638 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 2 NOMOR 5 2022
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
NASAL SWAB MULTIPLEX PCR (MPCR) SEBAGAI METODE DIAGNOSIS
DINI PADA NARAKONTAK SERUMAH PENYANDANG LEPRA
Asep Wirayasa
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia
Corresponding Author : Asep Wirayasa
Email : asep19001@mail.unpad.ac.id
Info Artikel :
Diterima : 20 April 2022
Disetujui : 12 Mei 2022
Dipublikasikan : 15 Mei 2022
Kata Kunci:
mPCR, MNP,
Chemilumonesce
nce, Household,
Leprosy
Keywords:
mPCR, MNP,
Chemilumonesce
nce, Household,
Leprosy
ABSTRAK
Latar Belakang: Lepra adalah penyakit purba yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M.leprae). Indonesia masih menjadi penyumbang kasus lepra tertinggi kedua di
dunia. Kasus lepra yang ada di Indonesia kerap kali terdiagnosis ketika pasien sudah
memiliki gejala klinis yang parah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Potensi Nasal Swab mPCR yang diperkuat dengan MNP dan CL dengan target gen
RLEP, 16SrRNA dan sodA sebagai metode diagnosis dini pada narakontak serumah
penyandang lepra untuk strategi eradikasi lepra di Indonesia. Metode: Metode
penelitian ini adalah studi literatur ini disusun dengan metode kajian pustaka. Penulis
mengumpulkan berbagai jurnal yang dianalisis dan disintesis untuk menyusun penelitian
ini. Hasil: Nasal Swab mPCR yang diperkuat dengan MNP dan CL dapat mengeradikasi
bakteri M. leprae dengan cara diagnosis dini narakontak serumah penyandang lepra.
Kesimpulan: Nasal Swab mPCR dapat menjadi terobosan baru alat diagnosis dini lepra
pada narakontak serumah penyandang lepra.
ABSTRACT
Background: Leprosy is an ancient disease caused by Mycobacterium leprae (M.
leprae). Indonesia is still the second highest contributor to leprosy cases in the world.
Leprosy cases in Indonesia are often diagnosed when the patient already has severe
clinical symptoms. Purpose: This study aims to determine the potential of Nasal Swab
mPCR amplified with MNP and CL with the target gene RLEP, 16SrRNA, and SodA as
an early diagnosis method in household contacts with leprosy for leprosy eradication
strategies in Indonesia. Method: The method of this research is a literature study that
was compiled with a literature review method. The author collects various journals
which were analyzed and synthesized to compile this research. Results: Nasal Swab
mPCR amplified with MNP and CL can eradicate M. leprae bacteria by means of early
diagnosis of household contacts with leprosy. Conclusion: Nasal Swab PCR can be a
new breakthrough tool for early diagnosis of leprosy in household contacts with leprosy.
PENDAHULUAN
Lepra adalah penyakit bakteri purba yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (Purba et al., 2021). Bakteri ini menyebabkan infeksi kronis yang tidak hanya
memengaruhi saraf perifer dan kulit, tetapi juga dapat memengaruhi bagian lain seperti
Nasal Swab Multiplex PCR (mPCR) Sebagai Metode
Diagnosis Dini Pada Narakontak Serumah
Penyandang Lepra
Asep Wirayasa 639
mata, selaput lendir, saluran pernapasan bagian atas, tulang dan testis (Amiruddin, 2019).
Hal ini mengakibatkan adanya spektrum manifestasi klinis yang beragam.
Penyakit ini masih menjadi masalah besar di Indonesia karena dapat mengakibatkan
cacat berat, stigma sosial dan kerugian ekonomi (Fajrin, 2019). Cacat berat dapat berupa
gangguan saraf sensorik, motorik dan otonom. Hal ini menyebabkan pasien mengalami
mati rasa, kebutaan dan keretakan kulit yang akan berdampak pada kondisi sosial dan
ekonomi. Menurut sebuah penelitian di Brazil, 93.6% penyandang lepra mendapatkan
stigma sosial dengan 40.4% penyandang mengalami depresi. Penyandang lepra dijauhi
karena adanya stigma di masyarakat bahwa penyakit lepra disebabkan oleh kutukan dan
dapat menular hanya dengan berdekatan dengan penderita (Amrina Yulita, 2021). Cacat
dan stigma tersebut membuat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan
mendapatkan pekerjaan sehingga menurunkan kesejahteraan ekonomi penyandang lepra
(Muthmainnah, Mardhiyah, & Fikri, 2019). Bahkan, suatu penelitian menyebutkan bahwa
kerugian satu kabupaten sampai 2016 mencapai 1,9 miliar rupiah.
Menurut Global Leprosy Strategy 2016-2020, eliminasi lepra difokuskan pada
deteksi dini sebelum kecacatan terjadi. Fokus khusus akan diberikan pada anak-anak
sebagai cara untuk mengurangi kecacatan dan mengurangi penularan. Pada tahun 2020,
target global penderita baru lepra anak adalah nihil kecacatan (Puspa Satriani, 2021).
Hingga awal tahun 2000, secara umum prevalensi lepra di Indonesia menurun sesuai target
WHO, yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun, jumlah penderita lepra baru tidak
menurun bahkan pada beberapa daerah endemis, penderita lepra mengelompok sehingga
sering disebut dengan daerah kantong. Indonesia masih menjadi negara dengan penderita
lepra tertinggi ke-2 di dunia (Marsanti & Ardiani, 2020). Indonesia masih melaporkan
adanya lepra baru dengan 84,5% kasus adalah tipe multibacillary (MB) (Hetty, 2019).
Kasus lepra paling banyak terjadi pada usia produktif yaitu sebanyak 91,1% yang
mengakibatkan kecacatan sebanyak 6,81 tiap 1 juta penduduk. Hal ini disebabkan
mobilitasnya yang tinggi (Prakoeswa et al., 2021). Kelompok berikutnya yang paling
banyak terserang lepra adalah anak-anak dengan 6,7% kasus menyebabkan kecacatan
(Catrina, Warjiman, & Rusmegawati, 2016). Lingkungan memiliki potensi reservoir dalam
penularan lepra, terutama faktor nonmanusia. Studi epidemiologi lepra memberikan
gambaran tentang pentingnya aspek lingkungan dalam pola penularan lepra di daerah
endemis (Fadilah, 2013). Seperti kepadatan penduduk, kepadatan hunian, kelembaban dan
adanya daerah dengan sanitasi buruk juga berpengaruh terhadap penularan lepra.
Baru-baru ini, WHO merevisi definisi kasus-kasus lepra. Pertama, paucibacillary
(PB), yaitu kasus lepra dengan 1-5 lesi kulit tanpa menunjukkan adanya basil pada apusan
kulit. Kedua, kasus MB yaitu kasus lepra dengan lebih dari 5 lesi kulit, keterlibatan saraf
(neuritis murni atau sejumlah lesi kulit dan neuritis) atau adanya basil pada Slit-Skin Smear
(SSS) terlepas dari jumlah lesi kulit.
Diagnosis lepra secara rutin dilakukan berdasarkan tanda-tanda kardinal penyakit
lepra, yaitu adanya patch anestesi hipopigmentasi, penebalan saraf, dan adanya Basil
Tahan Asam (BTA) pada SSS. Meskipun adanya BTA pada apusan kulit merupakan
diagnostik untuk lepra, sensitivitasnya sangat rendah untuk diagnosis dini lepra.
Selanjutnya, uji serologis berdasarkan deteksi spesifik antigen pada M.leprae seperti
Phenolic Natural Disaccharide Octyl Bovine Serum Albumin (NDO-BSA) atau Glycolipid-
1 (PGL-1) dan Natural Disaccharide Octyl Leprosy IDRI Diagnostic antigen (NDO-LID)
yang digunakan sebelumnya gagal mendeteksi sekitar 60% kasus PB lepra. Hal ini
disebabkan tingkat antibodi dikaitkan dengan intensitas pajanan pejamu terhadap patogen,
uji serologis ini tidak terbukti efisien dalam mendeteksi kasus PB yang belum
mengembangkan tingkat antibodi signifikan. Hal ini menunjukkan kegagalannya untuk
mendiagnosis infeksi subklinis.
Volume 2, Nomor 5, Mei 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
640 http://sosains.greenvest.co.id
Metode imunologi lain seperti respon imun sel T yang diukur dengan produksi IFNγ
digunakan di seluruh spektrum pasien lepra dan mendapatkan hasil yang sama. Kasus PB
memicu respons Cell Mediated Immunity (CMI) untuk menyekresikan IFNγ tingkat tinggi
setelah stimulasi in vitro dengan antigen spesifik M. leprae. Namun, karena narakontak
serumah juga menunjukkan pola sekresi IFNγ yang serupa dengan kasus PB, uji berbasis
IFN ternyata tidak signifikan. Oleh karena itu, tes berbasis serologis dan CMI yang ada
sejauh ini gagal dikembangkan sebagai tes diagnostik dini lepra sehingga dibutuhkan
metode lain, seperti Polymerase Chain Reaction (PCR).
PCR adalah metode molekuler yang sangat sensitif dan spesifik untuk amplifikasi
dan identifikasi asam nukleat organisme tertentu. Sebelumnya, berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendeteksi DNA M. leprae pada sampel klinis penderita lepra. Sampel
klinis yang digunakan tidak hanya biopsi kulit, juga termasuk berbagai jenis spesimen
seperti SSS, nerve twigs, urine, nasal swab, saliva, darah dan jaringan mata. Kegunaan PCR
dalam identifikasi lepra neuritik murni telah terbukti memiliki sensitivitas hingga 50-70%.
Target sensitif dan spesifik merupakan elemen penting untuk mengembangkan alat
diagnostik dengan menggunakan metode berbasis PCR. Dalam suatu penelitian terbukti
sebanyak 73% pasien positif menggunakan PCR berbasis RLEP pada pasien dengan indeks
basiler nol. PCR berbasis RLEP telah digunakan oleh banyak peneliti untuk mendiagnosis
lepra. Pada penelitian sebelumnya, target gen lain seperti 16SrRNA dan sodA telah
digunakan untuk uji viabilitas dan deteksi spesifik untuk M. lepra. Ditemukan pada uji
viabilitas 16SrRNA/RLEP RT-PCR M. leprae berguna baik untuk tujuan eksperimental
jangka pendek dan untuk memprediksi viabilitas M. leprae dalam spesimen biopsi untuk
memantau efektivitas pengobatan, sedangkan uji viabilitas sodA/RLEP RT-PCR M. leprae
masih terbatas pada tujuan penelitian eksperimental jangka pendek.
Salah satu dari jenis PCR adalah Multiplex PCR (mPCR) yang memiliki potensi
dapat mendiagnosis lepra pada fase subklinis termasuk pada narakontak serumah dengan
sampel nasal swab. Namun, selain dari penggunaannya yang masih terbatas pada uji coba,
mPCR juga masih memiliki kekurangan dari segi spesifisitasnya. Oleh karena itu, mPCR
perlu ditingkatkan kembali sensitifitas dan spesifisitasnya agar memaksimalkan metode
diagnosis dini lepra.
Magnetic Nanoparticle (MNP) dan Chemiluminescence (CL) terbukti dapat
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas dari PCR konvensional. Oleh sebab itu, mPCR
yang diperkaya dengan MNP dan CL dapat berpotensi untuk menjadi alat diagnosis dini
pada narakontak serumah penyandang lepra sebagai strategi eradikasi lepra di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Potensi Nasal Swab mPCR yang diperkuat
dengan MNP dan CL dengan target gen RLEP, 16SrRNA, dan sodA sebagai metode
diagnosis dini pada narakontak serumah penyandang lepra untuk strategi eradikasi lepra
di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Studi tinjauan pustaka ini berasal dari analisis dan sintesis dari berbagai referensi.
Penulis memasukkan berbagai kata kunci kedalam mesin pencari yaitu mPCR, MNP,
Chemilumonescence, Household, Leprosy. Berdasarkan jurnal yang didapat dari hasil
pencarian, dipilihlah jurnal yang berupa full-text, dan berkaitan dengan topik. Jurnal yang
dipilih dipastikan memiliki waktu paling lama 10 tahun dengan menggunakan sistem
pencarian. Referensi diambil dari publikasi global yang dapat diakses secara gratis melalui
Pubmed, google scholar, PlosOne dan clinical key. Setelah sumber didapatka lalu sumber
dirangkum dan ditulis sesuai dengan materi yang dibahas.
Nasal Swab Multiplex PCR (mPCR) Sebagai Metode
Diagnosis Dini Pada Narakontak Serumah
Penyandang Lepra
Asep Wirayasa 641
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Patogenesis Lepra
Mycobacterium leprae complex, yang terdiri atas Mycobacterum leprae dan
Mycobacterium lepromatosis, merupakan bakteri gram positif dan acid fast bacilli
penyebab infeksi granuloma kronis . Meskipun telah terpisah secara evolusi selama 13 juta
tahun yang lalu, kedua spesies ini menunjukkan kondisi patologis yang mirip. Dengan
genom yang mengandung sedikit protein-coding genes dibandingkan dengan non-coding
genes dan pseudogenes, M.leprae menjadi organisme intraseluler obligat yang
kesintasannya sangat bergantung pada host.
M. leprae memiliki generation time yang panjang, yaitu sekitar 12-14 hari dan
tumbuh optimal pada suhu 27-33o C. Hal ini menyebabkan M.leprae menyebar lebih
efisien pada regio tubuh yang lebih dingin, seperti kulit, saraf yang dekat kepermukaan
kulit, dan membran saluran pernapasan atas. Selain menginfeksi manusia, bakteri ini juga
menginfeksi armadillo, tupai merah dan tiga spesies primata karena memiliki bagian tubuh
yang sesuai dengan suhu optimal pertumbuhannya. Pada manusia, M.leprae menginvasi
sel schwann pada sistem saraf perifer dan makrofag. Masuknya M.leprae kedalam sel
schwann dimediasi oleh domain G laminin α2 chain yang terdapat pada basal lamina. Hal
ini disebabkan oleh domain G laminin α2 chain memiliki sisi yang berikatan dengan M.
leprae sekaligus α- dystroglycan pada membran sel schwann.
Pada sel schwann, M. leprae bisa menyebabkan demielinasi dini. Hal ini dapat terjadi
karena M.leprae berikatan secara langsung dengan ErbB2 (suatu reseptor tirosin kinase
kompleks pada membran sel schwann) sehingga heterodimerisasi ErbB2 dengan ErbB3
tidak terjadi. Terlewatnya proses heterodimerisasi ini menghambat intracellular signaling
pathway yang menginisiasi diferensiasi dan proliferasi sel schwann.
M.leprae juga menyebabkan sel schwann tetap berada dalam bentuk tidak
terdiferensiasi. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan pembentukan cyclin D1
yang meningkatkan pembelahan sel schwann sekaligus menginaktivasi myelination-
associated genes.
Sebenarnya M.leprae bisa dibunuh oleh pelepasan nitrogen oksida (NO) dan
upregulasi Th1. Namun, studi menunjukkan bahwa M.leprae mengubah status aktivasi
makrofag menjadi tipe M2 (antiinflamasi) yang ditandai dengan penurunan ekspresi IL- 6,
IL-1 beta, MHC kelas II, dan TNF serta peningkatan ekspresi IL-10 dan CD163. Selain itu,
M. leprae juga terbukti meningkatkan resistensi makrofag terhadap CD8+. Hal ini
mengindikasikan bahwa invasi M. leprae terhadap makrofag memiliki pengaruh yang
besar terhadap kesintasannya. Manifestasi klinis lepra bermacam-macam tergantung dari
respons imun tubuh terhadap M. leprae. Terdapat beberapa jenis lepra yang teridentifikasi
berdasarkan manifestasinya, diantaranya indeterminate leprosy, tuberculoid leprosy (TT),
borderline tuberculoid leprosy (BT), mid-borderline leprosy (BB), borderline lepromatous
leprosy (BL) dan lepromatous leprosy (LL) (57).
Reaksi antigen M.leprae terhadap tubuh terbagi menjadi tiga jenis, yaitu tipe 1, 2,
dan 3. Reaksi tipe 1, disebut juga reverse reaction, merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen M.leprae yang ditandai dengan lesi kulit urtikaria, pembengkakan, demam
tinggi dan inflamasi saraf dengan abses yang menyebabkan hilangnya sensasi motoris dan
Volume 2, Nomor 5, Mei 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
642 http://sosains.greenvest.co.id
sensoris. Reaksi ini terjadi pada 30% pasien BT, BB, dan BL dengan pemicu berupa
kehamilan, komorbiditas dan terapi .
Reaksi tipe 2, biasa juga disebut dengan eritema nodosum leprosum, merupakan
reaksi episodik yang terjadi pada 50% lepra jenis BL dan LL. Reaksi ini biasanya muncul
sebagai nodul yang nyeri, pembentukan pustul berisi pus dan acid fast bacilli pada eksudat.
Lesi pada reaksi ini utamanya terletak pada permukaan ekstremitas dan wajah. Myalgia,
demam, arthralgia, malaise, nyeri tulang dan anoreksia menjadi gejala pada reaksi tipe ini.
Kerusakan saraf menyebabkan kelemahan dan insensitivitas, bahkan sampai menimbulkan
katarak, glaukoma dan kebutaan .
Reaksi tipe 3 (disebut juga Lucio’s phenomenon) ditandai dengan lepromatosis yang
menyebar, patches dan bulosa yang bisa menimbulkan ulserasi dan nekrotik. Gejala
sistemik yang muncul dari reaksi tipe 3 ini meliputi demam, limfadenitis,
hepatosplenomegali, anemia, epistaksis dan kerusakan tulang nasal.
Mekanisme transmisi M.leprae belum dapat dijelaskan sepenuhnya. Namun,
beberapa studi menunjukkan bahwa kontak dalam jangka waktu yang lama dan kepadatan
penduduk menjadi faktor risiko dari penularan bakteri ini. Saluran respirasi diduga kuat
memegang peranan penting dalam transmisi M.leprae karena studi menunjukkan adanya
bakteri dalam jumlah yang besar (100 juta sel/hari) teridentifikasi pada mukosa hidung
(47,50). Selain transmisi melalui aerosol, transmisi intrauterin, via tattooing, hewan dan
kontak kulit juga dilaporkan pada beberapa studi.
M.leprae memiliki masa inkubasi yang panjang, berkisar antara 5 hingga 20 tahun
bahkan lebih. Hal ini menjadi keunikan sekaligus tantangan terutama dalam diagnosis
suspek lepra yang berada pada fase subklinis. Diagnosis dini pada kontak erat, misalnya
anggota rumah, sebelum muncul gejala memungkinkan pemutusan perjalanan penyakit dan
pencegahan transmisi. Administrasi single-dose rifampicin sebagai leprosy- post exposure
prophylaxis (LPEP) terbukti efektif mencegah lepra tanpa efek samping serius.
B. Diagnosis Lepra
Diagnosis lepra pada pasien dalam fase klinis dilakukan dengan mengamati
manifestasi klinis pada kulit dan saraf. Pemeriksaan penunjang bakterioskopik, seperti
pengamatan sediaan slit-skin smear dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, juga kerap
dilakukan. Apabila diagnosis meragukan, biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi,
histopatologi, pemeriksaan serologi (PGL-1), atau PCR.
Deteksi mikroskopik M.leprae dari jaringan, histopatologi, dan evaluasi klinik dapat
digunakan untuk mendiagnosis lepra. Namun, dibutuhkan minimum 10.000 bakteri per
gram jaringan untuk mendapatkan hasil yang reliable. Metode ini juga tidak efektif untuk
kasus pure neural leprosy yang tidak mengandung acid fast bacilli pada smears.
Tes serologi terhadap M.leprae dilakukan dengan mendeteksi antibodi terhadap M.
leprae phenolic glycolipid-1 (PGL-1), Natural Disaccharide Octyl Bovine Serum Albumin
(NDO-BSA) atau Natural Disaccharide Octyl Leprosy IDRI Diagnostic antigen (NDO-
LID). Namun, molekul tersebut tidak selalu ditemukan pada berbagai jenis lepra. Misalnya
pada TT, PGL-1 tidak selalu dihasilkan sehingga tes serologis ini sering menimbulkan hasil
false positive. Seropositivity juga sangat bergantung pada indeks bakteri dan pajanan.
Nasal Swab Multiplex PCR (mPCR) Sebagai Metode
Diagnosis Dini Pada Narakontak Serumah
Penyandang Lepra
Asep Wirayasa 643
Fluorescencein-situ hybridization (FISH) dilakukan dengan menggunakan sampel
kulit yang difiksasi dengan 4% paraformaldehyde yang diberi 10 mg/ml lisozim dan 10
μg/ml proteinase K. Sampel diinkubasi semalaman dengan probes yang spesifik, dicuci,
dan diamati dengan fluorescent microscope. Metode ini memakan waktu yang cukup lama.
Selain itu, subjek dan sampel penelitian mengenai penggunaan FISH dalam diagnosis lepra
masih sedikit.
Metode lain yang bisa digunakan untuk mendeteksi lepra adalah polymerase chain
reaction (PCR). Deteksi berbasis PCR telah digunakan selama dua dekade, terutama untuk
kasus dengan negative index bacillary dan pasien yang tidak menunjukan tanda-tanda
kardinal lepra. Genom yang memiliki salinan dalam jumlah besar diperkirakan bisa
menjadi target gen yang efisien. Hal ini terbukti pada studi yang menunjukkan bahwa
RLEP yang diulang sebanyak 28 kali pada genom M.leprae lebih efisien dan sensitif
dibandingkan dengan 16SrRNA, sodA dan rpoT.
Meskipun RLEP terbukti lebih efisien sebagai individual gene target PCR,
penggunaan multiplex target (RLEP, 16SrRNA, dan SodA) terbukti dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas serta meningkatkan positivity pada kasus low-bacillary index.
Sampel nasal swab juga dilaporkan dapat mendeteksi M.leprae pada narakontak serumah
saat sampel yang lain (SSS dan sampel darah) gagal menunjukkan hasil positif. Selain itu,
pengambilan sampel untuk nasal swab juga relatif mudah dan telah dikenal masyarakat.
Kemampuan yang baik dari nasal swab M-PCR dalam mendeteksi M. leprae pada
narakontak serumah masih bisa ditingkatkan lagi. Sebuah metode yang cukup banyak
diteliti adalah chemiluminescence (CL) dengan memanfaatkan magnetic nanoparticle
(MNP). CL dan MNP sangat berpotensi memperkuat sensitivitas dan spesifisitas dari M-
PCR.
C. M-PCR yang Diperkuat MNP dan CL
Sejak ditemukan pada tahun 1983, PCR telah mengalami perkembangan pesat dan
memiliki kontribusi besar pada dunia ilmu pengetahuan. Dengan berkembangnya metode
PCR, studi-studi mengenai aplikasinya dalam mendeteksi M. leprae semakin berkembang.
Bahkan, sampel yang diambil tidak hanya didapatkan melalui biopsi kulit saja, tetapi juga
dari SSS, cabang saraf, urine, nasal swab, saliva, darah dan jaringan okuler dengan rata-
rata sensitivitas 50-70%.
Gen target yang paling berperan adalah RLEP, 16SrRNA, dan sodA. Hal ini
disebabkan sekuens berulang RLEP pada genom M.leprae bisa mencapai 19-37 salinan
sehingga dapat menjadi target yang lebih sensitif daripada salinan tunggal gen target
lainnya. Selain itu, penargetan RLEP juga diketahui dapat mendeteksi DNA M.leprae pada
73% pasien dengan indeks bakteri (BI) 0. Sementara itu, 16SrRNA dan sodA berperan
dalam viabilitas dan uji deteksi yang spesifik untuk M. Leprae. Bahkan, spesifisitas dari
salinan tunggal 16SrRNA lebih besar daripada multi- salinan RLEP. Hasilnya, pengujian
dengan menargetkan ketiga gen tersebut dapat mendeteksi bakteri M.leprae secara sensitif
dan spesifik. Akan tetapi, teknik PCR konvensional hanya dapat menargetkan satu gen
dalam sekali waktu sehingga kurang efisien. Oleh karena itu, diperlukan metode yang dapat
Volume 2, Nomor 5, Mei 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
644 http://sosains.greenvest.co.id
menargetkan ketiga gen tersebut secara bersamaan, sebagaimana ditunjukkan oleh teknik
M-PCR.
M-PCR adalah jenis PCR yang dapat menargetkan beberapa gen sekaligus dalam
sekali reaksi. Setiap target dapat memiliki pasangan primer yang berbeda-beda sehingga
probe harus dapat dibedakan satu sama lain dengan jelas. Dengan menggunakan M-PCR,
informasi yang didapatkan lebih banyak daripada PCR konvensional meskipun sampel
yang digunakan lebih sedikit. Teknik ini juga lebih efektif dan efisien karena membutuhkan
waktu dan bahan yang lebih sedikit. Untuk mendapatkan hasil terbaik, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam metode M-PCR. Pertama, desain primer harus optimal
sehingga semua pasangan primer berbeda dapat bekerja dalam suhu anil yang sama saat
dilakukan PCR. Kedua, desain primer harus dapat memastikan bahwa semua pasangan
primer sangat spesifik. Ketiga, ukuran amplicon atau panjang produk tidak boleh berbeda
jauh agar produk amplifikasi yang dihasilkan seragam dan optimal.
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2017 melaporkan deteksi penyakit lepra
sebesar 75,61% menggunakan teknik M-PCR yang menargetkan tiga pseudogenes M.
leprae (ML1545, ML2180, dan ML2179). Hal ini membuktikan adanya peningkatan
efikasi oleh teknik M-PCR dari teknik sebelumnya, yaitu PCR konvensional, dalam
mendeteksi gen- gen pada bakteri M.leprae. Tak hanya mendiagnosis lepra pada fase klinis,
M-PCR juga dapat dilakukan untuk diagnosis dini narakontak serumah pasien yang masih
belum menunjukkan gejala. Studi mengenai transmisi M.leprae pada narakontak serumah
menggunakan PCR melaporkan adanya hasil positif sebesar 16% setelah dilakukan deteksi
pada sampel nasal swab. Setelah di follow-up beberapa waktu kemudian, 2 orang
menunjukkan tanda-tanda dan gejala. Di samping itu, M-PCR yang menargetkan RLEP dan
TTC pada sampel nasal swab dari subjek narakontak serumah menunjukkan hasil positif
jauh lebih dari 10%. Hasil positif lain dengan persentase cukup tinggi (49%) juga
ditunjukkan pada saat dilakukan qPCR terhadap RLEP dari sampel nasal swab narakontak
serumah dan pasien MB .
Studi yang dilakukan di India pada tahun 2019 mengenai penggunaan M-PCR
sebagai alat diagnosis dini lepra pada narakontak serumah. Subjek dari penelitian itu
sejumlah 60 pasien PB dan 50 narakontak serumah. Sampel berupa SSS, darah, nasal swab,
dan saliva dikumpulkan dari subjek dan diproses lebih lanjut untuk dilakukan M-PCR
dengan hasil sebagaimana tampak pada Tabel 2. Dari hasil penelitian tersebut, tampak
bahwa diagnosis dini menggunakan M-PCR dengan gen target RLEP, 16SrRNA, dan sodA
pada narakontak serumah memiliki hasil positif yang cukup signifikan pada sampel nasal
swab, yaitu 40%. Penggunaan M-PCR pada sampel ini menghasilkan sensitivitas dan
spesifitas yang cukup tinggi, yaitu 0,8 dan 0,6.
Meskipun penggunaan sampel lain menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi, sampel nasal swab lebih dapat dijadikan tumpuan untuk mendeteksi M. leprae pada
fase subklinis. Hal ini disebabkan transmisi utama dari bakteri M.leprae adalah melalui
penyebaran aerosol lewat saluran pernapasan atas. Oleh karena itu, penggunaan sampel
nasal swab memiliki kelebihan daripada sampel lain dalam diagnosis lepra pada
penyandang lepra asimtomatis, seperti narakontak serumah pasien.
Sensitivitas dan spesifisitas sampel nasal swab yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan sampel lain dapat diperbaiki dengan penguatan M- PCR itu sendiri. Sebuah metode
Nasal Swab Multiplex PCR (mPCR) Sebagai Metode
Diagnosis Dini Pada Narakontak Serumah
Penyandang Lepra
Asep Wirayasa 645
yang dapat dipakai adalah CL dengan memanfaatkan MNP. CL merupakan emisi cahaya
yang berasal dari reaksi kimia. Pancaran ini berasal dari radiasi tampak ataupun tak tampak
(300-800 nm) yang terbentuk pada saat elektron berpindah dari keadaan tereksitasi ke
keadaan dasar (Himami, 2021). Resultan energi potensial yang dihasilkan ini pun akan
terlepas dalam bentuk cahaya (Suherman, Luwihono, & Rasyid, 2022). Selama bertahun-
tahun, CL sudah dikenal sebagai metode untuk menganalisis molekul, termasuk asam
nukleat organisme, karena sensitivitas dan spesifitasnya yang tinggi. Selain itu, metode ini
juga terbilang efisien, baik dari segi kecepatan maupun biaya.
Dalam metode CL, ada beberapa penanda yang dapat dipakai. Penanda langsung
misalnya berupa penanda luminofor seperti ester dari akridinium dan ruthenium. Sementara
itu, penanda tidak langsung adalah penanda enzimatik berupa alkalin fosfat dengan
adamantyl 1,2-dioxetane aryl phosphate (AMPPD). Pada saat menggunakan AMPPD,
maka dibutuhkan bahan tambahan alkaline phosphatase (ALP) sehingga dihasilkan reaksi
berupa warna dan nyala. Dalam deteksi molekul biologis, AMPPD lebih sering digunakan
karena kestabilannya. Berangkat dari potensi tersebut, aplikasi MNP pada produk
amplifikasi M-PCR dan analisis menggunakan CL bisa meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas yang didapatkan secara efisien.
Setelah dilakukan M-PCR, hasil amplifikasi dapat dihibridisasi dengan MNP yang
sudah dilekatkan dengan probe. MNP dapat berupa Fe3O4. Pada proses itu juga,
ditambahan streptavidin alkaline phosphatase (SA-ALP). Setelah itu, AMPPD
ditambahkan agar larutan dapat dianalisis menggunakan metode CL, sebagaimana terlihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema M-PCR yang Diperkuat MNP dan CL
Sementara itu, MNP adalah nanomaterial yang banyak digunakan dalam obat-
obatan, MRI, sampai purifikasi asam nukleat dan protein. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan nanopartikel ini dalam pemisahan dan adsorpsi (kemampuan untuk adhesi
pada permukaan partikel lain, terutama yang padat) (Irianto & Muljanah, 2011). Kelebihan
ini membuat penambahan MNP dalam metode CL dapat memperkuat sensitivitas deteksi.
Pada studi-studi yang telah dilakukan, deteksi MNP-CL membuktikan adanya peningkatan
sensitivitas dan spesifisitas daripada metode analisis lain. Sebuah studi mengenai analisis
variasi jumlah salinan gen menggunakan metode ini memperlihatkan lebih sedikit
ketidaksesuaian daripada metode multiplex ligation-dependent probe amplification
Volume 2, Nomor 5, Mei 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
646 http://sosains.greenvest.co.id
(MLPA). Selain itu, aplikasi MNP-CL pada genotypying bakteri Pseudomonas aeruginosa
menggunakan M-PCR lebih akurat daripada metode PCR saja.
Dengan menggunakan M-PCR yang diperkuat MNP dan CL, deteksi bakteri M.
leprae dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Hal ini akan mempermudah diagnosis
dini penyakit lepra pada narakontak serumah pasien. Hasilnya, penanganan yang sesuai
dapat diterapkan sehingga kecacatan besar bisa dicegah (Nafiah, 2015). Apabila metode ini
dapat diterapkan secara luas di Indonesia, maka penyakit lepra pun dapat tereradikasi
secara sempurna. Meskipun studi mengenai diagnosis dini lepra menggunakan M-PCR
yang diperkuat MNP dan CL masih sangat terbatas, tak menutup kemungkinan metode ini
dapat diteliti dan dikembangkan lebih lanjut sehingga efikasinya pun terbukti secara klinis.
Selain itu, komposisi MNP dan AMPPD yang tepat pun perlu dielaborasi kembali.
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara dengan jumlah lepra tertinggi kedua didunia. Penyakit
kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae ini dapat menular melalui
kontak dalam jangka waktu lama, seperti pada narakontak serumah pasien. Namun, masa
inkubasinya yang mencapai bertahun-tahun membuat bakteri ini sulit terdeteksi. Hal ini
menunjukkan perlu adanya suatu metode diagnosis dini lepra pada narakontak serumah
agar penanganan yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien.
Metode yang sudah terbukti secara empiris adalah M-PCR, yaitu teknik PCR yang
dapat menargetkan beberapa gen sekaligus sehingga lebih efisien daripada teknik PCR
konvensional. Aplikasi M-PCR untuk mendeteksi gen RLEP, 16SrRNA, dan sodA pada M.
leprae tak hanya berperan dalam diagnosis lepra pada fase klinis, tetapi juga dalam
diagnosis dini narakontak serumah pasien. Berdasarkan beberapa studi menggunakan M-
PCR, hasil positif signifikan bakteri M.leprae pada narakontak serumah pasien lepra
tampak pada saat sampel berupa nasal swab. Sensitivitas dan spesifisitas metode ini pun
dapat ditingkatkan pada saat diperkuat oleh MNP dan CL. Hal ini menunjukkan potensi M-
PCR yang diperkuat MNP dan CL dengan sampel nasal swab sebagai tes diagnosis dini
yang efektif terhadap penyakit lepra pada narakontak serumah pasien.
Akan tetapi, masih dibutuhkan studi klinis lebih lanjut mengenai aplikasi CL dengan
memanfaatkan MNP pada M-PCR dalam mendiagnosis lepra untuk membuktikan
efikasinya. Selain itu, perlu ada kerja sama antara pihak tenaga kesehatan dengan
pemerintah sehingga metode ini dapat diterapkan secara meluas dan merata di Indonesia.
Dengan demikian, diharapkan penyakit lepra di negara ini dapat tereradikasi secara
maksimal.
BIBLIOGRAFI
Amiruddin, Muh Dali. (2019). Penyakit kusta: sebuah pendekatan klinis. Firstbox Media.
Amrina Yulita, A. Y. (2021). Pengetahuan, Sikap Penderita Penyakit Kusta Serta Peran
Masyarakat Di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Batumarta Ii Kabupaten Oku Tahun
2021. STIK Bina Husada Palembang.
Catrina, Putri, Warjiman, Warjiman, & Rusmegawati, Rusmegawati. (2016). Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecacatan Klien Kusta. Jurnal Keperawatan
Nasal Swab Multiplex PCR (mPCR) Sebagai Metode
Diagnosis Dini Pada Narakontak Serumah
Penyandang Lepra
Asep Wirayasa 647
Suaka Insan (JKSI), 1(1), 113.
Fadilah, Superzeki Zaidatul. (2013). Hubungan dukungan keluarga dengan depresi
penderita kusta di dua wilayah tertinggi kusta di Kabupaten Jember.
Fajrin, Yaris Adhial. (2019). Perempuan dalam Prostitusi: Konstruksi Pelindungan Hukum
Terhadap Perempuan Indonesia dari Perspektif Yuridis dan Viktimologi. Negara
Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 10(1), 6788.
Hetty, Apriliana. (2019). FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun. Stikes Bhakti Husada Mulia
Madiun.
Himami, Muhammad Rifqi. (2021). Pengaruh paparan LED warna merah dan hijau
terhadap pertumbuhan tanaman Kailan (Brassica oleraceae) dengan sistem
hidroponik cocopeat. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Irianto, Hari Eko, & Muljanah, Ijah. (2011). Proses dan aplikasi nanopartikel kitosan
sebagai penghantar obat. Squalen, 6(1), 18.
Marsanti, Avicena Sakufa, & Ardiani, Hanifah. (2020). Hubungan Antara Personal
Hygiene Dengan Kejadian Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten
Madiun. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 9(2),
102108.
Muthmainnah, Muthmainnah, Mardhiyah, Ajeng Sayang, & Fikri, Muhammad Zainal.
(2019). Peran Self-Stigma Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pada Mantan
Penderita Kusta Di Sumatera Selatan. Sriwijaya University.
Nafiah, Rufin. (2015). Tingkat Kemandirian Pasien Post Stroke Iskemik Di Poli Syaraf
Rsud Jombang. Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum.
Prakoeswa, Cita Rosita Sigit, Rantam, Fedik Abdul, Listiawan, Muhammad Yulianto,
Alinda, Medhi Denisa, Prakoeswa, Flora Ramona Sigit, & Astari, Linda. (2021).
Ulkus Plantar Kronis Pada Kusta: Tata Laksana Terkini. Airlangga University Press.
Purba, Agung Mahardika Venansius, Khairani, Miftahul, Purba, Deasy Handayani, Yesti,
Yulia, Manalu, Adelya Irawan, Puspita, Ratna, Unsunnidhal, Lalu, Siagian, Ernawati,
Budiono, Budiono, & Erdiandini, Ira. (2021). Mikrobiologi dan Parasitologi.
Yayasan Kita Menulis.
Puspa Satriani, P. S. (2021). Analisis Penerapan Aplikasi Skdr Program Surveilans
Terhadap Penggunaan Aplikasi Skdr (Sistem Kewaspadaan Dini Dan Respons)
Berbasis Puskesmas Diwilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Lahat Tahun
2021. STIK Bina Husada Palembang.
Suherman, Benny, Luwihono, Andung, & Rasyid, Syahrir. (2022). Buku Ajar Konversi
Energi Listrik. Yayasan Kita Menulis.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.