690 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 2 NOMOR 6 2022
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
TENTANG HARTA BERSAMA
Nur Izzah
Fakultas Hukum, Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Indonesia
Corresponding Author : Nur Izzah
Email :nurizzah87@gmail.com
Info Artikel :
Diterima : 04 Juni 2022
Disetujui : 10 Juni 2022
Dipublikasikan : 15 Juni 2022
Kata Kunci:
Perlindungan hukum,
Harta Bersama,
Kesetaraan Gender
Keywords:
Legal protection, Shared
Property, Gender
Equality
ABSTRAK
Latar Belakang: Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman
sebagai sarana yang efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak
material maupun non-material yang berkesetaraan dan berkeadilan gender.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam
Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps dan
Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps dengan keadilan dan gender. Metode: Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif dan deduktif. Adapun metode deduktif yang
digunakan untuk membahas suatu permasalahan yang bersifat umum menuju
pembahasan yang bersifat khusus. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa metode deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis yang
digunakan untuk menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang
dipisahkan menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan. Hasil: Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Dalam Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps
dan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps Dari Aspek Tinjauan Yuridis Kaitannya
Dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender. Kesimpulan: Proses mediasi belum
ramah gender, kedua Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum belum diterapkan oleh Majelis Hakim, ketiga Ijtihad hakim
belum berpihak kepada keadilan dan kesetaraan gender.
ABSTRACT
Backround: The Religious Courts are one of the judicial powers as an effective
means to realize access and control over material and non-material rights that are
equal and gender-just. Purpose: This study aims to determine the legal
considerations in the Decisions of the Pulang Pisau Religious Court Number
82/Pdt.G/2019/PA.Pps and Number 19/Pdt.G/2020/PA.Pps with justice and
gender. Method: This research is a descriptive and deductive research. The
deductive method is used to discuss a general problem leading to a specific
discussion. The data analysis technique used in this study is a qualitative
descriptive method, which is an analysis used to describe in words or sentences
separated by category to get conclusions. Results: The results of this study
conclude that Legal Protection Against Women in the Decisions of the Pulang
Pisau Religious Court Number 82/Pdt.G/2019/PA.Pps and Number
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 691
19/Pdt.G/2020/PA.Pps From Juridical Review Aspects in Relation to Justice and
Gender Equality. Conclusion: The mediation process is not yet gender friendly,
the two guidelines for adjudicating women's cases in conflict with the law have
not been implemented by the panel of judges, the three judges' Ijtihad have not
taken sides with justice and gender equality.
PENDAHULUAN
Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman sebagai sarana yang
efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-material
yang berkesetaraan dan berkeadilan gender (Thoyyibah, 2020). Pada ranah inilah
penelitian terhadap putusan Pengadilan Agama menjadi penting untuk melihat bagaimana
hakim sebagai penentu keputusan hakim (Marwing, 2018). Di Pengadilan Agama Pulang
Pisau terdapat perkara yang akan Penulis teliti kaitannya dengan perlindungan hukum
terhadap perempuan dalam mengkonkritkan hak asasinya yang sarat dengan nilai
kemanusiaan yaitu Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps dan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps.
Hak cerai gugat dari istri yang sudah menjadi putusan hakim di Pengadilan Agama
seharusnya sebagai upaya dalam menegakkan hukum dan hak asasi perempuan untuk
mengkontekstualisasikan Keadilan dan Kesetaraan Gender (Muhammad, 2021). Dalam
putusan Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps penulis melihat adanya Keadilan dan Kesetaraan
Gender yang masih bias. Hukum Islam menempatkan keimanan dan keadilan sebagai dua
hal yang tidak dapat dipisahkan (Helmi, 2015). Oleh karena itu, Islam sangat mewajibkan
kepada setiap manusia yang beriman untuk berlaku adil. Secara legal formal, apa yang
diputuskan majelis hakim tersebut sudah sesuai dengan apa yang menjadi materi gugatan,
namun majelis hakim belum memberikan putusan secara hukum hak-hak perempuan
pasca perceraian seperti mut‘ah, nafkah iddah, nafkah lampau atau terhutang, hak asuh
anak, nafkah anak serta harta bersama jika tidak menjadi materi gugatan (Marwing,
2018).
Setelah terjadinya perceraian pada tahun 2020 selanjutnya perempuan tersebut
merasa bahwa selama dalam ikatan perkawinan dengan mantan suaminya telah
memperoleh beberapa harta bersama (Fadil Alim, 2020). Kemudian yang bersangkutan
mengajukan perkara gugatan harta bersama ke Pengadilan Agama Pulang Pisau dengan
Putusan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps yang putusannya adalah mengabulkan gugatan
Penggugat sebagian. Penulis melihat putusan tersebut dalam pembagian harta bersama
ada fakta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik harta bersama tersebut perempuan
mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta bersama. Apakah penyelesaian harta
bersama dalam putusan tersebut sudah memberikan perlindungan bagi hak perempuan.
Apakah pembagian harta bersama dalam putusan tersebut memberikan manfaat bagi
perempuan sebagai seorang ibu rumah tangga apalagi perempuan juga membantu bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup didalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 1 bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bertujuan
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal merupakan idaman
setiap keluarga (Basri, 2019). Namun cita-cita ideal terbentuknya rumah tangga tersebut
tidak semuanya dapat diraih dan dipertahankan oleh pasangan suami istri. Adakalanya
perkawinan itu putus baik disebabkan karena kematian salah satu pihak maupun
terjadinya perceraian (Rodliyah, 2014).
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
692 http://sosains.greenvest.co.id
Salah satu unsur yang penting dalam sebuah perkawinan adalah adanya harta
kekayaan sebagai penunjang kehidupan rumah tangga (Susanti, 2018). Meskipun pada
prinsipnya kewajiban memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga itu adalah kewajiban
suami, namun di era modern sekarang ini perempuan atau istri juga ikut bekerja dalam
memenuhi kebutuhan materi dalam rumah tangga. Hal ini tentunya akan berpengaruh
terhadap kedudukan harta kekayaan dalam rumah tangga, baik selama perkawinan
berlangsung ataupun ketika terjadi perceraian. Di antara permasalahan pelik yang sering
mengiringi proses perceraian di Pengadilan Agama adalah persoalan harta bersama.
Masalah harta bersama yang sering muncul antara lain disebabkan kurangnya
pemahaman tentang apa saja yang masuk kategori harta bersama dan bagaimana proses
terjadinya (Firdawaty, 2016). Biasanya pada saat sebelum menikah, calon mempelai tidak
memikirkan tentang persoalan harta, hal ini karena dianggap akan mengurangi rasa
kepercayaan di antara calon mempelai, meskipun dibolehkan kedua belah pihak
melakukan perjanjian perkawinan (Sumarno, 2015).
Perubahan pola hidup masyarakat terjadi secara perlahan tapi pasti akan
menimbulkan akses cukup besar terhadap timbulnya perubahan nilai-nilai dimasyarakat.
Kalau dahulu jika seorang istri bekerja mencari nafkah membantu keluarga dapat
menimbulkan citra buruk di mata masyarakat, namun sekarang hal itu merupakan hal
yang biasa akibat tuntutan dan perubahan zaman (Kurniawan, 2017). Konsep harta
bersama beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih (hukum
Islam). Masalah harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum terpikirkan oleh
ulama-ulama fikih terdahulu, karena masalah harta bersama baru muncul dan banyak
dibicarakan pada masa modern ini (Nelli, 2017).
Hak-hak perempuan dalam hak asasi yang melekat dalam dirinya seperti hak untuk
persamaan dan keadilan, hak untuk melakukan perbuatan hukum, hak untuk
kemandirian, hak untuk berjual-beli, hak untuk menentukan pasangan, hak dalam ilmu
pengetahuan, hak untuk saling waris-mewarisi, hak untuk nafkah dan mahar jika
statusnya sebagai istri, dan hak dalam menentukan dirinya untuk menjadi pemimpin
(Fikri, 2019). Oleh karena itu, di antara hak-hak yang menjadi hak asasi perempuan,
maka tidak dapat dipandang sebelah mata apabila seorang perempuan mengajukan cerai
gugat maupun gugatan harta bersama di Pengadilan Agama (Riangdi, 2020).
Hak cerai gugat dan gugatan harta bersama yang diajukan oleh seorang perempuan
dapat dipandang sebagai sebuah perlindungan perempuan dalam mengkonkritkan hak
asasinya yang sarat dengan nilai kemanusiaan (Setiawan, 2020). Hukum Islam berlaku
menyampaikan pesan kesetaraan dan keadilan dalam kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan. Hukum Islam dari suatu struktur sosial tidak menghendaki laki-laki sebagai
suami yang superioritas terhadap perempuan sebagai istrinya (Muhammad, 2021).
Manfaat penelitian ini dapat memberi gambaran tentang harta bersama. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Agama
Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps dan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps kaitannya
dengan keadilan dan kesetaraan gender.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian metode deskriptif dan deduktif. Disebut
deskriptif karena penelitian ini menggambarkan perlindungan hukum terhadap perempuan
tentang masalah harta bersama yang menjadi objek untuk digunakan dalam
penginterpretasian pada penelitian ini secara sistematis, cermat, mendalam dan berimbang.
Adapun metode deduktif digunakan untuk membahas suatu permasalahan yang bersifat
umum menuju pembahasan yang bersifat khusus. Dalam hal ini, penulis akan membahas
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 693
Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps dan Nomor
19/Pdt.G/2020/PA.Pps. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
metode deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis yang digunakan untuk menggambarkan
dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk mendapatkan
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisa Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau
Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps Dan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps Kaitannya Dengan
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Pertimbangan hukum merupakan salah satu komponen penting suatu produk
badan peradilan, kejelasan bagi para pihak yang berpekara tentang putusan yang diambil
baik dalam bentuk diterima, ditolak maupun bentuk putusan lain. Dalam pertimbangan
hukum Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps kaitannya
dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender penulis memberikan beberapa analisa yaitu
sebagai berikut:
1) Proses Mediasi Belum Ramah Gender
Dalam putusan tersebut diatas terdapat pertimbangan hukum yang berbunyi
“Bahwa Majelis Hakim telah berusaha menasehati Penggugat dan Tergugat agar rukun
kembali dalam membina rumah tangganya, bahkan telah tempuh upaya perdamaian
dengan melalui prosedur mediasi dengan dibantu oleh seorang mediator dari Hakim
Pengadilan Agama Pulang Pisau, sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, namun
upaya tersebut tidak berhasil.”
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara
damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada Para Pihak
untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.
2) Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Belum
Diterapkan oleh Majelis Hakim
Dalam putusan tersebut diatas terdapat pertimbangan hukum yang berbunyi :
“Menimbang bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi
tanpa melihat siapa dan apa yang menjadi penyebab dari ketidak rukunan dalam rumah
tangga Penggugat dan Tergugat dikarenakan sudah tidak ada ikatan batin antara keduanya
sehingga jika rumah tangga ini tetap dipertahankan maka bukanlah kebahagiaan yang
diperoleh melainkan penderitaan batin antara kedua belah pihak.”
Penulis melihat bahwa pertimbangan hukum putusan tersebut diatas belum sesuai
dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada tanggal 11 Juli
2017, yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1084 pada tanggal 4 Agustus 2017 menjadi semangat baru dalam memberikan keadilan
bagi perempuan. Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut adalah sebuah terobosan
dan alas hukum bagi hakim untuk memberikan pendampingan bagi perempuan yang
berhadapan dengan hukum baik sebagai pihak, korban maupun saksi, sekaligus sebagai
alas hukum bagi hakim untuk menentukan pemenuhan hak perempuan pasca perceraian.
Peraturan Mahkamah Agung tersebut dibentuk atas dasar pertimbangan bahwa
perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan
implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama bagi perempuan. Indonesia telah
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
694 http://sosains.greenvest.co.id
meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun
2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang
adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang
diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi
berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. Indonesia sebagai negara
pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW)
mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses
terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
3) Ijtihad Hakim Belum Berpihak Kepada Keadilan dan Kesetaraan Gender
Hakim dalam memeriksa perkara memiliki hak untuk menentukan jalannya
persidangan dan akan diputus seperti apa. Namun tiap putusan yang diambil harus
didasarkan kepada tangung jawab dan perteimbangan hukum yang matang. Karena hal ini
adalah amanah dari undang-undang. Disinilah arti penting hakim dalam menerapkan hak
ex officio untuk kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Karena hakim adalah salah satu
unsur dari sistem hukum, yaitu struktur hukum. Sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk
memilih diantara berbagai alternatif.
Hakim memiliki peran yang penting dan strategis untuk menebarkan justice for
people dengan keberaniannya untuk melakukan rule breaking. Misi mulia tersebut akan
terealisasi jika hakim mendedikasikan dirinya sebagai penjaga dan penegak keadilan.
Hermeneutika hukum yang dilakukan secara serius merupakan implementasi dari
semangat hukum progresif yakni semangat pembebasan untuk menemukan dan
mewujudkan keadilan dalam teks undang-undang yang terkadang tidak jelas ataupun
belum ada aturannya. Hermeneutik hukum dilakukan dengan tahap konstatir, tahap
kualifikasi dan tahap konstituir dengan metode sinergi dialektika tafsir tekstual dan
kontekstual menjadi sarana yang layak digunakan untuk menangkap serta menerapkan
makna keadilan hukum dalam putusan hakim.
Melihat kondisi perempuan yang cenderung didiskriminasi, maka seyogyanya
hakim dalam memeriksa perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum harus
menyeimbangkan kondisi yang timpang tersebut.
2. Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Putusan Pengadilan
Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps Dan Nomor
19/Pdt.G/2020/PA.Pps Dari Aspek Tinjauan Yuridis Kaitannya Dengan Keadilan
dan Kesetaraan Gender
Perceraian adalah jalan terakhir ketika ragam solusi untuk memperbaiki rumah
tangga tidak mungkin ditempuh lagi. Adapun pernikahan tersebut jika dipertahankan
justru mendatangkan atau melanggengkan mudharat baik bagi salah satu pihak (suami
atau istri) atau keduanya. Karenanya, Hakim Pengadilan Agama tidak ujug-ujug
mengabulkan gugatan perceraian sebelum mempertimbangkan bukti- bukti yang
dihadirkan dan fakta-fakta persidangan.
Harapan Penggugat mengajukan gugatan cerai dan gugatan harta bersama ke
Pengadilan Agama Pulang Pisau sebagai lembaga penegak keadilan adalah agar
penyelesaian dua perkara tersebut di muka sidang menghasilkan putusan yang memihak
kepada perempuan kaitannya dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Kesetaraan Gender Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi : Keadilan dan Kesetaraan Gender yang selanjutnya disingkat
KKG adalah kondisi relasi perempuan dan laki-laki sebagai mitra sejajar agar mendapat
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 695
perlakuan yang adil untuk mengakses sumber daya, mengontrol, berpartisipasi, dan
memeroleh manfaat pembangunan.” Dan dalam Pasal 2 berbunyi : Setiap orang berhak
memperoleh kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil melalui tindakan kesetaraan
Gender dibidang : g. perkawinan, h. hukum.
Setelah penulis memberikan analisa terhadap pertimbangan hukum Putusan
Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps Dan Nomor
19/Pdt.G/2020/PA.Pps kaitannya dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender kemudian
penulis akan memberikan analisa terhadap perlindungan hukum terhadap perempuan
tentang harta bersama dalam putusan tersebut diatas ditinjau dari aspek yuridis kaitannya
dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai berikut:
a. Mediasi Sebagai Alternasi Penyelesaian Litigatif
Pemberdayaan mediasi dan bentuk APS lainnya sesungguhnya sangat bermanfaat
dalam membentuk pola pikir masyarakat yang lebih maju. Mengedapankan musyawarah
dan upaya kompromistis dalam menyelesaikan sengketa, selain menghasilkan resolusi
yang saling menguntungkan, juga dapat berimplikasi pada terbentuknya budaya hukum
yang lebih konstruktif.
Syahrizal Abbas mengemukakan bahwa penerapan mediasi sebagai mekanisme
dalam menyelesaikan sengketa (perkara) perdata merupakan salah satu substansi dari
risalah Islam yang mengajarkan kepada umat manusia tentang pentingnya perdamaian di
antara umat manusia.
Disyariatkan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tersirat dalam firman
Allah dalam QS. An-Nisa ayat 35 yang berbunyi :











- 
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.
Hak cerai gugat dapat dipandang sebuah perlindungan perempuan dalam
mengkonkritkan hak asasinya yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Hukum Islam berlaku
menyampaikan pesan kesetaraan dan keadilan dalam kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan. Hukum Islam dari suatu struktur sosial tidak menghendaki laki-laki sebagai
suami yang superioritas terhadap perempuan sebagai istrinya. Oleh karena itu, di antara
hak-hak yang menjadi hak asasi perempuan, maka tidak dapat dipandang sebelah mata
untuk meminta cerai gugat di Pengadilan Agama.
Kajian gender terhadap studi yang dilakukan oleh para perempuan (istri) tidak
terlepas menerapkan kesetaraan dan keadilan, menegaskan kepada suami agar memenuhi
kewajiban yang menjadi semua hak-hak istri. Dengan demikian, perempuan (istri)
paling merasakan perlakuan secara adil dari suaminya. Praktik gugatan cerai gugat yang
diajukan istri di Pengadilan Agama adalah menempatkan perempuan sebagai subyek
paling merasakan dan menentukan keadilan merealisasikan hak-haknya. Demikian
halnya hak perempuan dapat membawa perkaranya tentang harta bersama ke Pengadilan
Agama pasca putusan cerai gugat yang sudah incracht. Perkara harta bersama dapat
menggabungkan perkara cerai gugat, sekaligus mengakumulasi perkara hak piara anak
dan nafkah.
Putusan-putusan tersebut diatas secara umum mengikuti pola dalam hukum acara
perdata yang prosedural. Diktum putusan juga disusun menurut apa yang dituntut oleh
Penggugat masih mengacu pada kebiasaan patrikal dalam memutus perkara tersebut.
Proses kreatif mediator dan hakim dalam melahirkan putusan tersebut yang progresif
belum nampak memihak kepada Keadilan dan Kesetaraan Gender.
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
696 http://sosains.greenvest.co.id
Mediasi seharusnya bukan lagi ditempatkan sebagai alternatif dari penyelesaian
perkara sengketa yang diajukan Penggugat di Pengadilan Agama Pulang Pisau tersebut
namun mediasi justru seharusnya menjadi pilihan utama penyelesaian sengketa harta
bersama tersebut.
b. Ijtihad Hakim Yang Berpihak Kepada Keadilan dan Kesetaraan Gender
Berdasarkan dengan penerapan hukum dalam perkara harta bersama di
Pengadilan Agama, para penegak hukum demi tegaknya hukum dan keadilan dapat
menggunakan metode diskresi yaitu kebijaksanaan memutuskan sesuatu tidak
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku
tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Dalam literatur hukum
Islam metode diskresi ini identik dengan metode ijtihad, yaitu: sebagai jalan untuk
mendapatkan beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya.
Disamping itu bisa dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian
hukum yang muncul akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.
Terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut apakah pertimbangan
hakim hanya didasarkan pada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
semata dan apakah sudah memberikan rasa Keadilan dan Kesetaraan Gender. Dilihat dari
putusan tersebut diatas penulis melihat Majelis Hakim yang memeriksa perkara cerai
gugat tersebut tidak menggunakan hak ex officio membebankan suami untuk memberikan
nafkah maadiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak ketika digugat cerai oleh istri.
Menurut penulis sebenarnya Majelis Hakim tersebut dapat memutus besaran
nafkah maadiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak didasarkan pada pertimbangan
Keadilan dan Kesetaraan Gender serta kepatutan dengan menggali fakta kemampuan
ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan atau anak. Pertimbangan
keadilan dan kemampuan serta kepatutan menjadi sangat penting guna memberikan rasa
keadilan kepada suami yang dijatuhi hukuman oleh majelis hakim untuk memberikan
nafkah maadiyah, nafkah iddah, mut’ah dan biaya pemeliharaan anak. Penulis
berpendapat selama istri yang mengajukan cerai gugat dengan suaminya, maka sepanjang
itu dia berhak untuk mendapatkan nafkah mut’ah sebagai pelipur lara dan sebagai
penjamin hidupnya untuk kemaslahatan dirinya akibat perceraian yang terjadi sehingga
dapat meringankan beban hidupnya.
Sehingga dalam rangka memberikan perlindungan kepada hak-hak perempuan,
maka konsep pemberlakuan mut’ah bagi perempuan yang menggugat cerai suaminya ini
harus direkontruksi dengan mempertimbangkan maqashid syari’ah yang merupakan
tujuan akhir yang ditetapkan syara untuk kemaslahatan manusia dan kemashlahatan
manusia akan berbeda seiring dengan perbedaan kondisi, waktu dan tempat. Sehingga
apabila dikaitkan dengan dharuriyat al-khamsah (lima mashlahah pokok), seorang
perempuan akan bisa berada dalam kondisi bahaya disebabkan tidak adanya nafkah,
sehingga mashlahah dalam perlindungan mantan istri tersebut adalah hifzh al-nafs
(memelihara jiwa). Jiwa merupakan salah satu dari dharuriyat al-Khamsah yang wajib
dipelihara.
Hakim dalam memeriksa perkara memiliki hak untuk menentukan jalannya
persidangan dan akan diputus seperti apa. Namun tiap putusan yang diambil harus
didasarkan kepada tangung jawab dan perteimbangan hukum yang matang. Karena hal ini
adalah amanah dari undang-undang. Disinilah arti penting hakim dalam menerapkan hak
ex officio untuk kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Karena hakim adalah salah satu
unsur dari sistem hukum, yaitu struktur hukum. Sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk
memilih diantara berbagai alternatif. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah
Agung yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa isteri yang menggugat
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 697
cerai suaminya tidak selalu dihukumkan nusyuz, karena secara ex officio suami dapat
dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya dengan alasan bekas
isteri harus menjalani istibra’ yang juga menyangkut kepentingan suami.
Penulis melihat bahwa Penggugat tidak memahami bahwa seharusnya Penggugat
dapat menuntut hal lain yang merupakan ikutan atau hal yang sangat berkaitan erat
dengan pokok perkara yang diajukannya. Justru dengan menggugat hal dimaksud,
perkaranya benar-benar dapat cepat diselesaikan oleh putusan hakim. Hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan Penggugat tentang hal dimaksud. Dari pengalaman yang terjadi
di pengadilan, bahwa untuk mengikuti proses dan prosedur pengadilan memerlukan
pengetahuan, pengalaman dan keberanian, maka sebaiknya setiap istri yang mengajukan
atau diajukan di pengadilan agama harus memakai kuasa hukum agar hak-hak mereka
dapat diperjuangkan. Biasanya kalau tidak memakai kuasa hukum, sering hak-hak mereka
dikangkangi baik sadar atau tidak sadar, karena kasus perdata di Pengadilan hakim
bersifat pasif.
Hakim memiliki peran yang penting dan strategis untuk menebarkan justice for
people dengan keberaniannya untuk melakukan rule breaking. Misi mulia tersebut akan
terealisasi jika hakim mendedikasikan dirinya sebagai penjaga dan penegak keadilan.
Hermeneutika hukum yang dilakukan secara serius merupakan implementasi dari
semangat hukum progresif yakni semangat pembebasan untuk menemukan dan
mewujudkan keadilan dalam teks undang-undang yang terkadang tidak jelas ataupun
belum ada aturannya. Hermeneutik hukum dilakukan dengan tahap konstatir, tahap
kualifikasi dan tahap konstituir dengan metode sinergi dialektika tafsir tekstual dan
kontekstual menjadi sarana yang layak digunakan untuk menangkap serta menerapkan
makna keadilan hukum dalam putusan hakim.
Hakim memiliki peran yang sangat urgent dalam menjamin hak-hak perempuan
dan anak pasca perceraian, untuk itu hakim harus paham betul dengan segala macam
aturan yang berkenaan dengan perempuan dan anak, agar keadilan benar-benar dapat
dirasakan oleh perempuan dan anak, karena pada dasarnya banyak yang beranggapan
perempuan dan anak adalah kaum nomor dua yang hak-haknya tidak perlu dijamin dan
diperjuangkan, dengan demikian masih adanya diskriminasi yang terjadi. Oleh karenanya
semangat memperjuangkan hak-hak perempuan harus tetap digalakkan agar tujuan dari
adanya hukum sendiri dapat dirasakan oleh semua pihak tanpa adanya diksriminasi,
namun hakim juga harus hati-hati dengan permainan perasaan karena menganggap
perempuan dan anak adalah kaum yang lemah yang harus dibela sehingga dalam benak
hakim dapat mengabulkan hak-hak perempuan dan anak, namun bisa jadi bertentangan
dengan aturan perundang-undangan.
Cukup jelas bahwa Hakim merupakan Mujtahid sekaligus Mujahid. Hakim dalam
bertugas tidak akan berhenti pada titik tertentu, melainkan akan selalu berusaha
menemukan hukum terhadap perkara tertentu. Selain itu, hakim adalah pejuang,
memperjuangkan keadilan bagi mereka yang miskin papa dan tertindas. Hakim dalam
memutus perkara harus didasarkan pada pertimbangan yuridis, filosofis dan Sosiologis.
Jalan yang dapat ditempuh oleh hakim adalah dengan memaksimalkan hak ex officio
yang dimiliki oleh hakim untuk mewujudkan putusan yang memiliki Keadilan dan
Kesetaraan Gender serta kemanfaatan.
Peran hakim dalam menggunakan kewenangan yang dimiliki karena jabatannya
(ex-officio) menjadi sangat penting untuk mewujudkan keadilan dalam memeriksa dan
mengadili perkara cerai gugat dengan pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah
terhadap pihak suami (Tergugat). Dengan menggunakan nalar keadilan yang demikian,
maka pembaruan hukum keluarga Islam melalui putusan pengadilan agama, termasuk
dalam hal pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat,
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
698 http://sosains.greenvest.co.id
diharapkan tetap mampu diwujudkan di tengah konstruksi hukum perceraian Islam yang
masih sarat dengan bias budaya patriarki dalam hukum acara perceraian, yang
membedakan kedudukan suami dan istri dalam perceraian, sehingga jenis perkara
perceraian pun dibedakan antara cerai talak dengan cerai gugat.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu ilmu yang dimiliki tanpa dengan teori yang
kuat, maka hal itu bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu
hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan
berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence),
maupun konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama sekali di era reformasi ini,
termasuk tentunya petunjuk teknis, bahkan mungkin tuntutan lahirnya berbagai peraturan
perundang-undangan yang baru yang diharapkan akan melahirkan paradigma hukum
baru, yang cocok bagi iklim perubahan Indonesia di abad ini. Perkembangan baru
tersebut menghendaki suatu keterampilan baru yang seharusnya dimiliki oleh para sarjana
hukum, termasuk hakim yang seperti dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bukan
hanya berupa keterampilan tukang, melainkan mampu mencipatakan masyarakat
sebagaimana yang dikehendaki melalui sarana-sarana hukum dan mampu menyelesaikan
masalah-masalah hukum di dalam konteks sosialnya.
Dari sinilah lahir sebuah teori (al-mashlahah al-mursalah). Imam Maliki
menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan untuk pertimbangan kemaslahatan ”al-
mashalih al-mursalah. Diskusi tentang rasio logis telah mencatat bahwa kepentingan
umum berperan dalam menentukan munasabah (kesesuaian), sebuah metode yang
fundamental dalam membangun dan memverifikasi rasio. Sebagian penulis memasukkan
pembahasan tentang persoalan ini dalam bab yang disebut dengan istidhal, bab yang biasa
mencakup jenis-jenis penyimpulan yang tidak termasuk dalam kategori qiyas. Persoalan
yang muncul dalam istishlah dengan kasus-kasus yang hukumnya diperoleh berdasarkan
keuntungan yang sesuai secara rasional yang didukung dengan fakta baru biasanya
disebut dengan al-mashalih mursalah. Namun harus diakui sebagian dari ahli ushul fikih
menolak kesimpulan apapun yang tidak didukung oleh bukti teks-teks, meskipun
dimotivasi karena kepentingan umum atau sebaliknya. Malik bin Anas sendiri memiliki
kesimpulan yang merespon kepentingan umum tanpa didukung dengan teks-teks atau
adanya fakta baru. Teori tersebut memperlihatkan bahwa ciri kepentingan umum yang
diadopsi dalam sebuah kasus adalah munasib (sesuai) dan muta’bar (relevan), baik
dengan prinsip universal hukum maupun bagian tertentu dari bukti tekstual. Oleh karena
itu kesesuaian dengan relevan merupakan persyaratan bagi kesimpulan yang sah dari teori
maslahah mursalah.
Teori Al-Ghazali menempatkan persoalan istislah secara berbeda, bahwa tujuan
hukum Al-Ghazali (maqashid tasriiyah) mencakup pada puncak prinsip menjaga agama,
menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga hak milik pribadi. Ciri
tersebut dapat dibuktikan sebagai prisip pasti (qathi’) dan universal (kulli), maka
penalaran yang didasarkan atasnya adalah umat Islam pada umumnya dan bukan hanya
sebagian umat Islam yang terlayani.
Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia adalah mencapai kebahagiaan
hidup dan mempertahankannya yang disebut para pakar filsafat hukum Islam dengan
istilah al- tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah
kerusakan ”jalb al- mashalih wa daf al-mafasid”. Oleh sebab itu salah satu teori yang
harus dipegang oleh hakim pengadilan agama dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum adalah bahwa hakim itu tidak harus selalu berada dalam situasi dan konteks legal
justice, walaupun mereka harus lebih awal harus berdasar pada pendekatan legal justice,
boleh jadi hakim dalam kasus tertentu secara kasuistis harus melakukan penemuan hukum
bahkan mungkin penciptaan hukum. Dalam situasi seperti itu pendekatan legal justice
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 699
harus ditanggalkan menuju pada pendekatan sosial justice dan pendekatan moral justice.
Di dalam melakukan penemuan hukum atau penciptaan hukum itu, hakim harus mampu
menggunakan berbagai penafsiran hukum, misalnya penafsiran analogis, penafsiran
ekstensif, penafsiran reskriftif, dan tidak munstahil hakim harus menggunakan penafsiran
a contrario. Pentingnya penafsiran itu, menurut Satjipto Rahardjo, karena hukum itu
bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih maju dan adil.
Konsep hukum seperti ini menekankan betapa pentingnya pengetahuan tentang
teori hukum itu sebagai dasar utama di dalam memahami perangkat peraturan-peraturan
hukum yang ada dan sekaligus pentingnya keahlian untuk menafsirkannya melalui
kemampuan untuk menganalisa dan menilai asumsi hukum, terutama yang berkaitan
dengan perkembangan masyarakat dalam mengisi perkembangan hukum sebagai sarana
perubahan sosial. Itulah hakim, mereka memiliki kewenangan konstitusi dan kewenangan
yudisial yang tentu saja berbeda dengan aparat hukum lainnya, seperti ; KPK, polisi,
jaksa dan pengacara yang serba normatif dengan selalu mengandalkan asas legalitas.
Menurut M. Yahya Harahap, seorang hakim harus dapat memahami interogasi filosofis
dan memiliki konstitusional.
Sementara itu hakim diberi jaminan konstitusional imunitas oleh Negara secara
totalitas di dalam melaksanakan tugas pokoknya, sekalipun Anda salah dalam
menerapkan hukum secara substansial. SEMA No.9 Tahun 1976, menyebutkan hakim
tidak boleh dituntut sekalipun salah dalam penerapan hukum. Lalu bagaimana cara
memahami dan mengetahui tentang teori hukum itu ?, paling tidak seorang hakim harus
memperbanyak buku bacaan referensi tentang hukum, termasuk teori hukum atau
mengikuti jenjang pendidikan program S2 dan S3 di berbagai perguruan tinggi di tanah
air, yang didalamnya diajarkan mata kuliah teori hukum. Mempelajari berbagai teori dan
konsep hukum Barat, seyogianya sebagai seorang hakim, harus melakukan kajian dan
analisis kritis, lalu melakukan apa yang disebut rekonstruksi hukum. Sejalan dengan itu
tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan sejarah lahirnya suatu teori dan
konsep hukum, di mana semua teori dan konsep hukum itu didasarkan pada pandangan
atau aliran filsafat tertentu yang merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-
teori yang sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas merupakan
produk barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis, individualis dan sekuler di
barat, dimana diantara sekian banyak teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk nilai-
nilai hukum Islam seperti yang penulis gambarkan di atas. Sehubungan dengan itu,
merupakan suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian
komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi teori hukum. Harus
dilakukan kajian komparatif yang membandingkan teori dan konsep hukum barat di satu
pihak, dengan teori dan konsep hukum timur, dilain pihak, termasuk dengan teori dan
konsep hukum Islam. Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan
seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan
ketertiban dan kebebasannya (Ibrahim, 2015). Hukum haruslah netral dan dapat
diterapkan pada siapa saja secara adil. Penerapan hukum Islam di zaman Nabi
Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara konsisten keadilan
substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan prosedural-formal” seperti
yang didewa-dewakan oleh dunia barat selama ini dan sepertinya dianut pula secara kuat
oleh sebagian hakim pengadilan agama di Indonesia. Namun demikian tidak semua teori
dan konsep hukum barat kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian dari teori dan konsep
barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di masyarakat Indonesia, termasuk hukum
formal (hukum acara). Untuk itu harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu
memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan konsep
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
700 http://sosains.greenvest.co.id
hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah menciptakan suatu masyarakat yang
benar-benar madani, terutama dalam masa keemasan Islam dan tentu saja saat inilah, kita
harus bangkit kembali mengangkat peradaban Islam yang lebih bermanfaat pada
masyakat luas, karena siapa lagi yang akan mengangkat nilai-nilai hukum Islam itu, kalau
bukan aparat hukum peradilan agama di Indonesia.
c. Penentuan Bagian Harta Bersama Yang Berpihak Kepada Keadilan dan Kesetaraan
Gender
Islam memandang soal pembagian harta bersama memberikan solusi terhadap
pentingnya pembagian harta bersama secara adil. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat
Al Hujurat ( 49:13) yang berbunyi :









- 
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa hubungan suami istri
adalah hubungan yang setara. Keduanya perlu saling berlaku adil, tidak ada salah satu
dari mereka yang terdzalimi. Nabi Muhammad SAW bersabda, Yang terbaik di antara
kamu adalah yang (bersikap) terbaik kepada keluarganya “ (HR Ibnu Majah ).
Merujuk ketentuan teks di atas bahwa pembagian harta bersama harus berdasarkan
pada prinsip keadilan. Dalam perspektif Islam, jika pembagian harta bersama tidak
diperkarakan melalui jalur pengadilan, sebenarnya melalui cara musyawarah, asalkan
dilakukan seadil-adilnya, Hal ini sesuai juga dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 97.
Pisau analisa yang penulis pergunakan pada perlindungan hukum terhadap
perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor
19/Pdt.G/2020/PA.Pps kaitannya dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender adalah teori
keadilan distributif dari Aristoteles (justisia distributive) yang menyatakan bahwa
keadilan adalah memberikan bagian kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau
kontribusinya. Karenanya istri berhak mendapatkan bagian harta bersama yang lebih
banyak dari suami apabila mempunyai jasa yang lebih besar dari suami selama masa
perkawinan. Berdasarkan hal tersebut maka kontribusi dalam perkawinan dapat
mempengaruhi besaran porsi yang didapatkan dalam pembagian harta bersama.
Dalam Al Qur’an Surah al-Nisa>’ ayat 32 yang berbunyi :










- 
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Telah menjadi landasan filosofis perumusan harta bersama dalam perkawinan sama
sekali tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai kadar/bagian masing-masing
suami atau isteri dari harta bersama tersebut. Hal ini karena fleksibilitas atau kelenturan
Al-Qur’an dalam menentukan bagian suami dan isteri yang tentunya disesuaikan dengan
peran dan kontribusi masing-masing pihak, suami dan isteri dalam mendapatkan harta
kekayaan bersama. Karena itu, urusan ini menjadi ruang dan lapangan ijtihad yang
ketetapan penentuan bagiannya diserahkan kepada manusia, dalam hal ini adalah hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 701
dijelaskan bahwa Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama”. Sedangkan pada Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan bahwa “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Kalimat sepanjang tidak ditentukan lain dalam perkawinan menunjukkan bahwa
ada ketentuan-ketentuan pembagian lain yang bukan dibagi dua melainkan ditentukan
berdasarkan kesepakatan bersama sesuai dengan kondisi yang berpengaruh terhadap
perolehan harta tersebut. Sayuthi Thalib menyamakan perjanjian dalam harta kekayaan
tersebut dengan syirkah pada bentuk usaha sehingga pembagian harta bersama dapat
ditentukan bersama sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian.
Berkenaan dengan penerapan hukum dalam perkara harta bersama di Pengadilan
Agama, para penegak hukum demi tegaknya hukum dan keadilan dapat menggunakan
metode diskresi yaitu kebijaksanaan memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuan-
ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar
kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Dalam literatur hukum Islam metode
diskresi ini identik dengan metode ijtihad, yaitu: sebagai jalan untuk mendapatkan
beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya. Disamping itu bisa
dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian hukum yang muncul
akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.
Seandainya saja majelis hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan pembagian
harta bersama dalam kasus cerai hidup menggunakan aturan syirkah abdan dan hukum
adat, juga metoda diskresi atau ijtihad dengan pendekatan kaidah-kaidah istinbat al-
ahkam yang lahir lebih dulu dibanding metoda diskresi dalam hukum nasional, bukanlah
suatu yang tabu apalagi dikatakan melakukan pelanggaran hukum. Buktinya, eksepsi dari
ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam telah banyak dilakukan oleh beberapa
Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung. Beberapa putusan tentang perceraian dan
harta bersama yang berperspektif keadilan dan kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
a) Putusan Nomor 137 K/AG/2007 Jo. Putusan Nomor 112/Pdt.G/2006/PTA.Bdg Jo.
Putusan Nomor 688/Pdt.G/2005/PA.Bks yaitu adanya konsep khusus terkait dengan
isteri yang telah berbuat nusyuz maka secara ex officio hakim dapat menghukum
bekas suami untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isteri dengan alasan bekas
isteri harus menjalani masa iddah dengan tujuan untuk istibra’ yang menyangkut
kepentingan suami.
b) Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung dengan Putusan Nomor:
248/Pdt.G/2010/PTA Bdg, telah membatalkan Putusaan Pengadilan Agama Cimahi
dengan Nomor Putusan, 96/Pdt.G/2010/PA Cmhi yang memberikan harta bersama
setengah (1/2) masing-masing antara janda dengan duda. Putusan PTA tersebut
memberikan harta bersama 1/3 untuk duda dan 2/3 untuk janda.dengan beberapa
pertimbangan kemaslahatan yang digalidarisebab-sebab dan alasan hukum dalam
perkara banding yang diajukan.
c) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 226K/AG/2010 yang telah mengukuhkan putusan
Pengadilan Agama Bantul dengan Nomor Putusan: 229/Pdt.G/2009/PA Btl. Yang
memberikan bagian harta bersama 3/4 bagi termohon kasasi yang dulu sebagai
penggugat/ terbanding, dan bagian 1/4 bagi pemohon kasasi yang dulu sebagai
tergugat dan pembanding. Pada tingkat banding harta bersama dibagi dua. Akan
tetapi putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor: 34/Pdt.G/2009/PTA
Ygk. Tertanggal 18 November 2009 telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan
nomor di atas. Dengan pertimbangan telah melakukan KDRT yang berdampak pada
kekerasan fisik dan psikis bagi termohon kasasi.
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
702 http://sosains.greenvest.co.id
d) Putusan Mahkamah Agung Nomor 266K/AG/2010 yang memberikan bagian kepada
duda 1/5 bagian dan 4/5 untuk janda, dengan pertimbangan bahwa mantan suaminya
tidak punya pekerjaan tetap dan memiliki moral yang kurang baik karena suka mabok
sehingga dinilai penghasilan harta perkawinan didominasi dari penghasilan isteri.
Putusan PTA dan Putusan Mahkamah Agung tersebut memberikan ilustrasi yang
sesuai dengan maksud teks Surat al-Nisa ayat 32 di atas bahwa harta bersama
pembagiannya sangat fleksibel disesuaikan dengan rasa keadilan dan kemashlahatan.
Putusan PTA dan Mahkamah Agung diatas jika dikaji dalam metodologi hukum Islam
(ushul fikih) dapat dikembangkan pada aspek lain, jika yang dijadikan landasan
pertimbangan hukum oleh hakim dalam putusan tersebut menyangkut pelanggaran moral
agama dan kesusilaan yang berakibat pada hilangnya hak harta bersama separoh bagian
dari pasangannya masing-masing suami isteri. Pengembangan tersebut misalnya, tidak
saja pada perilaku pasangan suami isteri yang mabok, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), baik kekerasan fisik maupun psikis. Dalam kajian ushul fikih hukum asal bisa
berupa nass, ijma atau ijtihad para ulama. Putusan hakim baik di PTA maupun MA dapat
dinilai sebagai bentuk ijtihad oleh karenanya bisa dijadikan hukum asal, apalagi putusan
hakim tersebut telah mempunyai hukum tetap, yang dinilai sebagai hukum tertulis.
Sedangkan illat yang dapat dijadikan persamaannya adalah keserasian atau kesamaan
yng dapat dinilai oleh hakim sebagai bentuk yang mengandung kemaslahatan, sekalipun
tidak ada dalil syara’ yang mendukung maupun yang menyanggahnya. Sebagai contoh
dalam kasus yang lain misalnya, sahnya perceraian menurut Undang- Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan.
Ketentuan ini dipandang membawa banyak maslahat. Bentuk qiyas seperti ini karena
‘illat-nya dikenal dengan al-Munas> ib al-Mursal.
Ketentuan bagi rata (50% : 50%) harta bersama dalam Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam untuk masing-masing suami-isteri belum tentu memenuhi rasa keadilan.
Karena itulah untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, tentunya harus
mengedepankan aspek kemanfaatan dan keadilan, di samping aspek kepastian hukum dan
keseimbangan, apakah yang bersangkutan memiliki komitmen menjaga keharmonisan
keluarga dalam mewujudkan tujuan perkawinan yang sakinah, mawaddah dan rahmah
apakah juga yang bersangkutan memiliki komitmen untuk menjaga keutuhan dan
keberkahan harta kekayaan yang menjadi harta bersama dalam perkawinan Karena itu,
dalam beberapa kasus yang nyata-nyata tidak memenuhi komitmen seperti itu, sejatinya
pembagian harta bersama memperhatikan keadilan distributif, yang berbasis keseimba
ngan proporsional. Dengan demikian para hakim berpeluang besar, bahkan sejatinya
melakukan diskresi dalam memutuskan perkara sesuai dengan ‘illat hukum dan
latarbelakang yang menyertainya. Dalam konteks kasus perceraian dan pembagian harta
bersama, penjelasan berikut ini diharapkan dapat membantu pemahaman dalam
mengukur dimensi keadilan distributif terkat dengan pembagian harta bersama dalam
perkawinan, serta sebagai tolak ukur terhadap nilai kepastian dan kemanfaatan dalam
putusan hakim Pengadilan Agama.
Persoalan gugatan pembagian harta bersama pun muncul ke pengadilan
berbarengan dengan terjadinya perceraian. Apabila dalam perkara inihakim terikat
dengan bunyi peraturan perundang-undangan semata (spreekbuis van de wet, bouche de
la hoi), maka perkara harta bersama tersebut akan diputus dengan bagian yang sama
antara suami dengan isteri secara seimbang. Tetapi apabila hakim memahami konsep
dasar harta bersama tidak bisa dilepaskan dari bentukkerjasama dalam membangun dan
mempertahankan rumah tangga, makapembagian harta bersama tersebut harus dibagi
secara proporsional, seimbangdengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dalam
rumah tangga serta besarnya peran masing-masing dalam menghasilkan harta bersama. Di
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 703
sini makna keadilan distributif tidak selalu dengan pembagian yang sama rata, tetapi
justru keadilan dapat terwujud dengan mempertimbangkan komitmen dan keseriusan
dalam membangun rumah tangga yang harmoni, disamping besaran kontribusi antara
usaha dengan hasil, dan kewajiban dengan hak yang dilakukan kedua belah pihak. Harta
bersama dalam hukum Islam (fikih) merupakan hal yang baru, karena dalam kitab-kitab
fikih tidak mengakomodir tentang harta bersama dalam perkawinan, Al-Quran surat al-
Nisa’ ayat 32 dinilai sebagai dasar hukum adanya harta bersama dalam perkawinan,
dengan kontekstidak memberikan persentase bagian secara jelas. Hal tersebut berguna
untuk memberikan fleksibilitas dalam membagi harta bersama sesuai dengan kondisi
yang dikehendaki sesuai dengan rasa keadilan. Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97
menggambarkan separoh harta bersama bagi pasangan yang masih hidup dan pada Pasal
97 separoh harta bersama bagi pasangan yang putus perkawinannya karena perceraian
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian, pasal tersebut merupakan pasal dalam
rangka penerapan hukum secara umum agar masalah harta bersama memiliki kepastian
hukum. Akan tetapi penerapan tersebut bersifat tidak memaksa pada kasus-kasus tertentu
karena ada unsur yang mengubahnya sesuai dengan rasa keadilan dan kemanfaatan,
Dengan demikian separoh harta bersama bisa berubah sebagaimana hakim boleh
berijtihad melakukan upaya hukum yang melatar belakanginya.
Sengketa harta bersama yang berakhir dengan putusan tersebut diatas berawal dari
gugatan Penggugat yang meminta pembagian harta bersama. Ada beberapa macam harta
yang diajukan Penggugat untuk ditetapkan sebagai harta bersama seperti dalam duduk
perkara tersebut diatas. Dengan ditetapkan sebagai harta bersama tentunya harta-harta
tersebut nantinya akan dapat dibagi dua antara Penggugat dan Tergugat. Kehidupan
masyarakat sekarang banyak sekali istri bekerja untuk membantu suami mencari nafkah
untuk mencukupi kebutuhan keluarga, seperti yang dialami oleh Penggugat.
Menurut penulis, Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut diatas belum
sesuai dengan teori keadilan distributif apabila dikaitkan dengan keadilan dan kesetaraan
Gender. Seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan Penggugat memikul beban
ganda yaitu ikut bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tetap mengurus
pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Sehingga Majelis Hakim dapat berijtihad sendiri
untuk mencari keadilan gender dalam membagi harta bersama sesuai keadilan ditributif
yaitu Penggugat mendapatkan bagiannya lebih banyak dibandingkan Tergugat.
Hal ini sudah cukup memberikan keadilan bagi Penggugat dan Tergugat dalam
perkara tersebut harta bersama dibagi ½ bagian untuk masing-masing pihak jika dalam
kondisi normal yaitu suami memberi nafkah kepada keluarga dan istrinya mengurus
rumah tangga saja. Kita harus melihat sejauh mana peranan suami dan istri dalam
mengumpulkan harta bersama tersebut dan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban-
kewajiban mereka sebagai suami istri. Putusan tersebut diatas tidak sesuai dengan pasal
97 Kompilasi Hukum Islam, karena hakim belum mengedepankan keadilan distributif.
Penulis melihat bahwa nilai keadilan yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam putusan
pembagian harta bersama tersebut diatas adalah keadilan yang berorientasi pada Keadilan
Hukum (legal justice), namun belum menyentuh Keadilan dan Kesetaraan Gender.
Negara Malaysia dalam menentukan bagian harta bersama didasarkan pada putusan
lembaga peradilan yang mana berdasarkan kontribusi didalam mendapatkan harta
bersama. Menurut penulis bahwa dasar kontribusi adalah pembagian harta bersama yang
justru dapat melindungi perempuan dan terciptanya Keadilan dan Kesetaraan Gender.
Perlindungan hak-hak perempuan dalam instrument hukum baik nasional dan
internasional sudah demikian lengkap. Satu kelemahan yang masih dihadapi pemerintah
dan instansi terkait adalah pemahaman serta sosialisai belum berjalan dengan optimal.
Volume 2, Nomor 6, Juni 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
704 http://sosains.greenvest.co.id
Ketua Mahkamah Agung Bapak Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H.
menambahkan bahwa Mahkamah Agung juga berupaya menjaga secara konsistensi
pendapat hukumnya melalui putusan-putusan majelis hakim agung. Upaya ini dilakukan
melalui penyusunan dan penghimpunan yurisprudensi serta penyusunan rumusan
kesepakatan kamar perkara yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) setiap tahunnya. Upaya ini telah menghasilkan beberapa putusan atau norma
yang mencerminkan keadilan berperspektif gender.
Putusan Majelis Hakim tersebut diatas belum melakukan contra legem terhadap
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam karena masih memberikan bagian sama yaitu
Penggugat ½ dan Tergugat ½. Putusan Majelis Hakim tersebut diatas belum
merefleksikan keadilan, putusan tersebut akan adil apabila Majelis Hakim memutuskan
bagian yaitu ¾ untuk Penggugat dan ¼ untuk Tergugat. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa adanya beban ganda bagi istri sebagai pencari nafkah dan ibu rumah
tangga dan minimnya kontribusi suami terhadap perolehan harta bersama selama
perkawinan. Hakim dalam memberikan keputusan harus mendasarkan keadilan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dipimpin oleh hakim yaitu pejabat yang melakukan
kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam undang-undang.
KESIMPULAN
Bertolak dari hasil pembahasan, maka penulis perlu kiranya memberikan
kesimpulan bahwa analisa Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Agama Pulang
Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps dan Nomor 19/Pdt.G/2020/PA.Pps Kaitannya
Dengan Keadilan dan Kesetaraan Gender. Dalam Putusan Pengadilan Agama Pulang
Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps penulis memberikan analisa yaitu pertama proses
mediasi belum ramah gender, kedua Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum belum diterapkan oleh Majelis Hakim, ketiga Ijtihad hakim belum
berpihak kepada keadilan dan kesetaraan gender. Dalam Putusan Pengadilan Agama
Pulang Pisau Nomor 19/Pdt.H/2020/PA.Pps penulis memberikan analisa yaitu sebagai
berikut pertama proses mediasi belum ramah gender, kedua Proses pembuktian belum
berpihak kepada keadilan dan kesetaraan gender, ketiga Keadilan ditributif belum
diterapkan. Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Putusan
Pengadilan Agama Pulang Pisau Nomor 82/Pdt.G/2019/PA.Pps Dan Nomor
19/Pdt.G/2020/PA.Pps Dari Aspek Tinjauan Yuridis Kaitannya Dengan Keadilan dan
Kesetaraan Gender yaitu pertama Mediasi sebagai Alternasi Penyelesaian Litigatif yaitu
Pembagian berdasar kontribusi, Pembagian berdasar proyeksi kebutuhan pada masa yang
akan datang, Pembagian dengan memperhatikan kepentingan anak, kedua Penerapan
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, ketiga Ijtihad
Hakim Yang Berpihak Kepada Keadilan dan Kesetaraan Gender, keempat Penentuan
Bagian Harta Bersama Yang Berpihak Kepada Keadilan dan Kesetaraan Gender yaitu
Pembagian Harta Bersama Secara Normatif, Pembagian Harta Bersama Menurut
Pertimbangan Tertentu (Special Circumtances), Pembagian Harta Bersama yang
Melingkupi Aktiva dan Pasiva, Pembaruan Paradigma Pembagian Harta Bersama
Pembagian Berdasar Kontribusi, Perlindungan Hukum terhadap Perempuan, Keadilan
dan Kesetaraan Gender.
BIBLIOGRAFI
Basri, Rusdaya. (2019). Fiqh Munakahat: 4 Mahzab dan Kebijakan Pemerintah. CV.
Kaaffah Learning Center.
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Tentang
Harta Bersama
Nur Izzah 705
Fadil Alim, Syahrul. (2020). Analisis Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor:
1325/Pdt. G/2019 Tentang Pembagian Harta Gono Gini. Surabaya: UPN Jawa
Timur.
Fikri, Fikri. (2019). Fleksibilitas Hak Perempuan dalam Cerai Gugat di Pengadilan
Agama Parepare. Al-Maiyyah: Media Transformasi Gender Dalam Paradigma
Sosial Keagamaan.
Firdawaty, Linda. (2016). Filosofi Pembagian Harta Bersama. ASAS, 8(1).
Helmi, Muhammad. (2015). Konsep Keadilan Dalam Filsafat Hukum Dan Filsafat
Hukum Islam. Mazahib, 14(2).
Ibrahim, Zulkarnain. (2015). Uji Coba Dengan Kesalahan VS Uji Coba Tanpa Kesalahan.
Ilmiah, Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi Dan Seni, 7(2), 5564.
Kurniawan, Muhamad Beni. (2017). Konsep Pembagian Harta Bersama Berdasarkan
Kontribusi Dalam Perkawinan. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 17(2).
Marwing, Anita. (2018). Perlindungan hak-hak perempuan pasca perceraian (studi
terhadap putusan Pengadilan Agama Palopo). Palita: Journal of Social Religion
Research, 1(1), 4562.
Muhammad, K. H. Husein. (2021). Islam Agama Ramah Perempuan. IRCiSoD.
Nelli, Jumni. (2017). Analisis tentang kewajiban nafkah keluarga dalam pemberlakuan
harta bersama. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 2(1), 2946.
Riangdi, Muhammad Adhim. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Perceraian Yang
Dilakukan Secara Lisan Di Hadapan Kepala Desa. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Rodliyah, Nunung. (2014). Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Keadilan Progresif, 5(1).
Setiawan, Andri. (2020). Implikasi Putusan Hakim Karena Li’an di Pengadilan Agama
Mamuju. Parepare: IAIN Parepare.
Sumarno, Edy. (2015). Hakekat Perjanjian Kawin Menurut Hukum Perdata Kaitannya
Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Indonesia.
IUS: Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum, 3(1), 1928.
Susanti, Dyah Ochtorina. (2018). Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum
Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif Maqashid Syari’ah). Ulul Albab: Jurnal Studi
Dan Penelitian Hukum Islam, 1(2), 130.
Thoyyibah, Wadudatut. (2020). Pemberian izin poligami di Pengadilan Agama: Studi
analisis putusan hakim di Pengadilan Agama Kabupaten Malang tahun 2017-2019.
Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.