Volume 1, Nomor 12, Desember 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1676 http://sosains.greenvest.co.id
segera dan tidak “sakit”. Dapat disimpulkan bahwa penyakit smallpox dapat dicegah
dengan inokulasi cowpox (Djauzi & Rambe, 2013).
Setelah dipublikasikan mengenai smallpox, diikuti dengan perkembangan-
perkembangan vaksin lainnya dan dengan menggunakan metode yang berbeda. Beberapa
metode tersebut adalah Cell Culture, Capsular Polysaccharides, Protein- Based Vaccines,
dan Genetic Engineering (Plotkin, 2014).
Human Diploid Cells (HDC) merupakan salah satu sel yang digunakan untuk
mengkultur virus yang akan dijadikan vaksin. HDC yang berasal dari aborsi manusia ini
banyak digunakan untuk mengkultur virus Polio IPV dan OPV, Rabies, Rubella, Measles,
Varicella-Zooster, dan Hepatitis A. Beberapa alasan HDC digunakan karena jumlah sel
yang banyak dalam satu kali panen, karakteristik yang baik, kesuksesan terhadap virus
manusia, kemungkinan laten yang rendah, dan pengadaan yang relatif murah (Leiva, 2006).
Vaksin polio merupakan vaksin yang diwajibkan pada anak yang dijadwalkan dari
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang dibagi menjadi dua jenis, IPV (Inactivated
Polio Vaccine) dan OPV (Oral Polio Vaccine) (Ismail, 2014). Keuntungan IPV adalah ini
merupakan virus yang telah dimatikan dan tidak dapat bereplikasi lagi. Vaksin ini aman
dan tidak menimbulkan kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi orang yang
mengalami defisiensi imun. Tetapi kelemahannya vaksin ini harus disuntikan dan
kurangnya merangsang timbulnya antibodi IgA di usus, sehingga tidak menghambat
perlekatan, replikasi virus liar dan menghentikan transmisi virus tersebut. OPV merupakan
pilihan karena dapat menimbulkan antibodi yang tinggi dan dengan harga yang relatif
murah dan pemberian yang mudah, yaitu melalui oral (Soegijanto, 2016).
Vaksin Polio merupakan salah satu vaksin yang menggunakan HDC yang dikultur
dari sel janin abortus, hal ini bertentangan dengan beberapa agama seperti Islam, Hindu,
Protestan, dan Saksi Jehovah. Ini juga bermasalah dengan kode etik kedokteran, yaitu
autonomi dan non-maleficence. Dengan autonomi dari orang tua anak mengatakan “anak
kami, pilihan kami” dan non-maleficence dari tenaga kerja yang berkewajiban untuk
mencegah kerugian bagi masyarakat luas (Hussain, Ali, Ahmed, & Hussain, 2018).
Pertentangan itu yang menyebabkan beberapa golongan masyarakat memilih untuk
tidak memberikan vaksin kepada anaknya. Informasi dan pengetahuan HDC yang beredar
di masyarakat mempunyai peran besar atas munculnya golongan orang yang memilih untuk
tidak memberikan vaksin (Ismail, 2014). Salah satu permasalahan yang dihadapi umat
muslim dalam era modern ini adalah mengenai penggunaan beberapa substansi haram yang
beredar di masyarakat. Masalah utama yang dihadapi sekarang adalah penggunaan
substansi haram yang berada dalam bidang kesehatan, yaitu vaksin. Banyak ulama yang
berbeda pendapat mengenai penggunaan substansi ini dalam hal kesehatan, ini juga yang
membuat masyarakat ragu dalam penggunaan vaksin (Pratiwi, 2020). Sebagai calon tenaga
medis yang akan bertemu dengan masyarakat harus lebih mengerti mengenai pengguanan
substansi-substani ini agar dapat menjelaskan kepada masyarakat kelak.
Permasalahan yang hadir di masyarakat adalah penggunaan bahan dasar dari vaksin.
Bahan dasar yang dignakan adalah Human Diploid Cell. Bahan ini berasal dari sel yang
diambil dari janin yang diaborsi (Hasan & Aliah, 2008). Dengan semakin mudahnya
mencari pengetahuan mengenai hal-hal dalam kesehatan dan mudahnya menyebarkan
informasi di era ini, munculah orang-orang yang tidak setuju dengan vaksin tersebut dan
timbulah gerakan yang bernama antivaksin (Dhona, 2020). Dengan tersebarnya berita
tersebut ada beberapa ulama yang mengharamkan pengguaan vaksin dan ada beberapa
yang tidak. Sebagai mahasiswa kedokteran yang kelak akan bekerja ditengah masyarakat
harus memhami dan memiliki pengetahuan yang sesuai dengan kompetensinya untuk
menjawab kontroversi yang beredar mengenai vaksin Polio dan meluruskan pandangan
negatif masyarakat mengenai vaksin tersebut (Indonesia, 2018). Dengan demikian,