Volume 1, Nomor 12, Desember 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1653 http://sosains.greenvest.co.id
Perkembangan vaksin tidak serta merta mulus begitu saja. Di saat vaksin semakin
populer, maka lahirlah komunitas dan pemahaman yang menolaknya, yaitu kaum
antivaksin. Seiring berjalannya waktu, gerakan antivaksin tidak hanya ramai di internet,
tapi hingga diadakannya seminar-seminar di perguruan tinggi. Bahkan pembicaranya
adalah dokter (Indonesia, 2018). Dokter sebagai seorang ‘ahli’ dihargai atas keilmuannya,
baik dari sisi teori maupun keterampilannya sebagai klinisi, sehingga informasi apapun
yang disampaikan oleh seorang dokter akan lebih mudah diyakini oleh seorang pasien.
Termasuk hal ini dalam kaitannya dengan propaganda antivaksin Dokter kini menghadapi
kondisi yang dilematis. Vaksin secara medis telah terbukti ampuh dan belum pernah
tercatat menimbulkan dampak negatif bagi pemakainya (Sundoro, Sulaiman,
Purwadianto, & Wasisto, 2018). Namun, jika salah memahami, dokter bisa saja terseret
arus paham antivaksinasi dan justru menjadi pelopor gerakan ini di masyarakat.
Dampaknya adalah kegagalan program pemerintah untuk mengeradikasi penyakit-
penyakit infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin (Wulandari et al., 2021).
Maka dari itu, seorang mahasiswa fakultas kedokteran dituntut untuk mengetahui
kandungan yang ada didalam vaksin dan hukum halal haramnya (Triyanta, 2020).
Responden pada tingkat Pendidikan tahun ketiga (2016) didominasi oleh
pengetahuan tripsin yang cukup yaitu sebanyak 45,95% selanjutnya pada pengetahuan
tripsin terkategori kurang sebanyak 37,84% dan pada pengetahuan tripsin yang baik
hanya 16,22%. Berbeda halnya dengan tahun pertama (2018), didominasi oleh kategori
pengetahuan mengenai tripsin kurang dan cukup, dimana pada kedua kategori ini masing-
masing sebanyak 44,44%, sedangkan pada kategori baik hanya 11,11%. Sedangkan
responden pada tingkat Pendidikan tahun ketiga (2016) didominasi oleh pengetahuan
Vaksin Polio yang cukup yaitu sebanyak 48.65% selanjutnya pada pengetahuan Vaksin
Polio terkategori baik sebanyak 40,54% dan pada pengetahuan Vaksin Polio yang kurang
hanya 10,81%. Pada tahun pertama (2018), didominasi oleh kategori pengetahuan
mengenai Vaksin Polio cukup, dimana pada kedua kategori ini sebanyak 49,21%,
sedangkan pada kategori baik dan kurang masing-masing sebanyak 30,16% dan 20,63%
(Kiswanto, 2018).
Dari kedua analisis χ2 (chi kuadrat) pada tabel 7 dan 8 diketahui bahwa tingkat
Pendidikan tidak memiliki perbedaan pada tingkat pengetahuan responden baik pada
pengetahuan penggunaan tripsin (p=0,697) maupun pada pengetahuan mengenai vaksin
polio (p=0,356), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “Tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan di Fakultas Kedokteran dengan pengetahuan mahasiswa Fakultas
Kedokteran universitas YARSI mengenai penggunaan Tripsin dan vaksin POLIO”.
Pada hasil penelitian ini, kedua variabel yaitu mahasiswa tingkat ketiga (2016) dan
tingkat pertama (2018) hanya sedikit yang memiliki pengetahuan Baik. Hal ini
disebabkan oleh kurikulum pendidikan tidak membahas mengenai tripsin secara khusus,
rinci dan detail. Blok dengan Kurikulum 2018 yang membahas mengenai Mekanisme
Pertahanan Tubuh, yaitu pada Rincian Capaian Blok VIII (Imunisasi dan Vaksin), Sub
Capaian Blok A (Memahami dan Menjelaskan konsep imunisasi dan vaksin secara klinis,
indikator 32 (Memperjelas dan merangkum jenis-jenis vaksinas yang diberikan pada
anak). Untuk Blok Mekanisme Pertahanan Tubuh, Kurikulum 2007, revisi 2013, sasaran
blok tidak dicantumkan secara khusus dan jelas (Latif, 2013).
Kesimpulan
Untuk responden tahun pertama pengetahuan mengenai tripsin kurang dan cukup,
dimana pada kedua kategori ini masing-masing sebanyak 44,44%, sedangkan pada
kategori baik hanya 11,11%. Pada Pengetahuan Vaksin Polio cukup, dimana pada