Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 13
PEMBUNUHAN BERENCANA ANTASARI AZHAR KEPADA
NASRUDIN ZULKARNAIN
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam, Indonesia
E-mail: fajrih[email protected] dan rizkynurfajar[email protected]
Diterima:
25 Desember
2021
Direvisi:
09 Januari 2022
Disetujui:
15 Januari 2022
Abstrak
Latar Belakang :
Tindak pidana pembunuhan berencana
merupakan tindak pidana pembunuhan yang didahului oleh
rencana pembunuhan terlebih dahulu. Namun, pengertian dan
syarat unsur berencana dalam tindak pidana pembunuhan
berencana tidak dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Tujuan :
Keadaan demikian
menjadikan pengertian dan syarat unsur berencana
mengalami dinamika. Pada konteks ini, dibutuhkan kepekaan
hakim dalam menganalisis, mempertimbangkan, dan
memutus perkara tindak pidana pembunuhan berencana,
sebagaimana dalam Putusan Nomor 201/ Pid.B /2011 / PN.
Mrs. Apakah pertimbangan hakim yang menyatakan
terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan berencana
karena telah mempersiapkan diri dan pisau untuk membunuh
“korban” telah tepat, meskipun yang dibunuh adalah orang
lain.
Metode :
Metode yang digunakan untuk menganalisis
putusan tersebut adalah yuridis normatif dengan dua
pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Hasil :
Hakim menggunakan istilah persiapan dalam
mempertimbangkan unsur rencana kurang tepat. Demikian
juga pertimbangan unsur berencana yang hanya berfokus pada
syarat adanya pemutusan kehendak dengan tenang, dan
adanya jarak waktu tertentu adalah kurang lengkap.
Seharusnya dilengkapi dengan pelaksanaan rencana dengan
tenang.
Kesimpulan :
Berdasarkan penjelasan dan
argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa
dan memutus permohonan pengujian (constitutional review)
ketentuan Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat
memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Kata kunci: Pembunuhan berencana
, pidana,
komisi
pemberantasan korupsi, bebas bersyarat
Abstract
Background :
The crime of premeditated murder is a crime of
murder preceded by a premeditated murder. However, the
definition and requirements of the element of planning in the
crime of premeditated murder are not formulated in the
Criminal Code (KUHP).
Purpose :
This situation makes the
understanding and requirements for planning elements
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 14
experience dynamics. In this context, judges' sensitivity is
needed in analyzing, considering, and deciding cases of
premeditated murder, as stated in Decision Number
201/Pid.B/2011/PN. Mrs. Was the judge's consideration that
the defendant committed the crime of premeditated murder
because he had prepared himself and the knife to kill the
"victim" was correct, even though it was someone else who
was killed.
Method:
The method used to analyze the decision
is normative juridical with two approaches, namely the
statutory approach and the conceptual approach.
Results :
The judge used the term preparation in considering the
elements of the plan that were not appropriate. Likewise, the
consideration of planning elements which only focuses on the
condition that there is a calm severance of the will, and the
existence of a certain time interval is incomplete. It should be
complemented by the quiet execution of the plan
. Conclusion :
Based on the explanations and arguments above, the
Government requests that the Chair/Massile of Judges of the
Constitutional Court who examines and decides on the
application for a constitutional review of the provisions of
Article 268 paragraph (3) of the Criminal Procedure Code
against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia,
can give a decision the wise and fair (ex aequo et bono)
.
Keywords: Premeditated murder
, criminal,
Corruption
Eradication Commission, parole
Pendahuluan
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat padat ditambah dengan jumlah
pengangguran yang sangat banyak, sulitnya mencari pekerjaan serta persaingan yang
sangat ketat merupakan suatu kombinasi yang tepat dalam menciptakan kondisi yang
memunculkan potensi kejahatan yang kemudian akan menjadi tindak kejahatan atau
kriminalitas (Maramis, 2015). Dengan munculnya kriminalitas maka bertambahlah
masalah yang harus dihadapi. Kriminalitas adalah tindakan melawan hukum yang
nampaknya di masyarakat kita sekarang ini sudah menjadi suatu hal yang tidak ditabukan
lagi dan biasa, hal ini dapat kita lihat dengan makin banyaknya berita-berita tentang
kriminalitas di berbagai media, bahkan sampai membuat media-media tersebut
memberikan tempat tersendiri terhadap berita berita tentang kriminalitas (Lubis, 2018).
Tindak pidana pembunuhan memiliki beberapa bentuk atau kualifikasi (penamaan),
di antaranya adalah tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana pembunuhan berencana
(Iriyanto, 2021). Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP, yaitu:
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan tindak pidana pembunuhan
berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yaitu: “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
15 http://sosains.greenvest.co.id
Sebagai contoh kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT. Putra
Rajawali Banjaran yang melibatkan Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai tersangkanya. Sementara itu, pemicu awalnya adalah hubungan
khusus Antasari Azhar dengan sang caddy. Rani Juliani, yang dinikahi siri oleh Nasrudin
diantaranya ada yang sanksi kasus ini murni kriminal karena kejadiannya bersamaan
dengan upaya DPR untuk mengurangi kewenangan KPK. Selain itu, rivalitas antara KPK
dan Kejaksaan Agung juga membuat asumsi kepada masyarakat dan mencurigai ada apa di
balik kasus ini.
Kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, dalam
pembunuhan Nasrudin merupakan salah satu contoh betapa perbuatan kejahatan-kejahatan
pembunuhan Nasrudin dapat dibungkus seolah-olah upaya penegakan hukum sedang
dilakukan. Ada tim khusus dibentuk untuk menangani Nasrudin dengan dalih kepentingan
negara. Bahkan, para tersangka eksekutor pembunuhan Nasrudin diberi tahu sedang
bertugas demi kepentingan negara. Kasus pidana yang melibatkan mantan Ketua KPK
Antasari Azhar terus menjadi topik pembicaraan paling hangat pada saat itu di media
massa. Tidak tanggung-tanggung, walaupun diliputi perasaan setengah tidak percaya, kali
ini aparat kepolisian membidiknya sebagai dalang atau aktor intelektual pembunuhan
berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen. Motif peristiwa pembunuhan itu diduga terkait
dengan kisah asmara terlarang Antasari Azhar dengan kekasih korban. Rekaman berisi
adegan cinta terlarang ini kabarnya dijadikan sebagai senjata oleh korban untuk memeras,
memperalat, maupun mengancam Antasari Azhar apabila tidak menuruti kemauannya.
Antasari Azhar yang geram, mengirimkan sms berisi ancaman pembunuhan, untuk
merealisasikan ancaman itu dibujuklah Sigid Haryo Wibisono (SHW) dan Kombes
Wiliardi Wizar (WW). Sebagai eksekutor di lapangan, Edo menunjuk Heri dan Danial.
Kini, tindak pidana itu masih terus disidik kepolisian KUHP memberikan setidak-
tidaknya ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati bagi pelaku pembunuhan
berencana. Antasari Azhar, seorang mantan ketua KPK divonis selama 18 tahun lantaran
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT.
Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009. Kasus ini sempat
menimbulkan kehebohan karena Antasari adalah pimpinan lembaga yang sedang dinanti-
nantikan kinerjanya, dan ada pula dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari.
Ini terjadi karena memang saat menjabat ketua KPK, Antasari dikenal cukup berani untuk
menindak siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank
Century dan IT KPU yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya.
Kasus ini bahkan dibukukan dalam Konspirasi Antasari, Tim MedPress, 2012.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang
Grasi, dijelaskan bahwa Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden. Grasi dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dengan kualifikasi putusan pemidanaan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Permohonan grasi tidak
menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan
pidana mati. Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan
terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh
Presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana
atau penghapusan pelaksanaan pidana.
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 16
Metode Penelitian
Penelitian-penelitian Yuridis Normatif adalah Metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Soerdjono dan
Sri, 1994, Roni, 1994, Amirudin dan Zainal, 2004 Penelitian ini merupakan Penelitian
Yuridis Normatif tentang persoalan-persoalan yang menyangkut tentang sinkronisasi
Peraturan Daerah dengan hak asasi manusia. Metode analisis data dilakukan dengan
menghimpun data melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, baik berupa
dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan
dengan analisis yuridis normatif terhadap sinkronisasi Perda dengan hak asasi manusia.
Untuk menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul, dalam penelitian ini menggunakan
metode analisis data kualitatif yaitu yuridis normatif yang disajikan secara deskriptif, yakni
dengan menggambarkan suatu kebijakan yang terkait dengan sinkronisasi Peraturan
Daerah (Perda) dengan hak asasi manusia yang menghubungkan untuk memperbaiki
kinerja sistem hukum di Indonesia dan selanjutnya dilakukan pengkajian apakah
aplikasinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan normatifnya (Siregar, 2016).
Untuk akhir ini mengangkat permasalahan terkait adanya upaya Antasari Azhar
untuk mengajukan pengujian materil terhadap Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981, yang mana kemudian melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
34/PUU-XII/2013, Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa terhadap pasal
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga berdampak pada tidak
terdapatnya pembatasan terhadap upaya hukum peninjauan kembali. Permasalahan yang
muncul akibat Putusan Mahkamah Konstitusi kemudian adalah mengenai tuntutan
mekanisme pembatasan peninjauan kembali, agar terwujudnya suatu peradilan yang
menjungjung tinggi nilai keadian dan kepastian. Permasalahan kedua yang mengemuka
adalah dampak bagi Antasari Azhar untuk dapat mengajukan peninjauan kembali untuk
kedua kalinya paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XII/2013. Metode
yang digunakan dalam menganalisa dan meneliti studi kasus ini adalah melalui penelitian
yuridis normatif dengan data utama berupa data sekunder berupa studi kepustakaan. Disatu
sisi, penelitian dilakukan pula dengan metode wawancara untuk memperoleh data primer
dan selanjutnya dianalisis dengan metode yuridis kualitatif. Hasil penelitian diperoleh
dalam penyusunan studi kasus ini menunjukan bahwa pembatasan peninjauan kembali
dapat dilakukan dengan meninjau dari alasan materil peninjauan kembali, yaitu bahwa
syarat materil yang diajukan untuk kedua kalinya harus memiliki perbedaan dengan syarat
materil pada peninjauan kembali yang kedua, sehingga pada akhirnya upaya peninjauan
kembali yang kedua akan dilakukan secara selektif dan peninjauan kembali akan terbatasi
secara sendirinya. Pada akhirnya, peninjauan kembali secara ideal hanya dapat dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali. Selanjutnya, dampak putusan Mahkamah Konstitusi terhadap upaya
hukum yang dilakukan oleh Antasari Azhar adalah dimungkinkannya Antasari Azhar untuk
dapat mengajukan peninjauan kembali kedua kalinya namun dengan syarat bahwa Antasari
Azhar harus memenuhi syarat formil sebagaimana peninjauan kembali yang pertama
namun harus mengajukan syarat materil peninjauan kembali yang berbeda dari sebelumnya
.
Hasil dan Pembahasan
Terpidana kasus pembunuhan Antasari Azhar akan bebas bersyarat, Kamis
(10/11/2016). Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu akan bebas dari Lapas
Tangerang setelah menjalani dua pertiga masa pidana. Pada tahun 2009, Antasari Azhar
divonis 18 tahun penjara atas pembunuhan bos PT. Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
17 http://sosains.greenvest.co.id
Zulkarnain. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga
peninjauan kembali, Antasari dinyatakan bersalah. Berikut perjalanan kasus Antasari :
1. 14 Maret 2009, Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen tewas
ditembak di dalam mobil sedan dengan nomor polisi B 191 E seusai bermain golf
di Padang Golf Modernland, Tanggerang.
2. 4 Mei 2009, Antasari ditetapkan tersangka oleh polisi setelah penyidik memeriksa
para tersangka. Penetapan tersangka Antasari disampaikan Kapolda Metro Jaya
yang saat itu dijabat Irjen Pol Wahyono. Menurut polisi, pembunuhan Nasrudin
bermula dari terkuaknya pertemuan antara Antasari dan seorang caddy golf
bernama Rani Juliani di Kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.
Pembunuhan Nasrudin Nasrudin ditembak di kepala usai bermain golf di Tangerang,
Banten, pada 14 Maret 2009. Ketika mobil yang ia tumpangi bergerak lambat di tepian
danau di dekat lapangan golf, tiba-tiba dua pria dengan sepeda motor muncul dari arah
belakang kiri mobil. Salah satu pria kemudian mengeluarkan senjarta api laras pendek dan
menambak Nasrudin sebanyak dua kali. Peluru bersarang di pelipis kiri korban. Sempat
kritis, Nasrudin yang dilarikan ke Rumah Sakit Mayapada kemudian mengembuskan nafas
terakhirnya pada Minggu (15/3/2009).
Para tersangka itu antara lain Daniel (D) sang eksekutor, Edo (E) sebagai pemberi
order, Henrikus Kia Walen (H) sebagai penerima order, Heri Santoso (HS) sebagai
pengendara motor, A dan C sebagai pemantau lapangan saat eksekusi, AM sebagai
pemantau kebiasaan korban, Wiliardi Wizard (WW) dan Jerry Kusuma (JK) sebagai
penghubung, dan Sigid Haryo Wibisono (SHW) sebagai penyandang dana. Antasari pun
dijerat dengan pasal 340 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati. Pada 19 Januari
2010, Antasari dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum yang dipimpin Cirus
Sinaga. Majelis Hakim PN Jaksel yang dipimpin Herry Swantoro pada akhirnya memvonis
Antasari dengan hukuman penjara selama 18 tahun pada Januari 2010.
Pada tanggal 16 November 2016, Antasari mendapatkan pembebasan bersyarat. Saat
itu ia sudah menjalani hukuman badan secara keseluruhan selama tujuh tahun dan enam
bulan, sementara remisi yang ia dapatkan setiap tahun total berjumlah empat tahun dan
enam bulan. Dengan penghitungan seperti itu, ia sudah menjalani hukuman 12 tahun, yang
sudah dua pertiga dari vonisnya, 18 tahun.Pembebasan bersyarat hanya bisa diberikan
apabila seorang terpidana sudah menjalani hukuman sebanyak dua pertiga dari vonisnya.
Saat pembebasan bersyarat itu Antasari sempat menyatakan tidak akan membongkar
'rekayasa' kasus pembunuhan yang membuatnya divonis penjara 18 tahun. (bbc) Antasari
terus mengajukan berbagai upaya hukum demi dibebaskan meski banding, kasasi, hingga
peninjauan kembali (PK) telah ditolak. Pada Selasa (28/4/2015), tim kuasa hukum Antasari
mengajukan permohonan grasi ke Presiden Joko Widodo. Upaya tersebut didukung oleh
keluarga Nasrudin. Akhirnya, Antasari, diputuskan bebas bersyarat pada 10 November
2016 setelah melewati dua pertiga masa pidana. Dia bebas murni pada 2017 setelah
Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan grasinya.
Putusan Nomor
21/PUU-XI/2013 Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia. (putusan mk)
1.1. Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang diajukan oleh:
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 18
1.2. Nama : Andi Syamsuddin Iskandar, S.H. Tempat tanggal lahir : Makassar, 28 Agustus
1969 Pekerjaan : Wiraswasta Warga Negara : Indonesia Alamat : Taman Villa Madani Blok
B 14 RT.06/RW.14, Kelurahan Gunung Sari, Kecamatan Rappocini, Makassar Sebagai
Pemohon I; Nama : Andi Nani Andriani, S.Pd Tempat tanggal lahir : Pali, 22 Desember
1974 Pekerjaan : Swasta Warga Negara : Indonesia Alamat : Komplek Tabaria Jalan Daeng
Tata I Blok A3 Nomor 12 Makassar Sebagai Pemohon II, Nama : Boyamin Tempat tanggal
lahir : Ponorogo, 20 Juli 1968 Pekerjaan : Swasta Warga Negara : Indonesia 2 Alamat :
Jalan Jamsaren Nomor 60 Serengan, Surakarta Sebagai Pemohon III.
2. Duduk Perkara
2.1 Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan
bertanggal 1 Februari 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 1 Februari 2013, berdasarkan
Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 61/PAN.MK/2013 dan diregistrasi dengan
Nomor 21/PUU-XI/2013 pada tanggal 11 Februari 2013, yang telah diperbaiki dengan
permohonan bertanggal 20 Maret 2013 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 20 Maret 2013, yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:
I. Pokok Perkara
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur upaya hukum
Peninjauan Kembali hanya oleh terpidana atau ahli warisnya dan Peninjauan Kembali (PK)
hanya diajukan 1 (satu) kali terhadap UUD 1945 (Setiap orang berhak memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya) . Sehingga dengan uji materi ini akan diperoleh upaya hukum Peninjauan
Kembali (PK) dalam perkara pidana dapat diajukan korban atau ahli warisnya dan
Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali.
II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP (bukti P.3) terhadap UUD 1945 adalah :
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
“menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
3. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
PerUndang-Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara hierarkis
kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu,
setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
19 http://sosains.greenvest.co.id
(constitutie is de hoogste wet). Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang
yang bertentangan dengan UUD 1945 maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.
4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah
Konstitusi benwenang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-
Undang dalam perkara ini.
III. Kedudukan Pemohon (Legal Standing) Dan Kerugian Pemohon (Legal Standing)
1. Bahwa menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan, pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya diinginkan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu: a. Perorangan warga negara Indonesia; b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga
negara, yang telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal
1 angka 12, Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 268 ayat (3) UndangUndang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2. Agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah :
a. Menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya yaitu apakah sebagai
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, 5 badan
hukum atau lembaga negara.
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf (a) sebagai akibat diberlakukannya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
3. Atas dasar ketentuan tersebut pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan
kualifikasinya.Hak Konstitusi yang ada pada pemohon, beserta kerugian spesifik
yaitu :
a. Bahwa para pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh
berlakunya dalam hal ini Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 268 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
b. Bahwa pemohon I dan pemohon II (vide bukti P.14) adalah adik kandung dari
Alm. Andi Nasrudin Zulkarnaen yang menjadi korban pembunuhan di sekitar
lapangan golf Modernland Tangerang dimana proses hukum pidana telah
menyeret Antasari Azharsebagai pelaku yang terlibat pembunuhan, namun
pemohon I tidak percaya dengan alasan penanganan perkara penuh rekayasa
dan konspirasi tingkat tinggi sehingga selalu berupaya mencari keadilan
termasuk mengajukan pengujian Undang-Undang perkara a quo.
c. Bahwa pemohon III adalah salah satu Anggota Tim Advokasi keluarga Alm.
Andi Nasrudin Zulkarnaen yang sejak awal sampai dengan sekarang selalu
mendampingi Keluarga Alm. Andi Nasrudin Zulkarnaen dalam upaya mencari
keadilan.
4. Bahwa para pemohon berkehendak untuk membantu penegakan hukum dalam
rangka mencari pelaku sesungguhnya yang telah membunuh Alm. Andi Nasrudin
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 20
Zulkarnaen dan membantu Antasari Azhar mendapatkan keadilan yang
sesungguhnya.
5. Bahwa Antasari Azhar telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)
berdasar alasan dan bukti yang cukup kuat serta didukung oleh sebagian besar
tokoh dan masyarakat Indonesia namun tetap ditolak oleh MA.
6. Bahwa Antasari Azhar telah melakukan upaya membongkar rekayasa teknologi
dengan melaporkan keberadaan SMS gelap dan misterius kepada Mabes Polri dan
diberi janji laporan ini akan ditindaklanjuti, namun sampai saat ini laporan dan janji
tersebut tidak terealisasi (pemberitaan media telah menjadi bukti umum).
7. Bahwa Antasari Azhar telah melaporkan dugaan rekayasa dan konspirasi kasus
yang menimpa dirinya kepada Komisi Yudisial dimana KY telah menemukan
kejanggalan dan pelanggaran etik hakim serta membuat rekomendasi sanksi
kepada Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun Mahkamah Agung
mengabaikannya (pemberitaan media massa telah menjadi bukti umum).
8. Bahwa terhadap sikap MA yang mengabaikan rekomendasi KY telah mendapat
kecaman dan kritikan dari berbagai pihak termasuk mantan Ketua MK Jimly
Asshiddiqie (pemberitaan media masa telah menjadi bukti umum).
9. Bahwa segala upaya yang ditempuh Antasari Azhar untuk melakukan pembelaan
diri belum memperoleh hasil, maka menjadi hak dan kewajiban para pemohon
untuk mengajukan Pengujian Undang-Undang dalam perkara.
10. Bahwa perkara Antasari Azhar belum memanfaatkan secara maksimal ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya tes DNA, ilmu balistik dan tes kebohongan
sehingga memungkinkan ditemukan kebenaran apabila betul-betul memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi di waktu yang akan datang.
11. Bahwa setiap kejahatan akan memberikan pintu kebenarannya secara tidak terduga
misalnya pelaku pembunuh yang sebenarnya akan memberikan pengakuan
dikemudian hari sebagai bentuk penyesalan dan penebusan dosa, sehingga hukum
harus tetap memberikan pintunya untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Kerugian Pemohon
1. Bahwa proses persidangan atas terbunuhnya Alm. Andi Nasrudin Zulkarnaen
belum sepenuhnya memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi terkait
keberadaan SMS ancaman pembunuhan, ilmu balistik peluru dan senjata tajam
yang digunakan untuk menembak dan keberadaan barang bukti yang mengandung
darah korban. Proses persidangan yang belum maksimal memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadikan keraguan terhadap keterlibatan Antasari
Azhar, sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya termasuk para pemohon
belum terpenuhi.
2. Bahwa rasa keadilan telah tereliminir oleh ketentuan yang membatasi pengajuan
Peninjauan Kembali untuk kedua kalinya sebagaimana diatur dalam ketentuan
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji sehingga pemohon tidak dapat
memperjuangkan hak keadilan di depan hukum sebagai warga negara Indonesia
(vide Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945).
IV. Tidak Nebis In Idem
1. Bahwa Bahwa Pengujian Undang Undang ini berbeda dengan Putusan MK Nomor
16/PUU-VIII/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 dimana pengujian Judicial
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
21 http://sosains.greenvest.co.id
Review ditolak karena tidak mendasarkan batu uji Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945, dimana materi pokoknya berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Permohonan yang diajukan
ini mendalilkan pada batu uji Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, sehingga
tidak nebis in idem.
2. Bahwa Pengujian ini bersifat konstitusional bersyarat, berbeda dengan pengujian
sebelumnya yang meminta pasal yang diuji bertentangan sepenuhnya dengan UUD
1945 sehingga pengajuan PUU sebelumnya adalah pasal-pasal yang diuji
sepenuhnya tidak mengikat tanpa syarat apapun.
3. Bahwa Pengujian Undang Undang ini berbeda dengan Putusan MK Nomor
16/PUU-Vlll/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 dimana pengujian Judicial
Review ditolak karena bersifat umum karena juga menguji UU Mahkamah Agung
dan UU Kekuasaan Kehakiman yang didalamnya termasuk Peninjauan Kembali
(PK) terhadap perkara perdata. Judicial review yang diajukan dalam perkara ini
khusus terhadap UU 8/1981 KUHAP yang menganut pembuktian materiil
sehingga untuk mendapatkkan kebenaran berdasarkan novum tidak boleh hanya
dibatasi satu kali pengajuannya. Peninjauan Kembali yang diatur dalam KUHAP
bersifat lex spesialis terhadap Peninjauan Kembali yang diatur UU MA dan UU
Kekuasaan Kehakiman.
V. Norma-Norma Yang Diajukan Untuk Diuji
1. Norma Materiil
a. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) berbunyi; “Terhadap putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
b. Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) berbunyi; “Permintaan
Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
2. Norma Undang Undang Dasar 1945 Yang Menjadi Penguji, Yaitu
a. Pasal 1 ayat (3) berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; Prinsip
negara hukum adalah semua berdasar hukum. hukum untuk mencapai keadilan,
sehingga semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat. Apabila
dihadapkan pilihan Keadilan dan Kepastian Hukum maka Keadilan haruslah yang
dipilih dan diutamakan. Dengan demikian upaya Peninjauan Kembali (PK) dalam
perkara pidana tidak dapat dibatasi hanya sekali saja dalam rangka mencari
keadilan hakiki bagi nasib seseorang untuk terhindar dari hukuman sanksi pidana
penjara atau hukuman mati apabila berdasar pembuktian materiil diketahui
kemudian hak tidak bersalah. Demikian juga keadilan dan kebenaran tidak hanya
semata-mata milik pihak yang disangka pelaku kejahatan apabila prosesnya tidak
benar, namun juga milik korban kejahatan untuk mendapatkan keadilan apabila
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 22
prosesnya tidak benar untuk memperjuangkan keadilan dengan cara diberi hak
untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
b. Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) berbunyi;
1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasamya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
2. Setiap orang beriiak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
c. Pasal 28D ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil seria periakuan yang sama di hadapan
hukum”. Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan kepastian hukum yang adil sehingga
kepastian hukum tanpa keadilan maka akan mencederai perlindungan, pemberian
jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hukum yang
hanya mengejar kepastian akan menjadi sia-sia apabila tidak memberikan keadilan,
hukum menjadi tidak berguna dan tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian Peninjauan Kembali (PK) dalam
perkara pidana apabila dibatasi hanya boleh sekali saja jelas-jelas bertentangan
dengan konstitusi. Demikian juga keadilan dan kebenaran tidak hanya semata-mata
milik pihak yang disangka pelaku kejahatan apabila prosesnya tidak benar, namun
juga milik korban kejahatan untuk mendapatkan keadilan apabila prosesnya tidak
benar untuk memperjuangkan keadilan dengan cara diberi hak untuk mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta periakuan yang sama di hadapan hukum.
2.2 Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat
bukti surat/tulisan bertanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17, bukti P-25 sampai dengan
bukti P-30 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Andi Syamsuddin
Iskandar.
2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Boyamin.
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
4. Bukti P-4 : Fotokopi berita di Suara Merdeka.Com, tanggal 30 Januari 2013
dengan judul “Polisi Kaji Motif Lain”.
5. Bukti P-5 : Fotokopi berita vivalog dengan judul “Keterkaitan Kapolri
Dalam Kasus Antasari.
6. Bukti P-6 : Fotokopi berita bisnis-jabar.com tanggal 31 Januari 2013 dengan
judul “Adik Korban: Otak pembunuhan Nasruddin bukan Antasari”.
7. Bukti P-7 :Fotokopi berita VIVAnew dengan judul “Adik Nasrudin Minta
Antasari Dibebaskan.
8. Bukti P-8 : Fotokopi berita detiknews dengan judul “Inilah Alasan MA
Menolak PK Antasari Azhar.
9. Bukti P-9 : Fotokopi berita okezonenews dengan judul “3 Hal yang Menolak
PK Antasari Tetap Ditolak.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
23 http://sosains.greenvest.co.id
10. Bukti P-10 : Fotokopi tulisan blog Fath 102 dengan judul “Aneh, Ajaib bin
Ngawur Rekayasa Kasus Antasari Ashar.
11. Bukti P-11 : Fotokopi berita metronew dengan judul “Banding Diterima,
Husni Mubarak Lakoni Sidang Ulang.
12. Bukti P-12 : Fotokopi berita republika online dengan judul “Persidangan
Husni Mibarak akan Diulang, Kenapa.
13. Bukti P-13 : Buku Novel Karya John Grisham “The Innocent Men.
14. Bukti P-14 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Andi Nani Andriani,
S.Pd.
15. Bukti P-15 : Fotokopi kutipan buku karya Robert Harris “IMPERIUM sebuah
Novel.
16. Bukti P-16 : Fotokopi kutipan buku karya M. Yahya Harahap
PEMBAHASAN 34 PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP
Pemeriksaan Sidang Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.
17. Bukti P-17 : Fotokopi kutipan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 1529/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Februari 2013.
18. Bukti P-25 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010,
tanggal 15 Desember 2010.
19. Bukti P-26 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010,
tanggal 28 Februari 2011.
20. Bukti 27 : Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
Peninjauan Kembali Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap,
tanggal 1 Desember 1980.
21. Bukti P-28 : Artikel Miftakhulhuda “Sengkon & Karta, Selanjutnya Apa ?
22. Bukti P-29 : Rahmad Gunarto, “Kumpulan Peradilan Sesat Yang Pernah
Terjadi” Minggu 11 Juli 2010.
23. Bukti P-30 : Berita DetikNews “PK Dikabulkan, Jonny Abba Tak Terlibat
Penyelundupan 30 Kontainer BB, Senin 17 Janurai 2012.
2.3 Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan
Rakyat pada sidang tanggal 15 Mei 2013 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan
tertulis tanpa tanggal bulan Juni 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 5
Juli 2013, yang pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:
I. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, DPR menyerahkan
sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian KUHAP, UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman
A. Terhadap Pengujian ketentuan Pasal 263 ayat (1) Hukum Acara Pidana pada
Perkara Nomor 21/PUU-XI/2013, DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam criminal justice system Kedudukan korban diwakili oleh
negara yaitu Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa seseorang atas
perbuatan pidana yang dilakukannya dalam proses persidangan
pengadilan.
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 24
2. Bahwa dalam sistem penegakan hukum pidana yang berlaku, tidak
dimungkinkan pihak korban kejahatan dapat memiliki (kedudukan hukum)
legal standing di pengadilan seperti halnya dalam perkara perdata atau tata
usaha negara. Namun demikian untuk kepentingan rasa keadilan pihak
korban kejahatan sebagai bagian dari masyarakat di wakili oleh Negara
yang dilaksanakan oleh penyidik (Kepolisian Republik Indonesia) dan
penuntut umum (Kejaksaan Republik Indonesia). Oleh karenanya dalam
penegakan hukum pidana bukan semata-mata untuk memberikan
perlindungan terhadap rasa keadilan dan kepentingan hukum korban
melainkan juga secara umum untuk memberikan perlindungan terhadap
rasa keadilan dan perlindungan hukum kepada masyarakat dari suatu
perbuatan tindak pidana.
3. Bahwa terkait dengan sistem penegakan hukum pidana yang berlaku
sebagaimana dijelaskan di atas, maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) Hukum
Acara Pidana telah secara terang dan jelas mengatur bahwa yang memiliki
kepentingan hukum untuk mengajukan peninjauan kembali adalah
terpidana dan ahli warisnya, karena terpidana atau ahli warisnyalah
sebagai pihak yang dirugikan secara langsung terhadap putusan
pengadilan.
2.4 Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah pada sidang
tanggal 15 Mei 2013 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis tanpa tanggal
bulan Mei 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah 75 tanggal 12 Juni 2013, yang
pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:
I. Tentang Pokok Permohonan Para Pemohon
1. Bahwa menurut para pemohon, ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang membatasi
permintaan Peninjauan Kembali (PK) atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali
saja telah mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materiil/substansial, prinsip negara
hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk memperjuangkan keadilan dan
bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif, sehingga pencari keadilan tidak
boleh ada pembatasan.
2. Bahwa menurut para pemohon, akibat Pasal 268 ayat (3) KUHAP, jika suatu saat
terdapat teknologi atau software-software tertentu yang dapat mendeteksi aliran sms yang
diterima Aim. Nasrudin Zulkarnaen, yang menurut pemohon I (dan berdasarkan keterangan
ahli pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) tidak terbukti dikirimkan
dengan menggunakan nomor pemohon I, maka pemohon I tetaplah kehilangan kesempatan
atau peluang untuk melakukan upaya hukum agar dibebaskan dari hukuman.
3. Bahwa Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana sudah semestinya dapat diajukan
lebih dari satu kali dengan ketentuan berdasar alasan bukti baru berdasarkan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Para pemohon
memohon agar Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga
berbunyi Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu
kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru berdasarkan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat diajukan lebih dari sekali”.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
25 http://sosains.greenvest.co.id
II. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan
Pengujian Undang-Undang yang dimohonkan oleh para pemohon bahwa sebelum
pemerintah menguraikan lebih lanjut mengenai materi yang dimohonkan oleh para
pemohon, pemerintah dapat menyampaikan bahwa terhadap ketentuan Pasal 268 ayat (3)
UU KUHAP telah pernah di ajukan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dengan
register perkara Nomor 16/PUU-VIII/2010 tanggal 15 Desember 2010 yang amar
putusannya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat di terima putusan tersebut
dikutip kembali dalam pertimbangan Mahkamah dalam pengujian kembali ketentuan Pasal
268 ayat (3) UU 8/1981 dalam register perkara 64/PUU-VIII/2010 tanggal 23 Februari
2011 yang juga menyatakan permohonan pemohon tidak dapat di terima”. Bahwa
terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali dengan alasan lain atau berbeda
(vide Pasal 60 UU MK, Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang). Bahwa walaupun
para pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa pengujian a quo berbeda dengan
putusan-putusan sebelumnya. Pemerintah tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda
antara Permohonan dalam perkara Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan 64/PUU-VIM/2010
dengan alasan yang diajukan oleh para pemohon dalam permohonan a quo yang pada
pokoknya memohon agar Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan lebih dari sekali.
Terlebih pasal-pasal UUD 1945 yang di ajukan sebagai batu uji sama dengan permohonan
sebelumnya yaitu; Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
(2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Namun demikian Pemerintah sangat menghargai
upaya (hukum) yang dilakukan oleh Pemohon, termasuk mengajukan permohonan
pengujian UndangUndang a quo, agar proses penegakan hukum dapat berjalan secara
egaliter, profesional, transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara
hukum yang berkeadilan (Sutrisno & SH, 2013).
III. Hasil Sidang
1. 4. Mei 2009, Antasari ditahan di rumah tahanan Narkoba Polda Metro Jaya.
2. 7 Mei 2009, Antasari diberhentikan sementara sebagai pimpinan KPK. Keputusan
Presiden pemberhentian sementara Antasari ditandatangani Presiden ketika itu
Susilo Bambang Yudhoyono.
3. 25 Agustus 2009, perkara Antasari dilimpahkan ke Kejaksaan setelah berkas
perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa.
4. 28 September 2009, kasus Antasari dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan untuk disidangkan.
5. 8 Oktober 2009, sidang perdana kasus Antasari digelar dengan agenda pembacaan
dakwaan.
6. 11 Oktober 2009, Antasari diberhentikan secara tetap dari jabatannya oleh
Presiden.
7. 19 Januari 2010, Antasari dituntut hukuman mati oleh jaksa yang dipimpin Cirus
Sinaga. Jaksa menganggap Antasari terbukti terlibat bersama-sama terdakwa lain
membunuh Nasrudin.
8. 11 Feb 2010, Antasari divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpin
Herry Swantoro dengan anggota Nugroho Setiadji dan Prasetyo Ibnu Asmara.
Antasari dan jaksa penuntut umum mengajukan banding.
9. 17 Juni 2010, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan
putusan PN Jakarta Selatan. Majelis hakim banding diketuai Muchtar Ritonga
dengan hakim anggota NY Putu Supadmi dan I Putu Widnya.
Pembunuhan Berencana Antasari Azhar Kepada
Nasrudin Zulkarnain
2022
Fajri Setiyo Hadi dan Rizky Nur Fajar 26
10. 21 September 2010, kasasi Antasari dan JPU ditolak Mahkamah Agung. Vonis
Antasari tetap 18 tahun penjara. Putusan dijatuhkan majelis hakim dengan Ketua
Artidjo Alkotsar serta anggota Mugihardjo dan Suryadjaja.
11. 3 Januari 2011, Antasari dipindah dari Rutan Narkoba Polda Metro Jaya ke Lapas
Cipinang. Namun, pada hari yang sama, ia dipindahkan ke Lapas Tangerang.
12. 13 Februari 2012, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali
yang diajukan Antasari. Putusan itu diambil majelis hakim dengan Ketua Harifin
A Tumpa serta anggota Djoko Sarwoko, Prof Komariang E Sapardjaja, Imron
Anwari, dan M Hatta Ali.
13. 6 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat 3
KUHAP yang diajukan Antasari. Dengan putusan MK itu, peninjauan kembali bisa
dilakukan lebih dari sekali.
14. 14 Agustus 2015, Antasari mulai menjalani asimilasi setelah menjalani setengah
masa pidana. Antasari bekerja di kantor notaris Handoko Salim di Tangerang.
Setiap hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat, Antasari berangkat ke kantor notaris
dari lapas dan mulai kerja pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Selama di
luar lapas, Antasari mendapat pengawalan ketat dari pihak lapas.
15. 10 November 2016, Antasari bebas bersyarat setelah melewati dua pertiga
masa pidana.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon
kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus
permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat
memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Menimbang
bahwa para pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 27 Juni 2013 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Juni 2013, yang pada pokoknya para
pemohon tetap pada pendiriannya. Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam
putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini.
Bibliografi
Bbc.com. Bebas bersyarat, Antasari Azhar , (Https://bbc.com/indonesia, 2016 diakses 6
Desember 2021).
Iriyanto, Echwan. (2021). Unsur Rencana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana.
Jurnal Yudisial, 14(1), 1935.
Indonesiabaik.id. Prosedur Permohonan Grasi, (Https://indonesiabaik.id, 2017 diakses 8
Desember 2021).
Kompas.com. Antasari Azhar jadi tersangka pembunuhan 12 tahun lalu hendak bongkar
kasus korupsi besar, (Https://megapolitan.kompas.com, 2021 diakses 6 Desember
2021)
Lubis, Muya Syaroh Iwanda. (2018). Pengaruh Tayangan Media Elektronik Terhadap
Perilaku Menyimpangan Seorang Anak. Network Media, 1(2).
Maramis, Marchel R. (2015). Peran ilmu forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan
seksual dalam dunia maya (internet). Jurnal Ilmu Hukum, 2(7), 4253.
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XI/2013, (Jakarta:
Volume 2, Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
27 http://sosains.greenvest.co.id
2013).
Moeljanto. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013).
Siregar, Amri Pratama. (2016). Tinjauan Yuridis Peranan Pemerintah Daerah dalam
Mewujudkan Pemerintah yang Baik dalam Bidang Perizinan Pariwisata.
Sutrisno, Rizqi Budi, & SH, Budi. (2013). Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
102/Puu-Vii/2009 Tentang Penggunaan Ktp Dan Paspor Dalam Pemilu Presiden
Dan Wakil Presiden. Semarang: Universitas Diponegoro.
Soekanto, Soerdjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
Soemitro, Roni Hanitijo. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2018)
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.