Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1423 http://sosains.greenvest.co.id
SAGU LINGGA : KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN MASA LALU
DAN WARISANNYA
Anastasia Wiwik Swastiwi
Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau, Indonesia
Diterima:
10 Novemver
2021
Direvisi:
12 November
2021
Disetujui:
15 November
2021
Abstrak
Kajian terhadap kebijakan tokoh-tokoh sejarah pada masa lalu
masih relevan dilakukan pada saat ini. Seorang tokoh Kesultanan
Riau-Lingga bernama Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
(1857-1883) yang memberikan sumbangan pemikiran pada masa
Kesultanan Riau-Lingga. Sumbangan pemikiran tersebut adalah
kebijakannya terutama dalam bidang ketahanan pangan. Pada
tahun 1860 Sultan Sulaiman membuka industri sagu dan
pabriknya, dibangun di hulu sungai Daik (Kampung Robat).
Tulisan ini bertujuan memberi pemahaman bahwa tanaman sagu
sebagai produk kebijakan ketahanan pangan masa lalu dapat
dikembangkan untuk mendukung kebijakan pemerintah pada
masa kini. Kajian ini menggunakan metode sejarah. Metode
sejarah dalam merekonstruksi jejak jalur rempah di Kepulauan
Riau ini melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik
(pengumpulan sumber), kritik sumber (eksternal terhadap bahan
dan internal terhadap isi), interpretasi (penafsiran) dan
historiografi. Sumber primer diperoleh melaui naskah Melayu
seperti Tuhfat An Nafis, Perhimpunan Plakat, anotasi Hasan
Junus Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga, Kitab
Pengetahuan Bahasa dan Tunjuk Ajar Perempuan. Hasil kajian
ini menunjukkan kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
dalam ketahanan pangan mewariskan kearifan lokal yang masih
bisa dinikmati hingga sekarang. Wisata kuliner yang dominan di
wilayah Kepulauan Riau adalah kuliner yang terbuat dari bahan
sagu. Tanaman sagu sebagai produk kebijakan ketahanan masa
lalu masih relevan dalam kondisi kini. Sagu bahkan sudah harus
menjadi kebijakan nasional sebagai salah satu alternatif
karbohidrat dalam rangka ketahanan pangan nasional. Namun
demikian, dukungan berbagai pihak untuk pengembangan
tanaman sagu secara berkesinambungan sangat diperlukan.
Kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar kebijakan pemerintah
daerah Lingga khususnya untuk lebih memanfaatkan sagu sebagai
pemenuhan kebutuhan pangan.
Kata kunci: Kebijakan, ketahanan pangan, sagu, warisan,
kuliner
Abstract
The study of the policies of historical figures in the past is still
relevant today. A prominent figure in the Riau-Lingga Sultanate
named Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) who
contributed ideas during the Riau-Lingga Sultanate. The
contribution of this thought is his policy, especially in the field of
food security. In 1860 Sultan Sulaiman opened a sago industry
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1424
and its factory, built on the headwaters of the Daik river
(Kampung Robat). This paper aims to provide an understanding
that sago crops as a product of past food security policies can be
developed to support current government policies. This study uses
the historical method. The historical method in reconstructing the
traces of the spice trail in the Riau Archipelago goes through four
stages of work, namely heuristics (collection of sources), source
criticism (external to material and internal to content),
interpretation (interpretation) and historiography. Primary
sources were obtained through Malay manuscripts such Tuhfat
An Nafis, Perhimpunan Plakat, anotasi Hasan Junus Syair
Perjalanan Engku Puteri ke Lingga, Kitab Pengetahuan Bahasa
dan Tunjuk Ajar Perempuan. The results of this study show that
the policy of Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II in food security
has inherited local wisdom that can still be enjoyed today. The
dominant culinary tourism in the Riau Islands region is culinary
made from sago. Sago crops as a product of past resilience
policies are still relevant in today's conditions. Sago has even
become a national policy as an alternative to carbohydrates in the
context of national food security. However, the support of various
parties for the sustainable development of sago plants is very
much needed. This study can be used as the basis for the policy of
the local government of Lingga, in particular to make more use of
sago as a fulfillment of food needs.
Keywords: Policy, food security, sago, heritage, culinary
Pendahuluan
Kajian terhadap kebijakan tokoh-tokoh sejarah pada masa lalu masih relevan
dilakukan pada saat ini. Hal ini penting dilakukan, mengingat bukan saja karena mereka
termasuk tokoh pada zamannya. Tetapi juga karena bangsa yang besar adalah bangsa yang
mengenang jasa-jasa tokoh pendahulu bangsa. Adalah seorang tokoh Kesultanan Riau-
Lingga bernama Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) yang memberikan
sumbangan pemikiran pada masa Kesultanan Riau-Lingga. Sumbangan pemikiran tersebut
adalah kebijakannya terutama dalam bidang ketahanan pangan. Pada tahun 1857, Sultan
Mahmud Syah IV digantikan oleh pamannya sendiri yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II. Pada tahun yang sama, Raja Abdullah Mursyid dinobatkan sebagai Yamtuan
Muda Riau IX. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II wafat pada tahun 1883 dan
digantikan oleh Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II, cucu Sultan Mahmud Syah IV.
Biografi Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) telah ditulis oleh Abdul
Malik dkk (2020). Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II banyak membawa perubahan di
Kesultanan Lingga Riau. Beliau telah banyak melakukan sesuatu yang berguna bagi
rakyat. Dari pengalaman-pengalaman ke luar wilayah kerajaan, pergaulan dengan pegawai
Belanda dan orang Eropa juga ditambah latar belakang Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dari kalangan bangsawan yang terdidik, melahirkan suatu pemikiran-pemikiran baru dan
cemerlang. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) merupakan yang dipertuan
besar Riau Lingga ke IV (Sunandar & Tamrin, 2017). Kepribadian Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah digambarkan sangat ramah dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal itu
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1425 http://sosains.greenvest.co.id
digambarkan pada kisah utusan Temenggung Abu Bakar yang mengunjungi Riau 21-26
April 1868. Kisah utusan Temenggung Abu Bakar mengunjungi Riau tertulis dalam Kisah
Pelayaran ke Riau. Kisah Pelayaran Ke Riau diceritakan sikap Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah yang ramah semasa menerima Encik Wan Abdullah dan Datuk Bentara Johor
Jaafar Haji Mohamad utusan Temenggung Abu Bakar di Tanjungpinang. Sebagai seorang
pemimpin baru yang ingin pemerintahan kerajaan berjalan baik dan lancar, Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah yang baru saja di angkat sebagai sultan pada 21 safar 1274
(10 Oktober 1857) selanjutnya pada tanggal 9 Rabiulawal 1274 (27 Oktober 1857)
menetapkan peraturan tugas-tugas pejabat di Kesultanan Lingga-Riau.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II, adalah sultan yang lebih memperhatikan
kesejahteraan rakyat (Roza, 2016). Kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II dalam
bidang ketahanan pangan adalah kebijakan sistem pertanian dan perkebunan. Semula
Sultan Sulaiman telah memasukkan padi di Lingga yang didatangkan dari Jawa, namun
program tersebut mengalami kegagalan. Melihat hal itu Sultan Sulaiman menganjurkan
rakyat mengembangbiakan pohon sagu (Hutauruk, 2020).
Tahun 1860, Sultan Sulaiman membuka industri sagu dan pabriknya, dibangun di
hulu sungai Daik (Kampung Robat) (Swastiwi, 2021). Pada masa, ini Lingga mencapai
puncak keemasan. Dari hasil tersebut, selain dikonsumsi rakyat, demi kelancaran
perputaran ekonomi di wilayah Lingga sebagian dijual ke Singapura, Johor serta Pahang.
Sagu-sagu tersebut diolah menjadi bahan siap jadi diangkut menggunakan perahu kerajaan
yang dikenal namanya yakni Srilanjut, Gempita, Lelarum Sri Daik, Bahtera Bayu dan
Mahmud. Kehidupan rakyat sejahtera, bahkan banyak orang dari luar yang mulai
meramaikan Lingga dari sektor dagang. Sungai Daik menjadi jalur nadi dagang saat itu
yang sarat dengan perahu (Ryadi et al., 2020).
Tulisan ini memberikan gambaran bagaimana kebijakan seorang pemimpin di masa
lalu membuat kebijakan ketahanan pangan di wilayah perbatasan. Warisan dari kebijakan
itu dapat dilihat hingga kini, yaitu masih tumbuhnya perkebunan dan olahan sagu hingga
makanan dengan bahan dasar dari sagu.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 2 bahwa Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dalam
melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengendalian Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Hal ini patut
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah terutama bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
agar melakukan pemanfaatan sagu dalam rangka penyelenggaraan program
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Akan tetapi
pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan dan konsumsi pangan lokal yakni makanan
yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal dilihat
masih kurang. Hal ini dipengaruhi oleh sosialisasi untuk menggencarkan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pemanfaatan pangan lokal belum optimal (Prabowo, 2010). Kabupaten
Lingga memiliki potensi pemanfaatan pangan lokal yakni sagu untuk dikembangkan
sebagai pemenuhan kebutuhan pangan.
Tulisan ini bertujuan memberi pemahaman bahwa tanaman sagu sebagai produk
kebijakan ketahanan pangan masa lalu dapat dikembangkan untuk mendukung kebijakan
pemerintah pada masa kini. Kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar kebijakan
pemerintah daerah Lingga khususnya untuk lebih memanfaatkan sagu sebagai pemenuhan
kebutuhan pangan. Pemanfaatan sagu sebagai pemenuhan kebutuhan pangan merupakan
jalan keluar yang paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Melalui penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber
pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1426
dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan secara umum.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dalam merekonstruksi jejak
jalur rempah di Kepulauan Riau ini melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik
(pengumpulan sumber), kritik sumber (eksternal terhadap bahan dan internal terhadap isi),
interpretasi (penafsiran) dan historiografi (penulisan kisah sejarah) (Wasino & Hartatik,
2018). Sumber primer diperoleh melalui naskah Melayu seperti Tuhfat An Nafis,
Perhimpunan Plakat, anotasi Hasan Junus Syair Perjalanan Engku Puteri ke Lingga,
Kitab Pengetahuan Bahasa dan Tunjuk Ajar Perempuan.
Hasil dan Pembahasan
Traktaat London 17 Maret 1824, membawa dampak tersendiri bagi Kerajaan Johor
Riau Pahang. Sebagian wilayahnya menjadi daerah kekuasaan Inggris. Sedangkan Riau
Lingga dan wilayah sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Belanda (Razak, 2020). Inggris
kemudian mengangkat Tengku Hussin ibni Sultan Mahmud Syah III dengan permaisurinya
Encik Makoh binti Encek Jaafar Daeng Maturang sebagai Sultan Johor Singapura (Sultan
Johor) ke XVIII dan bergelar Sultan Husin Syah. Maka dengan ini Sultan Abdul Rahman
Syah hanya bertahan sebagai Sultan Riau-Lingga ke I tahun 1824-1832. Beliau digantikan
putranya, Sultan Abdul Rahman Syah III dengan permaisuri Raja Fatimah, yang dilantik
sebagai Sultan Riau-Lingga ke II bergelar Sultan Muhammad Muazzam Syah di Daik
Lingga tahun 1832-1841. Posisinya digantikan putra sulungnya, Tengku Besar Mahmud
yang bergelar Sultan Mahmud Muzzaffar Syah yang memerintah dari tahun 1841-1857.
Pada tahun 1857 beliau dipecat oleh Kerajaan Belanda, kemudian meninggalkan Daik
Lingga menuju Pahang dan mangkat di sana (Liamsi, 2017). Pengantinya, putranya yakni
Raja Sulaiman yang dilantik sebagai Sultan Riau Lingga ke IV pada tahun 1857-1883,
yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II, mampu menyediakan program dari sektor
pertahanan pangan, peningkatan ekonomi dan pendidikan demi kesejahteraan masyarakat
Lingga waktu itu. Demi pertahanan sektor pangan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
menggalakkan sistem pertanian dan perkebunan. Semula beliau memasukkan padi di
Lingga yang didatangkan dari Jawa, namun program tersebut mengalami kegagalan.
Menyikapi kegagalan itu, akhirnya Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II memilih sagu
dengan pertimbangan, sagu pada kenyataannya lebih mudah tumbuh dibumi Lingga dan
perawatannya pun tidak sulit bahkan tanpa dirawat sama sekali tanaman ini bisa tumbuh
subur. Melihat hal itu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II menganjurkan rakyat
mengembangbiakan pohon sagu.
Pohon sagu dalam khaanah botani termasuk anggota suku Palmae. Sosoknya agak
mirip pohon enau. Perbedaannya di pelepah daun. Pelepah daun sagu ditumbuhi duri-duri
seperti pada pelepah daun rotan. Bentuk buahnya mirip salak berukuran lebih besar dan
berpetak tiga. Hanya saja tidak bisa dimakan karena rasanya pahit-pahit asam.Ia termasuk
palem yang merumpun, berbatang kasap dengan tinggi menjulang sampai 7-10 m.
Batangnya lebih besar ketimbang enau sampai tak terpeluk oleh tangan orang dewasa.
Pohon sagu (metroxylon spec) tidak seperti rata-rata anggota suku palem lainnya. Ia
menyukai lahan rawa-rawa atau tepi sungai yang selalu tergenang air. Tempat tumbuhnya
di dataran rendah hingga ketinggian 120 m dpl (Novarianto et al., 2014).
Pohon sagu banyak tumbuh di Maluku, Sulawesi, Kalimatan Barat, Mentawai,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Sumatera. Juga di Jawa, meskipun sangat jarang. Orang
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1427 http://sosains.greenvest.co.id
Minangkabau menyebut pohon sagu sebagai rumbia. Sementara di Irian Jaya namanya
banyak sekali sesuai bahasa masing-masing suku (menurut para ahli tercatat ada lebih dari
250 bahasa). Ada yang menyebut ai rabo anam, akiri, atau da. Orang Inggris menamainya
sagopalm. Masyarakat Irian Jaya secara tradisional membedakan pohon sagu sampai dua
belas jenis, masing-masing sesuai dengan batang dan durinya yang terdapat di pelepah. Di
antaranya makbon, yang di Ambon disebut sagu nona. Jenis sagu amber, durinya besar-
besar dan banyak. Jenis sagu yang pelepahnya polos, tanpa duri sama sekali, dinamakan
Snaafe. Jenis sagu yang berbatang dan berpelepah besar disebut sworu, dan masih
dibedakan lagi menjadi tiga macam. Ada lagi jenis ronggu, yang berbatang dan berpelepah
besar. Di Pulau Biak, sagu jenis ini biasa ditanam sebagai pembatas kepemilikan lahan sagu
antara satu klan dengan klan lain. Di Jawa Tengah hanya dikenal lima macam sagu. Sagu
kersula, buahnya banyak sebesar jeruk nipis, ada 5-8 buah setandan. Rembulung, buahnya
satu-satu dalam setiap tandan, sebesar jambu bol, dengan biji seperti kolang-kaling.
Tembulu, sagu dengan tunas daun muda yang belum terbuka (janur) berwarna putih. Sagu
bulu, tunas daun mudanya berwarna kekuningan. Jenis rajang bungkoan, daunnya dapat
dibuat tikar kajang terbaik, warnanya cerah mengkilat, dan tidak getas (mudah patah).
Pohon sagu dibedakan atas beberapa jenis. Jenis Metroxylon rumphii forma sagus
genuina Rumphius, merupakan forma yang paling banyak tumbuh di Maluku dan
sekitarnya. Tangkai daunnya berduri banyak, dengan susunan berbaris melintang. Duri-
durinya lurus sepanjang 1-4 m. Mutu sagunya pun sangat baik. Jenis Metroxylon
longispinum Mart bercirikan antara lain Panjang durinya, batangnaya tidak lebih besar
darinpohon kelapa. Jenis Metroxylon micranthum Mart bercirikan antara lain berduri
pendek serta besar, dan gumbarnya (hati batang sagu) bersifat tahan lama.
Metroxylon sylyestra Mart memiliki batang paling tinggi, gumbarnya lebih keras.
Duri-durinya panjang dan ramping berjejalan pada pelepah. Sagunya berwarna kemerahan.
Metroxylon saru Rottb (sagus laevis rumphius) dengan daun berujung runcing panjang dan
tajam. Tinggi batangnya sedang saja, namun bisa menghasilkan tepung paling baik. Tanda-
tanda pohon sagu siap “dipanen” bisa dilihat pada pelepah daun dan bunga. Jika pelepahnya
semakin condong, pertanda batang sagu sudah mengandung banyak pati. Atau, jika pelepah
menjadi keputih-putihan seperti ditaburi kapur atau tepung. Begitu pula ketika bunganya
mulai muncul, berarti pohon sagu sudah siap ditebang. Menjelang berbunga, biasanya
tangkai daun mudanya memendek sebelum akhirnya pembentukan daun terhenti.
Selanjutnya dari tandan-tandan bunga muncul tangkai-tangkai sepanjang kira-kira 8 cm.
Saat yang tepat untuk “memanen” sagu diperkirakan antara perkembangan mayang dan
munculnya tangkai-tangkai itu, yang waktunya kira-kira satu tahun. Apabila bunga sudah
telanjur menjadi buah, kandungan patinya sudah jauh berkurang (Novarianto et al., 2014).
Tepung sagu kaya dengan karbohidrat (pati), 100 gram sagu kering setara dengan
355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5
gram serat, 10mg kalsium, 1,2mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat
dalam jumlah sangat kecil. Sagu juga memberikan beberapa manfaat kesehatan diantaranya
serat pangan pada sagu memiliki zat yang bisa berfungsi sebagai pre-biotik, menjaga
mikroflora usus, meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi resiko terjadinya kanker
usus, mengurangi resiko terjadinya kanker paru-paru, mengurangi kegemukan,
mempermudah buang air besar (Hassan, 2014). Disamping itu, produk sagu juga dapat
digunakan untuk anak-anak penderita penyakit “authis”.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) merupakan Sultan Riau pertama
yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, daerah kekuasaan Kesultanan Riau-
Lingga meliputi :
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1428
1. Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya yang terletak di sebelah barat Pulau
Tamiang dan pulau sebelah barat Selat Sebuaya.
2. Pulau Sumatera adalah pulau-pulau yang terletak sebelah timur dan barat Selat
Durai dan pulau-pulau yang terletak di sebelah barat Selatan Riau, sebelah selatan
Singapura dan Pulau Bintan.
3. Pulau-pulau Anamabas yang diperintah Orang Kaya Jemaja, pulau-pulau Anambas
Kecil yang diperintah Pangeran Siantan, Pulau Natuna Besar di bawah
pemerintahan Orang Kaya Bunguran, Pulau Natuna sebelah utara di bawah Orang
Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah Orang Kaya Serasan, Pulau
Tambelan dibawah Datuk Petinggi kemudian dibawah Datuk Kaya.
4. Daerah Indragiri Hilir bagian Hilir, Kuala Gaung, Kuala Sepat dan Retih.
Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga disepakati perjanjian
dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 30 September 1868. Isi perjanjian tersebut
antara lain :
a. Seluruh daerah Lingga-Riau diperintah oleh Residen dibantu oleh seorang Asisten
Residen. Residen bertempat di Tanjungpinang dan Asisten Residen di Daik
Lingga.
b. Beberapa kepenghuluan dan kebatian dibawahi oleh seorang Amir. Pengangkatan
seorang Amir ditentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
c. Datuk-datuk Kaya dinaikkan Belanda pangkat dan kedudukannya menjadi Amir.
d. Amir-Amir ini berada dibawah seorang pejabat Belanda yang disebut ”Controleur”
(Kontelir).
Kepala pemerintahan yang dijabat oleh bangsa Melayu disebut dalam bahasa
Belanda Inlandsche Bestuurhoofden. Seorang Amir dapat juga menjabat sebagai Onder
Districthoofd dan Districthoofd. Dibandingkan di pemerintah Republik Indonesia
sekarang, kedudukan Amir sama dengan Camat, Asisten Wedana, dan Wedana. Amir digaji
langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam memerintah Indonesia Pemerintah
Hindia Belanda dahulu menggunkan istilah-istilah setempat untuk memudahkan masuknya
pengaruh mereka.
Netscher (1854) dengan tulisannya Beschrijving van een Gedeelte der Residentie
Riouwdalam Tijdschrift voor Indische Taal, Landen Volkenkund menyebutkan bahwa
pada 1857 saat Sultan Sulaiman mulai berkuasa, membuat kontrak baru dengan pemerintah
kolonial. Kontrak ini dibuat pada tanggal 1 Desember 1857 yang menjadi dasar hubungan
pemerintah kolonial dengan Kerajaan Lingga-Riau. Kontrak tersebut dilakukan beberapa
perubahan. Netscher (1854) juga menyebutkan bahwa Sultan Sulaiman adalah sultan
Lingga Riau pertama yang mengunjungi Batavia. Residen saat itu menggambarkannya
sebagai orang yang mau memperbaiki kondisi di wilayah Lingga Riau.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883) mengeluarkan kebijakan kerajaan
dengan memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat.
Berkaitan dengan program kerjanya tersebut, pada tahun 1860 salah satu usahanya adalah
beliau menggalakkan penanaman “sagu rumbie” karena tanaman ini sangat sesuai dengan
kondisi tanah di Daik-Lingga. Karena sagu dapat dijadikan bahan makanan pokok jika
sukarnya memasukkan beras. Bibit sagu didatangkan dari Serawak.
Awalnya, sebelum menggalakkan rakyat menanam sagu, Sultan pernah mencoba
menggalakkan penanaman padi. Namun hasilnya tidak memuaskan. Sultan Sulaiman
kabarnya mengusahakan padi di Daik. Sawah yang dibuka berjarak lebih kurang dua ratus
meter dari sungai Tanda. Menurut tulisan Tengku Muhammad Saleh Damnah (1935),
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1429 http://sosains.greenvest.co.id
Orang dari Kalimantan dan Bogor dibawa ke Lingga untuk mengusahakan penanaman
padi. Akhirnya usaha penanaman padi gagal dan Sultan beralih ke usaha pengembangan
sagu. Karena itulah kemudian Sultan memutuskan untuk membuka perkebunan sagu agar
rakyatnya bisa mendapatkan bahan makanan pokok utama disamping beras. Pertimbangan
lain, sagu pada kenyataannya lebih mudah tumbuh subur di Lingga dan perawatannya pun
tidak sulit. Perkebunan sagu di Lingga masa itu antara lain di Desa Melukap, Desa Panggak
Laut, Kampung Musai, Kampung Pelanduk hingga Desa Nereke.
Penggalakan penanaman sagu tersebut, memberikan keuntungan Kerajaan Lingga-
Riau pada pemasukan cukai. Masa itu tiap-tiap seratus tampin sagu yang dibawa keluar
dari Lingga dikenakan cukai senilai tiga puluh sen setengah. Di samping usaha sagu yang
telah berkembang, untuk meningkatkan perekonomian rakyat dan tidak bergantung dengan
beras dari luar. Untuk mengolah sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883)
mendirikan pabrik sagu di Kampung Pahang Daik Lingga. Sebagai pekerja-pekerja, Sultan
menerima imigran-imigran dari Cina untuk membuka perkebunan dan pekerja di pabrik.
Sehingga di Daik ada sebuah kampung yang dinamakan Kampung Cina. Hasilnya, selain
dikonsumsi rakyat, sebagian dijual ke Singapura, Johor serta Pahang. Sagu-sagu yang siap
jadi itu diangkut menggunakan perahu kerajaan yang terkenal namanya seperti Srilanjut,
Gempita atau Lelarum.
Sultan juga secara lansung melibatkan diri pada usaha perdagangan sagu dan
masyarakat Lingga juga memperbanyak penanaman pohon sagu. Memperbanyak
penanaman pohon sagu tentunya mengakibatkan bertambah luasnya lahan dan menambah
hasil produksi. Usaha perluasan lahan tentunya berhasil, karena kondisi tanah yang cocok
untuk ditanami sagu. Untuk mendukung usahanya, Sultan juga mendirikan pabrik di dekat
tepi sungai Daik, yang berdekatan dengan wilayah Robat, dimasa itu aturan pertanahan
Kerajaan Lingga-Riau telah berjalan baik. Kerajaan juga memerlukan pemasukan cukai
dari lahan-lahan yang dimiliki atau dibuka sebagai perkebunan. Untuk melindungi rakyat
dari sengketa, perampasan secara paksa dan memudahkan urusan pemungutan cukai,
rakyat yang ingin memiliki lahan perkebunan perlu mendapatkan izin dari Kerajaan. Para
pemilik lahan yang telah diberi izin, akan dikaruniakan grant tanda bukti kepemilikan. Di
dalam grant tanda kepemilikan lahan sagu diatur juga tentang denda terhadap orang yang
menebang pohon sagu atau pohon lain tanpa izin dari pemilik. Lahan-lahan sagu yang
dimiliki rakyat menguntungkan kerajaan, karena pemilik lahan membayar cukai setiap
tahun. Keuntungan lainnya kerajaan mendapatkan keuntungan cukai dari hasil sagu yang
dibawa keluar dari Lingga. Usaha sagu telah menggerakkan perekonomian rakyat. Para
pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari penjualan batang sagu. Sebagian pemilik
mengolah sagu untuk dijual di dalam dan luar daerah. Pabrik-pabrik pengolahan sagu yang
dimiliki oleh Sultan atau para saudagar menyerap tenaga kerja, sehingga mengurangi angka
pengangguran (Swastiwi, 2015).
Perkebunan sagu di Lingga hingga kini masih lestari dan bisa ditemui di berbagai
pelosok Lingga. Perbedaannya, apabila pada masa lalu di kirim ke Singapura, Johor dan
Pahang, pada masa sekarang hasil olahan sagu Lingga banyak diserap di pasar lokal yaitu
Palembang, Jambi atau Medan. Luas total kebun sagu di kawasan Lingga serta Lingga
Utara sampai saat ini mencapai 3.445,5 hektar. Tapi uniknya, meski menempati urutan
pertama hasil perkebunan, selain karet dan lada, sagu di Lingga masih diproses secara
konvensional, baik dari proses pemotongan sampai pada proses pengolahannya.
Lahan perkebunan sagu tua tetap menjadi tulang punggung ekonomi sebagian
masyarakat Lingga meski tanpa perawatan. Pertiga bulan sekali, warga pemilik lahan panen
batang sagu untuk kemudian dijual kepada pemilik industri rumah tangga yang mengolah
sagu basah. Ratusan hektar kebun sagu tua yang tumbuh liar di sepanjang jalan itu tetap
memberikan manfaat ekonomi warga Lingga. Proses dan industri rumah tangga ini
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1430
memang telah lama menjadi pekerjaan warga Lingga. Dengan alat sederhana yang sebagian
besar masih manual mereka mengolahnya. Selama ini, masyarakat petani sagu Lingga
masih perorangan dan mandiri.
Adapun titik penghasil sagu di Lingga, antara lain Desa Merawang, Melukap,
Panggak Laut, Nerekeh, Musai, Kerandin, Keton, Kudung dan Desa Teluk, dan Desa
Pekakak. Hingga penulisan ini dilakukan (2021), tanaman sagu bahkan dijadikan makanan
pokok bagi masyarakat tempatan bahkan masyarakat Melayu di sekitaranya. Salah seorang
warga Desa Pekaka yang aktif dalam usaha pengelolahan sagu, Agustian (40 tahun) merasa
senang mengolah tanaman tersebut. Selain itu, perawatan tanaman sagu itu juga sangat
mudah. Kami sangat senang dengan mengolah dari batang sagu sehingga menjadi saripati
sagu ini. Perawatan tanamanya pun sangat mudah sekali. Karena, tanaman sagu beranak
pinak seperti pohon pisang. Tak susah susah nak dipupuk lagi dan tiap tahun kite tinggal
panen saja,” Bahkan, tanaman sagu ini juga hidup di lahan rawa paya yang sebagian besar
terletak di Desa Pekaka dan desa desa sekitaran di wilayah Kabupaten Lingga khususnya
di wilayah Kecamatan Lingga, Lingga Timur dan Lingga Utara. Karena,rata-rata tanahnya
rawa datar dan asam. Kemudian, proses penebangan dan pengolahan sagu tersebut setelah
tanamannya dinyatakan sudah besar dan tinggi dan berisi yaitu lebih kurang pohonnya
berusia dua tahun dengan ciri ciri hujung pohonnya sudah tinggi dan mengecil serta
memutih di pelepahnya. Selain di Desa Pekakak, tanaman sagu juga tetap menjadi sumber
mata pencaharian khususnya bagi warga Panggak- Lingga untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Tanaman ini masih menjadi andalan masyarakat Panggak Laut untuk mencari
nafkah keluarga. Pekerjaan memotong sagu merupakan warisan keluarga secara turun
temurun. Pada saat kajian ini dilakukan (2021) terdapat lokasi perkebunan sagu
berdasarkan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan di Kabupaten Lingga adalah sebagai
berikut.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1431 http://sosains.greenvest.co.id
Tabel 1. Wilayah Penghasil Sagu di Kabupaten Lingga
No.
Kecamatan
Desa/Keluarahan
1.
Lingga
Daik
Merawang
Panggak Laut
Nerekeh
Musai
2.
Lingga Timur
Kerandin
Keton
Pekaka
Kudung
Teluk
3.
Lingga Utara
Resun Pesisir
Bukit Harapan
Jumlah
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan di Kabupaten Lingga (2021)
Sementara itu, dalam cerita rakyat “Asal Mula Kampung Nerekah”, disebutkan
dalam cerita rakyat itu bahwa Desa Nerekeh, terletak di Kecamatan Daik, Kabupaten
Lingga. Desa yang letaknya bersebelahan dengan Panggak Darat ini memiliki lahan luas
yang ditumbuhi pohon sagu. Pohon sagu tumbuh subur dan lebat, dapat terlihat di kanan
dan kiri jalan daun pohon sagu melambai-lambai, menunjukkan keramahan udara yang
masih segar di Desa Nerekeh, satu di antara desa-desa yang berada di kaki Gunung Daik.
Sedangkan pada cerita rakyat “Sumpah Orang Barok” disebutkan bahwa sagu merupakan
makanan yang sangat mulia menurut Orang Barok. Hal ini cukup menggambarkan bahwa
sagu sudah cukup melekat dalam kehidupan masyarakat Lingga sejak masa pemerintahan
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.
Sagu masa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II mewarikan beberapa kearifan local.
Tidak hanya bagi masyarakat Lingga tetapi juga pada masyarakat Melayu Kepulauan Riau.
Tanaman sagu memiliki beberapa fungsi yaitu, pertama; berfungsi untuk mendatangkan
air. Kedua, berfungsi untuk menahan pantai dari serbuan ombak (Kustanti, 2011). Oleh
karena itu pada umumnya sagu ditanam di pinggir pantai.
Selain dua fungsi diatas, bagian-bagian dari tanaman sagu hampir semuanya
memiliki fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kepulauan Riau khususnya
masyarakat Lingga. Bagian-bagian dari tanaman sagu melahirkan bebarapa istilah yang
hanya dikenal oleh masyarakat Melayu Kepulauan Riau dan memiliki beberapa fungsi.
Berikut beberapa istilah Melayu Kepulauan Riau dan fungsi bagian-bagian dari tanaman
sagu yang dirinci oleh Datok H. Said Barakbah Ali dalam makalahnya Hakikat Kearifan
Budaya Lokal dan Nilai-Nilai disebutkan bahwa :
1. Akar sagu yang direbus dapat membongkar panas.
2. Batang sagu. Pokok sagu yang siap panen tingginya lebih kurang 8 meter. Setelah
ditebang, batang sagu dipotong-potong menjadi tual. Satu batang sagu bisa
mencapai sepuluh tual. Setelah dikupas kulitnya, batang sagu diparut. Hasil
parutan dicampur dengan air, kemudian dimasukkan ke dalam satu tempat,
keluarlah air sagu yang dialirkan ke satu tempat. Jadilah air bersih. Tempat
menampung sagu dinamakan dengan ube.
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1432
Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang penyimpanan
aci atau karbohidrat yang lingkup penggunaannya dalam industri sangat luas,
seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacam-macam industri lainnya
(Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang sagu berbentuk silinder yang tingginya dari
permukaaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10-15 meter, dengan diameter
batang pada bagian bawah dapat mencapai 35 samapi 50 cm (Harsanto, 1986),
bahakan dapat mencapai 80 sampai 90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Umumnya diameter batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas,
dan batang bagian bawah umumnya menagndung pati lebih tinggi daripada bagian
atas (Manuputty, 1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Pada waktu panen
berat batang sagu dapat mencapai lebih dari dari 1 ton, kandungan acinya berkisar
antara 15 sampai 30 persesn (berat basa), sehingga satu pohon sagu mampu
menghasilkan 150 sampai 300 kg aci basah (Harsanto, 1986; Haryanto
danPangloli, 1992).
3. Sagu bersih. Ada dua jenis sagu bersih yaitu sagu basah dan sagu kering. Sagu
bersih basah dimasukkan ke dalam karung goni dan langsung dijual. Sagu bersih
bisa dikeringkan lalu dipasarkan.
4. Ampas Sagu, dinamakan seqamin. Seqamin bisa digunakan untuk makanan ternak.
5. Taik sagu, dinamakan Bidat. Bidat adalah sisa sagu bersih yang merupakan hasil
perasan ampas sagu. Biasanya berwarna kecoklatan. Bidat bisa juga digunakan
untuk makanan ternak.
6. Kulit batang sagu. Batang sagu yang telah dipotong-potong berupa tual, dibuang
kulitnya. Kulit batang sagu dibersihkan dan dapat digunakan untuk lantai pondok.
Lantai yang terbuat dari kulit sagu setelah dibersihkan menurut masyarakat
Kepulauan Riau bernama guyung.
7. Pelepah sagu. Pelepah sagu bisa dibuat dinding dan lantai pondok. Kulit pelapah
sagu (bintit) dapat dibuat untuk anyaman (ayak, nyiru, tapis, dan anyaman lai
berupa hiasan). Pelepah sagu yang kering dapat dibuat sangkar burung, dinding
sangkar burung terdiri dari bintit.
8. Daun sagu. Daun sagu dapat digunakan untuk atap yang trbuat dari daun sagu
yang dianyam sedemikian rupa. Anyaman tersebut juga dapat digunakan untuk
dinding pondok.
9. Daun sagu berbentuk memanjang (lanceolatus), agak lebar dan berinduk tulang
daun di tengah, bertangkai daun dimana antara tangkai daun dengan lebar daun
terdapat ruas yang mudah dipatahkan (Harsanto, 1986). Daun sagu mirip dengan
daun kelapa mempunyai pelepah yang menyerupai daun pinang. Pada waktu
muda, pelepah tersusun secara berlapism tetapi setelah dewasa terlepas dan
melekat sendiri-sendiri pada ruas batang (Harsanto, 1986; Haryanto dan Pangloli,
1992). Menurut Flach (1983) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan
bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan penyinaran yang baik, pada umur
dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5 sampai 7 meter.
Dalam setiap tangkai sekitar 50 pasang daun yang panjangnya bervariasi antara 60
cm sampai 180 cm dan lebarnya sekitar 5 cm. Pada waktu muda daun sagu
berwarna hijau muda yang berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, kemudian
berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila sudah tua dan matang.
Tangkai daun yang sudah tua akan lepas dari batang (Harsanto, 1986).
10. Buah Sagu. Masyarakat melayu Kepulauan Riau ada yang memakan buah sagu
setelah diolah menjadi makanan ringan.
11. Kuliner yang terbuat bahan Sagu.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1433 http://sosains.greenvest.co.id
Sagu basah menjadi bahan utama kuliner lakse, kepurun, lempeng sagu dan ongol-
ongol. Sagu kering menjadi bahan utama kuliner sagu lenggang, sagu keretup dan lempeng
sagu. Sagu lenggang menjadi bahan utama kuliner keripik sagu lenggang. Disamping itu,
sagu lenggang juga menjadi bahan utama kuliner bubur lambok. Sagu bersih kering
menjadi bahan utama sagu lemak, sagun-sagun dan kue bangkit. Sagu bersih basah dapat
dibuat menjadi gubal. Gubal merupakan makanan khas masyarakat Melayu Kepulauan
Riau. Gubal merupakan makanan khas Melayu Lingga yang berbahan baku sagu (Yusnaini
et al., 2017). Tak banyak orang mampu membuat makanan ini, mengingat butuh
kemampuan khusus. Biasanya gubal ini dipadupadankan dengan gulai ikan pari atau ikan
hiu dengan kuah asam pedas (Majir, Tamur, & Sennen, 2021). Paduan antara sagu dan
kelapa muda haruslah seimbang, tidak hanya waktu mengaduknya di atas kuali, tetapi juga
harus disesuaikan dengan besarnya api dan kadar kelembaban saat memasak. Dengan
begitu akan dihasikan gubal yang enak.
Sama seperti nasi, gubal bisa dimakan bersama lauk dan sayur. Sebagian orang
Melayu Pulau Lingga khususnya orang Daik menyukai gubal yang dimasak dengan
campuran parutan kelapa yang agak muda. Campuran kelapa membuat gubal terasa lemak
dan sedap dimakan. Lauk gubal yang sangat disukai oleh orang Lingga yakni ikan masak
asam pedas dan sambal belacan, ditambah ulam jering dan petai. Ikan yang disukai untuk
dimasak asam pedas, yakni seperti ikan pari, hiu, sembilang, jahan, seminyak dan lain-lain.
Sambal belacan yang dibuat, adalah dari lada kecil atau cabe rawit, yang ditumbuk lumat
dalam lesung batu, dicampur belacan dan garam sebagai penyedap rasa.
Kuliner Lakse dapat dijumpai di daerah-daerah bekas kekuasaan Kesultanan Riau
Lingga. Jenisnya pun bervariasi seperti lakse kuah dan lakse kering. Selain di Kepulauan
Riau, kuliner dari bahan sagu ini juga menyebar ke wilayah Melayu lainnya seperti di
Singapura, Johor dan Pahang. Penyebaran ini didukung oleh perjalanansejarah masa lalu
dimana sagu Lingga diekspor ke wilayah Singapura, Johor dan Pahang. Pada masa
sekarang, Lakse juga dijumpai di Singapura dan beberapa wilayah di Malaysia. Lakse di
Malaysia yang sangat popular adalah lakse Kedah. Lakse Kedah menjadi kuliner yang
diperjualbelikan pada waktu sore hari di sepanjang jalan pada sudut-sudut kota
Kualalumpur Malaysia. Kepurun berbentuk seperti lem dan kenyal-kenyal di lidah.
Kuahnya terbuat dari gilingan ikan teri yang dicampur dengan buah belimbing buluh. Bisa
juga dicampur dengan berbagai macam buah, yang penting rasanya asam. Kuliner kepurun
ini nikmat di santap selagi panas.
Sagu Lingga : Kebijakan Ketahanan Pangan Masa Lalu
dan Warisannya
2021
Anastasia Wiwik Swastiwi 1434
Gambar 1. Olahan Kuliner Berbahan Sagu
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan di Kabupaten Lingga (2021)
Pabrik sagu bangsa hilir di Kampung seranggung mengolah sagu menjadi tepung
sagu yang sebagian besar dijual ke luar daerah. Pengolahan sagu masih dilakukan secara
tradisional. Sagu kotor yang dibeli dari masyarakat oleh pemilik pabrik di olah menjadi
sagu bersih. Pengolahan dari sagu kotor menjadi sagu bersih disebut dengan menyalur.
Sagu dimasukkan ke dalam wadah besar yang dicampur air. Kemudian di aduk hingga rata,
dan air sagu di masukkan pada saluran kayu. Air yang dimasukkan ke dalam saluran
mengalir ke saluran yang lebih kecil. Sagu bersih akan mengendap di dasar papan saluran,
dan air yang mengalir ke saluran kecil seterusnya menjadi limbah, yang disebut bidat.
Sagu bersih yang mengendap di dasar papan selanjutnya di bawa ke tempat
pengeringan. Untuk mengeringkan sagu masih menggunakan cara tradisional. Sagu basah
di letakkan di atas tempat pengeringan yang berlantai ubin. Di bawah lantai ada kayu api
yang dibakar sebagai pemanas untuk mengeringkan sagu. Di atas tempat pengeringan,
pekerja menghancurkan bongkahan sagu basah dan ditebarkan merata di atas lantai.
Selanjutnya dalam waktu tertentu sagu basah yang ditebar di atas lantai akan mengering.
Sagu yang telah kering selanjutnya diayak untuk dijadikan tepung.
Kesimpulan
Kebijakan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II dalam ketahanan pangan
mewariskan kearifan lokal yang masih bisa dinikmati hingga sekarang. Wisata kuliner yang
dominan di wilayah Kepulauan Riau adalah kuliner yang terbuat dari bahan sagu. Sagu di
Kepulauan Riau pada masa lalu banyak dijumpai didaerah Lingga. Kejayaan Sagu Lingga,
mencuat sejak masa pemerintahan Sultan Riau-Lingga yaitu Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah II (1857-1883). Saat itu, hasil pengolahan sagu tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat setempat, tapi dikirim ke daerah lain seperti Singapura, Johor dan
Pahang. Seiring perkembangan masyarakatnya, sagu Lingga tidak begitu populer bagi
masyarakat Kepulauan Riau di masa sekarang. Tanaman sagu yang telah diolah menjadi
saripati, bisa dijadikan makanan khas Melayu Lingga yang sudah cukup populer keseluruh
penjuru tanah air. Seperti laksa, lempeng, sagon, gubal, kempurun dan masih banyak lagi.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1435 http://sosains.greenvest.co.id
Tepung sagu juga bisa dijadikan bahan campuran untuk membuat kerupuk ikan atau
udang dan kue seperti kue bangkit dan lain lain. Tanaman sagu sebagai produk kebijakan
ketahanan masa lalu masih relevan dalam kondisi kini. Sagu bahkan sedah harus menjadi
kebijakan nasional sebagai salah satu alternative karbohidrat dalam rangka ketahanan
pangan nasional. Namun demikian, dukungan berbagai pihak untuk pengembangan
tanaman sagu secara berkesinambungan sangat diperlukan.
Bibliografi.
Hassan, Z. H. (2014). Aneka tepung berbasis bahan baku lokal sebagai sumber pangan
fungsional dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk pangan lokal. Jurnal
Pangan, 23(1), 93107.
Hutauruk, A. F. (2020). Sejarah Indonesia: Masuknya Islam Hingga Kolonialisme.
Yayasan Kita Menulis.
Kustanti, A. (2011). Manajemen hutan mangrove. PT Penerbit IPB Press.
Liamsi, R. (2017). Mahmud Sang Pembangkang. Sagang Intermedia Pers.
Majir, A., Tamur, M., & Sennen, E. (2021). Writing Scientific Papers: Exploring The
Difficulties Of Madrasah Teachers In Indonesia. Turkish International Journal of
Special Education and Guidance & Counselling (TIJSEG) ISSN: 1300-7432, 10(2),
141151.
Novarianto, H., Tulalo, M. A., Kumaunang, J., & Chandra, D. A. N. (2014). Varietas
Unggul Sagu Selatpanjang Meranti. 4755.
Prabowo, R. (2010). Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di
Indonesia Rossi Prabowo Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wahid
Hasyim Semarang. 6(2), 6273.
Razak, Y. T. (2020). Engku Puteri Raja Hamidah dan kondisi pemerintahan Kerajaan
Melayu Riau-Lingga (1803-1832). UIN Sunan Ampel Surabaya.
Roza, E. (2016). Sejarah Perjuangan Tengku Buwang Menumpas Belanda di Pulau
Guntung Siak (1746-1760). Aswaja Pressindo.
Ryadi, A., Ngadiman, A., & Louis, A. W. (2020). Makna Solidaritas Arek Suroboyo:
Pasca-Reformasi 1998. PT Kanisius.
Sunandar, H., & Tamrin, H. (2017). Aspek Sosio Politis Naskah Dan Arkeologis. Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, 14(2), 186212.
Swastiwi, A. W. (2015). Pulau Tujuh : Sejarah dan Masyarakatnya Pada Naskah Pohon
Perhimpunan Peri Perjalanan. BPNB Tanjungpinang.
Swastiwi, A. W. (2021). Aktivitas Perdagangan Kerajaan Riau-Lingga Abad 18-20:
Historiografi Pantai Timur Sumatera. Seminar Nasional Humaniora, 1(1), 115.
Wasino, & Hartatik, E. S. (2018). Metode Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga Penulisan.
Magnum Pustaka Utama, 153.
Yusnaini, S., Arif, M. A. S., Niswati, A., & Pakpahan, A. Y. (2017). Keberadaan Fungi
Arbuskular Mikoriza (FMA) pada Berbagai Vegetasi dan Kemiringan Lereng Di
Laboratorium Lapang Terpadu FP UNILA.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.