Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
298 http://sosains.greenvest.co.id
NELAYAN DAN BOS LOKAL
(ANALISIS MATA RANTAI KETIMPANGAN KEKUASAAN PADA
MASYARAKAT NELAYAN DI SUNGAILIAT)
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi
Universita Bangka Belitung
E-mail: ollavellaedy[email protected], iim_babel@yahoo.com dan
Diterima: 17
Maret 2021
Direvisi: 12 April
2021
Disetujui: 15
April 2021
Abstrak
Ketimpangan kekuasaan merupakan permasalahan sosial yang
telah mengakar ke berbagai lini kehidupan masyarakat di
Indonesia, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam.
Sumber daya alam yang seharusnya dikelola secara adil, telah
diubah menjadi ladang kekayaan pribadi para kaum elit.
Pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Bangka adalah
salah satu skala kecil dari persoalan ketimpangan kekuasaan
tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
mata rantai ketimpangan kekuasaan pada masyarakat nelayan di
Sungailiat serta mengidentifikasi faktor-faktor yang melatar
belakanginya. Penelitian ini menggunakan konsep orang kuat lokal
(local strongmen) oleh Joel S. Migdal sebagai landasan dasar
penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif yang sumber data primernya berasal dari
wawancara tidak terstruktur dengan 11 informan. Para informan
tersebut terdiri dari 3 orang nelayan juragan, 4 orang nelayan
buruh, 2 orang bos lokal, 1 orang tengkulak dan 1 orang pedagang
ikan eceran. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
persoalan ketimpangan kekuasaan yang terjadi pada masyarakat
nelayan di Sungailiat merupakan dampak yang ditimbulkan dari
fenomena “orang kuat lokal". Ketidakberdayaan nelayan yang
kemudian membangun pola hubungan patron-klien dengan bos
lokal menjadi mata rantai pertama ketimpangan kekuasaan.
Adapun faktor yang melatarbelakangi persoalan ketimpangan
tersebut ialah (1) keterbatasan modal dan akses terhadap pasar, (2)
skenario bos lokal, serta (3) lemahnya posisi negara.
Kata Kunci: Nelayan, Ketimpangan Kekuasaan, Orang Kuat
Lokal, Patron-Klien.
Abstract
Power inequality is a social issue that has taken root in various
aspects of the life of Indonesians, especially in the aspect of
natural resource management. Natural resources that should be
managed fairly have been shifted into personal wealth resources
for the elite. The fishery resource management in Bangka Regency
is one of the small scale problems of this power inequality.
Accordingly, this study aims to analyze the chain of power
inequality in the fishing community in Sungailiat and to identify its
background factors. This study applies the theory of local
strongmen proposed by Joel S. Migdal as the main theoretical
basis of this research. According to Migdal, there are three main
arguments related to that theory, namely web-like societies, social
Nelayan dan Bos Lokal (Analisis Mata Rantai
Ketimpangan Kekuatan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat)
2021
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi 299
Pendahuluan.
Ketimpangan ekonomi menyebabkan ketimpangan kekuasaan dalam hal siapa
yang membuat aturan, siapa yang menguasai modal dan sumber daya dan siapa yang
dapat menentang status quo (Heikal, 2017), juga selama ini kajian tentang persoalan
ketimpangan hanya menyangkut masalah pendapatan dan kekayaan. Akan tetapi,
ketimpangan pada strukturnya adalah mengenai bahwa mereka yang berada di atas
memiliki akses istimewa, dan pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang
dimanfaatkan agar perekonomian dan berbagai kebijakan dapat melayani kepentingan
mereka semata (Heikal, 2017).
Ketimpangan kekuasaan merupakan permasalahan sosial yang telah mengakar ke
berbagai lini kehidupan masyarakat di Indonesia, terutama terkait pengelolaan sumber
daya alam. Menurut Resosoedarmo dalam (Zahri, 2005), sebagai mahluk hidup, manusia
berinteraksi dengan alam lingkungannya. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya,
tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah benda hidup dan mati dari lingkungan alam,
melainkan juga oleh kondisi dan sifat biotik dan abiotik tersebut. Termasuk sumber daya
alam yang seharusnya dikelola secara adil, telah diubah menjadi ladang kekayaan pribadi
para kaum elit. Hal tersebut pada dasarnya terjadi karena adanya sifat keserakahan dari
orang-orang yang saling berlomba untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya yang
kemudian menciptakan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin, dan nelayan bisa
dikategorikan miskin kerena rendahnya penghasilan mengakibatkan ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak. Terakhir, rendahnya
kualitas sumber daya manusia, kurangnya kepemilikan peralatan kerja, modal dana,
perumahan, permukiman dan lain-lain (Pinem, Widiono, & Irnad, 2019).
Pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Bangka, khususnya di
Kecamatan Sungailiat adalah salah satu skala kecil dari persoalan ketimpangan kekuasaan
yang jarang disadari oleh masyarakat banyak. Bidang perikanan yang merupakan potensi
ekonomi kelautan yang baik dan strategis bagi pengelolaan potensi laut di sana dapat
dikatakan gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada potensi sumber daya tersebut. Ada juga faktor eksternal
datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-
peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.
(Hasbi, 2019), padahal dengan wilayah lautnya mencapai 5,8 juta km2 yang merupakan
control, and weak state. At the same time, a qualitative descriptive
method was used as the method of this study, and the primary data
were obtained from unstructured interviews with 11 informants,
including 3 fisherman employers, 4 fisherman laborers, 2 local
bosses, 1 middleman, and 1 retail fish seller. Lastly, the results of
this study show that the power inequality issue that occurred to the
fishing community in Sungailiat is an impact of the local
strongmen phenomenon. Additionally, the pattern of patron-client
relationship between the fishermen and the local bosses is the first
chain of this power inequality. Furthermore, the background
factors of this power inequality are (1) the lack of capital and
access to markets, (2) the local boss scenario, and (3) the weak
state position.
Keywords: Fishermen, Power Inequality, Local Strongmen,
Patron-Client.
Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
300 http://sosains.greenvest.co.id
wilayah laut terbesar di dunia, dengan garis pantai 95.181 kilometer, seharusnya menjadi
sumberdaya alam yang potensial bagi kemakmuran rakyatnya terutama yang tinggal di
pesisir (Juliantono & Munandar, 2016).
Nelayan pada umumnya mengalami kesulitan pada permodalan dan salah satu
strategi yang dilakukan nelayan untuk memenuhi kebutuhan modal adalah dengan cara
berhutang. Kelembagaan hutang dapat menjamin konsumsi, produksi dan pemasaran
untuk bisa berjalan dengan seimbang. Rumah tangga menggunakan jasa hutang untuk
konsumsi dan produksi, jasa hutang juga sebagai penampung hasil produksi (Muhartono
& Nurlaili, 2018).
Kenyataan menunjukkan kehidupan nelayan dapat dikatakan bukan saja belum
berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan,
kesehatan, dan juga kesejahteraannya (Aqmal, Yoserizal, & Tantoro, 2020). Pekerjaan
nelayan sejatinya penuh dengan resiko karena kendala yang dihadapi tidak hanya
menyangkut lingkungan alam saja tetapi juga lingkungan sosial (Listyawati, 2016), maka
dari itu menjadi nelayan tidaklah mudah.
Adapun fokus kajian dari penelitian ini adalah mengenai bagaimana mata rantai
ketimpangan kekuasaan pada masyarakat nelayan di Sungailiat dan apa saja faktor-faktor
yang melatarbelakangi masalah ketimpangan kekuasaan tersebut. Sebagai bahan
pertimbangan, peneliti melakukan kajian terhadap beberapa penelitian terdahulu.
Pertama, sebuah tesis yang ditulis oleh (Sulkarnain, 2018), dengan judul Kedua, sebuah
jurnal penelitian yang dilakukan oleh Gadri Ramadhan Attamimi, Dkk t“Patron-klien dan
Ketimpangan Sosial (Studi Kasus pada Masyarakat Nelayan di Desa Tamasaju
Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar)”. ahun 2018, yang berjudul “Kelas dan
Ketimpangan Struktural Masyarakat Nelayan di Kota Ambon". Ketiga, yaitu sebuah
jurnal penelitian yang ditulis oleh (Sinaga, Widiono, & Irnad, 2015), Jurnal tersebut
berjudul “Pola Hubungan Patron-Klien pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Malabro
Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu". Meskipun sama-sama melakukan kajian yang
berkenaan dengan kehidupan masyarakat nelayan, yang membuat penelitian ini berbeda
dengan ketiga penelitian tersebut adalah terkait fokus utama yang membahas tentang
ketimpangan kekuasaan pada masyarakat nelayan di Sungailiat.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang faktor yang mempengaruhi mata
rantai ketimpangan kekuasaan yang ada pada masyarakat di Sungailiat.
Kepentingan dari penelitian ini dilatarbelakangi adanya ketimpangan kekuasaan
pada masyarakat nelayan di Sungailiat yang terus berlanjut, sehingga menarik peneliti
untuk mencari tahu faktor apa saja yang ada dan memunculkan ketimpangan itu terjadi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik
pengumpulan data berupa wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini
dilakukan di Sungailiat mengingat mayoritas kelompok masyarakat nelayan di Kabupaten
Bangka terpusat di wilayah tersebut.
Teknik penentuan informan pada penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Adapun sampel yang menjadi sumber data dalam penelitian ini yang terbagi
menjadi beberapa kriteria, yaitu nelayan (terdiri dari nelayan juragan, nelayan buruh, dan
kapten kapal), bos lokal (bos-bos ikan), tengkulak, serta pedagang ikan eceran (pedagang
ikan di pasar).
Data yang digunakan dalam penelitian ini pada perinsipnya berdasar pada data
primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini merujuk pada hasil wawancara dan
Nelayan dan Bos Lokal (Analisis Mata Rantai
Ketimpangan Kekuatan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat)
2021
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi 301
pengamatan langsung peneliti terkait persoalan masyarakat nelayan di Sungailiat.
Sedangkan, data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, jurnal, akses
internet (artikel, media online), serta dokumen-dokumen publikasi dari lembaga-lembaga
tertentu yang relevan.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif model Miles dan
huberman dalam (Martono, 2015) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (verification). Pada
reduksi data, peneliti memilih dan memilah data melalui proses wawancara dan observasi
yang dilakukan pada kalangan masyarakat nelayan di Sungailiat, seluruh data kemudian
dikelompokkan dan dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selanjutnya, pada
penyajian data peneliti menampilkan data secara sistematis yang sudah diolah melalui
proses reduksi data sebelumnya. Kemudian terakhir, pada penarikan kesimpulan peneliti
melakukan pengambilan keputusan terhadap bagaimana mata rantai ketimpangan
kekuasaan pada masyarakat nelayan di Sungailiat dan faktor-faktor yang
melatarbelakangi permasalahan ketimpangan kekuasaan tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Menurut (Ningsih, 2011), nelayan bukan merupakan suatu entitas tunggal,
mereka terdiri dari beberapa kelompok yang saling berinteraksi atau mempunyai
hubungan sosial yang terpola dan dapat disebut sebagai pengorganisasian sosial. Hubugan
sosial yang dimaksud oleh Ningsih tersebut sama halnya dengan jaringan sosial. Sebagai
masyarakat berjejaring, nelayan sering kali memanfaatkan jaringan sosial tersebut sebagai
sarana efektif dalam mengatasi tekanan sosial-ekonomi yang datang setiap saat.
Untuk menghadapi segala kemungkinan permasalahan yang sedang terjadi,
nelayan membutuhkan sokongan seorang patron yang memiliki kekayaan dan
kemampuan dalam memasarkan hasil tangkapan dalam waktu yang singkat. Lantas, sosok
patron yang mereka anggap sesuai dengan kualifikasi tersebut adalah bos lokal. Dengan
segala kemampuan yang dimiliki bos lokal sebagai jaringannya, nelayan kemudian
membangun hubungan kerja sama berbentuk patron-klien.
Melalui pola hubungan patron-klien ini, bos lokal memiliki tanggung jawab
untuk memberi bantuan kepada nelayan yang biasanya berupa pinjaman, baik uang
ataupun dalam bentuk barang. Sebagai timbal balik, nelayan pun berkewajiban untuk
menjual semua hasil tangkapannya kepada bos lokal. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa
nelayan menjadikan bos lokal sebagai penyokong hidup mereka, akan tetapi melalui pola
hubungan tersebut secara otomatis membentuk keadaan dimana bos lokal memiliki kuasa
untuk memperkuat pengaruhnya terhadap nelayan. Kekuasaan yang dimiliki oleh bos
lokal inilah yang kemudian berdampak pada semakin dalamnya jurang ketimpangan
kekuasaan pada masyarakat nelayan. Bahkan bisa dikatakan, hubungan patronase ini
adalah mata rantai pertama yang menyebabkan munculnya rantai-rantai ketimpangan
kekuasaan lainnya.
A. Mata Rantai Ketimpangan Kekuasaan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat
Menurut (Kusnadi, 2002), melalui hubungan kerja sama yang dilakukan oleh
nelayan dan pedagang perantara (dalam hal ini adalah bos lokal), nelayan akan selalu
menjadi pihak yang kurang diuntungkan. Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang
terjadi pada masyarakat nelayan di Sungailiat saat ini. Berdasarkan hasil temuan peneliti
di lapangan, rantai ketimpangan kekuasaan yang terjadi pada masyarakat nelayan di sana
sudah terjalin cukup jauh.
Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
302 http://sosains.greenvest.co.id
Mata rantai dari ketimpangan kekuasaan tersebut pertama-tama dapat dilihat dari
timpangnya sistem penentuan harga beli ikan oleh bos lokal. Kenyataan menunjukkan,
nelayan tidak memiliki hak dalam mengintervensi nilai beli dari hasil tangkapannya.
Walaupun nelayan menyadari bahwa ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap dibeli
dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan ikan-ikan nelayan lain yang jenis
tangkapannya sama, nelayan tersebut tidak memiliki kuasa untuk melakukan komplain.
Menurut bos lokal, nelayan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan harga
ikan. Satu-satunya pihak yang berwenang adalah bos itu sendiri karena merasa hanya
mereka yang paling mengetahui kondisi pasar. Dengan melakukan analisis lebih jauh
terkait persoalan tersebut, pada akhirnya tingkat perolehan pendapatan nelayan tidak akan
jauh berbeda antara musim ikan dan tidak musim ikan. Pada saat musim ikan dan nelayan
menghasilkan banyak tangkapan, tingkat harga beli ikan sepenuhnya bergantung pada
mekanisme pasar, dimana ketika ikan “banjir" dipasaran otomatis harga beli ikan akan
menurun.
Bos lokal yang mengambil komisi berupa “bagian" yang besarnya sesuai dengan
kesepakatan awal, jelas tidak akan mengalami penurunan penghasilan tersebut. Begitu
pula ketika sedang tidak musim ikan, meskipun harga ikan akan melonjak mahal, hal itu
tidak akan memberi keuntungan yang berlipat bagi nelayan, kecuali bagi bos lokal.
Beranjak dari permasalahan harga beli ikan, ketimpangan kekuasaan yang terjadi
pada masyarakat nelayan di Sungailiat juga dapat dilihat dalam sistem bagi hasil. Dalam
hubungan kerja sama antara nelayan dan bos lokal, terdapat sistem bagi hasil berupa
“bagian" yang menjadi penentu besarnya jumlah penghasilan yang diperoleh masing-
masing pihak.
Sistem penentuan jumlah “bagian” ini tergantung dari kesepakatan antara nelayan
dan bos lokal. Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut bos lokal tetap akan menjadi pihak
yang paling diuntungkan. Besarnya suntikan modal yang bos lokal berikan kepada
nelayan mempengaruhi besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Selain memperoleh
keuntungan melalui penjualan ikan, bos lokal juga mendapatkan “satu bagian" dari hasil
penjualan ikan nelayan. Hal ini mirip dengan sistem penanaman modal yang biasanya
dilakukan oleh investor terhadap suatu perusahaan.
Bos lokal yang menginvestasikan uang, kapal, ataupun alat tangkap untuk
dijadikan sebagai modal usaha nelayan, dianggap berhak mendapatkan “bagian” dari
keuntungan yang diperoleh. Selain mendapatkan “bagian”, modal awal yang bos lokal
berikan juga wajib dibayarkan oleh nelayan dalam bentuk cicilan disetiap penjualan yang
dilakukan. Besaran dari cicilan tersebut tergantung dari seberapa besar penghasilan yang
nelayan terima dalam satu kali melaut.
Kondisi tersebut, jelas merugikan nelayan dan sangat memperlihatkan adanya
ketimpangan di sana. Meski nelayan mendapatkan bagian yang lebih besar, tetapi mereka
masih harus membagi hasil penjualan tersebut untuk upah para anak buah kapal (buruh
nelayan), biaya operasional (bahan bakar dan ransum), biaya perawatan kapal dan alat
tangkap. Terlebih lagi jika nelayan mengalami masalah kesehatan, tidak semua dari
mereka memiliki jaminan sosial sehingga harus menanggung biaya kesehatan dengan
uang pribadi.
Berbeda dengan nelayan, bos lokal tidak memiliki tanggung jawab tertentu selain
memberikan bantuan berupa pinjaman ketika nelayan mengalami desakan kebutuhan.
Walaupun demikian, bantuan tersebut tetaplah sebuah hutang yang pada akhirnya harus
nelayan bayar. Dalam hal ini dapat dilihat jika apa yang dikorbankan oleh bos lokal,
sangat tidak sebanding dengan nelayan.
Perihal sangkutan hutang atau pinjaman, dalam sistem pemotongannya juga
Nelayan dan Bos Lokal (Analisis Mata Rantai
Ketimpangan Kekuatan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat)
2021
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi 303
menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan. Sangkutan hutang tersebut
dipotong tergantung kondisi pendapatan nelayan dan bagaimana sifat personal bos lokal.
Ketika nelayan memiliki bos yang dapat memahami kondisi mereka, maka hutang
tersebut hanya akan dipotong ketika nelayan mendapatkan hasil penjualan yang besar.
Akan tetapi, disisi lain terdapat beberapa bos lokal yang tetap memotong hasil
tangkapan nelayan meskipun hasil penjualannya tidak begitu baik. Hal ini biasanya akan
terjadi ketika bos lokal sudah merasa tidak diuntungkan atau ketika mereka tidak lagi
berkeinginan untuk mempertahankan hubungan kerja sama.
B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Masalah Ketimpangan Kekuasaan
pada Masyarakat Nelayan di Sungailiat.
1. Keterbatasan modal dan akses terhadap pasar.
Sebagai masyarakat yang sering kali digolongkan sebagai masyarakat miskin,
persoalan modal selalu menjadi permasalahan utama bagi nelayan. Modal tidak hanya
diperlukan pada awal memulai usaha, akan tetapi pada setiap kali jadwal mereka melaut.
Kondisi penghasilan disetiap musimnya yang tidak melulu bagus, menjadikan nelayan
tidak dapat menyokong kebutuhan usahanya sendiri.
Melalui keterbatasan modal tersebut, nelayan menjadi sulit untuk melepaskan diri
dari jeratan lingkaran setan kekuasaan yang diciptakan oleh bos lokal yang selama ini
menjadi penyebab mereka terus terjebak dalam persoalan ketimpangan. Bos lokal
memanfaatkan ketidakberdayaan tersebut dengan berkedok menjadi patron dan
memperoleh legitimasi masyarakat setempat. Legitimasi inilah yang kemudian
menjadikan mereka berkuasa dan mampu mengontrol nelayan beserta jaringannya.
Selain modal, persoalan lain yang nelayan hadapi adalah terbatasnya akses mereka
terhadap pasar. (Kusnadi, 2002) menjelaskan, dikarenakan jaringan perdagangan ikan
sudah dikuasai secara total oleh pedagang perantara, tentu ia memiliki kemampuan dan
keterampilan yang tinggi untuk mengatasi keterbatasan daya tahan kualitas hasil
tangkapan agar segera laku terjual. Pedagang perantara dalam hal ini adalah bos lokal
juga memiliki kemampuan dan keterampilan yang sama.
Berbeda dengan nelayan, bos lokal yang memiliki jaringan kekuasaan
menjadikannya mampu untuk menguasai akses dalam proses pemasaran sumber daya
perikanan di daerah. Salah satu dari akses tersebut adalah sebagai penyuplai ikan ke
berbagai industri pengolahan ikan khusus ekspor. Meskipun terdapat tengkulak dan
pedagang pasar dalam perputaran bisnis perikanan, bos lokal adalah satu-satunya orang
yang memiliki kekuasaan dan pengaruh paling besar.
Kondisi hasil tangkapan yang tidak bisa disimpan terlalu lama, membuat nelayan
diharuskan untuk menjual habis hasil tangkapannya dalam jangka waktu yang singkat.
Akan tetapi, jika nelayan tetap berusaha melakukan pemasaran mandiri, mereka tidak
akan mampu memanfaatkan daya serap pasar daerah yang hanya bisa diakses oleh bos
lokal. Untuk mengatasi hal itu, mereka pun mau tidak mau harus tetap bergantung pada
keterampilan dan jaringan bisnis bos lokal dalam memasarkan hasil tangkapannya.
Kekuasaan yang dimiliki bos lokal dapat dianalogikan sebagai “keran”. Mereka
memiliki kuasa atas mengatur aliran distribusi sumber daya ikan di Sungailiat sesuai
dengan kehendaknya. Akan sulit bagi siapa saja, baik itu nelayan, pedagang pasar,
ataupun tengkulak untuk bertahan tanpa menjalin hubungan kerja sama dengan bos lokal.
Hal itu pula yang juga membuat nelayan terpaksa menggantungkan hidupnya kepada bos
lokal terlepas dari permasalahan ekonomi yang mereka alami.
2. Skenario bos local
Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
304 http://sosains.greenvest.co.id
(Satria, 2015) menyatakan bahwa kuatnya ikatan patron-klien merupakan konsekuensi
dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian.
Merujuk pada pernyataan tersebut, dapat dijelaskan hubungan patron-klien yang
sebagaimana merupakan awal dari timbulnya permasalahan ketimpangan kekuasaan pada
masyarakat nelayan di Sungailiat, menjadi kuat karena konsekuensi dari
ketidakberdayaan nelayan dalam menghadapi besarnya resiko dan ketidakpastian yang
mereka alami.
Menurut Arif (2018) “orang kuat lokal” memainkan segala cara demi meraih tampuk
kekuasaan, dan setelahnya menggunakan segala cara pula untuk mempertahankan
kekuasaannya. Sebenarnya, ketidakberdayaan nelayan yang selama ini menjadi alasan
utama mengapa permasalahan ketimpangan kekuasaan ini terus berlanjut adalah kondisi
yang memang sengaja diciptakan dan dipelihara oleh bos lokal. Lebih jelasnya, mereka
sengaja menciptakan ketidakberdayaan nelayan tersebut untuk menempatkan nelayan
tetap berada di bawah kekuasaannya.
Berdasarkan pengakuan seorang nelayan, jika mereka melakukan usaha mandiri
dengan menjual sendiri hasil tangkapannya di pasar, maka secara otomatis nelayan
tersebut memutuskan hubungan kerja samanya dengan bos lokal dan keduanya akan
menjadi pesaing. Sedangkan, bersaing dengan bos lokal adalah hal yang sia-sia bagi
mereka karena para bos lokal dianggap sudah memiliki “permainannya" masing-masing.
Nelayan lainnya juga mengatakan bahwa lapak-lapak ikan di pasar tidak bisa
didapatkan dengan mudah. Lapak-lapak tersebut hanya dimiliki oleh para bos lokal atau
orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Maka dari itu, akan menjadi sia-sia bagi
nelayan jika mereka berusaha untuk menjual sendiri hasil tangkapannya di pasar hanya
demi mendapatkan untung yang lebih besar. Akses terhadap pasar sudah tertutup, ikan
yang akan dijual belum tentu dapat habis dibeli konsumen. Kondisi inilah yang membuat
nelayan pada akhirnya pasrah dan diam saja jika bos lokal membeli hasil tangkapannya
dengan murah. Dengan kata lain, untung sedikit akan lebih baik daripada tidak
mendapatkan apa-apa.
Hampir seluruh nelayan memiliki sangkutan hutang dengan masing-masing bos lokal.
Oleh karena itu, hutang adalah alasan lainnya yang membuat nelayan sangat tidak
mungkin untuk keluar dari jaringan bos lokal. Meskipun nelayan tersebut berhasil
melunasi hutangnya, kebanyakan uang tersebut adalah uang pinjaman dari bos lokal
lainnya. Jadi, hal apa pun yang diusahakan nelayan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan
yang dialami, pada akhirnya mereka tetap akan terikat dan tunduk terhadap sistem yang
dibangun oleh bos lokal.
3. Lemahnya posisi negara.
Permasalahan ketimpangan kekuasaan yang dihadapi masyarakat nelayan sebenarnya
dapat ditekan jika negara mampu memberi kebijakan yang tegas dalam menengahi
hubungan kerja sama antara nelayan dan bos lokal yang menjadi mata rantai utama dari
permasalahan ini. Sayangnya, kenyataan menunjukkan posisi negara berhasil dilemahkan
oleh keberadaan bos lokal.
Faktor yang menyebabkan lemahnya negara dihadapan bos lokal berkaitan dengan
pengaruh kontrol yang dimiliki bos lokal. Pengaruh kontrol ini dapat sangat terasa ketika
menjelang pesta demokrasi, yaitu Pilkada (pemilihan kepala daerah) dan Pileg (pemilihan
legislatif). Tidak jarang para aktor politik yang akan mencalonan diri biasanya melakukan
kesepakatan kepada bos lokal untuk mendukungnya. Besarnya kelompok masyarakat
nelayan di Sungailiat, mampu mendongkrak perolehan suara mereka.
Argumentasi tersebut diperoleh dari kesaksian narasumber bernama Sule dan Tamsir
yang mengatakan bahwa disetiap masa pemilihan, bos lokal memang sering kali
Nelayan dan Bos Lokal (Analisis Mata Rantai
Ketimpangan Kekuatan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat)
2021
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi 305
mengenalkan mereka dengan calon-calon tertentu. Biasanya bos lokal akan mengajak
calon tersebut untuk menghadiri perkumpulan kelompok, hingga menjadi undangan pada
acara pernikahan keluarga nelayan.
Ketika para aktor politik tersebut berhasil memenangkan pemilihan dan menjadi
legislator, maka mereka akan digunakan bos lokal sebagai tameng pelindung. Tidak
hanya mereka, bos lokal juga menjerat para oknum aparat dan birokrat pemburu rente
(rent seeking bereaucrats) yang rakus untuk membantunya menyelesaikan dan menutupi
pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan selama berbisnis.
Sejalan dengan fakta tersebut, dalam membangun negosiasi dan pengelolaan aset
ekonomi, kelincahan bos lokal memang tercermin dari konsensus yang berhasil mereka
bangun bersama para oknum pejabat negara. Melalui hubungan mutualisme tersebut,
pejabat negara memperoleh dukungan modal dan kekuatan sosial, begitu pun sebaliknya
“orang kuat lokal” memperoleh konsesi pengelolaan aset ekonomi (Solissa, 2016)
Berdasarkan pernyataan dari para nelayan, permainan antara bos lokal dan aparat
memang sering terjadi. Sudah menjadi rahasia publik bahwa setiap bos lokal memiliki
“deking" atau pelindung untuk meloloskan mereka dari jeratan hukum. Nelayan berinisial
SK mengatakan, dalam melaut terkadang kapal-kapal milik bos lokal menggunakan
peralatan yang terlarang, yaitu trol (alat tangkap ikan yang dapat merusak ekosistem
laut). Untuk melancarkan aksinya, bos lokal memanfaatkan pengaruh kekuasaannya
terhadap oknum-oknum aparat tersebut. Dengan begitu, kapal-kapal mereka pun berhasil
lolos dan tetap beroperasi.
Melalui pelemahan-pelemahan yang dilakukan bos lokal terhadap anggota dewan,
oknum birokrat dan aparat tersebut, tentunya membuat proses pengimplementasian
kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat (khususnya nelayan) menjadi
terhambat. Seperti halnya kebijakan pengadaan koperasi dan bantuan-bantuan yang
diperuntukkan bagi nelayan. Setidaknya, jika kebijakan tersebut diimplementasikan
dengan benar, dipastikan nelayan dapat mempunyai ruang gerak untuk berkembang dan
keluar dari permasalahan ketimpangan.
C. Ketimpangan Kekuasaan pada Masyarakat Nelayan di Sungailiat sebagai
Fenomena “Orang Kuat Lokal”
Berdasarkan hasil analisis dari temuan di lapangan, persoalan yang sedang dihadapi
oleh masyarakat nelayan di Sungailiat merupakan refleksi dari fenomena “orang kuat
lokal”. Melalui penjelasan pada bagian awal pembahasan, dapat dilihat bahwa semua
temuan tersebut mengarah pada praktik penguasaan bisnis perikanan lokal oleh “orang
kuat” sebagaimana yang dimaksud Migdal dalam konsep berpikirnya.
Argumentasi pertama, Migdal mengatakan orang kuat lokal” tumbuh subur dalam
masyarakat mirip jaringan. Berkenaan dengan hal tersebut, nelayan di Sungailiat juga
cenderung memiliki pola jaringan yang sama. Pola jaringan sosial yang digunakan oleh
para nelayan tersebut berbentuk patron-klien yang memang sering kali digunakan sebagai
bingkai dalam diskusi mengenai fenomena orang kuat lokal.
Sebagai “orang kuat”, eksistensi bos lokal dalam kehidupan masyarakat nelayan di
Sungailiat juga memiliki pengaruh besar yang bahkan melampaui para pemimpin daerah
dan birokrat. Baik birokrat ataupun pemimpin daerah, keduanya adalah bagian dari
segitiga akomodasi bos lokal yang juga disinggung oleh Migdal sebagai strategi “orang
kuat lokal” untuk bertahan.
Luasnya pengaruh jaringan bos lokal, hal tersebut menjadikan nelayan tidak memiliki
Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
306 http://sosains.greenvest.co.id
kesempatan untuk berkembang. Jaringan pasar yang juga berhasil dikuasai bos lokal
membuat nelayan harus terus bergantung dengan mereka sebagai satu-satunya jalan untuk
menyambung hidup. Dalam hal ini, terlepas dari segala permasalahan yang dialami
nelayan, mereka telah kehilangan posisi tawarnya (bargaining position). Keberadaan bos
lokal sebagai “orang kuat” berhasil menjerat nelayan dengan kemampuan modal dan
kekayaan yang dimiliki. Bantuan berupa hutang menjadi tali efektif untuk mengikat
nelayan dan membuat mereka terus bergantung.
Selanjutnya, pada argumentasi kedua, yaitu pengaruh kontrol dan legitimasi, hal inilah
yang sebenarnya menyebabkan nelayan sangat terpaku pada bos lokal dan
mengesampingkan keberadaan negara (pemerintah). Bos lokal yang berperan sebagai
patron, memberi berbagai kebaikan personal kepada masyarakat nelayan hingga berhasil
memperoleh legitimasi darinya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bos lokal sering memberi bantuan berupa
pinjaman kepada para nelayan disaat mereka mengalami kesulitan. Melalui bantuan-
bantuan tersebut, pada akhirnya nelayan pun menaruh empati kepada bos lokal dan
mempercayai mereka sebagai patron dan tempat bergantung hidup. Situasi itulah yang
menyebabkan bos lokal berhasil memperoleh legitimasi dan kemampuan kontrol atas
nelayan.
Akan tetapi, para nelayan tidak menyadari bahwa kebaikan-kebaikan tersebut
hanyalah “kedok” untuk menjerat mereka. Melalui kemampuan kontrol yang diperoleh,
bos lokal berhasil menguasai nelayan beserta jaringannya (tengkulak dan pedagang ikan)
untuk mendominasi pasar perikanan daerah. Dengan begitu, bos lokal berhasil menjadi
pengendali “keran” pendistribusian sumber daya ikan di daerah dan menjadikan mereka
sebagai kelompok teratas pada piramida perdagangan ikan di sana.
Terakhir, terkait argumentasi ketiga, dimana “orang kuat lokal” yang berhasil
melemahkan negara dengan membatasi otonomi dan kapasitas lembaga serta para
aparaturnya merupakan hal yang juga terjadi pada kehidupan masyarakat nelayan di
Sungailiat. Bos lokal dengan segala pengaruh dan kekayaannya, berhasil mengendalikan
para oknum aparatur negara, birokrat pemburu rente, hingga legislator untuk melancarkan
kegiatan-kegiatan ekonominya. Hal tersebut dilakukan agar dapat terhindar dari berbagai
kemungkinan hambatan yang akan mereka hadapi. Dengan keadaan tersebut, hal itu
lantas menyebabkan negara kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan
yang berorientasi pada pembangunan masyarakat khususnya nelayan.
Berdasarkan pemaparan ketiga argumentasi tersebut, dapat dianalisis masalah
ketimpangan kekuasaan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Sungailiat merupakan
dampak yang ditimbulkan dari fenomena “orang kuat lokal" di sana. Masalah
ketimpangan adalah hal yang tidak bisa lepas dari diskusi “orang kuat lokal". Bahkan,
keberadaan mereka sendiri sudah menjelaskan adanya ketimpangan. Timpangnya
perekonomian pada masyarakat nelayan adalah awal dari munculnya fenomena “orang
kuat" ini, sehingga ketimpangan kekuasaan pun turut lahir di dalamnya.
Kesimpulan
Hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Nelayan dan Bos Lokal (Studi
terhadap Mata Rantai Ketimpangan Kekuasaan pada Masyarakat Nelayan di Sungailiat)”,
yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan mata rantai
ketimpangan kekuasaan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Sungailiat dipengaruhi
oleh pola hubungan masyarakatnya yang berjejaring.
Keterbatasan nelayan terhadap modal dan akses pasar membuat mereka
memanfaatkan jaringan sosialnya sebagai jalan alternatif untuk tetap bertahan. Jaringan
Nelayan dan Bos Lokal (Analisis Mata Rantai
Ketimpangan Kekuatan pada Masyarakat Nelayan di
Sungailiat)
2021
Olla Vellanda, Ibrahim dan Sujadmi 307
sosial tersebut berupa hubungan patron-klien dengan bos lokal. Melalui hubungan
patron-klien tersebut, bos lokal berhasil mendapatkan legitimasi dan kemampuan kontrol
atas masyarakat nelayan hingga menyebabkan mereka terjebak pada persoalan
ketimpangan.
Besarnya pengaruh kontrol yang dimiliki bos lokal, menyebabkan munculnya
ketimpangan kekuasan pada masyarakat nelayan. Hubungan yang sebenarnya berbentuk
kemitraan/kerja sama, tetapi tidak seimbang dalam pembagian kuasa dan penentuan
kesepakatan kerja atas hubungan tersebut. Ketimpangan kekuasaan ini juga berhasil
menjadikan para bos lokal sebagai pengendali “keran" pendistribusian sumber daya ikan
di daerah.
Berdasarkan mata rantai ketimpangan kekuasaan tersebut, dapat diidentifikasi
bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, yaitu persoalan
keterbatasan modal dan akses terhadap pasar. Dalam hal ini, keterbatasan modal dan
penguasaan akses dalam proses pemasaran sumber daya perikanan di daerah oleh bos
lokal membuat nelayan mau tidak mau harus bergantung dengan mereka. Kedua, adalah
berkenaan dengan skenario bos lokal yang sengaja menciptakan dan mempertahankan
ketidakberdayaan nelayan . Dengan kata lain, bos lokal sengaja menjebak nelayan dalam
lingkaran setan kekuasaan yang mereka buat. Ketiga, adalah terkait dengan lemahnya
posisi negara. Dalam hal ini bos lokal berhasil menangkap sumber daya serta agen
negara, sehingga berakibat pada terhambatnya pengimplemantasian kebijakan yang
seharusnya dapat membantu permasalahan masyarakat nelayan
Berdasarkan pemaparan tersebut, persoalan ketimpangan kekuasaan yang terjadi
pada masyarakat nelayan di Sungailiat ini adalah dampak yang ditimbulkan dari
fenomena “orang kuat lokal". Ketimpangan merupakan persoalan yang tidak bisa lepas
dari diskusi “orang kuat lokal" karena keberadaannya sudah menjelaskan adanya
ketimpangan itu sendiri.
Bilbiografi
Aqmal, Romi, Yoserizal, & Tantoro, Swis. (2020). Mobilitas Mata Pencaharian Nelayan
Di Desa Kelombok Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga. Jisipol (Jurnal Stisipol)
Raja Haji Tanjungpinang, 2(1), 345358.
Hasbi. (2019). Sekuritas Sosial Perempuan Rawan Sosial Ekonomi Pada Komunitas
Nelayan Pulau Kecil (Kasus Pulau Salemo, Desa Mattiro Bombang, Kecamatan
Liukang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan). Jurnal Penelitian
Keserahteraan Sosial, 18(1).
Heikal, Husen Muhammad. (2017). Mewaspadai Ketimpangan. Retrieved from
http://m.detik.com/news/kolom/d-3535191/mewaspadai-ketimpangan
Juliantono, F., & Munandar, A. (2016). Fenomena Kemiskinan Nelayan: Perspektif Teori
Strukturasi. Jurnal Politik Universitas Nasional, 12(2), 18571866.
Kusnadi. (2002). Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya
Perikanan). Yogyakarta: LkiS.
Listyawati, Andayani. (2016). Strategi Penanganan Kemiskinan Nelayan Tradisional.
Perspektif, 1(2), 6170. https://doi.org/10.31289/perspektif.v1i2.88
Martono, Nanang. (2015). Metode Penelitian Sosial : Konsep Konsep Kunci. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Muhartono, Rizky, & Nurlaili, Nurlaili. (2018). Hutang Sebagai Pengikat Hubungan
Nelayan Dan ‘ Pengambe ’ Di Kabupaten Jember , Provinsi Jawa Timur Debt As A
Binding Relationship Between Fishers And „ Pengambe ‟ In The Jember Regency ,
East Java Province. Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 13(2), 239248.
Volume 1, Nomor 4 , April 2021
p-ISSN 2774-7018 ; e-ISSN 2774-700X
308 http://sosains.greenvest.co.id
Ningsih, Diah Ayu. (2011). Pengaruh Ikatan Patron-Klien Terhadap Perilaku Helayan
dalam Pemasaran Hasil Tangkapan (Kasus : Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk
Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Institut Pertanian Bogor, Banten.
Pinem, Eine Yamitha, Widiono, Septri Widiono, & Irnad, Irnad. (2019). Kemiskinan
Struktural Komunitas Nelayan Di Kelurahan Sumber Jaya, Kecamatan Kampung
Melayu, Kota Bengkulu. Jurnal Sosiologi Nusantara, 5(2), 91112.
https://doi.org/10.33369/jsn.5.2.91-112
Satria, Arif. (2015). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Obor Buku.
Sinaga, Herman, Widiono, Septri, & Irnad. (2015). Pola Hubungan Patron- Klien Pada
Komunitas Segara Kota Bengkulu The Pattern of Patron- Client Relationship in
Fishermen Community in Malabro Municipal , Teluk Segara District , Bengkulu
City. Agrisep, 15(2), 167176.
Solissa, Marcelino. (2016). Fenomena orang kuat lokal di indonesia: studi kasus tentang
kemunculan keda dalam eksploitasi tambang emas di gunung botak Kabupaten buru
provinsi maluku. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas
Hasanudi, 2(2), 160169. Retrieved from
ttp://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/download/3025/pdf
Sulkarnain. (2018). Patron-Klien Dan Ketimpangan Sosial (Studi Kasus pada
Masyarakat Nelayan di Desa Tamasaju Kecamatan Galesong Utara Kabupaten
Takalar) PATRON-KLIEN.
Zahri, Nasution. (2005). Kemiskinan dan Adaptasi Masyarakat Nelayan pada Ekosistem
Daerah Aliran Sungai Lempung, Sumatera Selatan: Suatu Pembedahan Fenomena
Sosial Menggunakan Perspektif Ekologi. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 7(2), 57
78.