843 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 2 NOMOR 8 2022
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM
LEGISLATIF DI KABUPATEN BELU TAHUN 2019
Luise Richardo Wada
Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana
kupang, Indonesia
arcyluis445@gmail.com
Kata Kunci:
Representasi
Politik,
Legislatif
Perempuan,
Pemilu
Legislatif,
Modalitas
Keywords:
Political
Representation,
Women's
Legislature,
ABSTRAK
Latar Belakang: Mengeksplorasi keterwakilan perempuan dalam politik khususnya di
lembaga legislatif di Kabupaten Belu.
Tujuan: Mengeksplorasi faktor individu perempuan dan sekaligus faktor di luar
perempuan (seperti lingkungan, struktur, hubungan interaksi, relasi, budaya, tatanan/
regulasi) yang terjadi dalam proses rekrutmen legislatif di Kabupaten Belu selama ini.
Metode : Metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan studi kasus. Dimana peneliti
melakukan eksplorasi secara mendalam terhadap program, kejadian, proses, aktivitas
terhadap satu atau lebih orang.
Hasil:. Ketewakilan perempuan dalam pemilu legislatif sangat bergantung pada tiga
modalitas calon legislatif perempuan yakni modal politik, modal sosial, dan modal
ekonomi, bagaimana hubungan kekerabatan yang di bangun calon legislatif perempuan
dan masyarakat. Faktor utama terpilihnya caleg perempuan ini karena memiliki
masyarakat yang setia dan punya rasa percaya penuh terhadap calon perempuan itu
sendiri. Selain itu sosok perempuan anggota legislatif di anggap mampu menyuarakan
apa yang menjadi aspirasi masyarakat itu sendiri. Kuota keterwakilan perempuan
diberikan untuk memberikan ruang bagi perempuan agar bisa menyuarakan apa yang
menjadi masalah krusial terhadap perempuan. Untuk itu, kualitas perempuan itu
sendiri sangat penting dan menjadi faktor modal utama. Pendidikan karakter
perempuan yang ingin berkontestasi dalam pemilihan umum legislatif untuk
menduduki jabatan anggota dewan harus di bangun dan di dorong sejak dini sebelum
masuk ke dalam ranah legislatif.
Kesimpulan: Calon legislatif perempuan di kabupaten belu mampu mengkapitalisasi
partai politik yang menjadikan itu sebagai modal politik pada saat berkontestasi dalam
pemilu legislatif. Kuota keterwakilan perempuan 30 % dirasa sudah cukup untuk
mengikutsertakan perempuan dalam lembaga legislative.
ABSTRACT
Background: Exploring the representation of women in politics, especially in the
legislature in Belu Regency.
Objective: To explore women's individual factors as well as factors outside of women
(such as environment, structure, interaction relations, relations, culture,
Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Kabupaten Belu Tahun 2019
2022
Luise Richardo Wada 844
Election
Legislature,
Modalities
order/regulation) that have occurred in the legislative recruitment process in Belu
Regency so far.
Methods: Qualitative research methods, with a case study approach. Where the
researcher conducts an in-depth exploration of the program, event, process, activity of
one or more people.
Results:. The representation of women in legislative elections is very dependent on
three modalities of female legislative candidates, namely political capital, social
capital, and economic capital, how the kinship relationships are built by women
legislative candidates and the community. The main factor in the selection of these
female candidates is because they have a loyal community and have full trust in the
female candidates themselves. In addition, the figure of women members of the
legislature is considered capable of voicing the aspirations of the community itself.
The quota for women's representation is given to provide space for women to be able
to voice what is a crucial problem for women. For this reason, the quality of women
itself is very important and becomes the main capital factor. Character education for
women who want to contest in the legislative general election to occupy the position of
members of the council must be built and encouraged from an early age before
entering the legislative realm.
Conclusion: Female legislative candidates in the district have not been able to
capitalize on the political parties that use it as political capital when contesting in the
legislative elections. The 30% quota for women's representation is considered
sufficient to include women in the legislative body.
PENDAHULUAN
Salah satu indikator utama untuk menilai penegakan prinsip demokrasi di Indonesia
adalah terwakilnya perempuan dalam lingkup politik. Demokrasi merupakan instrumen penting
untuk melindungi hak asasi seluruh warga masyarakat tanpa membeda-bedakan kelas, agama,
warna kulit, jenis kelamin dan berbagai identitas lainnya yang dijamin oleh aturan atau regulasi
(Asnawiah & Purwaningsih, 2020). Selain itu juga demokrasi memberikan ruang, akses, kontrol
dan manfaat yang adil kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis
dalam seluruh tata kelola politik dan pemerintahan baik di level lokal maupun nasional (Niron &
Seda, 2020).
Menurut Robert A. Dahl, demokrasi menghendaki adanya suatu sistem perwakilan yg
bisa membangun situasi pada mana setiap kelas sosial antara laki-laki dan perempuan bisa
terwakili secara adil pada ranah politik dalam parlemen, dengan maksud supaya pada pembuatan
dan pengambilan kebijakan publik tidak terdapat kelas sosial antara laki-laki maupun perempuan
yang kebutuhan dan kepentingannya diabaikan (Baharuddin & Purwaningsih, 2017). Tetapi
realitas menunjukan bahwa semenjak demokrasi itu diimplementasikan, keberadaan lembaga
legislatif pun tidak representatif. Hal inilah sebagai penyebab mengapa lembaga legislatif selalu
membentuk keputusan politik yg tidak berpihak dalam kelas sosial marginal pada masyarakat
(Ekawati, 2016).
Partisipasi politik perempuan pada kontestasi politik dalam pemilihan umum sebagai hal
krusial untuk diwacanakan, mengingat minimnya persentase keterwakilan perempuan pada
badan politik (legislatif & eksekutif) menjadi penentu kebijakan public (Jovani, 2018). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana kepentingan perempuan bisa diperjuangkan apabila
jumlah perwakilannya sangat sedikit dan bagaimana menggunakan perwakilan politik
perempuan yg jumlahnya sangat sedikit tadi bisa memberi pengaruh pada kebijakan publik yg
sarat kuatnya budaya patriarki.
Meski negara sekarang telah responsif terhadap isu dan tuntutan keterwakilan politik
perempuan (pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 mengenai Partai Politik dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum), tetapi mesti disadari bahwa ruang
aktualisasi diri politik perempuan yg diberikan negara dan para elit partai masih jauh menurut
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
845 http://sosains.greenvest.co.id
spirit keadilan dan kesetaraan (Lotulung & Mulyana, 2018). Kendati penetapan kuota 30 %
melalui akomodasi negara telah diterapkan semenjak pemilu 2004 lalu, tetapi dilihat menurut
aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan pada parlemen, faktual masih
berlangsung secara fluktuatif (Lovenduski & Karam, 2002).
Studi tentang representase perempuan di Indonesia telah banyak di lakukan. Berdasarkan
berbagai hasil riset dan penelitian menunjukan bahwa masih banyak masalah keterwakilan
perempuan dunia politik. Secara khusus pada lembaga legislatif, kaum perempuan baru
mendapat perhatian sejak adanya pemberlakuan kuota 30 %. berdasarkan 34 provinsi yang ada
di Indonesia persentase keterlibatan perempuan dalam legislatif masih jauh dari harapan.
Meskipun demikian, ada daerah kabupaten yang kuota keterlibatan perempuan dalam
legislatifnya bisa dikatakan melebihi kuota 30 % (Malasari & Putra, 2020).
Representasi atau keterwakilan perempuan dalam legislatif diartikan sebagai terwakilnya
kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakilnya di institusi-institusi perwakilan (DPR)
melalui proses politik. Keterwakilan politik perempuan pada institusi Dewan Perwakilan Rakyat
sangat penting. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek, yaitu Pertama,dari segi demokrasi,
jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu, wakil rakyat atau
caleg perempuan merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari
perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk
rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, merupakan penggunaan kemampuan
intelektual perempuan. Keempat, dari segi keterwakilan secara empiris menunjukkan bahwa bila
perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan perempuan tidak
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh bahkan cenderung diabaikan (Pantouw, 2012).
Studi tentang representase perempuan di Indonesia telah banyak di lakukan. Dari
berbagai hasil riset dan penelitian menunjukan bahwa masih banyak masalah keterwakilan
perempuan dunia politik. Secara khusus pada lembaga legislatif, kaum perempuan baru
mendapat perhatian sejak adanya pemberlakuan kuota 30 %. Persentase dari 34 provinsi yang
ada di Indonesia keterlibatan perempuan dalam legislatif masih jauh dari harapan. Meskipun
demikian, ada daerah kabupaten yang kuota keterlibatan perempuan dalam legislatifnya bisa
dikatakan melebihi kuota 30 %.
Penelitian ini berfokus pada perempuan anggota legislatif di DPRD kabupaten Belu. Ada
sejumlah alasan yang melatarbelakangi dipilihnya perempuan anggota legislatif sebagai studi
kasus. Dalam membahas representasi politik di tatanan lokal, hubungan wakil dalam hal ini
perempuan anggota legislatif dan konstituen disebabkan adanya kedekatan geografis, kultur,
politik dan emosional, serta ruang lingkup aspirasi. Wakil yang berdomisili di daerah
pemilihannya memiliki interaksi yang intens dengan konstituennya. Sedangkan aspek ruang
lingkup aspirasi, anggota legislatif dapat membawa isu-isu kebijakan yang dekat dengan
permasalahan di masyarakat (Partini, 2020).
Suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk dikaji lebih dalam adalah bagaimana
persentase keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif di kabupaten lebih tinggi daripada
persentase keterlibatan perempuan di ibu kota provinsi. Peneliti tertarik melakukan penelitian di
kabupaten Belu dengan membandingkan keterwakilan perempuan di Kota Kupang. Daerah
perkotaan umumnya memiliki pemilih yang rasional. Sedangkan di daerah kabupaten jumlah
pemilih rasionalnya masih sedikit. Salah satu aspek penting yang umumnya menjadi faktor
penghambat keterlibatan perempuan dalam suatu wilayah adalah kentalnya budaya patriarki.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa budaya patriarki menjadi penghalang kemajuan
perempuan. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai sentral:
pengambil keputusan, pencari nafkah, penerus garis keturunan, benteng perlindungan dan
sebagainya. Ketika perempuan diberi akses yang besar untuk sebuah jabatan publik atau
pengambil keputusan penting, yang terjadi adalah bukan menguatnya solidaritas melainkan
terjadinya rivalitas: perempuan tidak mendukung perempuan, terutama ketika perempuan maju
sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah (Rohman, 2014).
Pada tahun 2014, ada 40 calon legislatif perempuan di kabupaten Belu yang berkontestasi
dalam pemilihan legislatif. Jumlah ini sama dengan calon legislatif perempuan di Kota Kupang
yakni 40 orang peserta. Dari hasil pemilihan, ada 4 orang caleg terpilih di Kota Kupang dengan
persentase keterpilihan sebesar 12,5 %. Sedangkan di kabupaten Belu, terpilih 14 orang dengan
Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Kabupaten Belu Tahun 2019
2022
Luise Richardo Wada 846
persentase 35 % .
Adapun dari sudut pandang pemilih, berdasarkan hasil survey yang di lakukan oleh
Bengkel APPeK di tahun 2014 menunjukan bahwa pemilih perempuan di Kabupaten Belu
cenderung lebih tinggi memilih caleg perempuan dibandingkan dengan jumlah pemilih
perempuan yang memilih caleg perempuan di Kota Kupang yang relatif lebih rendah. Walaupun
angka keterpilihan perempuan di kabupaten Belu dilihat belum cukup mumpuni dalam skala
provinsi maupun nasional namun jumlah ini patut diapresiasi karena mengalami peningkatan
yang baik.
Dengan adanya Undang-undang No. 31 tahun 2002 yang mengatur tentang keterlibatan
perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan
sebanyak 30 persen, Maka hal itu membuat perempuan di kabupaten Belu ikut mengambil
bagian untuk memenangkan dan juga memenuhi kuota pencalonan 30 % pada pemilihan
legislatif. Hal ini dilihat dari banyaknya jumlah calon legislatif perempuan yang mengikuti
pemilihan legislatif. Untuk dapat mengetahui lebih lengkap dapat dilihat dari tabel yang terdapat
di bawah ini.
Tabel 1 Data Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik & Jenis Kelamin Di
Kabupaten. Belu Periode 2014-2019
No.
Urut
Partai
Partai Politik
Anggota DPRD
P
1.
NASDEM
0
2.
PKB
2
3.
PKS
0
4.
PDIP
2
5.
GOLKAR
1
6.
GERINDRA
2
7.
DEMOKRAT
1
8.
PAN
1
9.
PPP
0
10.
HANURA
1
15.
PKPI
1
Total
11
Presentase ( %)
36.67
Sumber Data: KPUD Kabupaten Belu, Tahun 2014
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat jelas bahwa keterwakilan perempuan dalam
DPRD Kabupaten Belu tahun 2014 berjumlah11 orang (36,67%) dan laki-laki 19 orang
(63,33%). Data diatas sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan hasil perolehan kursi
legislatif perempuan Kabupaten Belu di tahun 2009 yakni sebanyak 7 orang dari 35 kursi. Itu
berarti 20% anggota DPRD adalah perempuan dan 80% anggota laki-laki.
Sementara itu, di tahun 2019, 168 orang caleg perempuan di kabupaten Belu
berkontestasi memperebutkan 30 kursi legislatif. Setelah pemilihan, hasilnya adalah tujuh orang
perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Jumlah ini menurun jika dibanding dengan
periode 2014-2019, di mana saat itu ada 11 orang perempuan yang menjadi anggota legislatif.
Tujuh orang caleg perempuan terpilih itu, empat di antaranya adalah caleg incumbent atau
petahana, dan tiga orang lainnya adalah pendatang baru. Empat srikandi petahana antara lain,
Martina Kolo Hale dari PKB dengan perolehan suara 1.098, Regina Mau Loe dari PKPI jumlah
suara 1.267, Aquilina Ili dari PDIP dengan jumlah suara 691 dan Januaria Awalde Berek dari
Gerindra dengan jumlah suara 1.509. Sedangkan tiga pendatang baru antara lain, Nini Wendelina
Atok dari PAN dengan jumlah suara 1.938, Ermina Dwi Pustipa Sari Bere dari PDIP dengan
jumlah suara 807 Dewi Arimbi Ballo dari Hanura dengan jumlah suara 698. Meskipun
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
847 http://sosains.greenvest.co.id
mengalami pasang surut dalam keterwakilan perempuan di ranah legislatif, namun secara umum
terlihat bahwa ada perkembangan dan juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap caleg
perempuan di kabupaten Belu.
Berdasarkan data Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPRD kota Kupang tahun 2019,
jumlah caleg perempuan ikut berpartisipasi dalam pemilihan legislatif kota Kupang sebanyak
209 orang. Jumlah caleg yang terpilih sebanyak 7 orang. Keterwakilan perempuan di DPRD
Kota Kupang untuk periode 2019-2024 mengalami penambahan 2 kursi dari periode sebelumnya
(2014-2019) 5 kursi yang menjadi 7 kursi.
Perbandingan jumlah kaum perempuan yang terlibat dalam legislatif di kabupaten Belu
dan Kota Kupang tentunya mengalami pasang surut. Dilihat dari jumlah persentase keterwakilan
perempuan di legislatif, kabupaten Belu masih lebih tinggi dibandingkan dengan keterwakilan
perempuan di Kota kupang. Masyarakat kota umumnya memiliki pemilih yang rasional bila
dibandingkan dengan daerah. Di Kota Kupang laki-laki yang memilih laki-laki tinggi sedangkan
perempuan yang memilih perempuan tidak terlalu banyak, sedangkan di Belu perempuan yang
memilih perempuan presentasinya lebih tinggi dari pada perempuan memilih laki-laki (Upara,
2018).
Dari hasil uraian tersebut, peneliti lebih memfokuskan kepada caleg perempuan di
kabupaten Belu. Peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana representasi perempuan
dalam pemilihan legislatif di Kabupaten Belu. Di wilayah perkotaan umumnya
masyarakat pemilih sudah rasional sedangkan di daerah seperti di kabupaten umumnya
masih didominasi oleh pemilih tradisional.
.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang
dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data
diperoleh melalui teknik penelitian kepustakaan (library study) yang mengacu pada
sumber yang tersedia baik online maupun offline seperti: jurnal ilmiah, buku dan berita
yang bersumber dari sumber terpercaya. Sumber-sumber ini dikumpulkan berdasarkan
diskusi dan dihubungkan dari satu informasi ke informasi lainnya. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan penelitian.
Data ini dianalisis dan kemudian ditarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Legislatif Di Kabupaten Belu
Analisis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi perempuan
dalam pemilu legislatif di Kabupaten Belu tahun 2019 dengan melihat profil anggota
legislatif perempuan terpilih di Kabupaten Belu tahun 2019, kualitas dan kapasitas figur
perempuan sehingga bisa terpilih dalam pemilu legislatif, serta faktor pendukung baik
internal maupun eksternal dari anggota legislatif lolos dalam pemilu legislatif. Dari tujuh
orang perempuan yang menjadi anggota legislatif periode 2019-2024 terdapat empat
orang perempuan yang merupakan petahana dan tiga orang merupakan pendatang baru.
Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan teori modalitas politik dari Pieree Bourdieu
yang mana terdapat empat modal utama yang di miliki oleh calon anggota legislatif dalam
pemilihan umum legislatif. Keempat modal itu antara lain modal politik, modal ekonomi,
modal sosial, dan modal budaya.
1. Modal Politik
Modal politik dapat diartikan sebagai sejumlah kekuatan atau dukungan yang
berasal dari partai politik (koalisi partai) dan dukungan para elit politik lokal dari
organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan kepada para calon yang
Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Kabupaten Belu Tahun 2019
2022
Luise Richardo Wada 848
dianggap dapat mewakili kepentingannya melalui pemilihan legislatif. Dalam konteks
politik lokal (daerah) para elit lokal telah banyak menduduki jabatan politik dan
jabatan-jabatan strategis lain yang mempunyai peran penting dan berpengaruh
terhadap kelompok dan masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain dukungan
partai politik, para kontestan juga memerlukan dukungan elit-elit politik lokal karena
elit politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam politik dan bidang lain serta
memiliki pengaruh yang besar dengan keunggulan- keunggulan yang dimiliki calon
kepala daerah. Kandidat juga harus memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas,
seperti kedudukan di partai politik dengan melihat posisi strategis dalam struktur
jabatan di partai politik dan pemerintahan. Dukungan elit partai politik biasanya
hanya akan diberikan kepada figur yang memiliki keunggulan dan memenuhi
sejumlah syarat seperti ketokohan, kompetensi, popularitas, kapabilitas dan integritas
termasuk di dalamnya moralitas yang baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pemberian dukungan kepada kandidat tentunya merupakan hasil lobby elit politik
dengan melihat elektabilitas serta isi kantong tas kandidat yang akan di usung untuk
dijagokan sebagai kontestan dalam perhelatan pemilu legislatif karena banyak pihak
berpendapat bahwa dalam politik tidak ada makan siang “gratis”. Jika kandidat tidak
mendapatkan dukungan dari elit partai politik, para calon legislatif dipastikan akan
kalah dalam kompetisi. Sebab dalam permainan politik praktis setiap petarung harus
mempersiapkan diri dengan dukungan sumberdaya yang memadai baik kemampuan
internal maupun kemampuan eksternal yang terus dibangun dan dikembangkan
secara berkelanjutan. Sebab dalam kompetisi politik segala kemungkinan yang baik
berupa kemenangan maupun kekalahan selalu datang silih berganti tanpa diduga
sebelumnya. Karena itu tiap kontestan harus bisa memastikan bahwa mesin partai
politik dan seluruh jaringannya selalu bekerja maksimal dan berpihak padanya.
2. Modal Ekonomi
Dalam pandangan ekonomi, modal bisa pula berupa investasi yang diberikan
seseorang pada pihak lain, kemudian dipertukarkan dengan keuntungan berupa
barang atau uang/jasa politik. Modal ekonomi memiliki makna penting sebagai
“penggerak dan “pelumas” mesin politik yang dipakai. Sistem pemilu proposional
terbuka yang diterapkan dalam pemilu legislatif faktanya berdampak pada persaingan
berpusat kepada calon (candidate centric competition), termasuk sumber pendanaan
kampanye yang sepenuhnya berpusat pada calon anggota legislatif. Semenjak sistem
pemilu proposional daftar terbuka digunakan pada Pemilu Tahun 2009, pola
persaingan berpusat pada kandidat akibat basis penentuan calon terpilih berdasarkan
suara terbanyak yang diperoleh calon. Sekalipun terdapat tiga sumber utama
penerimaan dana kampanye partai politik, calon anggota legislaif itu sendiri, dan
sumbangan dari pihak ketiga baik secara individual atau badan usaha non-negara.
Realitasnya, masing-masing calon anggota legislatif memiliki tanggungjawab untuk
mendanai secara mandiri aktivitas kampanye yang dilakukan.
Peran partai politik terkadang hanya sebatas memberikan tiket pendaftaran
calon dan tidak sama sekali memberikan dukungan finansial kepada calon anggota
legislatif yang didaftarkan. Begitu juga dengan donasi dari pihak ketiga yang berasal
dari publik perseorangan yang masih sangat minim. Idealnya publik ikut membantu
aktivitas kampanye kandidat yang ia sukai agar terpilih, namun realitasnya seringkali
kampanye dijadikan publik sebagai kesempatan untuk meraih uang dari kandidat baik
secara langsung dalam wujud vote buying ataupun tidak langsung dalam bentuk
barang atau donasi pembangunan infrastruktur. Alhasil tingginya biaya politik tidak
dapat dihindari. Penggunaan dana kampanye cenderung beranekaragam mulai dari
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
849 http://sosains.greenvest.co.id
membuat alat peraga seperti poster, baliho, biaya saksi, biaya tim pemenangan, biaya
transportasi untuk bertemu dengan pemilih, membuat kampanye terbuka, sampai
dengan biaya survei dan konsultan politik. Bagi calon yang memiliki banyak uang
tentunya dapat menyelenggarakan aktivitas kampanye dengan berbagai bentuk
semisal menyediakan alat peraga kampanye dengan jumlah yang cukup banyak dan
bertemu dengan pemilih di banyak lokasi dalam daerah pemilihan yang cukup besar.
Sebaliknya, bagi calon anggota legislatif yang memiliki keterbatasan dana tentunya
hanya bisa melakukan aktivitas kampanye yang sangat terbatas, dengan jangkauan
bertemu pemilih yang terbatas pula. Dampaknya arena kampanye yang tidak setara
tidak dapat terhindari.
3. Modal Budaya
Modal budaya merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa
diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, seperti kemampuan
menampilkan diri di depan publik, kepemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi,
pengetahuan atau keahlian tertentu hasil pendidikan formal, sertifikat (termasuk gelar
kesarjanaan), bentuk-bentuk bahasa dan lain-lain. Individu memperoleh modal
budaya ini sejak ia kecil dimana modal ini sudah terbentuk dan terinternalisasi secara
sendiri, salah satunya melalui ajaran orang tuanya dan pengaruh lingkungan
keluarganya. Modal budaya ini dibentuk sendiri oleh lingkungan sosial yang
beranekaragam serta pendidikan yang diperoleh individu tersebut, pendidikan
tersebut bisa berupa pendidikan formal maupun warisan budaya dari keluarga. Dalam
penelitian ini, indikator yang digunakan dalam modal budaya adalah latar belakang
pendidikan calon legislatif perempuan, latar belakang keluarga , pengaruh struktur
budaya dan kepemilikan gelar kehormatan.
Indikator modal budaya yang kedua adalah latar belakang keluarga
perempuan yang berkontestasi dalam pemilu legislatif. Berdasarkan hasil wawancara
peneliti dengan anggota DPRD perempuan di Kabupaten Belu dan juga informan lain
dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar anggota legislatif
perempuan mempunyai keluarga baik orangtua, saudara, bahkan suami yang pernah
menjabat dalam dunia politik . Setelah dilakukan wawancara mendalam dengan Ibu
Walde selaku anggota DPRD kabupaten Belu dari dapil empat, beliau mengatakan
bahwa salah satu modal sehingga beliau bisa masuk dalam dunia politik adalah latar
belakang Ayah dari Ibu Walde itu sendiri yang merupakan mantan kepala desa
Mandeu selama delapan belas tahun, mantan Camat Haekesak selama enam setengah
tahun, camat Kobalima selama tujuh tahun, dan camat Malaka Timur sampai dengan
masa pensiun. Selain itu anggota DPRD perempuan lainnya memiliki latar belakang
keluarga yang pernah menjabat dalam legislatif maupun dalam dunia politik di
Kabupaten Belu.
Masyarakat Belu menganut sistem budaya patriarkhi yang mengutamakan
laki laki dalam hal adat maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Satu hal yang
menarik bahwa meskipun demikian, ada satu wilayah yang mengikutsertakan
perempuan dalam urusan adat. Lamaknen merupakan satu -satunya wilayah di
kabupaten Belu yang mengikutsertakan perempuan dalam rapat pemangku adat.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Follo yang merupakan suku asli
dari Lamaknen, beliau mengatakan bahwa, keikutsertaan perempuan di rumah adat
pada saat rapat diperbolehkan .tetapi porsinya hanya sekedar menyampaikan saran
atau masukan. Secara umum, anggota legislatif perempuan di Kabupaten Belu tidak
memiliki gelar kehormatan khusus. Hanya saja, ada satu ungkapan sapaan adat
masyarakat untuk anggota legislatif perempuan yang di berikan oleh masyarakat pada
saat kunjungan kerja atau kegiatan bersama masyarakat. Dalam bahasa masyarakat
Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Kabupaten Belu Tahun 2019
2022
Luise Richardo Wada 850
Belu di sampaikan dengan ungkapan “Foho Bot Rai Bot. Inan No Feton. Sasian Nota
Tanen.”
B. Faktor Pendorong Keterpilihan Calon Anggota Legislatif Perempuan di
Kabupaten Belu
Dari hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menganalisa faktor faktor
terpilihnya calon legislatif perempuan dalam pemilu legislatif di Kabupaten Belu tahun
2019 adalah sebagai berikut
1. Incumbent;
Pengalaman menjadi anggota incumbent kini memudahkan para caleg untuk
di kenal di masyarakat. Caleg incumbent dipandang lebih mudah terpilih
dibandingkan caleg baru, karena mereka sudah lama bekerja, sudah bersosialisasi
sejak lama, dan pemilih pun sudah banyak yang kenal. Popularitas, akses ke sumber
daya kampanye, dan pengaruh atas birokrasi yang melekat pada pemegang
kekuasaan, merupakan suatu modal politik yang besar bagi kandidat incumbent.
Formula penetapan calon terpilih menggunakan suara terbanyak menguntungkan
calon populer/ calon incumbent. Popularitas calon juga bisa diangkat melalui
kampanye mobilisasi sosial, seperti tatap muka, simulasai dan kunjungan kepada
warga (Widiowati, 2019).
2. Modal Politik;
Modal politik ini tidak hanya dari jalinan kekerabatan dengan elit politik
melainkan jaringan dari struktural partai, hubungan pertemanan serta organisasi sosial
yang pernah mereka ikuti. Hasil analisa penulis dari tujuh caleg perempuan terpilih di
DPRD Kabupaten Belu tahun 2019, empat orang petahana sudah dapat dipastikan
memiliki basis jaringan yang kuat. Sedangkan tiga pendatang baru berdasarkan
wawancara peneliti bahwa basis jaringan di dapil masing masing sudah di bangun
dan sangat di dukung dengan hadirnya partai pengusung. Hampir semua caleg
perempuan terpilih dilatar belakangi aktivis organisasi baik politik maupun sosial.
Keuntungan memiliki jaringan politik yang kuat misalnya dari elit politik atau
pimpinan partai membantu mensosialisasikan caleg ke masyarakat, membantu
memperoleh nomor urut kecil dan dapil strategis. Kemudian jika jaringan sosial/
profesi lebih berperan untuk menjadi tim sukses dan sebagai target suara yang akan di
garap (Harjanto, 2012).
3. Modal Ekonomi
Modal ekonomi berkaitan dengan kemampuan calon legislatif perempuan
dalam mengakomodasi kekuatan ekonomi yang dimiliki dalam mencari pemilih.
Modal ekonomi calon legislatif dalam bentuk dana yang digunakan untuk penggerak
dan pelumas seperti penyediaan alat-alat kampanye, dan kunjungan-kunjungan ke
dapil maupun konstituen atau jaringan. Hal tersebut tidak dipungkiri pula
memerlukan dana yang tidak sedikit. Membangun jaringanpun memerlukan modal
ekonomi yang tidak sedikit, bahkan untuk meyakinkan masyarakat juga perlu modal
ekonomi. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk
mempengaruhi pemilih contohnya money politik (Efendi, n.d.).
4. Modal Sosial
Modal sosial menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan kepercayaan
masyarakat dalam pencalegan. Modal sosial memegang peranan yang sangat penting
dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Hasil
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
851 http://sosains.greenvest.co.id
penelitian dengan caleg perempuan terpilih menunjukkan pentingnya membangun
kepercayaan masyarakat sebagai modal sosial terpilihnya para caleg tersebut. Tetapi
butuh waktu yang lama untuk membangun modal sosial, karena memunculkan rasa
percaya setiap masyarakat itu berbeda-beda. Apalagi bagi caleg perempuan, sulit
masyarakat memberikan kepercayaan untuk perempuan menjadi wakil rakyat.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran pada latar belakang, tinjauan pustaka serta hasil penelitian
dan pembahasan yang telah di bahas pada bab sebelumnya mengenai representasi
perempuan dalam pemilihan umum legislatif di Kabupaten Belu tahun 2019 maka
kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah, ketewakilan perempuan dalam
pemilu legislatif sangat bergantung pada keempat modalitas calon legislatif perempuan
yakni modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi, bagaimana hubungan kekerabatan
yang di bangun calon legislatif perempuan dan masyarakat. Masyarakat tentu sangat
menaruh rasa percaya terhadap perempuan apabila hubungan emosional yang di bangun
dengan baik. Kuota keterwakilan perempuan 30 % dirasa sudah cukup untuk
mengikutsertakan perempuan dalam lembaga legislatif. Anggota legislatif perempuan di
kabupaten Belu tersebar di empat daerah pemilihan. Daerah pemilihan yang luas dapat
memungkinkan seorang calon legislatif perempuan bisa masuk dan lolos dalam pemilu
legislatif. Anggota legislatif perempuan di Kabupaten Belu sangat bergantung juga pada
dukungan partai politik pengusung calon perempuan tersebut. Perempuan yang terjun ke
dalam ranah legislatif ada yang sudah terpilih untuk dua bahkan sampai tiga periode.
Faktor utama terpilihnya caleg perempuan ini karena memiliki masyarakat yang setia dan
punya rasa percaya penuh terhadap calon perempuan itu sendiri. Selain itu sosok
perempuan anggota legislatif di anggap mampu menyuarakan apa yang menjadi aspirasi
masyarakat itu sendiri.
BIBLIOGRAFI
Asnawiah, Nurul, & Purwaningsih, Titin. (2020). Analisis Representasi Substantif
Anggota Legislatif Perempuan Di Dprd Kota Tidore Kepulauan Periode 2014-2019.
Jurnal Caraka Prabu, 4(1), 70101.
Baharuddin, Tawakkal, & Purwaningsih, Titin. (2017). Modalitas Calon Bupati Dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2015. Journal Of Governance And Public
Policy, 4(1), 205237.
Efendi, David. (N.D.). Modalitas Dan Profesionalisasi Tim Pemenangan Dalam Pileg
2014 Di Jawa Tengah, Indonesia.
Ekawati, Esty. (2016). Dari Representasi Politik Formal Ke Representasi Politik Non-
Elektoral. Jurnal Penelitian Politik, 11(2), 8.
Harjanto, S. L. (2012). Pemilu, Politik Patronase Dan Ideologi Parpol. Jurnal
Administrasi Dan Kebijakan Publik, 1(2), 81102.
Jovani, Audra. (2018). Potret Keterwakilan Politik Perempuan Anggota Legislatif Di
Dprd Ntt Pada Pemilu 2014. Jurnal Inada, 1(1), 7593.
Lotulung, Leviane Jackelin, & Mulyana, Deddy. (2018). Perempuan Dalam Politik Di
Sulawesi Utara. Sosiohumaniora, 20(2), 138144.
Lovenduski, Joni, & Karam, Azza. (2002). Perempuan Di Parlemen: Membuat Suatu
Perbedaan. Dalam Julie Ballington, Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham,
Perempuan Di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah (Terjemahan Akmal Syams).
International Idea. Stockholm.
Malasari, Fit, & Putra, Eka Vidya. (2020). Modalitas Kemenangan Alkisman Pada
Representasi Perempuan Dalam Pemilihan Umum
Legislatif di Kabupaten Belu Tahun 2019
2022
Luise Richardo Wada 852
Pemilu Legislatif Dprd Di Kabupaten Pesisir Selatan. Jurnal Perspektif, 3(2), 295
301.
Niron, Eusabius Separera, & Seda, Asterius Bata. (2020). Representasi Politik Perempuan
Pada Lembaga Legislatif (Studi Tentang Pencalonan Perempuan Pada Pemilihan
Umum Legislatif Tahun 2019). Aristo, 9(2), 203228.
Pantouw, Stella Maria Ignasia. (2012). Modalitas Dalam Kontestasi Politik (Studi
Tentang Modalitas Dalam Kemenangan Pasangan Hanny Sondakh Dan
Maximiliaan Lomban Pada Pemilukada Di Kota Bitung Sulawesi Utara Tahun
2010). Program Pascasarjana Undip.
Partini, Partini. (N.D.). Politik Adil Gender: Sebuah Paradoks. Jurnal Pemikiran
Sosiologi, 1(2), 3952.
Rohman, Noor. (2014). Dari Aktif/Pseudo Programatik Hingga Pasif/Klientelistik:
Politik Aleg Perempuan Di Tengah Stagnasi Programpengarusutamaan Gender
Studi Model Representasi Dan Linkage Politik Aleg Perempuan Dprd Pati Periode
2009-2014. Universitas Gadjah Mada.
Upara, Amanah. (2018). Rekrutmen Elit Partai Pada Pemilu 2014: Studi Kasus Dpw
Partai Nasdem Provinsi Maluku Utara. Ejournal Kawasa, 8(3), 3242.
Widiowati, Bintang. (2019). Strategi Pemenangan Caleg Partai Gerindra Dalam Pemilu
Legislatif 2019 (Studi Kasus Bambang Pudjianto Dapil 2 Kabupaten Sidoarjo).
Universitas Airlangga.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.