Nur Izzah 699
harus ditanggalkan menuju pada pendekatan sosial justice dan pendekatan moral justice.
Di dalam melakukan penemuan hukum atau penciptaan hukum itu, hakim harus mampu
menggunakan berbagai penafsiran hukum, misalnya penafsiran analogis, penafsiran
ekstensif, penafsiran reskriftif, dan tidak munstahil hakim harus menggunakan penafsiran
a contrario. Pentingnya penafsiran itu, menurut Satjipto Rahardjo, karena hukum itu
bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih maju dan adil.
Konsep hukum seperti ini menekankan betapa pentingnya pengetahuan tentang
teori hukum itu sebagai dasar utama di dalam memahami perangkat peraturan-peraturan
hukum yang ada dan sekaligus pentingnya keahlian untuk menafsirkannya melalui
kemampuan untuk menganalisa dan menilai asumsi hukum, terutama yang berkaitan
dengan perkembangan masyarakat dalam mengisi perkembangan hukum sebagai sarana
perubahan sosial. Itulah hakim, mereka memiliki kewenangan konstitusi dan kewenangan
yudisial yang tentu saja berbeda dengan aparat hukum lainnya, seperti ; KPK, polisi,
jaksa dan pengacara yang serba normatif dengan selalu mengandalkan asas legalitas.
Menurut M. Yahya Harahap, seorang hakim harus dapat memahami interogasi filosofis
dan memiliki konstitusional.
Sementara itu hakim diberi jaminan konstitusional imunitas oleh Negara secara
totalitas di dalam melaksanakan tugas pokoknya, sekalipun Anda salah dalam
menerapkan hukum secara substansial. SEMA No.9 Tahun 1976, menyebutkan hakim
tidak boleh dituntut sekalipun salah dalam penerapan hukum. Lalu bagaimana cara
memahami dan mengetahui tentang teori hukum itu ?, paling tidak seorang hakim harus
memperbanyak buku bacaan referensi tentang hukum, termasuk teori hukum atau
mengikuti jenjang pendidikan program S2 dan S3 di berbagai perguruan tinggi di tanah
air, yang didalamnya diajarkan mata kuliah teori hukum. Mempelajari berbagai teori dan
konsep hukum Barat, seyogianya sebagai seorang hakim, harus melakukan kajian dan
analisis kritis, lalu melakukan apa yang disebut rekonstruksi hukum. Sejalan dengan itu
tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan sejarah lahirnya suatu teori dan
konsep hukum, di mana semua teori dan konsep hukum itu didasarkan pada pandangan
atau aliran filsafat tertentu yang merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-
teori yang sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas merupakan
produk barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis, individualis dan sekuler di
barat, dimana diantara sekian banyak teori hukum atau konsep hukum itu, ada yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk nilai-
nilai hukum Islam seperti yang penulis gambarkan di atas. Sehubungan dengan itu,
merupakan suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian
komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi teori hukum. Harus
dilakukan kajian komparatif yang membandingkan teori dan konsep hukum barat di satu
pihak, dengan teori dan konsep hukum timur, dilain pihak, termasuk dengan teori dan
konsep hukum Islam. Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan
seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan
ketertiban dan kebebasannya (Ibrahim, 2015). Hukum haruslah netral dan dapat
diterapkan pada siapa saja secara adil. Penerapan hukum Islam di zaman Nabi
Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan
substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan prosedural-formal” seperti
yang didewa-dewakan oleh dunia barat selama ini dan sepertinya dianut pula secara kuat
oleh sebagian hakim pengadilan agama di Indonesia. Namun demikian tidak semua teori
dan konsep hukum barat kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian dari teori dan konsep
barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di masyarakat Indonesia, termasuk hukum
formal (hukum acara). Untuk itu harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu
memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan konsep