Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1533 http://sosains.greenvest.co.id
KEWENANGAN PENGATURAN DAN PENGAWASAN PERBANKAN
DALAM AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN
PERPAJAKAN OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Lisa Novita Sirait
Universitas Indonesia
Diterima:
02 November
2021
Direvisi:
08 November
2021
Disetujui:
15 Desember
2021
Abstrak
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan (Perpu Nomor 1 Tahun 2017) yang
lebih lanjut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-
Undang, memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk
kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas
lain. Untuk menjalankan kewenangan tersebut sesuai amanat
Perpu Nomor 1 Tahun 2017 untuk ditetapkannya petunjuk
teknis, kepada Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang oleh
Peraturan Menteri Keuangan untuk membuat pengaturan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan penyampaian akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan tersebut. Penulisan ini
dimaksudkan sebagai tinjauan yuridis kewenangan pengaturan
dan pengawasan tersebut khususnya terhadap sektor perbankan,
mengingat pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
sektor perbankan adalah tugas dan kewenangan Otoritas Jasa
Keuangan.
Kata kunci: Perbankan, Informasi Keuangan, Perpajakan
Abstract
Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2017
concerning Access to Financial Information for Tax Purposes
(Perpu Number 1 of 2017) which was further ratified into Law
Number 9 of 2017 concerning Stipulation of Government
Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2017 concerning Access
Financial Information for Tax Purposes Becomes Law,
authorizes the Director General of Taxes to obtain access to
financial information for tax purposes from financial service
institutions that carry out activities in the banking sector, capital
market, insurance, other financial service institutions, and/or
other entities . To carry out this authority in accordance with the
mandate of Perpu Number 1 of 2017 for the stipulation of
technical instructions, the Director General of Taxes is
authorized by a Regulation of the Minister of Finance to make
arrangements and supervision of the implementation of the
delivery of access to financial information for tax purposes. This
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
dalam Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan Oleh Direktorat Jenderal Pajak
2021
Lisa Novita Sirait 1534
writing is intended as a juridical review of the regulatory and
supervisory authority, especially for the banking sector,
considering that the regulation and supervision of financial
service activities in the banking sector is the duty and authority
of the Financial Services Authority.
Keywords: Banking, Financial Information, Taxation
Pendahuluan
Pajak memiliki peran sangat penting dalam perekonomian negara, yaitu sebagai
salah satu sumber pendapatan negara disamping Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dan hibah (Kurniasih, 2016). Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dalam rangka mewujudkan tujuan negara
yaitu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia sesuai cita-cita sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(Kurniawan, 2016).
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti yang
dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945, negara diberikan hak untuk memungut pajak
dari wajib pajak yaitu orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Sarunan, 2016).
Menurut Rochmat Soemitro sebagaimana dikutip oleh Oyok Abuyamin
berpendapat bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra
prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak menjadi salah satu
sumber penerimaan negara yang dapat dipaksakan dan digunakan untuk melaksanakan
pembangunan bagi seluruh masyarakat dan menjadi salah satu kewajiban yang
penagihannya dapat dipaksakan (Kamaroellah, 2017).
Melalui perangkat hukum yang ada, negara mengatur hak dan kewajiban orang
pribadi dan badan sebagai wajib pajak (Sundari, 2019). Di dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), selain mengatur hak
dan kewajiban wajib pajak, turut diatur pula sanksi terhadap penghindaran kewajiban
pembayaran pajak.
Pada pelaksanaannya, ketidaktaatan terhadap kewajiban pajak masih kerap terjadi.
Praktik penghindaran pajak juga menjadi permasalahan di berbagai negara internasional.
Setiap negara melakukan berbagai upaya untuk dapat mengatasi hal tersebut. Namun
kemudian permasalahannya adalah kesulitan tentang bagaimana mendapatkan informasi
dari negara lain karena keterbatasan yurisdiksi suatu negara.
Pada tanggal 19 April 2013 Menteri Keuangan G20 dan Gubernur Bank Sentral
mengesahkan Automatic Exchange of Information (AEOI) sebagai standar baru yang
dapat berlaku secara global. AEOI adalah sebuah sistem pertukaran informasi dari wajib
pajak antar negara yang berada di bawah suatu standar yang berlaku. Di bawah standar
yang berlaku, yurisdiksi suatu negara memperoleh informasi keuangan dari lembaga
keuangan mereka dan secara otomatis melakukan pertukaran informasi dengan yurisdiksi
lain secara tahunan.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1535 http://sosains.greenvest.co.id
Kemudian pada tahun 2015 Indonesia turut menandatangani Multilateral
Competent Authorities Agreement (MCAA) sebagai dasar pelaksanaan AEOI dengan
negara atau yuridiksi mitra demi memerangi penggelapan pajak dan meningkatkan
pendapatan melalui sektor pajak. Indonesia termasuk dalam lebih dari 100 negara yang
berkomitmen untuk mulai bertukar informasi. Melalui penerapan AEOI di Indonesia,
diharapkan akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia dalam memperoleh
informasi keuangan wajib pajak Indonesia yang masih menanamkan dananya di negara
atau yurisdiksi mitra (Salam, 2020).
Tindak lanjut dari tergabungnya Indonesia dalam AEOI, melalui Instruksi Presiden
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK)
Pemerintah kemudian menerbitkan AEOI untuk diratifikasi di Indonesia. Pada 8 Mei
2017 ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (Perpu Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan) yang lebih lanjut disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU Akses Informasi
Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan).
Adapun ruang lingkup UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan yaitu akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses
untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan
perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Berdasarkan Pasal 2 UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, negara memberikan kewenangan untuk mendapatkan informasi keuangan
untuk kepentingan perpajakan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan. Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi dari
lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya dan/ atau Entitas Lain Informasi keuangan
(Hanifah, 2020). Akses informasi diperoleh melalui penyampaian laporan yang berisi
informasi keuangan secara otomatis dan pemberian informasi dan/atau bukti atau
keterangan berdasarkan permintaan untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan Perjanjian Internasional.
Dengan adanya UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan,
Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (LJK Lainnya) dan/
atau Entitas Lain yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kustodian,
Lembaga Simpanan, Perusahaan Asuransi Tertentu dan/atau Entitas Investasi memiliki
kewajiban untuk menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan, melaksanakan
prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar dan memberikan informasi
berdasarkan permintaan dalam bidang perpajakan dan pelaksanaan Perjanjian
Internasional kepada Direktur Jenderal Pajak (Corneles, Kalangi, & Gamaliel, 2021).
Berdasarkan Pasal 9 Perpu Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan, diamanatkan secara langsung untuk diterbitkannya Peraturan Menteri
Keuangan dalam hal diperlukan sebagai petunjuk teknis akses dan pertukaran informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan. Melaksanakan amanat dari Perpu tersebut,
Menteri Keuangan kemudian menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
dalam Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan Oleh Direktorat Jenderal Pajak
2021
Lisa Novita Sirait 1536 1534
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (PMK Petunjuk Teknis
Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan). Dalam peraturan
tersebut terdapat ketentuan yang mengatur bagaimana LJK, LJK Lainnya dan/ atau
Entitas Lain melaporkan informasi keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak dan
bagaimana Direktur Jenderal Pajak mengawasi LJK, LJK Lainnya dan/ atau Entitas Lain.
Berdasarkan UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan,
Perbankan merupakan salah satu Lembaga Jasa Keuangan yang wajib menyampaikan
laporan informasi keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak (Santoso, 2020). Sementara
dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, negara memberikan kewajiban kepada bank untuk
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Rani, 2014).
Hal tersebut tentu bertentangan dengan apa yang diatur dalam UU Akses Informasi
Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai yaitu metode kualitatif dengan menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis
(historical approach) mengumpulkan data dan melakukan wawancara dengan beberapa
pegawai di Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan
masalah yang akan dibahas dan dengan pengumpulan data berbagai sumber kepustakaan
yang berkaitan dengan topik yang dibahas seperti peraturan perundang- undangan, buku
literatur, artikel, baik dalam bentuk cetak maupun elektronik, serta sumber lain.
Hasil dan Pembahasan
Berbicara mengenai kewenangan Jenderal Pajak dalam mengatur, mengawasi atau
memeriksa bank melaksanakan kewajiban penyampaian laporan keuangan untuk
kepentingan perpajakan, lebih dulu harus dipahami makna dari kata kewenangan”. Kata
kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang berdasar Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai
untuk melakukan sesuatu. Kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang
diberikan oleh Undang-Undang atau dari kekuasaan eksekutif administrasi (Agutina,
2018).
Philipus M. hadjon mengemukanan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga
sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan
melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-undang Dasar, kewenangan delegasi
dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan (Karuntu, 2017). Hal ini
selaras dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, bahwa kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi dan/atau Mandat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan perbedaan Atribusi Delegasi dan/atau Mandat adalah sebagai berikut:
a. Atribusi
Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
atau Undang-Undang. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Atribusi apabila: 1) diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang; 2) merupakan Wewenang
baru atau sebelumnya tidak ada; dan 3) Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan. Tanggungjawab kewenangan berada pada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1537 http://sosains.greenvest.co.id
b. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Delegasi apabila: 1) diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; 2). ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan 3). merupakan Wewenang
pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada
penerima Delegasi.
c. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: 1) ditugaskan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan merupakan pelaksanaan
tugas rutin. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.
Menurut pendapat Ateng Syafrudin pengertian kewenangan dan wewenang
terdapat perbedaan, kewenangan (autority gezag) adalah kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang, sementara wewenang (competence
bevoegheid) hanya mengenai onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan
(Sihombing, S Sos, Harahap, & SH, 2021). Dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbe voegdheden)
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah bevoegheid wet kan worden
omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer”. Wewenang merupakan
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan serta penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik (Hsb, 2019). Secara yuridis
pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan peraturan perundang-undangan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Dengan demikian, dalam menjalankan
kewenangan dan dalam rangka melaksanakan tugas, terdapat pula wewenang-wewenang
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri Keuangan. Direktorat Jenderal Pajak dipimpin oleh Direktur Jenderal yang sesuai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan, disebut Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan di bidang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun
2020 tentang Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan
fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang pajak
b. pelaksanaan kebijakan di bidang pajak
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pajak
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
dalam Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan Oleh Direktorat Jenderal Pajak
2021
Lisa Novita Sirait 1538
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pajak
e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pajak;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri
Merujuk pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Direktorat Jenderal
Pajak dalam menjalankan tugasnya menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pajak, diberikan fungsi antara lain merumuskan kebijakan di bidang
pajak, melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pajak serta
melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan.
Dalam rangka menjamin ketersediaan akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan, UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memberikan
kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan,
pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau Entitas Lain yang
dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan
berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Ketentuan diatas memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari bank. Dan
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, Bank wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak yaitu:
a. laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi
keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap
rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib
dilaporkan; dan
b. laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, yang
dikelola oleh selama satu tahun kalender
Selain menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut,
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, Direktur Jenderal pajak juga berwenang meminta informasi dan/atau bukti
atau keterangan dari bank.
Maka dengan adanya UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan ini, bank memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan yang berisi
informasi keuangan, melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar
dan memberikan informasi berdasarkan permintaan dalam bidang perpajakan dan
pelaksanaan Perjanjian Internasional kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai mekanisme
yang diatur lebih lanjut.
Berbicara akses informasi keuangan, tentunya hal tersebut merupakan informasi
yang termasuk dalam kategori rahasia. Dalam ketentuan perbankan, pada Pasal 40 ayat
(1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan, negara memberikan kewajiban kepada bank untuk
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun
berdasarkan Pasal 2 ayat (8) Perpu Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan, dalam hal LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain terikat oleh kewajiban
merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban
merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Perpu Akses Informasi
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1539 http://sosains.greenvest.co.id 1534
Maka dapat disimpulkan bahwa, dalam rangka kepentingan perpajakan, UU Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan telah mengesampingkan ketentuan
kerahasiaan terkait informasi keuangan, sehingga dalam kepentingan perpajakan Bank
tetap wajib menyampaikan laporan baik laporan yang berisi informasi keuangan sesuai
standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang
perpajakan, juga laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 5 UU OJK, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan. Kemudian dalam Pasal 6 UU OJK, OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar
Modal; dan Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
Berdasarkan ketentuan UU OJK disimpulkan bahwa OJK berwenang mengatur dan
mengawasi Perbankan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. Namun
dalam UU OJK tersebut tidak diatur mengenai batasan definisi kegiatan jasa keuangan.
Namun dapat dipahami bahwa kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan yang
dimaksud adalah kegiatan usaha dan jasa layanan yang diberikan oleh bank kepada
masyarakat. Sehingga kewajiban bank dalam pemberian akses informasi keuangan untuk
kepentingan perpajakan, bukan merupakan bagian kewenangan pengaturan dan
pengawasan oleh OJK.
Dengan demikian wewenang DJP mengatur dan mengawasi bank dalam
melaksanakan kewajiban akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan
sebagaimana diatur dalam PMK Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan yang
diberikan oleh UU Akses Informasi Keuangan Untuk Kentingan Perpajakan. Dan
ketentuan kewenangan OJK dalam UU OJK bukan meniadakan keberlakukan PMK
Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
yang lebih rendah.
Asas lex superior derogat legi inferiori bermakna bahwa undang-undang (norma
atau aturan hukum) lebih tinggi meniadakan keberlakuan undang-undang (norma atau
aturan hukum) lebih rendah. Suatu norma termasuk ke dalam sistem norma atau tatanan
normatif tertentu, dapat diuji hanya dengan mengkonfirmasikan bahwa norma tersebut
memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut
(Khoirunnisa, 2021). Karena kewengan mengatur dan mengawasi pelaksanaan pemberian
akses informasi untuk kepentingan perpajakan didasari oleh UU Akses Informasi
Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, dan norma tersebut tidak didasari oleh kegiatan
layanan jasa keuangan maka ruang lingkup yang diatur bukan bagian dari tugas, fungsi
dan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan
Pasal 9 UU OJK.
Dalam menyampaikan laporan informasi keuangan, sesuai Pasal 3 UU Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, Bank menyampaikan laporan
dengan mekanisme elektronik melalui OJK paling lama 60 (enam puluh) hari sebelum
batas waktu berakhirnya periode pertukaran. Berdasarkan Amanah tersebut, untuk
mendukung kewajiban penyampaian informasi keuangan berdasarkan perjanjian
internasional, kemudian ditetapkan Peraturan OJK Nomor 25/POJK.03/2019 tentang
Pelaporan Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra. Demikian halnya apabila pengaturan mekanisme penyampaian laporan
diubah, tetap melibatkan OJK. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PMK bahwa dalam hal
Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
dalam Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan Oleh Direktorat Jenderal Pajak
2021
Lisa Novita Sirait 1540
terdapat perubahan mekanisme pelaporan, Menteri Keuangan dapat menentukan
mekanisme lain setelah mendapat pertimbangan Ketua Dewan Komisioner OJK.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (7) Peraturan OJK Nomor 25/POJK.03/2019, bank yang
melangggar kewajiban penyampaian laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis. Sehingga dalam pelaksaan penyampaian laporan dari bank untuk akses
informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional untuk kepentingan perpajakan
tetap melibatkan OJK, khusunya dalam pengaturan teknis penyampaian informasi melalui
OJK dan pengawasan dalam hal bank tidak melaksanakan kewajiban penyampaian
informasi tersebut kepada OJK.
Kesimpulan
OJK berwenang melaksanakan pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. Namun dalam hal khusus mengenai Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan berlaku asas lex spesialis derogate
legi generalis. Sesuai ketentuan dalam UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, kewajiban menyampaikan informasi keuangan adalah dalam rangka
kepentingan perpajakan.
Berdasarkan tinjauan yuridis tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesuai UU Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak memiliki
kewenangan untuk mendapatkan informasi keuangan dari perbankan untuk kepentingan
perpajakan. Untuk menjalankan kewenangan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan yaitu mengatur ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara permintaan informasi dan/atau keterangan secara elektronik dan tata
cara pemberian informasi dan/atau bukti keterangan secara elektronik sebagai pengaturan
dalam tataran teknis dan melakukan pengawasan yaitu meminta klarifikasi, menerbitkan
teguran tertulis, dan melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap bank.
Bibliografi.
Agutina, Enny. (2018). Kewenangan Wakil Menteri di Indonesia Ditinjau dari Hukum
Administrasi Negara. Jurnal Hukum Media Bhakti.
Corneles, Semuel Hendry, Kalangi, Lintje, & Gamaliel, Hendrik. (2021). Implementasi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan Dan Implikasinya Pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Jurnal Riset Akuntansi Dan Auditing" Goodwill", 12(2), 276288.
Hanifah, Ifat. (2020). Analisi Surgensi Perppu Nomor 1 Tahun 2107 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Jurnal Abdimas Bina Bangsa,
1(1), 1525.
Hsb, Ali Marwan. (2019). Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Kamaroellah, R. Agoes. (2017). Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Berdasarkan Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Pamekasan. IQTISHADIA: Jurnal Ekonomi Dan
Perbankan Syariah, 4(1), 82103.
Karuntu, Megga Marcelia Fictoria. (2017). Tugas Dan Fungsi Kepala Kecamatan Selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Lex Administratum, 5(2).
Khoirunnisa, Ira. (2021). Kedudukan Omnibus Law Dalam Politik Legislasi Di Indonesia.
Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Kurniasih, Dwi Agustine. (2016). Pembaharuan pengelolaan penerimaan negara bukan
Volume 1, Nomor 11, November 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
1541 http://sosains.greenvest.co.id
pajak. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 5(2), 213228.
Kurniawan, Ferry. (2016). Kedudukan Dan Tanggungjawab Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta (Studi Perbandingan Menurut UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 13 Tahun 2012). Universitas Islam Indonesia.
Rani, Marnia. (2014). Perlindungan Otoritas Jasa keuangan Terhadap kerahasiaan dan
keamanan data pribadi Nasabah Bank. Jurnal Selat, 2(1), 168181.
Salam, Risma Damayanti. (2020). Efektivitas Pertukaran Informasi Secara Otomatis
Dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak. makassar: Universitas Hasanuddin.
Santoso, Belinda Carissa. (2020). Akibat Adanya Keterbukaan Informasi Pajak Pasca
Dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan
Untuk Kepentingan Perpajakan. Mimbar Keadilan Volume 13 Nomor 1 Februari
2020Juli 2020, 12.
Sarunan, Widya K. (2016). Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasif Perpajakan
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 3(4).
Sihombing, Edi Epron, S Sos, M. A. P., Harahap, Zulham Effendy, & SH, M. H. (2021).
Implementasi Tugas Dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota
Padangsidimpuan Pada Pemilukada Tahun 2018. Jurnal LPPM, 11(4), 1018.
Sundari, S. R. I. (2019). Pengaruh Persepsi Kegunaan, Persepsi Kemudahan, Kemanan
Dan Kerahasiaan Terhadap Minat Wajib Pajak Dalam Penggunaan E-Filling
Dengan Teknologi Informasi Sebagai Variabel Moderasi (Studi Pada Wajib Pajak
Orang Pribadi Se-Eks Karisidenan Pati). UMK.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.