960 http://sosains.greenvest.co.id
JURNAL
SOSAINS
JURNAL SOSIAL DAN SAINS
VOLUME 2 NOMOR 8 2022
P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X
KEWENANGAN POLRI DALAM PENGHENTIAN PENYELIDIKAN
PERMASALAHAN TINDAK PIDANA DALAM PERKAWINAN
PERSPEKTIF UU NOMOR 1 TAHUN 1974
Frendi Mite
1
, Karolus Kopong Medan
2
, Dhey Wego Tadeus
3
123
Fakultas Hukum Undana, Indonesia
1
, kkopongmedan196[email protected]
2
,
3
Kata Kunci:
Kewenangan,
Kepolisian,
Penghentian
Penyelidikan,
Tindak Pidana,
Perkawinan
Keywords:
Authority,
Police,
ABSTRAK
Latar Belakang: Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama.
Persoalannya, jika perkawinan itu tidak dicatatkan di kantor catatan nikah atau di
Dinas Catatan Sipil Negara. Perkawinan yang tidak dicatatkan pada Catatan Sipil
menyebabkan kedudukan korban dalam hal tertentu yang berkaitan dengan
“perkawinan” tidak dapat menuntut haknya secara sah terhadap terlapor/pelaku tindak
pidana, apalagi jika korban adalah suami atau istri, karena perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum
Tujuan: Menganalisis kewenangan Polri dalam menghentikan penyidikan tindak
pidana perkawinan dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Metode: Penelitian dengan tipe yuridis normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, asas-asas hukum dan doktrin-doktrin hukum dalam rangka menjawab
permasalahan hukum yang dihadapi, termasuk kewenangan Polri untuk
menginterpretasikan ketentuan tentang keyakinan agama dalam perspektif Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hubungannya. antara
kewenangan Polri untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perkawinan nikah siri
dengan kinerja pemerintah di bidang kepolisian
Hasil:. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan polisi dengan memaknai sah
menurut hukum yang berlaku dan kewenangan polisi untuk menghentikan penyidikan
tindak pidana dalam perkawinan di luar nikah dikategorikan sebagai maladministrasi.
Kesimpulan: Tindakan diskresi oleh kepolisian di NTT perlu prinsip kehati-hatian
agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan tidak selektif dengan pelakunya agar tidak
mempengaruhi prinsip-prinsip good governance.
ABSTRACT
Background: A marriage is valid if it is carried out according to the law of the
religion. The problem is if the marriage is not registered at the marriage registrar's
office or the State Civil Registration Service. A marriage that is not registered with the
Civil Registry Service causes the position of the victim in a certain case that has to do
Kewenangan Polri Dalam Penghentian Penyelidikan
Permasalahan Tindak Pidana Dalam Perkawinan
Perspektif UU Nomor 1 Tahun 197
2022
Frendi Mite, Karolus Kopong Medan, Dhey Wego Tadeus 961
Termination of
Investigation,
Crime, Marriage
with "a marriage", unable to legally claim his rights against the reported/perpetrator
of a crime, especially if the victim is husband or wife, for reasons of that the marriage
has no legal force
Objective: To analyze the authority of the National Police in stopping the investigation
of criminal offenses in marriage from the perspective of Law No. 1 of 1974
Methods: Research with normative juridical type, which is a process to find the rule of
law, legal principles and legal doctrines in order to answer the legal issues faced,
including the authority of the Police to interpret the provisions on religious beliefs in
the perspective of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and its relation.
between the authority of the Police to stop the investigation of criminal acts in
unregistered marriage and the performance of the government in the field of police
Results:. The results of the study indicate that the police's actions by interpreting
legitimate according to applicable laws and the authority of the police to stop the
investigation of criminal acts in unregistered marriages are categorized as
maladministration.
Conclusion: Discretionary actions by the police in NTT need the principle of prudence
so as not to cause injustice and not to be selective with the perpetrators so as not to
affect the principles of good governance.
PENDAHULUAN
Penyelidikan tindak pidana yang dilakukan penyidik, kadang kala Polri
mengalami hambatan dalam memproses suatu kasus, yang berkaitan dengan sah atau
tidaknya suatu perkawinan. Suatu perkawinan yang menjadi sah apabila dilakukan
menurut hukum agamanya (Annisa OPM, 2021). Yang menjadi soal bila perkawinan
tersebut tidak dicatatkan di kantor pencatat perkawinan atau Dinas Pencatatan Sipil
Negara (Cristiana, Yuliartini, & Mangku, 2020).
Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Catatan Sipil, menyebabkan
posisi korban dalam suatu kasus tertentu yang ada hubungannya dengan “suatu
perkawinan”, tidak dapat menuntut hak-haknya secara hukum terhadap terlapor/pelaku
tindak pidana apalagi bila korban berstatus suami atau istri, dengan alasan bahwa
perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum (Gunawan, Octafian, Vionita,
Andianto, & Angelica, 2021). Pencatatan perkawinan ini menjadi penting karena unsur
perlindungan memiliki hal esensial bagi para pihak. Namun demikian ada pendapat
ekstrim oleh para pihak pelaku nikah siri bahwa yang lebih penting bagi mereka adalah
harus lebih taat pada ajaran agamanya (Hakim & Kamelo, 2013).
Persoalan lain dalam perkawinan yang muncul, tidak sampai pada hal yang
diuraikan di atas, tetapi lebih kepada bagaimana menafsirkan, ketentuan agama dan
ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 2 undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah menurut hukum agama dan
kepercayaannya, tetapi ada keharusan sebagai “kewajiban” untuk melengkapi keabsahan
perkawinan tersebut, yakni adanya kewajiban pencatatan (Haling, Halim, Badruddin, &
Djanggih, 2018). Nikah siri atau pernikahan yang dilakukan di bawah tangan maksudnya
ialah perkawinan tetap dilakukan dengan memenuhi rukun-rukun maupun syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. yang menjadi soal adalah dalam pelaksanannya,
mereka tidak melakukan pendaftaran atau pencatatan di kantor Urusan Agama (KUA)
yang mewilayahi tempat tinggal mereka. Akibatnya nikah siri ini menjadi tidak sah
karena menurut hukum negara tidak tercatat, akibatnya anak yang dilahirkan adalah tidak
sah juga. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya (Kosadha, 2015).
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
962 http://sosains.greenvest.co.id
Mencuatnya kasus nikah siri yang mulai dipersoalkan akhir-akhir ini,
menunjukkan bahwa potensi konflik terhadap hal tersebut di atas, ternyata sangat besar
bagi para keluarga yang memilih nikah siri ini (Kurniawan, 2019). Persoalan
kemasyarakat ini bila tidak ditangani secara baik maka akan menimbulkan masalah yang
luas di kemudian hari. Kejahatan-kejahatan dimaksud misalnya kekerasan dalam rumah
tangga, pencurian dalam rumah tangga dan perselingkuhan dengan laki-laki atau wanita
lain, yang tidak dapat diselesaikan (Lutfhi, 2019).
Kejahatan-kejahatan dimaksud ketika dilaporkan korban ke pihak kepolisian
senantiasa ditolak pihak kepolisian dengan alasan karena nikah siri. Kalau pihak
kepolisian menolak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka kepada lembaga
manakah yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini (Pangaribuan, 2019).
Lebih dari itu, bisa saja masyarakat memilih jalannya sendiri untuk menyelesaikannya
dengan caranya yang justru bertentangan dengan hukum. Kepolisian tidak berwenang
untuk menghentikan penanganan kasus nikah siri ini karena berkaitan dengan penafsiran
Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurt hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Adanya benturan penafsiran tentang
pengaturan ketentuan Pasal 2 ayat (1) ini dengan keyakinan agama menjadi kajian yang
menarik untuk diteliti (Ramadhan, n.d.).
Polda NTT mencatat, bahwa banyak permasalahan keluarga yang dipicu dari
nikah siri, menimbulkan kejahatan lain dalam rumah tangga misalnya kekerasan dalam
rumah tangga, pencurian dalam rumah tangga termasuk perselingkuhan dengan wanita
atau laki-laki lain (Samosir, 2013). Data lapangan menunjukan bahwa banyaknya kasus
yang ditolak untuk diselesaikan oleh lembaga ini sejak tahun 2017-2020 melipti 3 kasus
yang menunjukan bahwa Polda NTT mempunyai kewenangan untuk menghentikan
penyelidikan perkara-perkara pada permasalan rumah tangga yang tidak dicatatkan akibat
nikah siri.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif yakni suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi meliputi
kewenangan Kepolisian menafsir pengaturan ketentuan tentang keyakinan keagamaan
dalam perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan kaitan antara
kewenangan Polri menghentikan penyelidikan tindak pidana dalam nikah siri dengan
kinerja pemerintahan di bidang kepolisian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data kualitatif, yang dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Sumber data diperoleh melalui teknik penelitian kepustakaan (library study)
yang mengacu pada sumber yang tersedia baik online maupun offline seperti: jurnal
ilmiah, buku dan berita yang bersumber dari sumber terpercaya. Sumber-sumber ini
dikumpulkan berdasarkan diskusi dan dihubungkan dari satu informasi ke informasi
lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi,
wawancara dan penelitian. Data ini dianalisis dan kemudian ditarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Kepolisian RI Dalam Menafsir Pengaturan Tentang Keyakinan
Keagamaan Dalam Prespektif Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, sehingga
tidaklah berkelebihan jika polisi dikatakan sebagai hukum pidana yang hidup, yang
Kewenangan Polri Dalam Penghentian Penyelidikan
Permasalahan Tindak Pidana Dalam Perkawinan
Perspektif UU Nomor 1 Tahun 197
2022
Frendi Mite, Karolus Kopong Medan, Dhey Wego Tadeus 963
menterjemahkan dan menafsirkan ”law in the book” menjadi ”law in action”. Meskipun
polisi dikatakan sebagai garda terdepan, akan tetapi dapat terjadi pada tahap awal
penyelesaian suatu perkara pidana dapat berakhir, karena polisi mempunyai kewenangan
yang disebut deskresi. Deskresi atau yang dikenal dengan istilah deskresi kepolisian
mengandung makna suatu wewenang yang melekat pada kepolisian untuk bertindak
dalam menjalankan fungsi kepolisian atas dasar kebijaksanaan dan penilaiannya sendiri
dalam rangka menjalankan fungsi kepolisian. Wewenang dimaksud adalah wewenang
yang diberikan oleh undang-undang (rechtmatigheid), sehingga dekresi kepolisian
dilaksanakan tetap berdasarkan pertimbangan hukum dan moral serta tujuan diberikannya
wewenang bagi setiap anggota kepolisian selaku pengambil keputusan untuk bertindak.
Istilah deskresi kepolisian sebagai kewenangan bertindak atas dasar penilaiannya sendiri,
tidak dapat ditafsir secara sempit dan dangkal, karena mengingat sejarah lahirnya deskresi
itu tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu wewenang kepolisian secara umum dan
hukum yang mengatur untuk bertindak, oleh karena itu keleluasaan atau kebebasan
bertindak selalu beradasarkan atas wewenang yang diberikan oleh hukum (Saputra, n.d.).
Asas yang melandasi penggunaan wewenang kepolisian di samping asas deskresi
masih ada lagi asas lain seperti rechtmatigheid dan asas plictmatigheid. Asas
rechtmatigheid yakni sahnya setiap tindakan kepolisian harus selalu berdasarkan undang
undang, sedang asas plictmatigheid adalah demi kepentingan umum, maka kepolisian
berwenang untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan kewajiban dan
tanggung jawabnya. Lebih dari itu, bahwa deskresi ini pada dasarnya adalah wewenang
untuk bertindak atas dasar penilaiannya sendiri (Simorangkir, 2014).
Berdasarkan paparan di atas maka kewenangan kepolisian untuk menghentikan
penyelidikan tindak pidana di dalam rumah tangga terhadap keluarga yang nikah siri
adalah kebebasan bertindak kepolisian yang berkaitan dengan perintah undang-undang,
karena Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengisyaratkan bahwa
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Oleh karena itu berdasarkan paparan di atas, Pasal 2 ini sulit diterapkan bila hanya ayat 1
saja yang diterima, melainkan harus ke dua duanya. Adanya niat luhur yang dikehendaki
oleh pembuat peraturan perundangan untuk mencatatkan perkawinannya bertujuan agar
perkawinan itu dapat menciptakan kedamaian, kesejahteraan dan perlindungan bagi
masing-masing pihak, terutama pihak perempuan atau pihak istri dan anak-anak yang
akan dilahirkan oleh pasangan suami istri dari hasil perkawinan itu. Pencatatan
perkawinan ini menjadi penting karena unsur perlindungan memiliki hal esensial bagi
para pihak. Namun demikian ada pendapat ekstrim oleh para pihak pelaku nikah siri yang
menyatakan bahwa bagi mereka yang lebih penting adalah harus lebih taat pada ajaran
agamanya (Soekanto, 2006).
Hal ini menjadi titik pangkal pihak kepolisian mengambil sikap dalam bentuk
deskresi kepolisian akibat adanya penafsiran ganda yang dilakukan oleh masyarakat
tentang pelaksanaan keyakinan agama Islam oleh penganutnya. Di satu sisi pihak otaritas
yang berwenang yang dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan
fatwanya yang mengharuskan bahwa perkawinan itu harus pula dicatatkan oleh negara,
agar perkawinan itu menjadi sah adanya. Tetapi pihak masyarakat justru punya caranya
sediri untuk menafsirkan keyakinan agamanya. Akibatnya melalui lembaga kepolisian
mengambil sikap yang bersifat soft” guna menjaga ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat (Sujarwo, Suhartini, & Junaidi, 2016).
Akibat kepolisian mengalami persoalan dilematis tentang berwenang atau tidak
berwenang menafsir, maka dalam untuk menafsirkan ketentuan perundangan yang
berkaitan dengan keyakinan keagamaan di masyarakat maka pihak penyidik memiliki
wewenang lain dalam menjalankan tugasnya yang berdasarkan Asas Umum
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
964 http://sosains.greenvest.co.id
Penyelengaraan Pemerintahan yang layak dikenal dengan deskresi kepolisian. Piranti
inilah yang digunakan kepolisian untuk menegakan suatu aturan yang “sensitif” bila
ditafsirkan lain dengan keimanan masyarakat tentang nikah siri ini.
Dalam konteks tindakan kepolisian yang menghentikan penyelidikan suatu tindak
pidana yang terjadi dalam ruang lingkup perkawinan siri yang selama ini terjadi, maka
pihak kepolisian berusaha bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan itu. Lebih dari
itu disadari sungguh bahwa dalam keputusan dekresi ini juga perlu memperhatikan batas-
batasnya, sehingga pengambilan keputusan untuk sikap yang jenis ini, rentan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan, dimana kewenangan tersebut dapat bermuara para tindakan
sewenang-wenang. Oleh karena itu deskresi kepolisian itu digunakan dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan untuk menegakan Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974. Hal ini karena aparat kepolisian adalah aparatur pemerintahan, maka pengambilan
keputusan ini harus betul betul sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku.
Deskresi kepolisian ini dilakukan oleh seorang penyidik terhadap masalah yang
sementara dihadapi secara nyata dimana sikap yang diambil berdasarkan adanya
keyakinan dan kebenaran dan pertimbangan pribadi yang terbaik untuk saat itu. Untuk
pengambilan sikap ini perlu dilakukan oleh pihak kepolisian secara bijaksana dan tidak
boleh dilakukan secara secara sembarangan tanpa alasan yang rasional dan logis, tetapi
juga secara selektif dan dilaksanakan secara proposional dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum (Umarella, 2021).
Untuk tindakan kepolisian yang berkaitan dengan deskresi kepolisian, hal ini
terletak pada ranah kepatutan di mana kepolisian patut mengambil sikap yang demikian
karena hal itu berkaitan ketegasan sikap untuk mencapai kepentingan yang lebih besar
yakni terciptanya kedamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Selain itu, tindakan
kepolisian itu masuk akal, dapat diterima dengan akal sehat dengan tujuan agar pilihan
nikah siri, perlu dipertimbangkan kembali untuk kepentingan pihak perempuan dan anak
bila anak telah ada dalam perkawinan tersebut. Tindakan tersebut dilakukan dalam ruang
lingkup jabatan yang diembannya. Hal ini penting karena karena hal ini berkaitan dengan
wewenang yang dipunyainya. Hal lain yang pertimbangan bahwa penilaian terhadap
suatu kasus didasarkan pada penilaian yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan bertindak yang berdasarkan nurani, ternyata sulit diukur kriteria objektifnya
sehingga tindakan yang dilakukan dapat dketahui benar atau tidak menurut ukuran
hukum.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang dipaparkan di atas bahwa tindakan
dekresi kepolisian merupakan merupakan ukuran baik dan tidaknya, tindakan kepolisian
di dalam pemerintahan. Hal ini ditentukan oleh tujuan dan proses pembuatan keputusan
dalam penyelengaraan pemerintahan yang baik dalam ketetuntan yang berkaitan dengan
itu. Akan tetapi apabila tujuan bersama itu, dijalankan dengan baik maka proses
pengambilan keputusan yang berorientasi pada tujuan bersama, sehingga dapat
disimpulkan pemerintah yang dalam hal ini kepolisian menjalanankan fungsi
pemerintahan dengan baik pula. Sebaliknya apabila buruk, dan tujuan tersebut di luar apa
yang telah digariskan oleh undang undang dan adanya penyalahgunaan wewenang maka
penyelenggaraan pemerintahan tidak sejalan dengan apa yang diharap.
B. Penghentian Penyelidikan Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Dalam Rumah
Tangga Nikah Siri Dalam Prespektif Good Governance
Tindakan menghentikan penyelidikan tindak pidana dalam rumah tangga oleh
pihak kepolisian yang dikenal sebagai “deskresi kepolisian” menimbulkan permasalahan
dalam masyarakat karena ada perbedaan pemaknaan keyakinan keagamaan masyarakat
yang beragama Islam, tentang nikah siri. Situasi ini menimbulkan sikap dialektis dalam
Kewenangan Polri Dalam Penghentian Penyelidikan
Permasalahan Tindak Pidana Dalam Perkawinan
Perspektif UU Nomor 1 Tahun 197
2022
Frendi Mite, Karolus Kopong Medan, Dhey Wego Tadeus 965
masyarakat terhadap peran Polri dalam menyikapi keadaan tersebut. Akibatnya timbul
penilaian negatif terhadap peran Polri yang menghasilkan penilaian tentang baik atau
tidak pemerintahan yang sedang berjalan. Untuk itu baik dan tidaknya suatu
pemerintahan sangat ditentukan oleh tujuan dan proses pembuatan keputusan
penyelenggaraan pemerintahan. Akan menjadi baik, bila pemerintahan di dalam proses
pengambilan keputusan berorientasi pada tujuan bersama dan menyelenggarakan fungsi
dan kewenangannya dengan sebaik-baik secara terus menerus. Sebaliknya, akan menjadi
buruk, apabila tujuan yang sempit khususnya untuk kepentingan pemerintahan terutama
dalam pengambilan sesuatu keputusan itu, ditentukan sendiri oleh pemerintah dan
disalah-gunakan, termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Pertanyaan yang mendasar yang dapat ditimbulkan; apakah penghentian
penyelidikan suatu tindak pidana dalam suatu rumah tangga nikah siri adalah suatu
tindakan yang sesuai dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan? Bahwa keyakinan keagamaan Islam oleh mereka yang melakukan nikah siri
justru menimbulkan rasa jengkel atau kesal masyarakat terhadap kepolisian, yang
bermuara pada presepsi yang negatif terhadap kepolisian. Akibatnya penyelenggaran
pemerintahan di bidang kepolisian mengganggu suatu prinsip pemerintahan yang baik
(good governance). Pemerintahan yang baik (good governance), hanya dapat terwujud
apabila dilandaskan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Untuk mewujudkan hal
ini, kembali kepada lembaga atau pejabat yang menerima tugas dan tanggung jawab
sebagai penyelenggara pemerintahan, termasuk komunitas masyarakat dan organisasi
pemerintahan.
Korban tindak tindak pidana yang ada biasanya adalah ibu-ibu, baik yang
memiliki anak maupun yang belum, menunjukan Polisi mengabaikan HAM bagi pihak
penderita. Akibat yang lebih jauh, para pelaku tindak pidana dapat bertindak lebih untuk
mewujudkan kejahatannya terhadap pihak perempuan yang lebih lemah. Kehadiran
kepolisian pada tataran ini amat diperlukan, karena selain untuk melindungi pelapor yang
notabenenya adalah para ibu tetapi lebih dari itu, Polri seyogyanya lebih bijaksana untuk
memberantas kejahatan jenis ini secara lebih luas dan masif ini. Coba bandingkan dengan
kasus yang tertera pada Tabel 1 halaman 5 pada bagian terdahulu.
Berdasarkan paparan di atas dapat dapat ditarik suatu pemahaman bahwa pada
dasarnya diperlukan apa yang disebut good governance yang merupakan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa. Atas dasar itu maka
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik diperlukan asas-asas atau prinsip, yang
digunakan sebagai hukum yang tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan
penerapan hukum serta pembentukan hukum. Inilah letak dekresi kepolisian sehingga
tidak terjadi benturan antara masyarakat dengan kepolisian RI.
Hal ini merupakan permasalahan yang berada di dalam masyarakat yang
menimbulkan perdebatan, karena dinamika masyarakat menuntut adanya perubahan-
perubahan baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Perubahan yang
diharapkan, agar pemerintah yang dalam hal ini pihak Kepolisian Republik Indonesia
hendaklah lebih bersifat demokratis, terutama dalam melihat sumber daya publik yang
berada di dalam masyarakat, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dalam
mengambil kebijakan dan hukum yang menjamin hak-hak rakyat. Masyarakat pula juga
harus memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki
solidaritas terhadap sesamanya dan bersedia berpartisipasi dalam urusan publik, tidak
apatis serta tidak mementingkan diri sendiri dengan alasan yang tidak mau didiskusikan
persoalan yang dihadapi.
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
966 http://sosains.greenvest.co.id
Pemerintahan yang baik (Kepolisian Republik Indonesia), mengandung arti
bahwa kegiatan lembaga pemerintahan ini dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat dan
norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Dengan demikian esensi good
governance lebih menekankan pada kegiatan pemerintah yang dijalankan oleh
penyelenggara pemerintahan selalu berpegang pada etika dan moral yang dirumuskan ke
dalam asas umum pemerintahan yang baik.
Disadari atau tidak, tuntutan adanya good governance di Indonesia karena
dilatar-belakangi berkembangnya kualitas demokrasi dan hak asasi manusia dan semakin
efektifnya pelaksanaan pemerintahan, sehingga masyarakat tidak mentolerir segala
bentuk penyimpangan kepercayaan publik (abuse of public trust). Dalam konteks ini,
dipahami bahwa sudah saatnya Polri perlu memperhatikan hal ini agar tidak hilangnya
kepercayaan publik ini.
Untuk mewujudkan pemerintah yang baik di negara Indonesia maka tidak bisa
dipisahkan dengan konsep negara demokrasi Indonesia sebagai salah satu landasan utama
dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, mengingat suatu pemerintahan yang
demokratis manakala dalam penyelenggaraan pemerintahan senantiasa melibatkan rakyat,
serta jaringan pembuatan keputusan yang melibatkan dan prosesnya transparan sehingga
rakyatnya bisa mengontrol ataupun memasukan inisatif lewat saluran yang telah
disediakan oleh publik.
Berdasarkan paparan di atas maka kewenangan kepolisian menghentikan
penyelidikan terhadap tindak pidana dalam keluarga nikah yang siri, dapat dikategorikan
dalam malaadminitrasi dengan beberapa kategori misalnya penanganan berlarut,
penyalahgunaan wewenang atau menggunakan wewenang yang berlebihan, nyata-nyata
berpihak dan bertindak tidak layak. Buktinya bahwa ada perkara yang ditangani di Polda
NTT, ada yang beberapa di antaranya dihentikan, sementara yang lainnya ada yang
dilanjutkan. Berdasarkan data yang dipaparkan ini sebagai aparat yang bertugas di tempat
itu, penulis mencermati bahwa kenyataan ini merupakan persoalan yang miris yang perlu
diambil sikap oleh lembaga ini. Perlunya konsistensi dalam penerapan hukum ini, akan
memberikan rasa nyaman kepada masyarakat supaya jangan ada kesan pilih kasih dan
tebang pilih dalam penanganan tindak pidana di dalam rumah tangga nikah siri.
Namun demikian sebernarnya pihak Polri telah menyadari bahwa dalam deskresi
kepolisian ini, pasti ada permasalahan yang timbul. Untuk itu pihak-pihak kepolisian baik
struktural maupun fungsional telah membentuk pengawasan baik pengawasan umum
(Itwasum) untuk tingkat Markas Besar kepolisian dan Inspektorat Pengawasan Daerah
(Itwasda) di Tingkat Kopolisian Daerah (Polda).
Salah satu hal yang mendasar tugas pengawasan ini berkaitan dengan adanya
tugas kepolisian dengan good governance, yang adalah melekatnya fungsi kepolisian
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dengan menegakan hukum sebagai salah
satu fungsi penyelenggara negara yang diperoleh melalui Undang Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Instrument hukum di atas meletakkan kepolisian sebagai lembaga yang
mengemban tugas menjaga, memelihara dan menciptakan keamanan dan ketentraman dan
juga ketertiban umum bagi warga negera, yang menurut Sadu Wasistiono, tugas tersebut
dari masa lalu sampai sekarang merupakan salah satu tugas klasik pemerintahan. Tugas
klasik pemerintahan ini dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas pemerintah (goverment)
dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan dan sebagai lembaga, dalam arti lembaga
dalam keadaan aktif atau bergerak, yakin interaksi antar komponen dalam suatu sistem
pemerintahan yang oleh Sadu Wasistiono memiliki tugas pokok yakni memberikan
Kewenangan Polri Dalam Penghentian Penyelidikan
Permasalahan Tindak Pidana Dalam Perkawinan
Perspektif UU Nomor 1 Tahun 197
2022
Frendi Mite, Karolus Kopong Medan, Dhey Wego Tadeus 967
pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering
disebut sebagai pelayan masyarakat.
Pemerintah yang dipahami sebagai ”fungsi pemerintahan” dan organisasi
pemerintahan oleh Philip M. Hadjon, di mana fungsi pemerintahan ini harus ditempatkan
dalam hubungannya dengan fungsi perundang-undangan dan peradilan. Secara
keseluruhan fungsi pemerintahan ini terdiri dari berbagai macam tindak pemerintahan,
seperti membuat keputusan, ketetapan-ketetapan ysang bersifat umum, tindakan-tindakan
hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata.
KESIMPULAN
Tindakan kepolisian dalam menghentikan penyelidikan tindak pidana dalam
keluarga nikah siri, adalah sah menurut peraturan perundangan yang berlaku dan dikenal
sebagai diskresi kepolisian karena tindakannya sebagai subyek hukum dengan tindakan
administrasi oleh organ administrasi selaku penyelenggara administrasi pemerintahan.
Namun kewenangan kepolisian untuk menghentikan penyelidikan tindak pidana dalam
keluarga yang nikah siri, dapat dikategorikan sebagai malaadministrasi dengan beberapa
kategori misalnya penanganan berlarut, penyalahgunaan wewenang atau menggunakan
wewenang yang berlebihan, nyata-nyata berpihak dan bertindak tidak layak sebagaimana
yang terjadi di Polda NTT. Oleh karena itu, direkomendasikan agara kepolisian dalam
menjalankan diskresi perlu prinsip kehati-hatian agar jangan sampai menimbulkan
ketidakadilan dan melewati batas kewenangan yang diamanatkan dalam perundang-
undangan
BIBLIOGRAFI
Annisa Opm, A. Intan. (2021). Peranan Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga
(Studi Kasus Di Kepolisian Resort Kota Besar Makassar). Universitas Hasanuddin.
Cristiana, Ni Komang Marsena Yanis, Yuliartini, Ni Putu Rai, & Mangku, Dewa Gede
Sudika. (2020). Peran Kepolisian Sebagai Penyidik Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kabupaten Karangasem. Jurnal
Komunitas Yustisia, 2(2), 7887.
Gunawan, Triandy, Octafian, Tifany Kartika, Vionita, Chezaria Crescendo, Andianto,
Siswoko, & Angelica, Dennia Gracia. (2021). Tinjauan Yuridis Pembuktian
Pemeriksaan Perkara Pidana Terhadap Pelaku Pidana Yang Mengalamni Gangguan
Jiwa. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 6(1), 450458.
Hakim, Abdul, & Kamelo, Tan. (2013). Peranan Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Pencurian Oleh Anak (Studi Di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Kota
Medan). Jurnal Mercatoria, 6(2), 147175.
Haling, Syamsul, Halim, Paisal, Badruddin, Syamsiah, & Djanggih, Hardianto. (2018).
Perlindungan Hak Asasi Anak Jalanan Dalam Bidang Pendidikan Menurut Hukum
Nasional Dan Konvensi Internasional. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(2), 361
378.
Kosadha, Tri Syahru Wira. (2015). Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Terhadap
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Universitas Airlangga.
Kurniawan, Bagas. (2019). Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Asal Usul
Pernikahan (Studi Di Polres Asahan).
Lutfhi, Ghazy. (2019). Peran Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Pencurian Kenderaan Bermotor Oleh Anak Di Bawah Umur Di Kota Medan.
Universitas Dharmawangsa.
Pangaribuan, Piatur. (2019). Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Volume 2, Nomor 8, Agustus 2022
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
968 http://sosains.greenvest.co.id
Terhadap Anak Melalui Mediasi Penal Oleh Penyidik Pada Satuan Reserse Kriminal
Polres Balikpapan. Jurnal Projudice, 1(1), 8399.
Ramadhan, Muhammad Reyza. (N.D.). Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam
Perspektif Ham. Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah.
Samosir, Djisman. (2013). Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana. Segenggam
Tentang Hukum Acara Pidana.
Saputra, Rian Prayudi. (N.D.). Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Melalui Mediasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Nomor 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Simorangkir, Julius Caesar Transon. (2014). Tindakan Polri Di Polda Diy Dalam
Menanggulangi Tindak Kekerasan Fisik Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Terhadap
Anak Kandung. Jurnal Ilmu Hukum, 121.
Soekanto, Soerjono. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia
(Ui-Press).
Sujarwo, Adi, Suhartini, Endeh, & Junaidi, Junaidi. (2016). Penahanan Pelaku Tindak
Pidana Di Bawah Umur Oleh Penyidik Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Jurnal Hukum De’rechtsstaat.
Umarella, Ali Hamdun. (2021). Penyidikan Kasus Kdrt Di Polresta Pulau Ambon Dan
Pulau-Pulau Lease (Perspektif Hukum Pidana Positif). Iain Ambon.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International License.