Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1487 http://sosains.greenvest.co.id
MAQASHID AL-SYARI’AH AL-SYATHIBI SEBAGAI DASAR
PERUMUSAN HUKUM ISLAM DAN PENERAPANNYA DALAM
MEMBACA KONSEP NUSYUZ DALAM Q.S. AN-NISA: 34
Shamsudin
Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Indonesia
Diterima:
08 November
2021
Direvisi:
11 November
2021
Disetujui:
15 November
2021
Abstrak
Artikel ini mendiskusikan bagaimana pemikiran, bentuk, dan
langkah metodis maqashid al-syari'ah yang diusung al-Syathibi
dalam membaca ayat-ayat yang memuat hukum Islam. Dalam
konteks ini, penerapan maqashid al-syari'ah yang diusung al-
Syathibi akan difokuskan dalam membaca konsep nusyuz dalam
Q.S. An-Nisa: 34. Data yang menjadi rujukan dalam penelitian
ini adalah data kualitataif yang biasanya dikenal dengan istilah
data kepustakaan (library research). Adapun sumber data dalam
penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni data primer dan data
sekunder. Tawaran al-Syatibi tersebut sangat bagus dan lebih
objektif dalam upaya pengkajian hukum islam. Melihat langkah
metodis pembacaannya terhadap teks, al-Syatibi tidak hanya
bertumpu pada makna kebahasaan sebagaimana halnya para
mufassir dan pemikir klasik sehingga seringkali hasil
pembacaannya kurang relevan dalam konteks kekinian. Berbeda
sekali dengan al-Syatibi, disamping bertumpu pada makna
kebahasaan teks, al-Syatibi juga sangat menekankan adanya
pemahaman di luar teks, yakni dengan melihat dan memahami
bagaimana konteks sosio-historis ketika teks tersebut
diturunkan. Dengan pola pembacaan yang ditawarkan al-Syatibi
ini tentunya akan lebih tepat seorang pembaca dalam memahami
hukum islam.
Kata kunci: Nusyuz, Maqashid Al-Syari‟ah, al-Syathibi
Abstract
This article discusses how the thoughts, forms, and methodical
steps of maqashid al-shari'ah carried by al-Syathibi in reading
verses containing Islamic law. In this context, the application of
maqashid al-shari'ah carried by al-Syathibi will be focused on
reading the concept of nusyuz in Q.S. An-Nisa: 34. The data that
is referenced in this study is kualitataif data which is usually
known as library research. The data sources in this study are
divided into two, namely primary data and secondary data. Al-
Syatibi's offer is very good and more objective in the efforts to
study Islamic law. Looking at the methodical pace of his reading
of the text, al-Syatibi does not rely only on the meaning of
language as well as classical mufassir and thinkers so often the
results of his reading are less relevant in the current context. In
stark contrast to al-Syatibi, in addition to relying on the meaning
of the language of the text, al-Syatibi also strongly emphasizes
the existence of understanding outside the text, namely by
looking at and understanding how the socio-historical context
Maqashid Al-Syari’ah Al-Syathibi Sebagai Dasar
Perumusan Hukum Islam dan Penerapannya Dalam
Membaca Konsep Nusyuz Dalam Q.S. An-Nisa: 34
2021
Shamsudin 1488
when the text is derived. With the pattern of reading offered by
al-Syatibi, it would certainly be more appropriate for a reader to
understand Islamic law.
Keywords: Nusyuz, Maqashid Al-Syari‟ah, al-Syathibi
Pendahuluan
Kecenderungan untuk merancang serangkaian teori atau metodologi dalam
penafsiran dan pemahaman atas Al-Qur'an pada dasarnya sudah menjadi sebuah tradisi
keilmuan Islam sejak awal (Reflita, 2016). Beragam alternatif model hermeneutika telah
ditawarkan banyak tokoh dalam sejarah intelektual Islam. Di antara sekian banyak
tawaran yang pernah mengemuka di kalangan peminat studi Qur'an pada dasarnya dapat
dikategorisasikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama adalah mereka yang menggaris
bawahi pentingnya bunyi teks sebagai standar pencapaian makna dengan adagiumnya
yang terkenal al-Ibrah bi 'umum al- lafzi'la bikhushush al-sabab.
Kutub yang kedua adalah mereka lebih berorientasi pada spesifikasi sebab khusus
turunnya teks. Menurut kelompok ini pemahaman yang tepat terhadap bunyi teks adalah
jika bertumpu pada sebab khusus yang melatar belakanginya sehingga terkenal slogan al-
‘ibrah bi kbushush al-sabab la bi'umum al-lafzi. Salah satu nama besar dalam deretan
nama penemu gagasan inovatif menyangkut upaya mendapatkan cara memahami Al-
Qur‟an dan hadis Nabi dalam kapasitasnya sebagai sebuah teks kebahasaan adalah Imam
Abu Ishaq al-Syatibi (Sujiat Zubaidi & Muslih, 2018). Dia adalah seorang ahli teori
hukum mazhab Maliki dari dunia Barat yakni Andalusia yang nama lengkapnya adalah
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati meninggal tahun 970
H. Ber beda dari umumnya para pemikir bidang hukum terutama dalam hal teori hukum
yang lazim disebut dengan disiplin ushul al-fiqh, yakni orientasi mereka yang lebih
banyak ditujukan pada teks semata, al-Syatibi terkenal dengan teori maqashid al-
syari'ahnya yang merupakan sebuah inovasi dalam pemikiran hukum Islam (Ishak, 2014).
Artikel ini akan berupaya mendiskusikan bagaimana pemikiran, bentuk, dan
langkah metodis maqashid al-syari'ah yang diusung al-Syathibi dalam membaca ayat-
ayat atau hukum islam. Dalam konteks ini, penerapan maqashid al-syari'ah yang diusung
al-Syathibi akan difokuskan dalam membaca konsep nusyuz dalam Q.S. An-Nisa: 34.
Mulai dari. Pembacaan aspek kebahasaan atas Q.S. An-Nisa: 34, pembacaan aspek
historis Q.S. An-Nisa: 34, hingga penggalian maqashid al-syari'ah yang terkandung
dalam Q.S. An-Nisa: 34.
Metode Penelitian
Data yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah data kualitataif yang
biasanya dikenal dengan istilah data kepustakaan (library research). Adapun sumber data
dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data
primernya adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang menjelaskan kata dharaba, terutama kata
dharaba dalam Q.S. An-Nisa: 34 yang menjelaskan tentang konsep nusyuz. Adapun data
sekundernya adalah kitab tafsir baik periode klasik, pertengahan, hingga kontemporer,
buku-buku, artikel jurnal, makalah, kamus bahasa, dan semua literatur lainnya yang
memiliki relvansi dengan konsep nusyuz.
Metode deskriptif-analitis adalah metode yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini, dengan mendeskripsikan terlebih dahulu bagaimana al-Qur‟an mendiskusikan kata
dharaba, dan kemudian mencoba menganalisis bagaimana makna kata dharaba dalam al-
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1489 http://sosains.greenvest.co.id
Qur‟an dan kaitannya dengan konsep nusyuz dalam Q.S An-Nisa: 34 menggunakan teori
maqashid al- syari’ah al-Syathibi. Adapun langkah metode deskriptif-analitis dalam
penelitian ini dengan mengikuti alur analisis teori maqashid al-syari’ah al-Syathibi.
Hasil dan Pembahasan
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhimy al-
Gharnaty Abu Ishak. Nama al-Syathibi dinisbatkan berdasarkan tempat lahirnya di
Syatiba. Pendidikan pertama yang didapat oleh Syatibi adalah pelajaran Bahasa Arab.
Guru pertamanya dalam pelajaran Bahasa Arab dan Nahwu adalah Abu Abdullah
Muhammad Al-Biri yang terkenal sebagai master Nahwu (Syaikh al-Nuhat) di Andalus
hingga ia meninggal pada tahun 754 H/1353 M (Zatadini & Syamsuri, 2018). Kemudian
al-Syathibi melanjutkan belajar Bahasa Arab dan Nahwu kepada Abul Qasim al-Sharif al-
Sibti yang memiliki julukan „pemegang standar retorika‟ dalam Bahasa Arab, selain itu
al-Syathibi diberi julukuan sebagai „rais al-Ulum al-Lisaniyah‟ atau raja linguistic. Al-
Syathibi belajar kepadanya hingga al-Syathibi meninggal pada tahun 760 H/1358 M.
Selanjutnya al-Syatibi melanjutkan studinya mempelajari fiqh di Granada dari
seorang mufti dan khatib yaitu Abu Sa‟id bin Lubb. Syatibi menguasai fiqh berkat ajaran
Lubb, meskipun mereka memiliki ide yang bertentangan mengenai beberapa masalah
fiqh. Tidak hanya kepada tiga guru tersebut, al-Syatibi belajar ke guru-guru lain di
Granada. Seperti, Abu Abdullah al-Maqarri, Abu Ja‟far al-Syaqwari, Abu al-Abbas al-
Qubab, Abu Abdullah al- Hufaz, dan lain-lain. Al-Syatibi juga mempelajari ilmu rasional
atau ulum al-Aqliyyah. Ia mempelajarinya dari dua ilmuwan besar Abu Ali Mansur al-
Zawawi dan Abu Abdulllah al- Sharif al-Tilmisani. Zawawi tinggal di Granada pada
tahun 753 H-765 H, ia merupakan ulama yang amat berpengaruh dalam bidang filosofi
dan teologi. Sedangkan Tilmisani terkenal sebagai „al-Imam al-Muhaqqiq A‟lamu Ahli
Waqtihi‟ atau orang yang paling berilmu pada masanya. Ia penulis buku Miftah al-Usul
ila Bina al-Furu‟ „ala al-Usul, sebuah maha karya dalam ilmu ushul fiqh.6
Berdasarkan riwayat pendidikannya, tidak mengherankan jika kemudian al-
Syathibi dapat menciptakan berbagai karya, diantaranya Al-Khulashah fi al-Nahwi fi
Asfari Arba’ati Kibar yaitu buku ini memuat komentar-komentar al-Syatibi terkait buku
al-Khulasa al- Alfiyyah karya Ibnu Malik. Kitab Al-Muwafaqat, ini merupakan maha
karya al-Syatibi yang paling utama. Buku ini menjelaskan mengenai ilmu ushul fiqh dan
pengenalan terhadap konsep maslahah dan maqashid menurut al-Syatibi. Kitab al-
Majalis, kitab ini menjelaskan prihal jual beli dalam kitab sahih bukhari. Kitab al-Ifadat
wa al-Insyadat, kitab ini menjelaskan sastra dan seni mengarang dalam Bahasa Arab.
Selanjutnya kitab Unwan al- Ittifaq fi ‘Ilmi al-Isytiqaq, Ushul al-Nahwi, dan lain-lain.
Seperti umumnya ahli ushul al-fiqh,8 al-Syatibi berkeyakinan bahwa lafal itu tidak
dimaksudkan untuk lafal itu sendiri, akan tetapi lafal lebih merupakan dalil atau indikator
yang menunjuk pada tujuan si pembuat lafal (Mufid, 2018). Kejelasan tujuan ini menurut
mereka seperti halnya menurut al-Syatibi pada kenyataannya bisa diperoleh tidak hanya
lewat lafal tapi bisa juga melalui isyarat, tulisan, gerakan, indikator rasional atau karinah-
karinah keadaan. Untuk ini persoalan konteks mendapatkan porsi yang cukup memadai
dalam bangunan konsep hermeneutisnya seperti konteks kebahasaan sampai konteks
maqasid. Jika diurutkan dari awal hingga akhir, langkah metodis pembacaan maqashid al-
syari’ah al-Syatibi dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, konteks kebahasaan.
Bagi al-Syatibi, ujaran orang Arab secara mutlak harus mem perhatikan konteks.
Karenanya, secara bahasa pemahaman lafal dalam sebuah ujaran baru dapat diperoleh
ketika misalnya awal ujaran tersebut sudah dirujukkan kepada akhir ujarannya, dilihat
berbagai kondisinya dan berbagai kutubnya, jika ada reduksi atau membatasi diri hanya
melihat pada bagian tertentu ujaran tanpa melihat bagian ujaran yang lain. Kedua,
Maqashid Al-Syari’ah Al-Syathibi Sebagai Dasar
Perumusan Hukum Islam dan Penerapannya Dalam
Membaca Konsep Nusyuz Dalam Q.S. An-Nisa: 34
2021
Shamsudin 1490
konteks komunikasi. Dalam proses komunikasi pasti akan melibatkan dua pihak yang
pokok, yakni pembuat komunikasi (mukhatib) dan penerima komunikasi (mukhatab).
Untuk mengetahui tujuan sebuah ujaran seseorang harus mengetahui tuntutan banyak
kondisi baik kondisi wacana itu sendiri, atau kondisi pembicaranya, atau kondisi lawan
bicaranya atau kondisi keseluruhannya (Nurgiantoro, 2018). Hal ini karena, menurut al-
Syatibi, sebuah ujaran bisa difahami dengan pemahaman yang berbeda lantaran dua
kondisi yang berbeda atau kondisi pembicara dan lawan bicaranya. Ketiga, konteks
pewahyuan. Bagi para pemerhati teks terdahulu hingga kontemporer, bahwa memahami
tentang sebab-sebab pewahyuan (sabab nuzul) merupakan hal yang sangat penting, begitu
pula kata al-Syatibi bahwa kelaziman yang pokok bagi sipapun yang ingin mengerti al-
Qur‟an. Dalam hal ini baginya adalah sama dengan keadaan menerapkan dalil di mana
ada keharusan untuk melihat pada banyak keadaan, banyak waktu, dan banyaknya
kebiasaan orang yang akan dibebani hukum . Hal ini karena menurutnya konteks itu akan
berubah karena berubahnya keadaan, waktu dan pewahyuan.
Al-Wahidi mengenai hal ini menjelaskan, tidaklah seseorang mampu mengetahui
tafsir suatu ayat tanpa memahami sejarah dan keterangan sebab turunnya ayat”. Pendapat
yang serupa oleh Ibn Daqiqil Id berpendapat, “Keterangan tentang sebab turunnya ayat
merupakan langkah yang tepat dalam mengungkap makna al-Qur‟an. Ibn Taimiyah
mengatakan, “Mengetahui sebab turunnya suatu ayat akan membantu dalam memahami
makna yang terkandung dalam suatu ayat. Selanjutnya, Ibn Taimiyah menambahkan,
bahwa pengetahuan terkait sebab diturunkannya ayat akan memberikan dasar yang kokoh
dalam menyelami makna yang terkandung. Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi ‘Ulum Al-
Qur’an mengutip pendapat Abu al-Qsim al-Hasan Ibn Muhammad Ibn Habib al-
Naisaburi, bahwa di antara ilmu-ilmu al-Qur‟an yang paling mulia adalah ilmu tentang
sabab nuzul (min asyraf ‘ulum al-Qur’an ‘ilm nuzulih).
Fazlur Rahman dengan konsepnya double movement, Muammad Talibi dengan
konsep al-tafsir al-maqaidi (tafsir berbasis pada tujuan utama penetapan hukum) dan
Nar amid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaq (tafsir kontekstualis),
memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-
Qur‟an di masa kini, makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-
Qur‟an. Bagi mereka, sajana-sarjana Muslim saat ini harus berusaha memahami makna di
balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, maqaid (tujuan-tujuan
ayat) dalam istilah alibi, dan maghza (signifikansi ayat) dalam istilah Nasr Hamid Abu
Zayd, dengan berdasarkan pada kajian historis. Keempat, penggalian maqashid. Untuk
mendapatkan pemahaman atas teks, seorang pembaca dipersyaratkan untuk memberikan
perhatian khusus pada berbagai illat yakni maslahah, berbagai instruksi, hikmah
partikular, berbagai maslahah universal yang maknanya termanifestasikan dalam
maqashid al-syar. Konteks ini khusus di mengerti oleh mereka yang mengenali maqashid
al-syar sehingga berbeda dengan konteks kebahasaan yang multak dapat ditemukan lewat
pemahaman bahasa Arab dalam penggunaannya sehari-hari. Dalam konteks ini seorang
penafsir diharuskan untuk melihat teks tertentu yang di tafsirkan dalam kerangka bingkai
maqashid al-syari’ah baik yang dlarury, tabajji, ataupun tabsini sehingga tidak terjebak
pada pemaknaan yang tidak me- ngakomodasikan tujuan dari teks yang ditafsirkannya.
Sebagaimna penjelasan di awal bahwa ayat yang menjadi fokus dalam penelitian
ini adalah Q.S. An-Nisa: 34. Karena umumnya peneliti terdahulu dalam memahami
nusyuz selalu menjadikan ayat ini sebagai fokus kajian. Hanya saja, dalam pembahasan
yang sifatnya kebahasaan, terutama dalam membaca makna kata dharaba dalam Q.S. An-
Nisa: 34 peneliti akan memahaminya dengan melihat penggunaan kata dharaba dalam
ayat-ayat lainnya. Dengan kata lain, peneliti akan melihat dan memahami munasabat
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1491 http://sosains.greenvest.co.id
(korelasi) kata dharaba dalam Q.S. An-Nisa: 34 dengan ayat-ayat lainnya yang
mengandung kata dharaba dalam ayat lainnya.
1) Analisis Kebahasan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa tahap awal penggalian maqashid al-
Syathibi adalah analisis kebahasaan (Thohari, 2013). Bagi al-Syatibi, ujaran orang Arab
secara mutlak harus memperhatikan konteks. Karenanya, secara bahasa pemahaman lafal
dalam sebuah ujaran baru dapat diperoleh ketika misalnya awal ujaran tersebut sudah
dirujukkan kepada akhir ujarannya, dilihat berbagai kondisinya dan berbagai kutubnya.
Adalah juga tidak benar menurutnya, jika ada reduksi atau membatasi diri hanya melihat
pada bagian tertentu ujaran tanpa melihat bagian ujaran yang lain. Dengan demikian,
pada bagian ini penulis akan berupaya memahami munasabat (korelasi) kata dharaba
dalam Q.S. An-Nisa: 34 dengan ayat-ayat lainnya yang mengandung kata dharaba dalam
ayat lainnya. Di samping itu, peneliti akan melihat makna dharaba dengan menggunakan
kamus, dan penafsiran beberapa mufassir. Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan Arabnya
menjelaskan bahwa kata dharaba memiliki banyak arti, diantaranya memukul sebagai
artian yang umum, berpergian, al-mitsl/memberikan perumpamaan atau contoh,
memberikan peringatan. Para mufasir, baik periode klasik, pertengahan, hingga
kontemporer, dan para peneliti terdahulu, secara umum memaknai kata dharaba dalam
konteks ayat nusyuz sebagai memukul dalam artian yang sebenarnya atau memukul
secara fisik. Yahya Ibn Ziyad al-Farra‟ sebagai salah satu mufasir klasik dalam tafsirnya
Ma’ani Al-Qur’an menjelaskan :
Al-Farra‟ dalam penafsiran tersebut memaknai kata dharaba dalam artian memukul
secara fisik. Hanya saja pukulan tersebut tidak dengan kekerasan (ghair mubarrah) dan
tidak memalukan atau tidak patut (laa sya’in), dengan menggunakan kayu siwak dan
sejenisnya. Al-Farra‟ mengutip pendapat al- Syafi‟i yang mengatakan: “memukul
diperbolehkan, akan tetapi meninggalkannya lebih utama”. Untuk menguatkan
penafsirannya, al-Farra‟ mengutip hadis yang berbunyi: “Ketahuilah, berbuat baiklah
terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka
lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka
melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri
kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian.
Al-Zamakhsyari sebagai salah satu mufasir pertengahan dalam tafsir Al- Kassyaf
menjelaskan:
Maqashid Al-Syari’ah Al-Syathibi Sebagai Dasar
Perumusan Hukum Islam dan Penerapannya Dalam
Membaca Konsep Nusyuz Dalam Q.S. An-Nisa: 34
2021
Shamsudin 1492
Dalam penafsiran tersebut al-Zamakhsyari memaknai kata dharaba dalam artian
memukul secara fisik. Dengan mengutip pendapat para fuqaha atau ahli fikih, al-
Zamakhsyari mengatakan seorang suami yang bersabar atas perlakuan istrinya yang
menyakiti dan tidak memukulnya termasuk cara yang baik, akan tetapi memukul istri
lebih afdhal atau utama di sisi Allah. Hanya saja, pukulan yang dimaksud al-Zamakhsyari
dalam ayat tersebut adalah pukulan yang lembut (hanif) dan pukulan yang bertujuan
mendidik (al-ta’dib). Untuk memperkuat penafsirannya, al-Zamakhsyari mengutip hadis
yang berbunyi: “Janganlah di antara kalian memukul istrinya sebagaimana memukul unta
di pagi hari, dan tidur dengannya di penghujung hari. Sebaik-baik kalian adalah yang baik
kepada keluarganya, dan saya yang memukul lebih baik dati kalian untuk keluarganya”.
Musthafa al-Maraghi sebagai salah satu mufasir kontemporer dalam tafsir Al-
Maraghi menjelaskan:
Dengan demikian, berdasarkan analisis kebahasaan disini dapat disimpulkan,
Pertama, makna kata dharaba dapat dapat diartikan memukul secara fisik, hanya saja
pukulan tersebut tidak dengan kekerasan (ghair mubarrah), atau tidak pula sampai
menyakiti (ghair al-muadzzi’ iza’ syadid). Maka jika seorang suami ingin memukul
istrinya yang nusyuz, maka tidak boleh dengan kekerasan, apalagi sampai melukai fisik
seorang istri. Kedua, kata dharaba juga memiliki arti memberi perumpamaan atau
contoh. Dengan demikian, jika seorang suami.
berhadapan dengan istrinya yang nusyuz, maka hendaknya memberikan contoh
yang baik kepada istrinya, sehingga seorang itri tidak mengulangi kesalahannya atau
bersikap nusyuz kepadanya. Ketiga, kata dharaba juga memiliki arti memberi peringatan.
Dengan demikian, jika seorang suami berhadapan dengan istrinya yang nusyuz, maka
hendaknya memberikan peringatan kepada istrinya. Keempat, kata dharaba juga
memiliki arti berpergian (Candra, 2020). Dengan demikian, jika seorang suami
berhadapan dengan istrinya yang nusyuz, maka seorang suami dapat meninggalkannya
untuk sementara waktu.
2) Analisis Konteks Komunikasi
Tahap kedua penggalian maqashid al-Syathibi adalah analisis konteks komunikasi.
Bagi al-Syathibi, dalam proses komunikasi pasti akan melibatkan dua pihak yang pokok,
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1493 http://sosains.greenvest.co.id
yakni pembuat komunikasi (mukhatib) dan penerima komunikasi (mukhatab). Untuk
mengetahui tujuan sebuah ujaran seseorang harus mengetahui tuntutan banyak kondisi
baik kondisi wacana itu sendiri, atau kondisi pembicaranya, atau kondisi lawan bicaranya
atau kondisi keseluruhannya. Hal ini karena, menurut al-Syatibi, sebuah ujaran bisa
difahami dengan pemahaman yang berbeda lantaran dua kondisi yang berbeda atau
kondisi pembicara dan lawan bicaranya.
Untuk dapat melihat konteks komunikasi disini peneliti merujuk pada kitab Asbab
Al-Nuzul karangan Abi al-Hasan Ali Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (Ramli, 2016).
Dalam beberapa riwayat yang dicantumkan dalam kitab sabab nuzul al-Wahidi, bahwa
ayat tersebut diturunkan karena terjadinya perselisihan antara Saad bin al- Rabi‟, salah
seorang panglima, dan istrinya, Habiba binti Zaid bin Abi Zuhair. Berdasarkan uraian
tersebut, bahwa Allah sebagai pembuat komunikasi (mukhatib) menurunkan Q.S. An-
Nisa: 34 kepada Saad bin al-Rabi‟, salah seorang panglima, dan istrinya, Habiba binti
Zaid bin Abi Zuhair sebagai penerima komunikasi (mukhatab). Diturunkannya Q.S. An-
Nisa: 34 sebagai bentuk respon Allah atas problem antara Saad bin al-Rabi‟, dan Habiba
binti Zaid bin Abi Zuhair sebagai pasangan suami istri, dan respon terhadap Nabi
Muhammad Saw yang pada awalnya membolehkan Habiba binti Zaid bin Abi. Zuhair
untuk melakukan pembalasan (qishash) terhadap suaminya Saad bin al- Rabi‟.
3) Analisis Historis
Tahap ketiga dalam penggalian maqashid al-Syathibi adalah analisis konteks
historis pewahyuan. Bagi para pemerhati teks terdahulu hingga kontemporer, bahwa
memahami tentang sebab-sebab pewahyuan (sabab nuzul) merupakan hal yang sangat
penting,24 begitu pula kata al-Syatibi bahwa kelaziman yang pokok bagi sipapun yang
ingin mengerti al-Qur‟an. Dalam hal ini baginya adalah sama dengan keadaan
menerapkan dalil di mana ada keharusan untuk melihat pada banyak keadaan, banyak
waktu, dan banyaknya kebiasaan orang yang akan dibebani hukum. Hal ini karena
menurutnya konteks itu akan berubah karena berubahnya keadaan, waktu dan
pewahyuan.
Al-Wahidi dalam kitab Sabab Nuzulnya mencantumkan tiga riwayat mengenai
sebab diturunkannya Q.S. An-Nisa: 34:
Artinya: Muqatil berkata: Ayat ini diturunkan tentang Saad bin al-Rabi', salah
seorang panglima, dan istrinya, Habiba binti Zaid bin Abi Zuhair, yang berasal dari kaum
Anshar, karena dia mendurhakai suaminya (nusyuz) dan suaminya menamparnya. Dan
dia pergi mengadu kepada Nabi Saw dengan bapaknya untuk membalas dendam pada
suaminya. Kemudian Nabi Saw berkata: “Dia membalas dendam dari suaminya”. Setelah
ia hendak pergi membalas dendam bersama bapaknya, Nabi saw, berkata lagi:
“Kembalilah, ini Jibril yang datang kepadaku.” Dan Allah SWT menurunkan ayat ini.
Sehingga Rasulullah berkata: kita punya keinginan, dan Allah pun memiliki keinginan,
dan keinginan Allah lah yang lebih baik. Dan diangkatlah qishas (pembalasan) tersebut.
Maqashid Al-Syari’ah Al-Syathibi Sebagai Dasar
Perumusan Hukum Islam dan Penerapannya Dalam
Membaca Konsep Nusyuz Dalam Q.S. An-Nisa: 34
2021
Shamsudin 1494
Abu Bakar al-Harithi memberi tahu kami, dia berkata: Abu al-Sheikh al-Hafiz
memberi tahu kami, dia berkata: Abu Yahya al-Razi memberi tahu kami, dia berkata:
Sahl al-Askari memberi tahu kami, dia berkata: Ali Ibn Hashim memberi tahu kami, dari
Ismail, dari al-Hasan, dia berkata: Ketika ayat qishash turun di kalangan Muslim, seorang
pria memukul istrinya, lalu dia pergi menemui Nabi, saw. Dia berkata, “Suamiku
menamparku, maka saya ingin membalasnya. Dia berkata, “Pembalasan”. Maka, di antara
dia, Allah SWT berfirman: Dan laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dengan apa yang
telah Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain. Kemudian Nabi
berkata: “kita memiliki keinginan, tetapi Allah SWT menolak kecuali untuk sesuatu yang
lain. Ambillah, wahai para lelaki, dengan tangan istrimu (Majir, 2019).
Dia berkata: Kami diberitahu oleh Ahmad bin Al-Hussein bin Al-Junaid, dia
berkata: Ziyad bin Ayyub memberi tahu kami, dia berkata: Hashim memberi tahu kami,
dia berkata: Yunus memberi tahu kami, dari Al-Hasan: Seorang pria menampar istrinya,
maka dia bertengkar dengannya kepada Nabi, maka keluarganya datang bersamanya dan
berkata: Wahai Rasulullah, si fulan menampar keluarga kami, maka Rasulullah bersabda:
“Pembalasan adalah pembalasan, dan hukuman tidak dapat menyelesaikan.” Maka
diturunkanlah ayat ini: Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kemudian Nabi Saw
berkata: “kita memiliki keinginan, dan Allah pun memiliki keinginan yang berbeda.
Dengan melihat sabab nuzul ayat tersebut bahwa mulanya pembalasan (qashash)
dibolehkan. Hanya saja, dalam konteks suami istri disini, pemukulan oleh suami terhadap
terhadap istri yang nusyuz dibolehkan, dan istri dilarang untuk melakukan pembalasan
terhadap suaminya (Ubaidillah, 2017). Tentunya hal tersebut tidak lepas dari peran suami
sebagai kepala rumah tangga yang mengurusi istri dan keluarganya. Terlebih jika
tujuannya bagus dan dilakukan dengan cara yang tidak sampai menyakiti fisik seorang
istri.
4) Penggalian Maqashid Al-Syari’ah
Bagian terakhir adalah penggalian maqashid. Bagi al-Syathibi, untuk mendapatkan
pemahaman atas teks, seorang pembaca dipersyaratkan untuk memberikan perhatian
khusus pada berbagai illat yakni maslahah, berbagai instruksi, hikmah partikular,
berbagai maslahah universal yang maknanya termanifestasikan dalam maqashid al-syar
(Adhari et al., 2021). Konteks ini khusus di mengerti oleh mereka yang mengenali
maqashid al-syar sehingga berbeda dengan konteks kebahasaan yang multak dapat
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1495 http://sosains.greenvest.co.id
ditemukan lewat pemahaman bahasa Arab dalam penggunaannya sehari-hari (Rokhmad,
2019). Dalam konteks ini seorang penafsir diharuskan untuk melihat teks tertentu yang di
tafsirkan dalam kerangka bingkai maqashid al- syari’ah baik yang dlarury, tabajji,
ataupun tabsini sehingga tidak terjebak pada pemaknaan yang tidak mengakomodasikan
tujuan dari teks yang ditafsirkannya. Berdasarkan pada langkah analisis yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik poin penting bahwa pemukulan suami terhadap istri yang
tidak taat (nusyuz) tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Meskipun seorang suami
memiliki peran sebagai pemimpin bagi istri dan keluarganya, namun tidak kemudian
menjadi alasan untuk berbuat dan bertindak sebebas mungkin (Kamalin, 2020). Termasuk
dalam menghadapi istri yang tidak taat (nusyuz). Seorang suami tetap bertindak terhadap
istrinya dengan cara-cara yang baik, dan tidak berlebihan. Jika ia berhadapan dengan
istrinya yang tidak taat (nusyuz) maka banyak cara yang mestinya dilakukan. Mulai dari
memberi nasihat, memberi contoh yang baik, jika dengan cara tersebut tidak bisa, seorang
suami memberikan peringatan, dan bahkan diperbolehkan untuk memukulnya. Hanya
saja, pukulan tersebut tidak boleh dengan kekerasan atau sampai melukai fisik seorang
istri (Arief, 2016).
Kesimpulan
Tawaran al-Syatibi tersebut sangat bagus dan lebih objektif dalam upaya
pengkajian hukum islam. Melihat langkah metodis pembacaannya terhadap teks, al-
Syatibi tidak hanya bertumpu pada makna kebahasaan sebagaimana halnya para mufassir
dan pemikir klasik sehingga seringkali hasil pembacaannya kurang relevan dalam konteks
kekinian. Berbeda sekali dengan al-Syatibi, disamping bertumpu pada makna kebahasaan
teks, al-Syatibi juga sangat menekankan adanya pemahaman di luar teks, yakni dengan
melihat dan memahami bagaimana konteks sosio-historis ketika teks tersebut diturunkan.
Dengan pola pembacaan yang ditawarkan al-Syatibi ini tentunya akan lebih tepat seorang
pembaca dalam memahami hukum islam.
Pertama, makna kata dharaba dapat dapat diartikan memukul secara fisik, hanya
saja pukulan tersebut tidak dengan kekerasan (ghair mubarrah), atau tidak pula sampai
menyakiti (ghair al-muadzzi’ iza’ syadid). Maka jika seorang suami ingin memukul
istrinya yang nusyuz, maka tidak boleh dengan kekerasan, apalagi sampai melukai fisik
seorang istri. Kedua, kata dharaba juga memiliki arti memberi perumpamaan atau
contoh. Dengan demikian, jika seorang suami berhadapan dengan istrinya yang nusyuz,
maka hendaknya memberikan contoh yang baik kepada istrinya, sehingga seorang itri
tidak mengulangi kesalahannya atau bersikap nusyuz kepadanya. Ketiga, kata dharaba
juga memiliki arti memberi peringatan. Dengan demikian, jika seorang suami berhadapan
dengan istrinya yang nusyuz, maka hendaknya memberikan peringatan kepada istrinya.
Keempat, kata dharaba juga memiliki arti berpergian. Dengan demikian, jika seorang
suami berhadapan dengan istrinya yang nusyuz, maka seorang suami dapat
meninggalkannya untuk sementara waktu.
Dengan demikian, pemukulan suami terhadap istri yang tidak taat (nusyuz) tidak
dapat dibenarkan sepenuhnya. Meskipun seorang suami memiliki peran sebagai
pemimpin bagi istri dan keluarganya, namun tidak kemudian menjadi alasan untuk
berbuat dan bertindak sebebas mungkin. Termasuk dalam menghadapi istri yang tidak
taat (nusyuz). Seorang suami tetap bertindak terhadap istrinya dengan cara-cara yang
baik, dan tidak berlebihan. Jika ia berhadapan dengan istrinya yang tidak taat (nusyuz)
maka banyak cara yang mestinya dilakukan. Mulai dari memberi nasihat, memberi contoh
yang baik, jika dengan cara tersebut tidak bisa, seorang suami memberikan peringatan,
dan bahkan diperbolehkan untuk memukulnya. Hanya saja, pukulan tersebut tidak boleh
dengan kekerasan atau sampai melukai fisik seorang istri.
Maqashid Al-Syari’ah Al-Syathibi Sebagai Dasar
Perumusan Hukum Islam dan Penerapannya Dalam
Membaca Konsep Nusyuz Dalam Q.S. An-Nisa: 34
2021
Shamsudin 1496 1494
Bibliografi.
Adhari, Iendy Zelviean, Fikri, Yudistia Teguh Ali, Jamaludin, Jujun, Sukarnoto, Toto,
Naafisah, Didah Durrotun, Cahyanti, Irni Sri, Rahayu, Yayuk Sri, Widiantini,
Nema, Purnamasari, Neli, & Bayanuloh, Ikhsan. (2021). Kumpulan Teori
Penafsiran Al Qur’an-Al Hadis Dan Teori Ekonomi Islam Menurut Para Ahli.
Bandung: Penerbit Widina.
Arief, Moh Zainol. (2016). Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia. Prosiding Univeritas
Wiraraja.
Candra, Beni. (2020). Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam Dan Undang-Undang Perlindungan Anak Tesis Diajukan sebagai Salah Satu
Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH) Oleh: BENI CANDRA
NIM. 2173011017 Program Pascasarjana Institut Agama ISL. Bengkulu: IAIN
Bengkulu.
Ishak, Khodijah. (2014). Maqashid Syariah Dan Maslahah Dalam Ekonomi Dan Bisnis
Syariah. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 3(1), 659673.
Kamalin, Muhammad. (2020). Konstruksi Keluarga Ideal Sebagai Fondasi Kehidupan
Bernegara Menurut Taqiyuddin Al-Nabhani. Riau: Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau.
Majir, Abdul. (2019). Blended Learning dalam Pengembangan Pembelajaran Suatu
Tuntutan Guna Memperoleh Keterampilan Abad ke-21. Buana Pendidikan: Jurnal
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, 15(28), 103117.
Mufid, Moh. (2018). Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari teori ke
aplikasi. Kencana.
Nurgiantoro, Burhan. (2018). Stilistika. Yogyakarta: UGM PRESS.
Ramli, Supian. (2016). Strategi Dan Kebijakan Dalam Menetralisir Eksklusivitas
Kegiatan Keagamaan Mahasiswa (Rohis) Di PTU.
Reflita, Reflita. (2016). Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang
Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an). Jurnal Ushuluddin, 24(2),
135149.
Rokhmad, Abu. (2019). Islam & aliran: perspektif HAM dan maqashid al-syariah.
Jakarta: Varos Mitra Utama.
Sujiat Zubaidi, Sujiat, & Muslih, Mohammad. (2018). Kritik Epistimologi dan Model
Pembacaan Kontemporer (Vol. 2). Kurnia Kalam Semesta.
Thohari, Ahmad. (2013). Epistemologi Fikih Lingkungan: Revitalisasi Konsep
Masalahah. Az Zarqa’: Jurnal Hukum Bisnis Islam, 5(2).
Ubaidillah, Asep. (2017). Kriminalisasi Dalam Hubungan Suami Istri Terhadap Perilaku
Nusyuz Menurut Perspektif Hukum Islam Dan Kuhp. Banten: UIN" Sultan Maulana
Hasanuddin" Banten.
Zatadini, Nabila, & Syamsuri, Syamsuri. (2018). Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-
Syatibi Dan Kontribusinya Dalam Kebijakan Fiskal. Al-Falah: Journal Of Islamic
Economics, 3(2), 116.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1497 http://sosains.greenvest.co.id
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.