Pengaruh Dosis Pupuk Kotoran Ayam dan Dolomit
Terhadap Sifat Kimia Ultisol dan Tanaman Caisim
Sofi Ainun Firdany, Slamet Rohadi Suparto dan Prasmaji Sulistyanto 1293
Pendahuluan
Caisim (Brassica juncea L.) merupakan tanaman sayuran pada iklim sub-tropis,
namun mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Caisim pada umumnya banyak
ditanam pada dataran rendah, namun dapat pula didataran tinggi. Caisim tergolong
tanaman yang toleran terhadap suhu tinggi (panas). Saat ini, kebutuhan akan caisim
semakin lama semakin meningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia dan
manfaat mengkonsumsi caisim bagi kesehatan (Irmawati, 2018).
Permintaan masyarakat terhadap caisim semakin meningkat. Hal tersebut ditandai
dengan adanya peningkatan konsumsi per kapita, luasan panen dan produksi. Konsumsi
caisim mengalami kenaikan dari 1.304 kg/kapita/tahun pada 2013 menjadi 1.408
kg/kapita/tahun pada 2014 (Statistik, 2016). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2010), produksi caisim nasional tahun 2009 sebanyak 99,80 Ku/Ha dari luas panen
56,414 Ha. Produksi sawi di Riau, pada tahun 2009 sebanyak 99.84 Ku/Ha dengan luas
panen 59,266 Ha dan pada tahun 2010 sebanyak 2,922 dengan luas panen 405 Ha.
Caisim mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah kubis crop, kubis bunga dan
brokoli. Sebagai sayuran, caisim mengandung berbagai khasiat bagi kesehatan.
Kandungan yang terdapat pada caisim adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe,
Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C. (Marginingsih, Nugroho, & Dzakiy, 2018).
Caisim banyak ditanam di berbagai lahan, salah satunya adalah lahan- lahan
dengan faktor pembatas yaitu ultisol. Tanah ordo Ultisol merupakan salah satu jenis tanah
di Indonesia yang penyebarannya mencapai luas sekitar 45.794 juta hektar atau mencapai
25% dari luas wilayah daratan Indonesia
(Syaputra, Alibasyah, & Arabia, 2015)
. Tanah
ini dapat dijumpai pada berbagai relief/topografi, mulai dari bergelombang hingga
bergunung. Ultisol merupakan tanah yang memiliki masalah keasaman tanah, bahan
organik rendah dan nutrisi makro rendah dan memiliki ketersediaan P sangat rendah
(Fitriatin, Yuniarti, Turmuktini, & Ruswandi, 2014). Sifat kimia ultisol yang
mengganggu pertumbuhan tanaman adalah pH yang rendah (masam) yaitu < 5,0 dengan
kejenuhan Al tinggi yaitu >42%, kandungan bahan organik rendah yaitu<1,15%,
kandungan hara rendah yaitu N berkisar 0,14%, P sebesar 5,80 ppm, kejenuhan basa
rendah yaitu 29% dan KPK juga rendah yaitu sebesar 12,6 me/100g.
Salah satu cara menurunkan kemasaman pada ultisol adalah dengan pemberian
kapur dan bahan organik berupa pupuk kotoran ayam. Pemberian kapur selama ini
diketahui dapat meningkatkan pH tanah, meningkatkan ketersedian Ca, Mg, kejenuhan
basa, dan menurunkan Al-dd (Bachtiar, Hanani, Robifahmi, Flatian, & Citraresmini,
2021). Kapur pertanian yang digunakan yaitu mengguanakan kapur dolomit. Dolomit
merupakan salah satu amelioran yang memiliki rumus kimia (CaMg(CO_3 )^2. yang
berasal dari alam yang mengandung unsur hara magnesium dan kalsium berbentuk
tepung (Rahmansyah, 2013).
Bahan organik yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia ultisol
adalah dengan pemberian pupuk kotoran ayam. Salah satu amelioran yang digunakan
untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah adalah kapur dolomit (Sulardi & Sany,
2018). pupuk kotoran ayam mempunyai potensi yang baik, karena selain berperan dalam
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pupuk kotoran ayam juga mempunyai
kandungan N, P, dan K yang lebih tinggi bila dibandingkan pupuk hewan yang lain.
Pemberian bahan organik berupa pupuk kotoran diketahui dapat meningkatkan pH tanah,
meningkatkan aktivitas jasad renik, serta dapat melepaskan berbagai senyawa organik
seperti asam malat, sitrat, dan tartat yang dapat mengikat Al menjadi bentuk yang tidak
aktif (Atmaja & Damanik, 2017).