Nilai kearifan lingkungan pada tradisi masyarakat dalam pengelolaan hutan
adat Bukit Penyabung di desa Pelangas
http://sosains.greenvest.co.id/index.php/sosains
Pendahuluan
Perkara pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini masih seperti benang kusut.
Realisasi dari pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menitikberatkan
pada perlunya pengelolaan hutan yang optimal demi kesejahteraan nampaknya masih
belum terwujud. Hal ini karena, pengelolaan hutan diberbagai wilayah di Indonesia
kerapkali mengalami kegagalan. Kegagalan ini dipicu oleh penyalahgunaan fungsi
kawasan hutan, deforestasi dan perencanaan pengelolaan hutan yang belum maksimal.
Oleh karena itu diperlukan pengelolaan hutan yang berorientasi pada kesejahteraan dan
berkelanjutan.
Begitu juga mengenai komitmen pengelolaan hutan, Pemerintah Indonesia saat ini
berusaha menekan laju deforestasi dan degradasi hutan (Kehutanan, 2018). Komitmen ini
lahir sebab kinerja pengelolaan hutan yang kian menurun dan masih minimnya
keterlibatan masyarakat lokal disekitar kawasan hutan itu sendiri. Padahal menurut
(Syaprillah & Sapriani, 2014) tujuan dilaksanakannya pengelolaan hutan berrfungsi agar
usaha pendayagunaan hasil hutan dilakukan dengan berpegang pada keseimbangan serta
kelestarian, sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan generasi kini dan
mendatang. Keberadaan hutan yang terjaga dan dikelola dengan baik akan menciptakan
ekosistem yang seimbang, juga kehidupan sosial dan budaya yang menjadi identitas dan
penentu perkembangan seni serta budaya masyarakat. Terkait hal ini (Sembiring, 2019)
menyatakan bahwa diperlukan pengelolaan hutan yang optimal juga harus sejalan dengan
pemberian akses pada masyarakat lokal sekitar kawasan hutan.
Sejalan dengan komitmen pengelolaan hutan ini pula, Pemerintah Indonesia
kemudian melakukan deregulasi yang lebih memfokuskan pada pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (community based forest management). Hal ini bertujuan agar
masyarakat lokal sekitar hutan memiliki akses dalam mengelola hutan termasuk dengan
segala pengetahuan lokalnya. Mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat, terdapat
beberapa model pengelolaan hutan. Salah satunya mengenai pengelolaan hutan adat.
Pengelolaan hutan adat merupakan upaya pemanfaatan, pelestarian serta pengembangan
wilayah hutan yang diklaim atau disebut masyarakat lokal sebagai hutan adat. Klaim atas
hutan dapat dikatakan sebagai hutan adat apabila terdapat bukti- bukti sejarah seperti
organisasi adat, kuburan, dan kegiatan tradisional dalam hutan. (Magdalena, 2013) dalam
paparannya menekankan bahwa pengelolaan hutan adat sepenuhnya memberikan akses
kepada masyarakat lokal maupun masyarakat adat untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomis, ekologis dan sosial budaya.
Masyarakat lokal dalam halnya tentu memiliki kearifan berupa tradisi serta praktik
kebudayaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan, sebagai
sebuah kebiasaan yang diadaptasi sejak lama. Kearifan masyarakat lokal ini dijadikan
sebagai modal utama dalam mengintegrasikan dan membangun relasi antara masyarakat
dan lingkungan alam sekitarnya, dalam hal ini kearifan lingkungan masyarakat. Pola
perilaku masyarakat terhadap alam tumbuh bersama dengan kesadaran lingkungan akan
pengelolaan hutan yang didalamnya terdapat nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung.
Nilai- nilai ini berfungsi sebagai pedoman, pengontrol dan rambu-rambu untuk
berperilaku dalam berbagai dimensi yaitu saat berhubungan dengan sesama manusia
maupun alam (Undri, 2016).
Dalam halnya pula, kearifan lingkungan merupakan wujud yang lebih kompleks
dari kearifan lokal yang berfokus pada keberlanjutan ekologis. Kearifan lingkungan dapat
dikatakan sebagai pengetahuan lokal dan pemahaman mengenai kepercayaan dan adat-
istiadat yang mencakup nilai serta norma yang berkaitan dengan manusia, alam dan relasi
diantara semua komunitas ekologis (Wiasti, 2015). Kearifan lokal berupa pengetahuan
dan tradisi yang berkembang disuatu masyarakat merupakan sebuah warisan peradaban