Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1495 http://sosains.greenvest.co.id
ditemukan lewat pemahaman bahasa Arab dalam penggunaannya sehari-hari (Rokhmad,
2019). Dalam konteks ini seorang penafsir diharuskan untuk melihat teks tertentu yang di
tafsirkan dalam kerangka bingkai maqashid al- syari’ah baik yang dlarury, tabajji,
ataupun tabsini sehingga tidak terjebak pada pemaknaan yang tidak mengakomodasikan
tujuan dari teks yang ditafsirkannya. Berdasarkan pada langkah analisis yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik poin penting bahwa pemukulan suami terhadap istri yang
tidak taat (nusyuz) tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Meskipun seorang suami
memiliki peran sebagai pemimpin bagi istri dan keluarganya, namun tidak kemudian
menjadi alasan untuk berbuat dan bertindak sebebas mungkin (Kamalin, 2020). Termasuk
dalam menghadapi istri yang tidak taat (nusyuz). Seorang suami tetap bertindak terhadap
istrinya dengan cara-cara yang baik, dan tidak berlebihan. Jika ia berhadapan dengan
istrinya yang tidak taat (nusyuz) maka banyak cara yang mestinya dilakukan. Mulai dari
memberi nasihat, memberi contoh yang baik, jika dengan cara tersebut tidak bisa, seorang
suami memberikan peringatan, dan bahkan diperbolehkan untuk memukulnya. Hanya
saja, pukulan tersebut tidak boleh dengan kekerasan atau sampai melukai fisik seorang
istri (Arief, 2016).
Kesimpulan
Tawaran al-Syatibi tersebut sangat bagus dan lebih objektif dalam upaya
pengkajian hukum islam. Melihat langkah metodis pembacaannya terhadap teks, al-
Syatibi tidak hanya bertumpu pada makna kebahasaan sebagaimana halnya para mufassir
dan pemikir klasik sehingga seringkali hasil pembacaannya kurang relevan dalam konteks
kekinian. Berbeda sekali dengan al-Syatibi, disamping bertumpu pada makna kebahasaan
teks, al-Syatibi juga sangat menekankan adanya pemahaman di luar teks, yakni dengan
melihat dan memahami bagaimana konteks sosio-historis ketika teks tersebut diturunkan.
Dengan pola pembacaan yang ditawarkan al-Syatibi ini tentunya akan lebih tepat seorang
pembaca dalam memahami hukum islam.
Pertama, makna kata dharaba dapat dapat diartikan memukul secara fisik, hanya
saja pukulan tersebut tidak dengan kekerasan (ghair mubarrah), atau tidak pula sampai
menyakiti (ghair al-muadzzi’ iza’ syadid). Maka jika seorang suami ingin memukul
istrinya yang nusyuz, maka tidak boleh dengan kekerasan, apalagi sampai melukai fisik
seorang istri. Kedua, kata dharaba juga memiliki arti memberi perumpamaan atau
contoh. Dengan demikian, jika seorang suami berhadapan dengan istrinya yang nusyuz,
maka hendaknya memberikan contoh yang baik kepada istrinya, sehingga seorang itri
tidak mengulangi kesalahannya atau bersikap nusyuz kepadanya. Ketiga, kata dharaba
juga memiliki arti memberi peringatan. Dengan demikian, jika seorang suami berhadapan
dengan istrinya yang nusyuz, maka hendaknya memberikan peringatan kepada istrinya.
Keempat, kata dharaba juga memiliki arti berpergian. Dengan demikian, jika seorang
suami berhadapan dengan istrinya yang nusyuz, maka seorang suami dapat
meninggalkannya untuk sementara waktu.
Dengan demikian, pemukulan suami terhadap istri yang tidak taat (nusyuz) tidak
dapat dibenarkan sepenuhnya. Meskipun seorang suami memiliki peran sebagai
pemimpin bagi istri dan keluarganya, namun tidak kemudian menjadi alasan untuk
berbuat dan bertindak sebebas mungkin. Termasuk dalam menghadapi istri yang tidak
taat (nusyuz). Seorang suami tetap bertindak terhadap istrinya dengan cara-cara yang
baik, dan tidak berlebihan. Jika ia berhadapan dengan istrinya yang tidak taat (nusyuz)
maka banyak cara yang mestinya dilakukan. Mulai dari memberi nasihat, memberi contoh
yang baik, jika dengan cara tersebut tidak bisa, seorang suami memberikan peringatan,
dan bahkan diperbolehkan untuk memukulnya. Hanya saja, pukulan tersebut tidak boleh
dengan kekerasan atau sampai melukai fisik seorang istri.