Jurnal sosial dan sains (SOSAINS), Vol. 1, No.2, Februari 2021
p-ISSN 2774-7018 e-ISSN 2774-700X
Virginia Aggata
121
s
t
.
i
pada upaya pelestarian alam. Metode penelitian yang dipakai yaitu
penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat nilai kearifan lingkungan pada praktek pengetahuan lokal
masyarakat Suku Jerieng dalam pengelolaan hutan. Selain itu
terdapat tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Jerieng
dalam pengelolaan hutan berupa upacara adat ceriak gunong dan
sistem panteng pemelai Nilai kearifan lingkungan ada pengelolaan
hutan adat Bukit Penyabung diantaranya: nilai keselarasan, nilai
keseimbangan, nilai gotong royong dan nilai pelestarian. Pengelolaan
hutan adat Bukit Penyabung oleh masyarakat Desa Pelangas
dilakukan sebagai upaya untuk menghargai dan menghormati alam.
Kata Kunci: Tradisi, Pengelolaan Hutan, Nilai, Kearifan
Lingkungan
Abstract
The purpose of this study is identify and analyze the values of
environmental wisdom in the management of the Bukit Penyabung
customary forest by the Jerieng people of Pelangas Village. The
management of the Penyabung Hill customary forest is carried out
based on a tradition that is believed from generation to generation
which also has a relationship to nature conservation efforts. The
research method used is descriptive qualitative research. The results
showed that there was a value of environmental wisdom in the
practice of local knowledge of the Jerieng Tribe in forest
management. In addition, there is a tradition carried out by the
Jerieng tribe in forest management in the form of the ceriak gunong
traditional ceremony and the bride's panteng system. The value of
environmental wisdom is themanagement of the Bukit Penyabung
customary forest is : the value of harmony, the value of balance, the
value of cooperation and the value of preservation. Management of
the Penyabung Hill customary forest by the Pelangas Village
community is carried out as an effort to respect nature.
Keywords: Tradition, Forest Management, Value, Enviromental
Wisdom
NILAI KEARIFAN LINGKUNGAN PADA TRADISI MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN HUTAN BUKIT PENYABUNG DI DESA
PELANGAS
Virginia Aggata
Universitas Bangka Belitung
Diterima:
Abstrak
21 Januari 2021
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisi
Direvisi:
nilai-nilai kearifan lingkungan pada pengelolaan hutan Buki
10 Februari 2021
Penyabung oleh masyarakat Suku Jerieng Desa Pelangas
Disetujui:
Pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung dilakukan berdasarkan
12 Februari 2021 tradisi yang diyakini secara turun-temurun yang juga memiliki relas
Nilai kearifan lingkungan pada tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas
122
http://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains
Pendahuluan
Perkara pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini masih seperti benang kusut.
Realisasi dari pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menitikberatkan
pada perlunya pengelolaan hutan yang optimal demi kesejahteraan nampaknya masih
belum terwujud. Hal ini karena, pengelolaan hutan diberbagai wilayah di Indonesia
kerapkali mengalami kegagalan. Kegagalan ini dipicu oleh penyalahgunaan fungsi
kawasan hutan, deforestasi dan perencanaan pengelolaan hutan yang belum maksimal.
Oleh karena itu diperlukan pengelolaan hutan yang berorientasi pada kesejahteraan dan
berkelanjutan.
Begitu juga mengenai komitmen pengelolaan hutan, Pemerintah Indonesia saat ini
berusaha menekan laju deforestasi dan degradasi hutan (Kehutanan, 2018). Komitmen ini
lahir sebab kinerja pengelolaan hutan yang kian menurun dan masih minimnya
keterlibatan masyarakat lokal disekitar kawasan hutan itu sendiri. Padahal menurut
(Syaprillah & Sapriani, 2014) tujuan dilaksanakannya pengelolaan hutan berrfungsi agar
usaha pendayagunaan hasil hutan dilakukan dengan berpegang pada keseimbangan serta
kelestarian, sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan generasi kini dan
mendatang. Keberadaan hutan yang terjaga dan dikelola dengan baik akan menciptakan
ekosistem yang seimbang, juga kehidupan sosial dan budaya yang menjadi identitas dan
penentu perkembangan seni serta budaya masyarakat. Terkait hal ini (Sembiring, 2019)
menyatakan bahwa diperlukan pengelolaan hutan yang optimal juga harus sejalan dengan
pemberian akses pada masyarakat lokal sekitar kawasan hutan.
Sejalan dengan komitmen pengelolaan hutan ini pula, Pemerintah Indonesia
kemudian melakukan deregulasi yang lebih memfokuskan pada pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (community based forest management). Hal ini bertujuan agar
masyarakat lokal sekitar hutan memiliki akses dalam mengelola hutan termasuk dengan
segala pengetahuan lokalnya. Mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat, terdapat
beberapa model pengelolaan hutan. Salah satunya mengenai pengelolaan hutan adat.
Pengelolaan hutan adat merupakan upaya pemanfaatan, pelestarian serta pengembangan
wilayah hutan yang diklaim atau disebut masyarakat lokal sebagai hutan adat. Klaim atas
hutan dapat dikatakan sebagai hutan adat apabila terdapat bukti- bukti sejarah seperti
organisasi adat, kuburan, dan kegiatan tradisional dalam hutan. (Magdalena, 2013) dalam
paparannya menekankan bahwa pengelolaan hutan adat sepenuhnya memberikan akses
kepada masyarakat lokal maupun masyarakat adat untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomis, ekologis dan sosial budaya.
Masyarakat lokal dalam halnya tentu memiliki kearifan berupa tradisi serta praktik
kebudayaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan, sebagai
sebuah kebiasaan yang diadaptasi sejak lama. Kearifan masyarakat lokal ini dijadikan
sebagai modal utama dalam mengintegrasikan dan membangun relasi antara masyarakat
dan lingkungan alam sekitarnya, dalam hal ini kearifan lingkungan masyarakat. Pola
perilaku masyarakat terhadap alam tumbuh bersama dengan kesadaran lingkungan akan
pengelolaan hutan yang didalamnya terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung.
Nilai- nilai ini berfungsi sebagai pedoman, pengontrol dan rambu-rambu untuk
berperilaku dalam berbagai dimensi yaitu saat berhubungan dengan sesama manusia
maupun alam (Undri, 2016).
Dalam halnya pula, kearifan lingkungan merupakan wujud yang lebih kompleks
dari kearifan lokal yang berfokus pada keberlanjutan ekologis. Kearifan lingkungan dapat
dikatakan sebagai pengetahuan lokal dan pemahaman mengenai kepercayaan dan adat-
istiadat yang mencakup nilai serta norma yang berkaitan dengan manusia, alam dan relasi
diantara semua komunitas ekologis (Wiasti, 2015). Kearifan lokal berupa pengetahuan
dan tradisi yang berkembang disuatu masyarakat merupakan sebuah warisan peradaban
Jurnal sosial dan sains (SOSAINS), Vol. 1, No.2, Februari 2021
p-ISSN 2774-7018 e-ISSN 2774-700X
Virginia Aggata
yang dapat mendukung pelestarian lingkungan bahkan sampai pada pelestarian
kebudayaan. Setidaknya di Indonesia masih banyak masyarakat adat yang memiliki
kearifan lingkungan dalam mengelola kawasan hutannya, contohnya pada penelitian
(Kusdiwanggo & Sumardjo, 2016) dapat dijumpai di masyarakat desa Singengu yang
menerapkan sistem pantang larang pada kawasan hutan larangan yang didalamnya sudah
dipetakan oleh masyarakat sesuai kebutuhan dan kepentingan adat. Pola pengelolaan
hutan terlihat pada masyarakat Suku Banjar dengan mempraktekkan perladangan
tradisional yang disebut sebagai tajak-puntal-hambur berikut sistem irigasi persawahan
yang masih didasarkan pada sistem tradisi secara turun-temurun (Nurung & Pratiwi,
2011) Kesemua contoh pengelolaan ini memperlihatkan bahwa pengelolaan hutan, air dan
tanah berbasis kearifan lokal dan lingkungan ditopang oleh keberadaan sosial dan budaya
setempat.
Membahas lebih jauh mengenai pengelolaan hutan yang berbasis pada kearifan
lingkungan masyarakat lokal, hal ini dapat ditemukan pada masyarakat lokal Suku
Jerieng di desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat. Masyarakat lokal Suku Jerieng di
desa Pelangas mengelola kawasan hutan seluas 15 Hektar yang merupakan tanah ulayat.
Kawasan hutan ini disebut masyarakat sebagai hutan adat Bukit Penyabung. Hutan Bukit
Penyabung oleh masyarakat lokal Suku Jerieng di desa Pelangas disebut hutan adat
karena dipahami oleh masyarakat sebagai warisan nenek moyang dan digunakan untuk
kepentingan adat Suku Jerieng. Masyarakat lokal Suku Jerieng di desa Pelangas sudah
lama memanfaatkan dan melestarikan kawasan hutan Bukit Penyabung karena
dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan sosial budaya. Pengelolaan hutan adat
Bukit Penyabung saat ini juga terintegrasi bersama dengan kelembagaan lokal yakni
Lembaga Adat Melayu Jerieng dan kelembagaan desa dalam hal ini pihak Pemerintah
Desa.
Selain itu, pengelolaan hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat Suku Jerieng
dijalankan atas pengetahuan lokal yang berupa tradisi. Tradisi ini sangat lekat dengan
kehidupan masyarakat dalam mengelola hutan. Kepercayaan berupa mitos dan pantang
larang yang berkembang di masyarakat menjadi norma secara tidak tertulis dalam
mengontrol aktivitas masyarakat terhadap alam. Dimensi pengelolaan hutan merupakan
gambaran budaya lokal dalam memperlakukan hutan yang terlihat pada cara dan tindakan
yang digunakan sebagai pedomanan masyarakat tersebut, pedoman tersebut menjadi
acuan untuk melakukan interpretasi lingkungan yang dihadapinya (Cholillah, 2017)
Pengetahuan lokal masyarakat ini telah ada sejak alam dan diadaptasi dengan pola yang
sama pula. Sehingga kemudian bukan hanya menjadi sebuah identitas dari suatu
masyarakat, namun juga memiliki fungsi sebagai upaya konservasi ekologis oleh
masyarakat. Pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung yang dilakukan oleh masyarakat
lokal Suku Jerieng masih berdasarkan kearifan lokal. Kawasan hutan dijaga dan dikelola
atas dasar nilai dan norma adat yang disepakati oleh masyarakat lokal Suku Jerieng.
Kemudian, hutan adat Bukit Penyabung bagi masyarakat lokal Suku Jerieng masih
dianggap keramat dan memiliki unsur mistis. Hutan adat Bukit Penyabung dijaga dengan
tabu atau pantang larang yang dalam hal ini berfungsi untuk mengatur dan membatasi
aktivitas manusia yang dapat merusak hutan.
Pengelolaan hutan atas dasar kearifan masyarakat lokal Suku Jerieng ini juga
bertujuan agar sumberdaya yang ada dihutan Bukit Penyabung dapat terjaga, oleh karena
itu proses pengelolaannya harus berdasarkan prinsip-prinsip ekologis. Praktek
pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung yang didasarkan pada kearifan lingkungan oleh
masyarakat lokal Suku Jerieng inilah yang kemudian menarik untuk dikaji secara
mendalam dengan memfokuskan pada nilai-nilai kearifan lingkungan apa saja yang ada
pada pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal Suku Jerieng. Dalam hal
Nilai kearifan lingkungan pada tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas
124
http://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains
ini berusaha menelaah makna setiap bentuk dan tindakan masyarakat terhadap alamnya
sesuai dengan prinsip ekologis, terutama dalam pengelolaan hutan.
Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan untuk mendapatkan hasil penelitian karena
mencakup prosedur dalam melaksanakan penelitian.Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif oleh Silalahi (2012) adalah penelitian
yang menggambarkan isi tetapi tidak berdasarkan akurasi statistik. Penelitian kualitatif
deskriptif menjadi relevan karena peneliti membutuhkan data deskriptif dalam
menganalisis nilai-nilai kearifan lingkungan pada pengelolaan hutan Bukit Penyabung di
desa Pelangas. Data primer bersumber dari informan yang kemudian diwawancara secara
endalam yang berasal dari beberapa unsur yaitu: pemerintah desa Pelangas, tokoh adat
dan masyarakat lokal Suku Jerieng yang bersentuhan langsung dengan tradisi serta
melakukan upaya pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung. Sedangkan, data sekunder
didapatkan dari berbagai dokumen pendukung seperti dokumen peraturan daerah dan
jurnal yang diperoleh selama penelitian.Pengumpulan data dilakukan dengan tiga langkah
yaitu wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Selama dan setelah proses
pengumpulan data penelitian, peneliti mengolah data dengan teknik analisis data kualitatif
yang kemudian dapat ditarik kesimpulan dari analisa pembahasan.
Hasil dan Pembahasan
Hutan adat Bukit Penyabung merupakan kawasan hutan yang dipahami oleh
masyarakat lokal Suku Jerieng di desa Pelangas sebagai hutan atas kepemilikan bersama
(common property).Berdasarkan profil desa Pelangas tahun 2019, luas kawasan hutan
sebesar 15 hektar ini terbagi menjadi dua kawasan yaitu kawasan untuk kepentingan adat
dan kawasan yang dapat dikelola bersama untuk kepentingan ekonomi dan sosial.Selain
itu pada pengelolaannya masyarakat lokal Suku Jerieng masih didasarkan pada bentuk-
bentuk pengetahuan lokal yang telah dijalankan sejak lama dari nenek moyang.Hal ini
dilakukan agar kawasan hutan adat Bukit Penyabung tetap terjaga dan lestari.Selain itu,
tujuan dari pengelolaan hutan yang masih berdasarkan pengetahuan lokal dilakukan
karena masyarakat merasa bahwa hutan adat Bukit Penyabung merupakan satu kesatuan
dengan kehidupan masyarakat.
Keberadaan hutan adat Bukit Penyabung dalam halnya dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal Suku Jerieng di desa Pelangas.Kebutuhan masyarakat ini terpenuhi
karena kawasan hutan adat Bukit Penyabung memiliki berbagai potensi sumberdaya
hutan seperti madu, rotan, dan akar kayu. Pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat
antara lain pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan kawasan hutan. Pengelolaannya
masih dilaksanakan secara tradisional dengan beberapa ketentuan adat yang harus
dipatuhi oleh masyarakat, yang dalam hal ini keseluruhan pengelolaan berorientasi pada
nilai-nilai kearifan lingkungan.
A.
Tradisi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan adat Bukit Penyabung
Tradisi di masyarakat merupakan adat istiadat, yaitu kebiasaan namun lebih
menekankan pada kebiasaan yang bersifat supranatural meliputi nilai-nilai budaya,
norma-norma, hukum dan aturan yang diakui bersama. Tradisi ini juga berkaitan pada
relasi antara manusia dan lingkungannya, yaitu bagaimana manusia harus bersikap
Jurnal sosial dan sains (SOSAINS), Vol. 1, No.2, Februari 2021
p-ISSN 2774-7018 e-ISSN 2774-700X
Virginia Aggata
terhadap alam dan saling menghargai sesama komunitas moral.Sebagaimana
pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung, dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan
tradisi yang diyakini masyarakat. Tradisi masyarakat ini memiliki relasi yang erat
pada proses pengelolaan hutan yaitu tahap perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi
sampai kepada upaya konservasi. Hal ini juga berlaku di masyarakat desa Pelangas,
dimana tradisi yang dijalankan dan dipertahankan hingga sekarang memiliki nilai
kearifan lingkungan yang juga bermakna pada pelestarian alam dan budaya. Bahkan
saat ini keberadaan tradisi masyarakat Suku Jerieng di desa Pelangas dinaungi oleh
Lembaga Adat Melayu Jering Setana Amantubillah (babelreview.co.id).Adapun
beberapa tradisi masyarakat desa Pelangas dalam pengelolaan hutan adat yaitu.
a. Upacara adat Ceriak Gunong
Upacara adat Ceriak Gunong merupakan salah satu tradisi masyarakat desa
Pelangas yang tujuan pelaksanaannya sebagai wujud rasa syukur atas hasil bumi
yang diberikan oleh alam semesta dan berfungsi untuk menolak bala.Pelaksanaan
Ceriak Gunong dilakukan pada penanggalan Hijriyah yaitu jatuh pada 14
Muharram. Biasanya, pelaksanaan Ceriak Gunong akan diwarnai beberapa ritual
yang dipimpin oleh dukun kampung sebelum menuju keatas bukit Penyabung.
Sedangkan, pada pelaksanaan diatas Bukit Penyabung, ritual Ceriak Gunong akan
dipimpin oleh dukun gunung dengan membawa sesajen berupa hasil bumi seperti
beras pulut, ayam panggang, dan hasil bumi lainnya.
b. Panteng pemelai pada kawasan hutan adat Bukit Penyabung
Berladang menjadi salah satu mata pencaharian bagi mayoritas
masyarakat desa Pelangas.Pada pelaksanaannya, berladang bagi masyarakat desa
Pelangas memiliki tabu/larangan, seperti masyarakat dilarang menanam dan
memulai behume di bulan Apit. Hal ini karena berkaitan dengan proses
keberhasilan hasil panen. Biasanya, masyarakat desa Pelangas juga mengenal tiga
proses dalam sistem perladangan yaitu masa pra tanam (taber gunong), menanam
(behume) dan pasca tanam yang sering dikenal masyarakat sebagai sedekah
kampong.
Panteng pemelai juga berlaku pada aktivitas menjaga lingkungan. Pada
aktivitas ini, panteng pemelai berlaku pada aktivitas masyarakat dalam halnya
larangan untuk memukul banir atau akar kayu yang menjulang ke atas dengan
menggunakan kaleng bekas. Kemudian, panteng pemelai yang tujuannya
mendidik masyarakat untuk tidak mencemari lingkungannya adalah larangan
serta mitos bahwa tidak boleh membuang kulit pisang melalui jendela. Beberapa
pantangan ini memiliki makna agar masyarakat menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan.
Selain itu, terdapat keterkaitan pada pengelolaan hutan khususnya
kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dengan tidak menebang
pohon di kawasan hutan adat Bukit Penyabung serta menjaga kelestarian habitat
flora dan fauna endemik di Bukit Penyabung. Kesadaran ini muncul seiring
dengan tradisi serta kepercayaan akan bala yang menyertai apabila masyarakat
tidak menjaga lingkungannya. Selain itu, larangan yang berlaku pada aktivitas
berburu lebih kepada beberapa jenis makanan yang tidak diperbolehkan untuk
Nilai kearifan lingkungan pada tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas
126
http://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains
dibawa ke kawasan hutan adat Bukit Penyabung seperti telur ayam utuh dan
beras ketan. Kemudian, masyarakat dilarang untuk memburu hewan yang
dilindungi serta dilestarikan. Sedangkan untuk larangan pada aktivitas memusung
madu, penyuar harus memanen madu alam dengan cara-cara tradisional yaitu
menyesuaikan pada cuaca dan bunga.
Bagi masyarakat desa Pelangas, perempuan juga tidak boleh terlibat pada
aktivitas memusung madu yang dilakukan pada malam hari. Pentingnya
kelestarian hutan agar dapat dinikmati hingga di masa yang akan datang
mendorong masyarakat untuk menghormati alam. Salah satunya adalah tidak
merusak hutan.Begitu pula dalam memasuki kawasan hutan adat Bukit
Penyabung masyarakat memiliki pantangan untuk tidak memasuki dan merusak
kawasan hutan sakral yang biasanya digunakan untuk kepentingan upacara
adat.Selain itu, perempuan yang sedang menstruasi juga tidak diperbolehkan
untuk memasuki hutan karena alasan mistis. Pada upacara adat Ceriak Gunong
juga adanya pantangan yang berlaku selama 3 hari sebelum dan sesudah upacara
adat.Pantangan ini berlaku bagi masyarakat desa Pelangas agar tidak menebang
pohon, mengambil tanaman dan merusak kawasan hutan adat Bukit Penyabung.
Hal ini karena norma-norma yang terbentuk akan selalu membentuk
interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta
interaksi manusia dengan makhluk gaib (Cahya, 2019).Apabila pantangan
ini dilanggar, masyarakat percaya akan terkena bala/musibah bagi yang
melanggar bukan hanya secara pribadi namun dampaknya akan dirasakan oleh
satu kampung.
B.
Nilai Kearifan Lingkungan
Nilai keselarasan
Keselarasan merupakan keadaan keteraturan, kesesuaian, serta ketaatan
karena masing-masing unsur melaksanakan fungsi dan perannya secara tepat
(Zamhari, 2017). Keselarasan ini ditunjukkan oleh masyarakat Suku Jerieng dalam
pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung.Mengenai nilai keselarasan ditunjukkan
oleh masyarakat Suku Jerieng pada pemanfaatan lahan hutan untuk keperluan
berladang. Pada pelaksanaan berladang masyarakat memiliki pengetahuan lokal
dalam menentukan waktu tanam. Penentuan waktu menanam padi bagi masyarakat
harus sesuai dengan ketentuan adat yang dalam halnya dikenal tiga proses
pelaksanaan yaitu Taber Gunong (pra tanam), Behume (masa tanam) dan Ceriak
Gunong (pasca tanam).
Masyarakat suku Jerieng juga dikenal pandai memanfaatkan flora yang
ada di kawasan hutan adat Bukit Penyabung sebagai obat herbal, hal ini karena
praktek pengobatan herbal bagi masyarakat merupakan cara nenek moyang yang
cukup menguntungkan. Selain dapat menghemat biaya dalam upaya pengobatan,
masyarakat juga dapat menjual obat herbal tersebut sebagai sumber ekonomi
alternatif. Selain itu nilai keselarasan ditunjukkan masyarakat pada proses
memanen madu alam yang ada di hutan adat Bukit Penyabung. Proses ini masih
menggunakan ketentuan adat dan secara tradisional dengan melihat kondisi cuaca
serta musim. Upaya untuk dapat hidup selaras dengan alam telah terjalin antara
Jurnal sosial dan sains (SOSAINS), Vol. 1, No.2, Februari 2021
p-ISSN 2774-7018 e-ISSN 2774-700X
Virginia Aggata
masyarakat Suku Jerieng dan alamnya.Hal ini dilakukan karena keberadaan hutan
adat Bukit Penyabung sangat penting sehingga perlu dijaga keberlangsungannya
demi anak cucu. Ketentuan adat yang diyakini dan dipercaya menjadi nilai dan
norma yang mengontrol relasi antara masyarakat dengan alamnya.
Nilai keseimbangan
Keberadaan hutan adat yang memberikan kehidupan bagi masyarakat Suku
Jerieng perlu dilestarikan agar keseimbangan ekosistem yang ada tetap terjaga.
Mengenai konsep keseimbangan dikutip dalam Wulandari (2016) merupakan tugas
manusia sebagai bagian dari alam yang sejatinya harus menjaga keseimbangan
ekosistem demi kelangsungan hidupnya. Nilai keseimbangan terlihat pada konsep
pertanian wanatani oleh masyarakat Suku Jerieng yaitu dengan menggabungkan
tanaman jangka pendek dan jangka panjang dalam satu ladang yang sama. Selain
itu, masyarakat juga masih menerapkan pola ladang berpindah.
Pola perladangan seperti ini dilakukan oleh masyarakat agar terciptanya
stabilitas ekologis dengan memiliki sumber pangan alternatif selain juga
melestarikan alam agar dalam prosesnya alam mampu memulihkan dirinya dari
praktek-praktek eksploitasi alam.Prinsip keseimbangan juga berlaku pada bentuk
ritual adat yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu sebagai ungkapan
syukur akan hasil bumi yang diberikan oleh Tuhan.Ritual adat Ceriak Gunong
dalam halnya, berfungsi sebagai upaya penyeimbangan antara manusia dan
alamnya.
Nilai gotong royong
Semangat gotong royong sudah menjadi budaya bagi kehidupan sosial
masyarakat Indonesia khususnya.Gootng rooyng dilakukan agar segala beban dapat
lebih ringan karena dikerjakan secara bersama-sama.Hal ini juga terlihat pada
upaya pengembangan hutan sebagai wisata budaya yang dapat memperkenalkan
kearifan lokal masyarakat Suku Jerieng yang dilakukan oleh masyarakat Suku
Jerieng bersama dengan kelompok sadar wisata dan pemerintah daerah. Selain itu,
wilayah hutan adat Bukit Penyabung saat ini dijadikan sebagai geopark lokal.
Masyarakat bersama-sama untuk membuat kebutuhan sebagai spot foto seperti
plang dan lain sebagainya.
Budaya gotong royong yang dimaknai masyarakat Suku Jerieng bahkan
terealisasi pada pelaksanaan berladang.Masyarakat mengenal budaya ini sebagai
besaoh dengan tujuan mengerjakan aktivitas menugal padi secara bersama-
sama.Bahkan secara langsung masyarakat memiliki inisiatif untuk selalu
membantu tetangga.Selain sebagai menjaga kelestarian alam, menambah
pendapatan desa kebiasaan gotong royong juga bertujuan untuk mempererat tali
silahturahmi antar masyarakat.
Nilai pelestarian
Nilai pelestarian pada pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat
Suku Jerieng terbagi menjadi dua yaitu pelestarian alam dan pelestarian budaya.
Nilai pelestarian alam tercermin pada upaya masyarakat untuk menjaga flora dan
fauna yang ada di kawasan hutan adat Bukit Penyabung dari kerusakan.Dalam hal
ini masyarakat bersama Pemerintah Desa melakukan pelepasan hewan liar endemik
Nilai kearifan lingkungan pada tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas
128
http://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains
serta penanaman pohon. Kegiatan ini juga menjadi tanggung jawab moral
masyarakat agar sumberdaya hutan tetap terjaga. Sedangkan untuk pelestarian
budaya, terlihat pada upaya masyarakat Suku Jerieng untuk menetapkan ritual
ceriak gunong sebagai event tahunan budaya.Hal ini dilakukan agar kekayaan
budaya Suku Jerieng dapat dikenal oleh masyarakat luar.Selain itu, dengan
menetapkan event tahunan ini pula masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak
merusak alam. Pentingnya melestarikan alam juga ditanamkan pada kehidupan
sehari-hari, hal ini dipercaya karena apabila masyarakat menjaga hutan berarti
sama dengan menjaga kehidupan, hal ini terlihat pada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Himbauan Untuk Menjaga Hutan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas yang dilakukan oleh masyarakat Suku Jerieng,
masih didasarkan pada pengetahuan lokal berupa tradisi. Tradisi ini diyakini dan
dilaksanakan oleh masyarakat Suku Jerieng di desa Pelangas sebagai nilai dan norma
dalam mengatur hubungan masyarakat dan alam. Tradisi ini tercermin pada upaya
pengelolaan hutan berupa pemanfaatan sumberdaya hutan bukan kayu, pengembangan
kawasan hutan serta pelestarian hutan sebagai wisata alam dan wisata budaya.Dimana
pada pengelolaannya terdapat beberapa tradisi masyarakat seperti upacara adat dan sistem
panteng pemelai (pantang larang).
Pengetahuan lokal dalam praktek pengelolaan hutan adat Bukit Penyabung dalam
halnya mengandung nilai-nilai kearifan lingkungan yaitu nilai keselarasan, nilai
keseimbangan, nilai gotong royong dan nilai pelestarian.Kekayaan alam dan budaya
masyarakat Suku Jerieng dalam pengelolaan hutan berbasis kearifan lingkungan ini
merupakan warisan leluhur. Hal ini tentu menjadi sebuah keunikan tersendiri yang belum
tentu dimiliki orang lain.
Bibliografi
Cholillah, Jamilah. (2017). PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS BUDAYA LOKAL
DI DUSUN PEJAM KABUPATEN BANGKA: Tim Jarlit Kebudayaan Bappeda
Prov. Kep. Bangka Belitung. Society, 5(1), 4558.
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan. (2018). Jaminan Produksi, Pelestarian,
dan Kesejahteraan Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Ekosistem Unggul
Membangun Hutan Sebagai Ekosistem Unggul Berbasis DAS.
Jurnal sosial dan sains (SOSAINS), Vol. 1, No.2, Februari 2021
p-ISSN 2774-7018 e-ISSN 2774-700X
Virginia Aggata
Kusdiwanggo, Susilo, & Sumardjo, Jakob. (2016). Sakuren: Konsep Spasial Sebagai
Prasyarat Keselamatan Masyarakat Keselamatan Masyarakat Budaya Padi di
Kasepuhan Ciptagelar. Panggung, 26(3).
Magdalena, Magdalena. (2013). Peran Hukum Adat dalam Pengelolaan dan Perlindungan
Hutan di Desa Sesaot, Nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang, Kalimantan Timur.
Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 10(2), 110121.
Nurung, M., & Pratiwi, Juliana Dewi. (2011). MOTIVASI PETANI DALAM
MEMPERTAHANKAN SISTEM TRADISIONAL PADA USAHATANI PADI
SAWAH DI DESA PARBAJU JULU KABUPATEN TAPANULI UTARA
PROPINSI SUMATERA UTARA. Jurnal AGRISEP Kajian Masalah Sosial
Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 10(1), 5162.
Sembiring, Boy Jerry Even. (2019). “Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2019:
Membawa Beban Masa Kini Ke Masa Depan? Jakarta: Walhi Eksekutif Nasional.
Syaprillah, Aditia, & Sapriani, Sapriani. (2014). Pengelolaan Hutan Lindung Kota
Tarakan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Padjadjaran Journal of
Law, 1(3).
Undri, Undri. (2016). Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Desa
Tabala Jaya Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera
Selatan1. Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 2(1), 308323.
Wiasti, Ni Made. (2015). Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Jatiluwih: Relevansinya
dengan Pelestarian Warisan Budaya Dunia. Bumi Lestari Journal of Environment,
15(1).
Zamhari, Ahmad. (2017). Nilai Keselarasan Pada Pola Tata Ruang Desa Pelang Kenidai
Kecamatan Dempo Tengah Kota Pagaralam Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah.
Journal of History Education and Historiography, 1(1).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International
License