Asep Wirayasa 639
mata, selaput lendir, saluran pernapasan bagian atas, tulang dan testis (Amiruddin, 2019).
Hal ini mengakibatkan adanya spektrum manifestasi klinis yang beragam.
Penyakit ini masih menjadi masalah besar di Indonesia karena dapat mengakibatkan
cacat berat, stigma sosial dan kerugian ekonomi (Fajrin, 2019). Cacat berat dapat berupa
gangguan saraf sensorik, motorik dan otonom. Hal ini menyebabkan pasien mengalami
mati rasa, kebutaan dan keretakan kulit yang akan berdampak pada kondisi sosial dan
ekonomi. Menurut sebuah penelitian di Brazil, 93.6% penyandang lepra mendapatkan
stigma sosial dengan 40.4% penyandang mengalami depresi. Penyandang lepra dijauhi
karena adanya stigma di masyarakat bahwa penyakit lepra disebabkan oleh kutukan dan
dapat menular hanya dengan berdekatan dengan penderita (Amrina Yulita, 2021). Cacat
dan stigma tersebut membuat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan
mendapatkan pekerjaan sehingga menurunkan kesejahteraan ekonomi penyandang lepra
(Muthmainnah, Mardhiyah, & Fikri, 2019). Bahkan, suatu penelitian menyebutkan bahwa
kerugian satu kabupaten sampai 2016 mencapai 1,9 miliar rupiah.
Menurut Global Leprosy Strategy 2016-2020, eliminasi lepra difokuskan pada
deteksi dini sebelum kecacatan terjadi. Fokus khusus akan diberikan pada anak-anak
sebagai cara untuk mengurangi kecacatan dan mengurangi penularan. Pada tahun 2020,
target global penderita baru lepra anak adalah nihil kecacatan (Puspa Satriani, 2021).
Hingga awal tahun 2000, secara umum prevalensi lepra di Indonesia menurun sesuai target
WHO, yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun, jumlah penderita lepra baru tidak
menurun bahkan pada beberapa daerah endemis, penderita lepra mengelompok sehingga
sering disebut dengan daerah kantong. Indonesia masih menjadi negara dengan penderita
lepra tertinggi ke-2 di dunia (Marsanti & Ardiani, 2020). Indonesia masih melaporkan
adanya lepra baru dengan 84,5% kasus adalah tipe multibacillary (MB) (Hetty, 2019).
Kasus lepra paling banyak terjadi pada usia produktif yaitu sebanyak 91,1% yang
mengakibatkan kecacatan sebanyak 6,81 tiap 1 juta penduduk. Hal ini disebabkan
mobilitasnya yang tinggi (Prakoeswa et al., 2021). Kelompok berikutnya yang paling
banyak terserang lepra adalah anak-anak dengan 6,7% kasus menyebabkan kecacatan
(Catrina, Warjiman, & Rusmegawati, 2016). Lingkungan memiliki potensi reservoir dalam
penularan lepra, terutama faktor nonmanusia. Studi epidemiologi lepra memberikan
gambaran tentang pentingnya aspek lingkungan dalam pola penularan lepra di daerah
endemis (Fadilah, 2013). Seperti kepadatan penduduk, kepadatan hunian, kelembaban dan
adanya daerah dengan sanitasi buruk juga berpengaruh terhadap penularan lepra.
Baru-baru ini, WHO merevisi definisi kasus-kasus lepra. Pertama, paucibacillary
(PB), yaitu kasus lepra dengan 1-5 lesi kulit tanpa menunjukkan adanya basil pada apusan
kulit. Kedua, kasus MB yaitu kasus lepra dengan lebih dari 5 lesi kulit, keterlibatan saraf
(neuritis murni atau sejumlah lesi kulit dan neuritis) atau adanya basil pada Slit-Skin Smear
(SSS) terlepas dari jumlah lesi kulit.
Diagnosis lepra secara rutin dilakukan berdasarkan tanda-tanda kardinal penyakit
lepra, yaitu adanya patch anestesi hipopigmentasi, penebalan saraf, dan adanya Basil
Tahan Asam (BTA) pada SSS. Meskipun adanya BTA pada apusan kulit merupakan
diagnostik untuk lepra, sensitivitasnya sangat rendah untuk diagnosis dini lepra.
Selanjutnya, uji serologis berdasarkan deteksi spesifik antigen pada M.leprae seperti
Phenolic Natural Disaccharide Octyl Bovine Serum Albumin (NDO-BSA) atau Glycolipid-
1 (PGL-1) dan Natural Disaccharide Octyl Leprosy IDRI Diagnostic antigen (NDO-LID)
yang digunakan sebelumnya gagal mendeteksi sekitar 60% kasus PB lepra. Hal ini
disebabkan tingkat antibodi dikaitkan dengan intensitas pajanan pejamu terhadap patogen,
uji serologis ini tidak terbukti efisien dalam mendeteksi kasus PB yang belum
mengembangkan tingkat antibodi signifikan. Hal ini menunjukkan kegagalannya untuk
mendiagnosis infeksi subklinis.