yang kami anggap
tidak terlalu mengerti sejarah, dan terutama dengan cara berpikit
pragmatis, khas milenial.
Kata kunci: Negara, Warganegara, Ketaatan, Politik, Sejarah
Abstract
To understand Indonesia now, you must understand these four
things: how political economy is regulated, how the development
of social organizations, the response and the history of society.
Without understanding all four at once, understanding Indonesia
is just a collection of vocabulary. But there is something that
must be taken into account in the kontelasi of Indonesia's
political economy, especially in relation to state-community
relations, namely the issue of Civic Virtue. Are people obedient
to the state? Especially in the face of Covid-19, this issue
becomes relevant and contextual. In the history of modern
Indonesia since 1945, it must be said that this issue has not been
considered important. The main thing is the actions of the state
against its people, while the community must be able to feel the
influence of the state, especially in terms of justice & economic
welfare. If not, then the state is considered less than optimal. Is
the paradigm allowed? Here we explore the idea of who it is
citizens who must obey the state. It is not easy, and we also have
to spread quesioner to capture public opinion, especially among
Civic Virtue Ketaatan Warga Terhadap Negara Dalam
Gagasan Maupun Praktik Sebagai Tantangan Indonesia
2021
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing 1074
students. These are the people we consider not very
understanding of history, and especially in a pragmatic, typical
millennial way.
Keywords: Country, Citizen, Obedience, Politics, History
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Tidak kurang dari 6000 pulau menjadi
bagian tidak terpisahkan dari Indonesia, pernah dijajah Belanda dari abad 16 hingga 20,
negara kepulauan ini menyatakan kemerdekan pada 17 Agustus 1945 meski baru diakui
pada 27 Desember 1949 (Zainal, 2018). Menurut Soekarno, presiden pertama Republik
Indonesia, kata Indonesia berasal dari etnolog Jerman, Jordan, yang saat itu menjalani
studi di Jerman. Saking dekatnya dengan India, Jordan menyebut pulau-pulau itu ‘indos’
dan ‘nesos’ (berasal dari bahasa Yunani) yang berarti Pulau. Maka jadilah Indonesia,
bukan sebagai Austronesia meskipun sebagian besar penduduknya (dari Tengah hingga
Barat) termasuk rumpun Austronesia. Masih kata Soekarno, Indonesia adalah seluruh
bekas jajahan Belanda sejak tahun 1596. Sebab itu pula Soekarno menolak mengambil
alih Timor Leste yang merupakan jajahan Portugis (Hasim, 2018). Jika Soekarno mampu
memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia hanya 2 (dua) hari setelah berakhirnya Perang
Asia Pacifik, harus dikatakan bahwa determinasi batas-batas bekas Kolonialisme Belanda
harus dilihat luar biasa positif. Betapa tidak, sebesar Indonesia ini sama dengan 42
Negara di kawasan Eropa. Belum lagi jika melihat keragaman masyarakatnya yang oleh
Hildred Geertz pernah digambarkan begini. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnis di
Indonesia, masing-masing mempunyai identitas kultural sendiri dan memakai lebih dari
250 jenis bahasa lokal. Termasuk hampir semua Agama dunia diwakili oleh agama di
sini, selain Kepercayaan asli yang banyak sekali jumlahnya (Aziz, 2020). Demi
menggambarkan pluralitas masyarakat tersebut, pendiri Repubik ini dengan meyakinkan
mengumandangkan sebuah motto nasional, Bhinneka Tunggal Ika; sebuah motto yang
dikutip dari zaman Hindu - Majapahit. Kendati demikian, negara sebesar dan semajemuk
ini membutuhkan lebih dari sekadar motto. Tidak lain dan tak bukan, yang dibutuhkan
adalah sebuah ideologi persatuan. Sejak tahun 1926 Soekarno telah ‘menemukan’ bahwa
setidaknya tiga ideologi tumbuh subur dalam masyarakat yang sedang mengalami
penjajahan (Latif, 2013).
Ideologi merupakan instrumen negara untuk mengukuhkan dirinya dan sekaligus
menjadi landasan ketaatan masyarakat terhadap negara (Kariyadi, 2017). Tanpa ideologi
negara tidak kuat, bahkan tidak mungkin berdiri. Tanpa ideologi pula intrumen
masyarakat untuk taat pada negara tidak ada atau nihil sama sekali. Dari hasil
penelusuran Soekarno tersebut, juga secara teoritik, harus dikatakan bahwa ideologi
teramat penting untuk masyarakat Indonesia (Alfianita, 2019). Salah satu simpulan yang
dapat ditarik dari setiap keadaan dan proses politik yang ditempuh tokoh-tokoh
pergerakan selama periode pemerintahan Jepang, potensi kekuatan warga sebenarnya
berusaha digarap secara maksimal namun di sana-sini terjadi tumpang-tindih. Kenyataan
itu tidak bisa dijelaskan hanya pada bingkai kekurangsiapan para tokoh secara psikologis
atau rentang waktu yang relatif singkat, tetapi juga akibat pemahaman dan respon
terhadap situasi yang tidak (mungkin) permanen (Yosita & Nurcahya, 2015). Hal itu pula
yang membuat radikalisasi warga menguat dengan sendirinya tanpa dipengaruhi sepak
terjang tokoh-tokoh pergerakan. Jepang mungkin sama sekali tidak menyadari bahwa
Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1075 http://sosains.greenvest.co.id
milisi-milisi bersenjata bentukannya merupakan dimensi baru dalam sejarah pergerakan
rakyat di seluruh Hindia yang nanti balik menyerang. Kendati kurang memiliki peran
politis, radikalisme pemuda yang disanjung Ben Anderson itu bertolak dari milisi-milisi
ini. Sayangnya, seorang radikalis kawakan paling berbahaya, Tan Malaka, baru tiba dari
rantaunya setelah 1942. Itupun tak langsung memasuki kancah revolusioner, dengan
alasan karena ingin membaca situasi dengan seksama. Tan Malaka memilih berdiam
sambil menyusun konsep perjuangan yang dianggap lebih berarti bagi rakyat bila perang
telah usai, dari suatu sudut kecil di sebelah Timur Batavia.
Kata V i r t u e berasal dari Bahasa Latin dan barakar dari kata Vir yang berarti
Kekuatan. Virtue bersandar pada sifat maskulin, yang umum diterjemahkan sebagai
Keutamaan, Kebajikan ataupun Kebaikan. Kata Virtue biasa digunakan dalam konteks
pengertian Nilai (Value), menjelaskan Keutamaan (tertentu) yang mendorong tindakan
atau perilaku manusia.
Manusia selalu berusaha memaknai diri, hidup maupun tindakannya. Sebagai
anggota the Social, manusia lahir, bergerak dinamis sekaligus bertumbuh dalam
masyarakat. Manusia lahir dalam lingkungan sosial yang sudah menjadi (given) sehingga
harus dikatakan bahwa manusia Ada dalam Ruang sekaligus Waktu yang berproses.
Dalam ungkapan yang lebih sederhana, setiap manusia (sebagai individu) pasti berada
dalam garis kehidupan yang terdiri dari Ruang dan Waktu. Sejak dari rahim ibu, lahir,
tumbuh dan akhirnya mati (berakhir). (Slamet, 2016), filosof fenomenologi Jerman,
mengistilahkan garis kehidupan sebagai Sein zum Tode (Ada menuju Kematian).
Berproses menuju titik akhir dan tidak akan pernah terulang.
Setiap peristiwa, setiap keadaan dan tiap-tiap tindakan memang tidak pernah
terulang. Setiap detik adalah detik yang unik dan baru. Karena itulah Manusia selalu
berupaya membuat Ruang dan Waktu yang menghidupi ~ sekaligus dihidupinya bernilai.
Hari Sabtu besok berbeda dari Sabtu pekan lalu. Solusi hari ini berbeda dari solusi
kemarin. Begitu pula proses berpacaran berbeda dengan pernikahan. Momen kelahiran
putra sulung pasti berbeda dari momen kelahiran putra bungsu.
Berdasarkan dimensi waktu, pendiri Psikoanalisis, Sigmund Freud (1856-1939)
menyatakan bahwa individu bisa saja terjebak pada penilaian hidup yang terbatas atau
menyerap Nilai terbatas pula. Jebakan yang dimaksud ialah (1) Terkurung dalam Masa
Kini; (2) Terkurung Masa Lalu; dan (3) Terkurung dalam Masa Depan.
Yang disebut pertama, menjalani hidup tanpa visi masa depan. Quintus Horatio
Flaccus (65 szb 8 zb) terkenal dengan ucapannya Carpedeim quam minimum credulo
postero”, yang kemudian menjadi motto jebakan pertama. Menurut Freud, “Nikmatilah
hari ini dan percaya sesedikit mungkin tentang hari esok” justru melahirkan moral hazard
(mumpungisme) selain tentu perilaku egois. Hanya memperhatikan kenikmatan pribadi
(pleasure principle), keluarga atau kelompok sendiri sebagai pemuas hidup. Sedangkan
yang kedua terkurung dalam masa lampau, terjebak pada pengagung-agungkan masa lalu.
Dalam kondisi begitu sejarah dinyatakan tidak pernah berubah. Parahnya lagi, jebakan ini
memaksa generasi sekarang untuk tunduk pada situasi masa lalu atau minimal
mengidealkannya. Sedangkan jebakan ketiga lebih sering menunda (prokastinasi); yang
berakibat sering bergerak hanya jika deadline telah di depan mata.
Penilaian situasi atau tindakan berdasarkan dimensi waktu parsial (sepotong-
potong) tentu menunjukkan sikap ekstrim; sementara hidup yang bernilai timbul dari
penghayatan yang mencakup tiga dimensi sekaligus. Dalam konteks hidup sosial
bermasyarakat, pengertian Nilai tentu tidak terlalu jauh dari uraian di atas, yakni
mengenai apa yang harus dicapai, diraih atau diwujudkan dalam hidup melalui tindakan
atau perilaku.
Civic Virtue Ketaatan Warga Terhadap Negara Dalam
Gagasan Maupun Praktik Sebagai Tantangan Indonesia
2021
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing 1076
Istilah virtue dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai Keutamaan. Secara
etimologi hal itu mungkin kurang memadai, tetapi penelitian ini mencoba melakukan
eksplorasi lebih dalam. Istilah Nilai sebagai Keutamaan berasal dari konteks peradaban
Yunani. Konteks peradaban Yunani menyebut virtue sebagai arete. Arete dalam
perspektif peradaban Yunani diterjemahkan dan diuji dalam konteks pertanyaan tentang
apa dan siapa manusia, serta bagaimana manusia menjadi manusiawi.
Menurut peradaban Yunani, manusia ideal ialah manusia yang mampu
menyelaraskan jiwa dan tubuh (badan)-nya. Arete adalah idealisasi diri, yang dengan itu
manusia berproses dan dibentuk menjadi manusia ber-keutamaan dan berorientasi
mengejar sesuatu yang bernilai. Demikianlah konsep dasar manusia, yakni menjadi
manusia yang bernilai atau dihidupi oleh keutamaan sehingga mencapai kebahagiaan
(eudaimonia). Mengenai proses ini Sokrates mulai dengan mengajukan pertanyaan dasar:
bagaimana seharusnya manusia hidup. Atau hidup macam apa yang dapat dikatakan
sebagai hidup yang bahagia dan bagaimana manusia memperolehnya.
Melalui analisis yang luas disodorkanlah satu pernyataan penting sebagai benang
merah terhadap teori Goldstone tadi: Negara dapat menuju jurang kegagalan apabila
organ-organ dan aktor-aktor politik yang bermain di dalamnya tidak dapat bekerja sama
secara mandiri dan bebas, apalagi jika masing-masing mempunyai kepentingan berbeda.
Belum lagi ketika aktor-aktor politik yang menguasai negara bertambah atau berganti
pada momen tertentu sementara konfrontasi dengan warga dan aktor-aktor luar belum
terselesaikan. Akibatnya, negara kehilangan kontrol dan tidak mampu lagi
mengendalikan otoritas. Dan dalam kondisi yang tidak terkendali itu, secara perlahan,
negara mengundang revolusi menghampiri dirinya. Situasi inilah, yang menurut
Goldstone, disebut State Breakdown! (negara menjelang ambruk).
Bagaimana situasi negara pada saat state breakdown? Bagaimana pula negara
merespon situasi? Menurut Goldstone, terdapat tiga kondisi aktif dan yang saling terkait
yang mendorong munculnya ketidak-taatan. Pertama, negara dilanda krisis ekonomi yang
parah. Krisis ekonomi bisa datang setiap waktu akibat merosotnya nilai uang, tingginya
pengangguran dan pengaruh perang. Tetapi dalam kasus state breakdown, krisis ekonomi
adalah krisis yang hampir tidak dapat diatasi seperti biasanya dan “hanya” tersedia satu
solusi. Sayangnya, penguasa tak menghendaki solusi tersebut (Huseini, 2016). Kedua,
konflik aktor-aktor politik telah mencapai titik kulminasi. Konflik yang dimaksud bukan
hanya disebabkan perbedaan ideologi atau rebutan jabatan-jabatan penting. Jika
masalahnya sekadar itu, negara terbiasa menyelesaikan dengan cross cutting atau
kompromi Pada konteks ini, konflik elit dipengaruhi kesadaran untuk menciptakan
pembaruan politik-ekonomi. Namun yang lebih penting, secara nasional, negara telah
kehilangan kemampuan mengendalikan otoritas dalam sebuah konfrontasi dengan aktor-
aktor yang secara politik mempunyai kekuatan ekstra. Ketiga, terjadinya mobilisasi massa
besar-besaran melebihi aksi yang sudah-sudah. Sebagian kelompok elit yang bertikai
boleh jadi akan berpihak pada massa. Namun menurut Goldstone, kemungkinan untuk
bertindak sendiri melawan pusat kekuasaan juga tidak dapat diabaikan begitu saja.
Apapun pilihannya, negara jelas sedang menghadapi dua musuh sekaligus: massa dan elit
yang pernah mendukungnya.
Dalam situasi seperti itu negara biasanya menawarkan kompromi, seolah-olah
bersedia memenuhi tuntutan warga dan elit. Jika elit membelot dan menerima tawaran itu,
negara boleh jadi akan bertahan. Tetapi Revolusi tinggal menghitung waktu bila mereka
tidak menerimanya. Sementara di sisi lain juga ada alternatif pilihan: negara
mengabsahkan coup d’ etat.
Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1077 http://sosains.greenvest.co.id
Hari-hari ini kita tahu bahwa ketidak-taatan itu tampak dari situasi menghadapi
Covid-19 yang sekaligus menunjukkan perbedaan negara dan masyarakat. Terutama lagi
menghadapi libur Lebaran. Negara bilang A sedangkan masyarakat maunya B.
Bertentangan dan tidak taat menghadapi Covid-19 dan semakin distingtif. Tetap negara
bukanlah negara totaliter sebagaimana diisyaratkan Arendt, bukan pula negara Demokrasi
Pluralistik; setidaknya dalam soal mutu atau negara berdemokrasi dalam soal kualitas.
Metode Penelitian
Penelitian ini sepenuhnya berada dalam naungan riset kualitatif. Namun demikian,
kami melakukan penelitian kuantitaif. Paling tidak untuk menjaga keseimbangan kedua
aspek baik kualitatif maupun kuantitatif. Untuk itu kami memilih dan menyiapkan
metode kuesioner yang dibagikan melalui Google Form. Lalu terkumpul sejumlah 1555
Responden yang terdiri dari mahasiswa. Kuesioner dibagikan secara acak (random),
dengan 12 pertanyaan yang sepenuhnya terkait judul penelitian.
Sebanyak 59,6% Responden tinggal di kota besar, sejumlah 25,3% tinggal di kota
menengah dan 13% tinggal di kota kecil. Sisanya tinggal di desa dan hanya 16 orang
yang mengaku berpindah-pindah minimal sekali lima tahun. Responden yang kami
harapkan mungkin tidak memenuhi kriteria atau lebih banyak tinggal di kota kecil, tetapi
perkembangan kota besar akhir-akhir ini cukup pesat dan 13% bukanlah angka yang
terlalu kecil.
Sebanyak 63% responden berada di usia 18-24 tahun, dan hanya 36% berada di
luar itu. Artinya, responden terbanyak berada di ambang usia produktif atau minimal
dewasa muda (skala psikologi). Hal itu juga ditunjang fakta bahwa 114 orang mengaku
berpendidikan SMA sederajat D-3 dan hanya atau 21,9% responden mengaku
berpendidikan sarjana. Itu artinya responden didominasi generasi nilenial atau genmil.
Dan 100% responden berprofesi sebagai wirausaha atau setidaknya memiliki orang tua
yang berprofesi itu.
Hasil dan Pembahasan
Memasuki substansi, 8,2% yang mengaku bahwa ketaatan pada negara tidak
dipengaruhi ajaran agama. Berarti 91,8% mengaku bahwa ajaran agama berkontribusi
terhadap ketaatan dimaksud. Sebanyak 57,5% merasa taat kepada negara, sedangkan
42,5% merasa tidak taat sebagai warganegara. Pun demikian dengan keluarga, 81%
responden merasa keluarganya taat karena pengetahuannya dan 9,6% karena dorongan
agama, sedangkan 8,9% karena pekerjaaan.
Jawaban responden ini menunjukkan ajaran agama (apapun) memang sangat
berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Apakah karena masyarakat ini mayoritas
beragama Islam? Soal Agama pribadi tidak kami tanyakan pada responden, tetapi dari
42,5% ketidak-taatan merupakan akibat 68,3% pengetahuan, 15,8% karena pekerjaan,
10,8% karena pekerjaan dan selebihnya karena belum berusia 30 tahun. Sedangkan untuk
57, 5% yang merasakan ketaatan pada negara, 69,9% menjawab warganegara seharusnya
berpartisipasi pada setiap kebijakan negara, dan 20,5% menjawab tindak lanjut ketaatan
adalah dengan tidak melakukan korupsi. Kami juga menyediakan jawaban mendoakan
pemerintah, tidak demontrasi dan tidak membakar bendera merah-putih.
Cukup besar responden (39%) menjawab Civic Cirtue bukan
tangggungjawabnya, 30,1% responden menjawab tergantung situasi dan 24% menjawab
sebagian besar rakyat sudah taat pada pemerintah. Ketika ditanyakan yang paling
mewakili pendapatnya 32,2% menjawab bahwa taat pada pemerintah merupakan wujud
Civic Virtue tetapi bukan kewajiban; 29,5% menjawab ketaatan merupakan kewajiban,
dan ‘hanya’ 20,5% yang menjawab bahwa ketaatan adalah moralitas. Hanya 10,3%
Civic Virtue Ketaatan Warga Terhadap Negara Dalam
Gagasan Maupun Praktik Sebagai Tantangan Indonesia
2021
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing 1078
responden yang menjawab dirinya lahir sebagai warga negara maka wajib taat pada
negara. Terkait situasi Pandemi Covid-19, 78,3% Responden menjawab bahwa Covid-19
dapat diatasi jika masyarakat taat pada negara. Hanya 18,2% yang menjawab sepenuhnya
tergantung kemauan pribadi. Selebihnya menjawab bahwa ketaatan terhadap pemerintah
tidak berhubungan sama sekali dengan Covid.
Tidak berlebihan jika Erich From, dalam salah satu karyanya, mengatakan bahwa
sejarah umat manusia berawal dari ketidak-patuhan. Begitu dikatakan Fromm sebagai
reaksi terhadap Humanisme yang dangkal dan sempit, yang mana atas nama agama
manusia rela berbuat apa saja dan ketidak-taatan menjadi sejenis problem psikologis dan
moral. Fromm juga mengkritik Humanisme-Marxis yang kedodoran sehingga tidak
melihat kenyataan apa adanya dan dianggapnya memaksakan diri.
Sebagai psikolog Humanis-Materialis, Fromm mengkritik keras agama. Tetapi
selain itu Fromm juga melakukan hal yang sama terhadap Komunisme. Meskipun kritik
terhadap Komunisme dilancarkan akibat perseteruannya dengan Frankfurt School, tetapi
apa yang dikatakannya mungkin benar, yakni agama-agama modern sekarang ini
(termasuk Islam, agama mayoritas di Indonesia) selalu melancarkan kritik terhadap
kemanusiaan, sama seperti Komunisme. Padahal Kapitalisme, sebagaimana dinyatakan
Samuel Huntington telah terbukti lebih mampu menyesuaikan diri terhadap
perkembangan manusia.
Selain itu harus dikatakan pula bahwa sejarah merupakan peristiwa kehidupan
yang terdiri dari berbagai kepentingan, emosionalitas, fenomena, kegetiran, frustasi, ego,
inisiatif, kemenangan, dan bagaimanapun seluruh kenyataan yang menggambarkan
aspek-aspek tersebut tidak boleh gagal diterangkan (Marli, 2020). Keinginan dan hasrat
terdalam pada diri manusia yang meluap dan merajalela pada saat revolusi tidak mungkin
dapat dilihat jika dibingkai dalam hukum sebab-akibat. Dan akhirnya, hanya dari
keberhasilan menggambaran revolusi itulah sejarawan dapat melihat, mengurai dan
memaknai kebebasan dan kemerdekaan yang diagung-agungkan manusia. Inilah yang
disebut super-ego (Suhendi, 2020).
Selain Fromm, kita juga dapat belajar dari Hannah Arendt, seorang filosof,
pemikir sekaligus individu yang memiliki sifat-sifat ketidak-taatan, bahkan kritis dan
radikal. Tidak hanya melalui pikiran, penampilannya sejak belia telah menunjukkan
karakter wanita yang cenderung menyimpang dari arus pandangan dan kebiasaan umum.
Karya-karyanya sejak dekade 1950an mencerminkan hasil eksplorasi intelektual yang
serius dan mendalam tentang kejahatan totaliter, tema yang saat itu boleh dikatakan masih
jauh dari benak kaum perempuan.
Melalui The Origin of Totalitarianism, Arendt dengan tegas menolak peta jalan
damai politik yang penuh kejahatan. Radikalisme Arendt bahkan sudah tampak dalam
proses studi Totaliterisme itu sendiri, yang akhirnya membuahkan sebuah jejaring
pemikiran yang menantang konsep-konsep sebelumnya, yang sudah permanen dalam
tradisi pemikiran politik Eropa. Alhasil, sebagian besar universitas ternama di Eropa dan
Amerika perlahan-lahan tunduk pada sikap kritisnya.
Tidak hanya berhasil membalikkan kebenaran yang lama bercokol dalam dunia
filsafat politik Barat, Arendt juga mempertontonkan sebuah hasrat yang luar biasa, yakni
menggali ‘harta yang telah lama terpendam’ sejak akhir abad XIX: bahwa dalam tradisi
pemikiran Barat, para filosof dan kaum intelektual hanya menenggelamkan diri ke dalam
penjelajahan teori-teori dan tidak peduli dengan praksis politik sebab yang disebut
terakhir sepenuhnya merupakan ‘urusan dunia manusia yang kasar dan tak bermartabat’
(Rakhmat, 2013). Namun ambivalensi itu akhirnya kelihatan. Fakta-fakta di sekitar
Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1079 http://sosains.greenvest.co.id
Revolusi Hongaria 1956 agaknya berhasil menggeser proyek pemikiran Arendt
untuk perlahan-lahan mulai menyadari bahwa politik dan realitas dunia masih
memancarkan unsur perdamaian. Skeptisisme dan Pesismisme tidak selamanya merajai
dunia politik dan perubahan zaman. Sebuah optimisme yang memancar di salah satu
sudut Eropa Timur membuat teorinya dalam The Origin memperoleh negasi, meski
pencarian “harta yang hilang” harus berlanjut pada setiap episode sejarah. Lewat The
Human Condition Arendt mengupas makna political action [dan dalam edisi kedua
menambahkan epilog the council system dalam kaitan dengan filsafat kemanusiaan.
Sesudah itu Arendt pun mulai menulis On Revolution.
Di sana-sininya On Revolution lebih tampak sebagai debat reflektif tentang
filsafat sejarah. Dimulai dari kritik terhadap metode filsafat post-Kantian yang
menempatkan catatan sejarah di bawah bayang-bayang “roh modernitas”. Bagi Arendt
metode tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, apabila tidak ingin dikatakan harus
dihentikan. Karena bagaimanapun, catatan sejarah tidak boleh mengabaikan unsur
spekulatif. Sejarah yang dituliskan bukanlah pengalaman-pengalaman yang baru, nyata
dan terpola di hadapan para pemikir, tetapi catatan yang sepenuhnya berhasil memahami
tindakan manusia sebagai “aksi” dalam realitas nyata (Supriyanto, 2018).
Filsafat sejarah harus berangkat dari pemahaman yang benar mengenai sejarah
(Sardiman, 2015). Dan apakah yang dimaksud dengan sejarah? Sejarah adalah kilas balik
kehidupan manusia yang mesti dipahami secara utuh atau tidak sepenggal-penggal.
Karena hanya dengan melihat sejarah secara utuh, nilai dan makna kehidupan dapat
terungkap. Konsekuensi dari dasar pemikiran ini adalah, para pemikir sejarah harus
berhasil menorehkan catatan lengkap mengikuti sudut pandang para pelaku. Hanya
dengan demikianlah nilai dan keutuhan makna sejarah dapat dipahami. Yang ingin
dikatakan melalaui riset ini, terutama melalui Fromm dan Arendt, bahwa ketidak-taatan
merupakan sejarah kemanusiaan yang otentik, sejauh dapat membalikkan keadaan
menjadi lebih baik.
Penelitian ini, untuk sebagian besarnya, telah berhasil membuktikian bahwa sejarah
Indonesia modern bukanlah sejarah ketaatan kepada negara. Justru dalam dua periode,
negara terlalu kuat. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, negara sama kuatnya. Pada
masa Orde Lama, Demokrasi Terpimpin jauh dari kelemahan, kecuali di bidang
Ekonomi. Sedangkan pada masa Orde Baru, negara Birokratik Otoriter itu sungguh
terlalu kuat. Pada bab pertama telah diterangkan bahwa Prof. BJ Habibie ternyata tidak
cukup mampu mengulang kesuksesannya sebagai presiden setelah mengambil alih
jabatan dari Soeharto. Dan layak menjadi catatan, meskipun dibesarkan Orde Baru sejak
tahun 1978, Jenderal Soeharto tidak bersedia menerima Habibie, atau bahkan berkunjung
kepada Habibie. Warganegara tentu melihat itu sebagai contoh bahwa penguasa yang
telah berhasil membenamkan akarnya memendam rasa kecewa yang teramat dalam.
Tetapi lebih daripada itu dapat dikatakan pula bahwa negara identik dengan kekusaan.
Jika sang mantan penguasa selama 32 (tiga puluh dua) tahun itu tidak dapat menerima
sang penguasa de facto, siapakah yang menguasai siapa?
Begitu pula pada masa Presiden Wahid, siapakah yang menguasai siapa? Secara
de facto telah terbukti bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil
memenangkan pemilihan umum tahun 1999. Namun ketua umumnya, Megawati
Soekarnoputri, tidak otomatis menjadi presiden sebab kekuasaan tertinggi (masa itu)
berada di tangan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang ketua umumnya adalah
seorang politisi sipil. Dalam hal ini rakyat terlalu lemah berhadapan dengan sistem
pemerintahan yang dibentuk oleh negara.
Megawati Sooekarnoputri dilantik pada 23 Juli 2001, menggantikan Presiden
Wahid yang dipaksa mengundurkan diri akibat kasus Bulog-gate dan dana bantuan Sultan
Civic Virtue Ketaatan Warga Terhadap Negara Dalam
Gagasan Maupun Praktik Sebagai Tantangan Indonesia
2021
Samson Ganda J. Silitonga dan Edy Syah Putra Sihombing 1080
Brunei. Dan selama masa pemerintahannya, Megawati harus menyelesaikan kasus Bom
Bali I II yang dahsyat, serta mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
komisi ad hoc (kerja terbatas) yang akan selesai masa kerja pada tahun 2029 (selama 28
tahun). Meskipun masa kerja Presiden Soekarnoputri cukup singkat, tidak ada indikasi
bahwa negara memberi peluang pada rakyat untuk berpartisipasi secara terbuka selain
saat pemilihan umum.
Tampaknya yang paling dilihat adalah apakah negara bekerja on the track,
sedangkan rakyat hanya menonton. Mungkin dalam hal ini tidak ada aturan yang
mewajibkan rakyat harus memperlihat -kan bahwa warganegara harus taat, selain
membayar pajak dan membela negara. Itupun tergantung pada pemerintah dan undang-
undang, selain ideologi tentunya. Referendum misalnya adalah hal yang tabu dilakukan
warga, meskipun untuk jangka waktu yang singkat. Demikian pula pada saat pemilu,
pilpres maupun pilgub tidak pernah mencapai angka di atas 80%. Selanjutnya pada masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ihwal percitraan pada pemerintah semakin
kuat, selain kartel politik dan pembiaran terhadap intoleransi. Sebagaimana kita tahu
bahwa citra (apa yang tampak di permukaan) penting bagi seorang presiden, dan itu
bukanlah hal yang buruk sejauh tetap bekerja sama baiknya tanpa pencitraan, dan itu pula
yang berhasil dilakukan oleh seorang presiden seperti Yudhoyono.
Penelitian ini bukan soal pencitraan. Pada tahun 2006 terbit sebuah buku yang
juga menggambarkan bahwa kerjasama pemerintahan SBY bukanlah koalisi melainkan
kartel politik. Dalam kosa kata politik, koalisi dibentuk oleh partai-partai yang memiliki
kesamaan visi dan platform politik, dan diperjuangan bersama dalam suatu
penglempokan, baik di parlemen maupun legislatif. Sedangkan kartel politik adalah
penglompokan yang dibuat untuk meminimalisasi perbedaan partai agar memperoleh
keuntungan politik baik di parlemen, pemerintahan maupun masyarakat.
Menurut AS Hikam, itulah yang menonjol dalam pemerintahan SBY, baik di
pusat maupun daerah. Jelas bahwa koalisi” yang digunakan dalam pemerintahan SBY
bukan demokrasi dalam arti sebenarnya ~ apalagi yang sehat. Tentu, catatan mengenai
Civic Virtue harus menjadi yang pertama dalam upaya tersebut. Ketidak-taatan bukanlah
‘peristiwa tertentu’. Bukan pula kisah kemanusian biasa yang dapat diformulasikan ke
dalam berbagai teori dan sudut pandang pengamat. Ketidaktaatan merupakan aksi
kemanusiaan yang otentik, fundamental dan holistik, dengan berbagai kompleksitas
proses dan dinamikanya (Siburian, 2017), seperti dijelaskan dalam bagian II penelitian
ini. Seluruhnya, paling tidak menurut Hannah Arendt, harus terungkap dengan jelas.
Kesimpulan
Civic Virtue adalah soal Etika menghadapi kekuasaan yang meluas. Civic Virtue
adalah moral, sebagaimana ketidak-taatan juga mengandung moralitas yang sama Tidak
ada dalam Sejarah Indonesia modern (selama 75 tahun) yang menegaskan persoalan Civic
Virtue secara terbuka, kecuali ketaatan membayar pajar, pesta demokrasi (pemilu) dan
penggunaan helm, begitu pula buku-buku pelajaran. Sepanjang Orde Lama maupun Orde
Baru negara terlalu kuat, dan kalaupun negara harus berhadapan dengan warga, Civic
Virtue tidak lebih berarti dibandingkan peran dan fungsi negara. Mungkin Civic Virtue
tidak perlu dipersoalkan secara terbuka, ataupun rakyat sepenuhnya memang taat kepada
putusan-putusan negara melalui aparatnya. Ketaatan Kepada Negara adalah Rasional
sejauh menyangkut hati nurani dan tanggung jawab. Kalau berbicara tentang tanggung
jawab, berarti didahului oleh kebebasan. Ketidak-taatan juga dimungkinkan dalam
peradaban, sejauh alasannya rasional, dan otoritarianism dan telah dibuktikan dalam
Volume 1, Nomor 9, September 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1081 http://sosains.greenvest.co.id
pengalaman hidup. Kalau Rasional, berarti akal budi manusia harus berperan dalam
ketidak-taatan. Perkembangan teknologi, seperti dibuktikan penelitian ini, membuat
manusia tidak taat, mungkin karena globalisasi membukakan persoalan. Penelitian ini
perlu disimulasikan lebih leluasa dengan menguji faktor-faktor dan variabelnya pada
khalayak lebih luas. Penelitian ini berhasil menjaring 1555 responden.
Bibliografi.
Alfianita, Dedeh. (2019). Peran Organisasi Kemahasiswaan Dalam Meningkatkan
Kemampuan Kepemimpinan Mahasiswa (Studi Kasus HMI Komisariat Ushuluddin).
Lampung: UIN Raden Intan Lampung.
Aziz, Aziz. (2020). Pembelajaran Progresif (Inovasi Baru bagi Masyarakat Multikultural).
Jurnal Literasiologi, 4(1).
Hasim, Hasanuddin. (2018). Perkembangan Politik Ketatanegaraan Islam Di Indonesia.
Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum, 12(2), 279296.
Huseini, Martani. (2016). Globalisasi, Liberalisme dan Neoliberalisme. Membentuk
Identitas Indonesia Dalam Arus Globalisasi, 38.
Kariyadi, Dodi. (2017). Membangun Kepemimpinan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Perspektif Masyarakat Multikultural. Citizenship Jurnal Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 5(2), 8696.
Latif, Yudi. (2013). Negara paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marli, Suhardi. (2020). Sejarah dan pendidikan sejarah. Jurnal Cakrawala Kependidikan,
9(2).
Rakhmat, Jalaluddin. (2013). Psikologi agama: sebuah pengantar. Yogyakarta: Mizan
Pustaka.
Sardiman, Sardiman. (2015). Menakar Posisi Sejarah Indonesia pada Kurikulum 2013.
ISTORIA: Jurnal Pendidikan Dan Sejarah, 11(2).
Siburian, Togardo. (2017). Melampaui Politisi, Menuju Negarawan: Refleksi Etis
Kristiani. Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 4(1), 64.
Slamet, Achmad. (2016). Buku Ajar Metodologi Studi Islam:(Kajian Metode Dalam Ilmu
Keislaman). Yogyakarta: Deepublish.
Suhendi, Indrawan Dwisetya. (2020). MERAWAT NALAR DAN BAHASA. Kalimantan
Timur: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawaman.
Supriyanto, Eko. (2018). Ikat Kait Impulsif Sarira: Gagasan Yang Mewujud Era 1990-
2010. Yogyakarta: Garudhawaca.
Yosita, Lucy, & Nurcahya, Yan. (2015). Strategi perencanaan dan perancangan
perumahan pada era kontemporer. Yogyakarta: Deepublish.
Zainal, Zainal. (2018). Regulasi Haji Indonesia Dalam Tinjauan Sejarah. JURIS (Jurnal
Ilmiah Syariah), 11(2).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.