Ekranisasi Novel Norwegian Wood Karya Haruki
Murakami Menjadi Film Norwegian Wood Karya Tran
Anh Hung
Ulfah Dwi Januarti 41
Watanabe who was left behind by Naoko. Conclusion :
Therefore, because the Norwegian Wood film only depicts one
dimension, it makes this film unpopular, especially among
readers of the Norwegian Wood novel.
Keywords: Ecranization, Literature, Norwegian Wood Novel
Pendahuluan
Karya sastra yang tidak mendapat penghargaan dari masyarakat tentu tidak akan
mampu bertahan lama (Geriai, 2010) dan akan tersisih oleh keberadaan karya sastra lain
yang lebih mendapat dukungan dari masyarakat (Uniawati, 2012). Hal tersebut menjadi
perhatian serius di kalangan produsen karya sastra (Ardila, 2021). Produsen karya sastra
harus berusaha menjangkau konsumen lebih luas untuk mendapat penghargaan dari
masyarakat (Sari, 2021) dan pada akhirnya mendapat keuntungan finansial lebih banyak
(O Ryan, 2021). Motivasi tersebut mendasari munculnya berbagai fenomena alih wahana
karya sastra di masyarakat.
Damono dalam bukunya yang berjudul Sastra Bandingan mengatakan bahwa alih
wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain (Indah, 2018).
Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yaitu dialihkan dari satu bahasa ke bahasa
lain, tetapi juga dialihwahanakan, yaitu diubah menjadi jenis kesenian lain (Ichdatus
Saputri, 2016). Selanjutnya Damono memberikan contoh bahwa yang dimaksud dengan
alih wahana misalnya cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film, sedangkan puisi
diubah menjadi lagu atau lukisan. Dalam perkembangannya fenomena alih wahana karya
sastra kemudian dikenal dengan istilah adaptasi, transformasi, ekranisasi, novelisasi,
komikalisasi, dan musikalisasi tergantung dari bentuk perubahan wahananya (Damono,
2018).
Ekranisasi adalah proses pemindahan atau perubahan bentuk dari novel menjadi
film. Pemindahan tersebut melibatkan peristiwa dalam novel menjadi adegan-adegan yang
terdapat dalam film (Martin, 2017). Ekranisasi merupakan pelayar putihan novel menjadi
film (Devianita, 2013). Definisi tesebut merujuk pada kata dasar ecran yang berarti layer.
Ekranisasi merupakan proses pemindahan teks novel menjadi adegan-adegan dalam film.
Perpindahan dari wahana novel menjadi bentuk film menyebabkan bentuk perubahan.
Eneste menjelaskan bahwa pada proses pemindahan novel ke layer putih, perubahan terjadi
pada penceritaan, alur, penokohan, latar atau suasana, tema, dan amanat (Mursih &
Nursalim, 2019). Perbedaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pembacaan para pekerja
film terhadap novel. Iser menyatakan bahwa:
The text is the whole system of such processes, there must be the place market by the
gaps in text. It consist in the blanks which the reader is to fill in, they cannot be filled in by
the system itself, so they can only be filled in by another system. Whenever the reader
bridges the gaps, communication begins. The blanks, then, stimulate the process of the
ideation to be performed by the readers on term set by the text.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa teks merupakan keseluruhan sistem yang di
dalamnya terdapat blank. Blank tersebut tidak dapat diisi oleh yang terdapat dalam teks itu
sendiri, tetapi harus diisi oleh pembaca dengan interpretasinya. Ketika pembaca mengisi
blank tersebut, maka terjadi komunikasi antara teks dengan pembaca itu sendiri. Blank
itulah yang merangsang ide pembaca teks (Pahrun, 2021). Oleh karena itu, interpretasi
karya sastra antara pembaca satu dengan pembaca lainnya berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi antara film dan novel tersebut menurut Eneste,
merupakan proses kreatif yang dapat dilakukan oleh sutradara dengan cara mengadakan
penambahan, pengurangan, dan pemunculan variasi-variasi alur cerita (Ayu, 2020). Salah
satu ekranisasi dalam sastra Jepang yang menarik perhatian peneliti adalah novel