450 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOL 2 NO 3 2022
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI
HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Mutiara.D.C.Oratmangun
1
dan Benediktus Akel A. Terwarat
2
Fakultas Hukum, Universitas Prima Indonesia, Indonesia
Corresponding Author : Mutiara.D.C.Oratmangun
Email : akelterwarat@gmail.com, dan [email protected]
Info Artikel :
Diterima : 23 Februari 2022
Disetujui : 06 Maret 2022
Dipublikasikan : 15 Maret 2022
Keywords:
Perkawinan
Campuran,
Perceraian, Hak
Asuh Anak
Keywords:
Work Culture,
Motivation,
Honesty,
Commitment,
Work
Performance
ABSTRAK
LatarBelakang : Perkawinan menjadi hal yang penting dalam siklus kehidupan
manusia karena terjadi perkawinan menyebabkan adanya keturunan yang akan
berlanjut menjadi keluarga dan berkembang menjadi masyarkat sosial. Tujuan :
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bagaimana keabsahan perkawinan
campuran berdasarkan tinjauan hukum positif serta akibat hukum dari putusnya
perkawinan campuran menurut hukum. Metode : Penelitian ini menggunakan
penelitian hukum normatif. Hasil : Pengaturan sistem hukum perkawinan di Indonesia
sudah secara lengkap mengatur tentang pengaturan perkawinan campuran tetapi perlu
adanya peraturan khusus yang memuat tentang kekurangan atau perbedaan syarat-
syarat atau perbedaan peraturan hukum untuk perkawinan bagi pihak Warga Negara
Asing, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum. Kemudian, terhadap hak pengasuhan
anak jatuh pada pihak ibu tetapi pihak ayah tetap membantu dengan membiayai anak
hingga berumur depalan belas tahun (18) sampai anak dikatakan dewasa. Kesimpulan
: Pengaturan perkawinan campuran di Indonesia dilakukan dengan proses dicatatkan
pada Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Kristen atau non-Muslim. Sedangkan
pencatatan perkawinan campuran pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang
muslim.
ABSTRACT
Background : Marriage is an important thing in the life of the human cycle because
marriage causes offspring that will continue to become a family and develop into a
social community. Purpose : This study aims to find out how the validity of mixed
marriages is based on positive legal reviews and the legal consequences of breaking
up mixed marriages according to law. Method : This research uses normative legal
research. Results : The regulation of the marriage legal system in Indonesia has
completely regulated the regulation of mixed marriages, but it is necessary to have
special regulations that contain the lack or difference in terms or differences in legal
regulations for marriage for foreign citizens, so that there is no legal vacuum. Then,
the right to care for the child falls on the mother's side but the father still helps by
financing the child until he is eighteen years old (18) until the child is said to be an
adult. Conclusion : Arrangements for mixed marriages in Indonesia are carried out
through the process of being registered at the Civil Registry Office for Christians
or non-Muslims. While the registration of mixed marriages at the Office of
Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Campuran Ditinjau
dari Hukum Positif di Indonesia
2022
Mutiara.D.C.Oratmangun
dan Benediktus Akel A. Terwarat 451
Religious Affairs (KUA) for Muslims.
PENDAHULUAN
Hidup berdampingan dan saling bergaul sesama masyarakat adalah hal yang
penting. Ada beberapa hal yang terjadi secara alamiah dalam siklus kehidupan manusia
yang tak kalah penting seperti kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian dan berbagai
hal penting lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan manusia sebagai makluk sosial
(Warsah, 2020). Perkawinan menjadi hal yang penting dalam kehidupan siklus manusia
karena terjadinya perkawinan menyebabkan adanya keturunan yang akan berlanjut
menjadi keluarga dan berkembang menjadi masyarkat sosial (Clara & Wardani, 2020).
Pada umumnya perkawinan di Indonesia yang terjadi biasanya hanya tentang agama, ras,
suku dan budaya, mengingat Indonesia memiliki banyak suku dan agama (Lestari, 2018).
Tetapi, dengan berkembangnya teknologi sebagai peradaban yang baru zaman sekarang,
perkawinan bukan hanya terjadi antara seorang pria dan wanita Indonesia tetapi juga
mengenal perkawinan campuran (Handayani, 2019). Dengan berkembangnya teknologi,
kemudahan untuk berinteraksi dan membangun relasi dengan orang dari luar negeri
menjadi tidak terbatas.
Perkawinan beda kewarganegaraan diatur didalam pasal 57 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor
16 Tahun 2019, perkawinan beda kewarganegaraan ini disebut dengan perkawinan
campuran (Martiono, 2020). Menurut pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2019, “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”,
dalam suatu perkawinan tidak ada yang sempurna selalu adanya percekcokan atau ketidak
pahaman yang berkepanjangan antara suami dan istri, sehingga terkadang harus berakhir
dengan perceraian, begitu juga dengan perkawinan campuran. Konsenkuensi yang
menjadi akibat dari perkawinan campuran ini berkaitan erat dengan beberapa hal
diantaranya kewarganegaraan pihak yang melakukan perkawinan campuran tersebut, hak-
hak antara suami istri, hak katas harta kekayaan dan hak asuh anak yang lahir dalam
perkawinan tersebut (Mamahit, 2013). Berdasar pada uraian tersebut, maka permasalahan
yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini adalah bagaimana keabsahan
perkawinan campuran berdasarkan tinjauan hukum positif serta apakah akibat dari
putusnya perkawinan campuran menurut hukum positif terhadap hak asuh anak.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bagaimana keabsahan perkawinan
campuran berdasarkan tinjauan hukum positif serta akibat hukum dari putusnya
perkawinan campuran menurut hukum.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, penelitian
ini mengkaji peraturan-peraturan yang mencakup tentang perkawinan campuran di
Indonesia antara lain : Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019,
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Metode ini
menggunakan pendekatan Statute Approch, yaitu pendekatan yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dalam penulisan ini peneliti menaruh
fokus pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana
Volume 2, Nomor 3, Maret 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
452 http://sosains.greenvest.co.id
diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindunga Anak sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaturan Perkawinan Campuran Menurut Hukum Positif Indonesia.
Pengertian perkawinan campuran terdapat dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019, yaitu Perkawinan di Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia dan
Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan Undang-undang ini (Sa’adah, Munalar, Oktarina, Tuanaya, &
Braviaji, 2021). Perkawinan campuran di Indonesia haruslah salah satu pihaknya
merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dan harus sesuai dengan hukum yang berlaku
di tempat dilangsungkan perkawinan tersebut. Bila dilangsungkan di Indonesia maka
harus tunduk pada hukum Indonesia, namun apabila dilangsungkan di Negara (asing) asal
pasangannya maka harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut (Aryawati,
2013). Walaupun, bagi Warga Negara Indonesia (WNI) tidak boleh melanggar ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019.
Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, menyebutkan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak yang lain berkewarganegaraan Indonesia. Berdasarkan definisi Pasal 57 dapat
diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut. Perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita; di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan; karena
perbedaan kewarganegaraan; salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Arliman,
2019). Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi
wanita yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi, perbedaan hukum tersebut bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia, melainkan karena unsur
ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini pun harus salah
satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan Indonesia (Padang, 2018).
Perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara
Asing (WNA), terdapat pertautan dua stelsel hukum yakni stelsel hukum Indonesia dan
stelsel hukum asing yang bersangkutan, dimana pertautan kedua stelsel hukum
bersangkutan disebabkan oleh adanya perbedaan kewarganegaraan dari pihak kedua belah
pihak, sehingga perbedaan tersebut merupakan persoalan hukum perdata Internasional,
yaitu hukum manakah yang berlaku terhadap peristiwa hukum tersebut (MATWIG & SH,
2013). Perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah Perkawinan
antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing (Jacinda, Jusuf, & Ferdina,
2018). Karena berlainan kewarganegaraan, tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka
juga berlainan. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat yang ditentukan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak
telah terpenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan, kepada
masing-masing calon mempelai oleh pejabat yang menurut hukum masing-masing
berwenang mencatat perkawinan diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah
terpenuhi (Kurniadinata, Yusri, & Al Amin, 2019). Jika menurut hukum yang berlaku
Volume 2, Nomor 3, Maret 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
Mutiara.D.C.Oratmangun
dan Benediktus Akel A. Terwarat 453
bagi yang bukan warga negara Indonesia membolehkan, maka surat keterangan tersebut
diatas dapat dibuat oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan negaranya di Indonesia.
Jika pejabat yang berwenang itu menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas
permintaan yang berkepetingan, Pengadilan dapat memberikan keputusan apakah
penolakan itu beralasan atau tidak. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan itu
tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keteragan
tersebut. Surat keterangan atau surat keputusan pengganti keterangan itu tidak berlaku
lagi jika perkawinan dalam masa 6 bulan (enam) sesudah keterangan itu diberikan tidak
dilangsungkan. Perkawinan campuran dicatat oleh pengawai pencatat yang berwenang.
Bagi yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam maka dicatat di Kantor Urusan
Agama (KUA) kecamatan, sedangkan bagi yang perkawinannya dilakukan menurut agam
Kristen maka dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Keabsahan pengaturan perkawinan campuran di Indonesia sudah secara lengkap
diatur sesuai dengan peraturan-peraturan Undang-undang yang berlaku, meskipun
demikian, pemerintah harus membuat sebuah peraturan yang memuat tentang keterangan
apabila dalam pemenuhan syarat ada kekurangan atau syarat untuk menikah di Indonesia
berbeda dengan syarat yang ada di negara asal pihak Warga Negara Asing (WNA),
mengingat bahwa masing-masing negara mempunyai peraturan yang berbeda tentang
perkawinan. Sebagai contoh seperti pencatatan perkawinan sesuai dengan agama, jika
agam kristiani harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, sedangkan yang muslim di
Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam hal ini bisa terjadi kekosongan hukum, mengingat
bahwa tidak semua negara mempunyai dua agama yang berbeda, apalagi jika pihak yang
akan menikah adalah pihak-pihak yang berbeda kewarganegaraan dan juga berbeda
agama. Maka hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah di Indonesia.
2. Akibat Putusnya Perkawinan Campuran Terhadap Anak
Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah membentuk keluarga yang bahagia,
harmonis dan untuk selamanya. Tetapi jika tujuan dari perkawinan tersebut tidak dapat
dicapai dengan berbagai alasan, maka dapat berujung pada putusnya perkawinan. Dengan
kata lain jika keharmonisan atau kerukunan dalam sebuah rumah tangga sudah tidak bisa
dipertahankan maka akan terjadi putusnya perkawinan tersebut. Meskipun perceraian
adalah jalan keluar dari permasalahan bagi suami dan istri, namun belum tentu berlaku
bagi anak. Putusnya perkawinan campuran menimbulkan masalah bagi kewarganegaraan
anak dan hak asuh anak serta menyangkut biaya-biaya pendidikan, biaya penghidupan
dan kebutuhan-kebutuhan anak. Akibat dari putusnya perkawinan campuran, justru yang
merasakan dampaknya secara nyata-nyata adalah anak-anak yang lahir dari perkawinan
campuran tersebut. Dalam pasal 41 (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, dibuat
semata-mata untuk mencegah terlantarnya anak-anak akibat putusnya suatu perkawinan.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah bagian
yang tidak terpisahakan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk
mewujudkan kesejateraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
haknya tanpa perlakuan diskriminatif. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebtkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(depalan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Oleh karena itu,
seseorang akan terus disebutkan sebagai seorang anak hingga berusia 18 Tahun, dan
sudah di anggap bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Adapun hak-hak anak dalam
Volume 2, Nomor 3, Maret 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
454 http://sosains.greenvest.co.id
perkawinan campuran, diantaranya: 1. Hak untuk mendapatkan pengakuan yang sah; 2.
Hak-hak perdata anak berkewarganegaraan ganda sebagai subjek hukum; 3. Hak anak
dalam bidang hukum perkawinan; 4. Hak anak sebagai ahli waris. Status Hukum Anak
adalah status personal anak. Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan
dan ketidakmampuan seseorang bersikap/bertindak dibidang hukum.
Jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain, putusnya
perkawinan, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan
kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang
dibawah umur (Amalia, n.d.). Permasalahan yang sering terjadi akibat putusnya
perkawinan campuran adalah kewarganegaraan anak dan hak asuh anak (Uyun, Hefni,
Prayogo, & Arif, 2018). Pemaknaan Prinsip Kewarganegaraan dalam Hukum Perdata
Internasional (HPI) asas kewarganegaraan menurut HPI Indonesia UU No. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Indonesia :
a. Asas Ius Soli adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran. Bagi negara Indonesia, penentuan yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang tersebut.
b. Asas Ius Sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan
atau pertalian darah. Artinya penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
kewarganegaraan orang tuanya, bukan berdasarkan negara tempat tinggalnya.
Asas Kewarganegaraan Tunggal Adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
c. Asas Kewaganegaraan Ganda Terbatas adalah asas menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
ini.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan mengizinkan atau memperbolehkan anak tersebut untuk menentukan
kewarganegaraannya setelah berumur 18 (depalan belas) tahun. Setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah menikah maka anak tersebut dapat memilih
kewarganegaraanya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau mengikuti
kewarganegaraan lain dalam hal ini Warga Negara Asing (WNA). Hakim akan
menentukan siapa yang berhak memelihara anak ketika terjadi permasalahan mengenai
hak asuh anak. Apabila anak masih dibawah umur maka hak asuh akan diberikan kepada
pihak ibu sepanjang pihak ibu memenuhi syarat-syarat yang diberikan oleh pemerintah,
seperti tidak memboros, tidak mabuk, tidak merugikan hak dan kepentingan anak.
Namun, kedua orang tua wajib untuk terus memelihara dan mendidik anak tersebut,
meskipun ibu adalah wali atau pemegang hak asuh anak, ayah tetap bertanggung jawab
dalam memelihara dan mendidik anak, meskipun secara hukum antara suami dan istri
telah berpisah, tetapi sama sekali tidak menghilangkan status orangtua terhadap anak-
anak tersebut (Islami, 2019). Dengan demikian keduanya harus memenuhi hak-hak anak
yang lahir dari perkawinan campuran tersebut sama seperti status anak pada umumnya
tanpa mengurangi atau menyalahgunakan hak-hak anak tersebut. Pasal 45 ayat (1) dan
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 secara jelas mengatur bahwa kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak
tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri. Dengan kata lain kewajiban ini tetap berlaku
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus karena perceraian. Pasal 41 ayat (a),
(b) dan (c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, menyatakan bahwa baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Campuran Ditinjau
dari Hukum Positif di Indonesia
2022
Mutiara.D.C.Oratmangun
dan Benediktus Akel A. Terwarat 455
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, Pengadilan memberi keputusannya; Bapak yang bertanggung-jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas isteri. Maka dalam hal ini jelas, meskipun perkawinan kedua orangtua telah
putus tetapi tidak mengubah tugas dan tanggung jawab kedua orangtua untuk merawat
dan mendidik anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka penulis menarik kesimpulan
pengaturan perkawinan campuran di Indonesia dilakukan dengan proses dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Kristen atau non Muslim. Sedangkan
pencatatan perkawinan campuran pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang muslim.
Hal ini dikarenakan keabsahan perkawinan campuran di Indonesia menurut ketentuan
perundang-undangan wajib melalui dua proses yakni Agama dan Pencatatan pada negara.
Namun, Indonesia belum mengatur secara jelas tentang perbedaan persyaratan atau
perbedaan peraturan perkawinan campuran dari pihak yang berkewarganegaraan asing.
Mengingat bahwa beberapa negara mempunyai peraturan perkawinan yang berbedah.
Sehingga jika dilangsungkan perkawinan di Indonesia dan jika syarat dari pihak WNA
tidak lengkap maka akan menyulitkan para pihak dan akan terjadi kekosongan hukum
untuk peristiwa ini. Pengaturan tentang kewarganegaraan anak dan hak-hak anak sudah
dijelaskan secara lengkap, akan tetapi peraturan saja tidak menjamin hak-hak anak akan
dipenuhi, mengingat salah satu orang tua berada di negara yang berbeda, maka
pemerintah harus lebih banyak berperan dalam pengawasan terhadap hak-hak anak dari
putusnya perkawinan campuran tersebut.
BIBLIOGRAFI
Amalia, R. I. A. Rizqi. (N.D.). Studi Komparatif Status Anak Yang Lahir Dari
Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Jurnal Hukum
Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum)
Universitas Tanjungpura, 3(3).
Arliman, Laurensius. (2019). Peran Lembaga Catatan Sipil Terhadap Perkawinan
Campuran Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. JCH (Jurnal Cendekia
Hukum), 4(2), 288301.
Aryawati, Ni Made. (2013). Eksistensi Perjanjian Kawin Dalam Perkawinan Campuran
Terhadap Penguasaan Hak Atas Tanah The Existence of Prenuptial Agreement in a
mixed marriage upon land tenure. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Clara, Evy, & Wardani, Ajeng Agrita Dwikasih. (2020). Sosiologi Keluarga. Jakarta:
UNJ PRESS.
Handayani, Dini. (2019). Perlindungan Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran
Setelah Perceraian Warga Negara Belanda Dengan Warga Negara Indonesia.
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Islami, Irfan. (2019). Legalitas Penguasaan Hak Asuh Anak Dibawah Umur (Hadhanah)
Kepada Bapak Pasca Perceraian. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga
Islam, 6(2), 181194.
Volume 2, Nomor 3, Maret 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
456 http://sosains.greenvest.co.id
Jacinda, Indah, Jusuf, Jason, & Ferdina, Verlin. (2018). Penguasaan Tanah Di Indonesia
Oleh Warga Negara Asing Melalui Perkawinan Campuran Dalam Falsafah Hukum.
ADIL: Jurnal Hukum, 9(2), 6178.
Kurniadinata, Abdullah Sani, Yusri, Diyan, & Al Amin, Ahmad. (2019). Sosialisasi
Pelaksanaan Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif.
Jurnal Abdimasa Pengabdian Masyarakat, 2(1), 91101.
Lestari, Novita. (2018). Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi, Dan Keagamaan, 4(1), 4352.
Mamahit, Laurensius. (2013). Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan
Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia. Lex Privatum, 1(1).
Martiono, Yohanes Halim. (2020). Kedudukan Anak Luar Kawin Ditinjau dari Undang-
Undang nomor 1 Tahun 1974 yang Diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2018 tentang Perkawinan (Studi Kasus: Alk Ryan Daniel Dickson). Jurnal
Education and Development, 8(2), 231.
Matwig, S. S., & Sh, N. I. Ketut Jayadi. (2013). Akibat Hukum Perceraian Dalam
Perkawinan Campuran. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Padang, STIH. (2018). Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum
Perdata Internasional. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, 33, 176.
Sa’adah, Nur, Munalar, Sri Siti, Oktarina, Surya, Tuanaya, Halimah Humayrah, &
Braviaji, Ervianto. (2021). Akibat Hukum Perkawinan Campuran Dan Perkawinan
Beda Agamadi Tinjau UndangUndang No. 16 Tahun 2019 Tengang Perkawinan.
Abdi Laksana: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 116122.
Uyun, Qurrotul, Hefni, Wildani, Prayogo, Galang, & Arif, Faisal. (2018).
Conceptualization of repudiation rights policies on Indonesian diaspora.
International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(8), 13941406.
Warsah, Idi. (2020). Pendidikan Islam dalam Keluarga: Studi Psikologis dan Sosiologis
Masyarakat Multi Agama Desa Suro Bali. Tunas Gemilang Press.