Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
845 http://sosains.greenvest.co.id
spirit keadilan dan kesetaraan (Lotulung & Mulyana, 2018). Kendati penetapan kuota 30 %
melalui akomodasi negara telah diterapkan semenjak pemilu 2004 lalu, tetapi dilihat menurut
aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan pada parlemen, faktual masih
berlangsung secara fluktuatif (Lovenduski & Karam, 2002).
Studi tentang representase perempuan di Indonesia telah banyak di lakukan. Berdasarkan
berbagai hasil riset dan penelitian menunjukan bahwa masih banyak masalah keterwakilan
perempuan dunia politik. Secara khusus pada lembaga legislatif, kaum perempuan baru
mendapat perhatian sejak adanya pemberlakuan kuota 30 %. berdasarkan 34 provinsi yang ada
di Indonesia persentase keterlibatan perempuan dalam legislatif masih jauh dari harapan.
Meskipun demikian, ada daerah kabupaten yang kuota keterlibatan perempuan dalam
legislatifnya bisa dikatakan melebihi kuota 30 % (Malasari & Putra, 2020).
Representasi atau keterwakilan perempuan dalam legislatif diartikan sebagai terwakilnya
kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakilnya di institusi-institusi perwakilan (DPR)
melalui proses politik. Keterwakilan politik perempuan pada institusi Dewan Perwakilan Rakyat
sangat penting. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek, yaitu Pertama,dari segi demokrasi,
jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu, wakil rakyat atau
caleg perempuan merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari
perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk
rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, merupakan penggunaan kemampuan
intelektual perempuan. Keempat, dari segi keterwakilan secara empiris menunjukkan bahwa bila
perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan perempuan tidak
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh bahkan cenderung diabaikan (Pantouw, 2012).
Studi tentang representase perempuan di Indonesia telah banyak di lakukan. Dari
berbagai hasil riset dan penelitian menunjukan bahwa masih banyak masalah keterwakilan
perempuan dunia politik. Secara khusus pada lembaga legislatif, kaum perempuan baru
mendapat perhatian sejak adanya pemberlakuan kuota 30 %. Persentase dari 34 provinsi yang
ada di Indonesia keterlibatan perempuan dalam legislatif masih jauh dari harapan. Meskipun
demikian, ada daerah kabupaten yang kuota keterlibatan perempuan dalam legislatifnya bisa
dikatakan melebihi kuota 30 %.
Penelitian ini berfokus pada perempuan anggota legislatif di DPRD kabupaten Belu. Ada
sejumlah alasan yang melatarbelakangi dipilihnya perempuan anggota legislatif sebagai studi
kasus. Dalam membahas representasi politik di tatanan lokal, hubungan wakil dalam hal ini
perempuan anggota legislatif dan konstituen disebabkan adanya kedekatan geografis, kultur,
politik dan emosional, serta ruang lingkup aspirasi. Wakil yang berdomisili di daerah
pemilihannya memiliki interaksi yang intens dengan konstituennya. Sedangkan aspek ruang
lingkup aspirasi, anggota legislatif dapat membawa isu-isu kebijakan yang dekat dengan
permasalahan di masyarakat (Partini, 2020).
Suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih dalam adalah bagaimana
persentase keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif di kabupaten lebih tinggi daripada
persentase keterlibatan perempuan di ibu kota provinsi. Peneliti tertarik melakukan penelitian di
kabupaten Belu dengan membandingkan keterwakilan perempuan di Kota Kupang. Daerah
perkotaan umumnya memiliki pemilih yang rasional. Sedangkan di daerah kabupaten jumlah
pemilih rasionalnya masih sedikit. Salah satu aspek penting yang umumnya menjadi faktor
penghambat keterlibatan perempuan dalam suatu wilayah adalah kentalnya budaya patriarki.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa budaya patriarki menjadi penghalang kemajuan
perempuan. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai sentral:
pengambil keputusan, pencari nafkah, penerus garis keturunan, benteng perlindungan dan
sebagainya. Ketika perempuan diberi akses yang besar untuk sebuah jabatan publik atau
pengambil keputusan penting, yang terjadi adalah bukan menguatnya solidaritas melainkan
terjadinya rivalitas: perempuan tidak mendukung perempuan, terutama ketika perempuan maju
sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah (Rohman, 2014).
Pada tahun 2014, ada 40 calon legislatif perempuan di kabupaten Belu yang berkontestasi
dalam pemilihan legislatif. Jumlah ini sama dengan calon legislatif perempuan di Kota Kupang
yakni 40 orang peserta. Dari hasil pemilihan, ada 4 orang caleg terpilih di Kota Kupang dengan
persentase keterpilihan sebesar 12,5 %. Sedangkan di kabupaten Belu, terpilih 14 orang dengan