JURNAL                                         

JURNAL SOSIAL DAN SAINS

VOLUME 3 NOMOR 5 2023

P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM TENTANG PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA TINGKAT PENGADILAN YANG BERBEDA

 

 

Maria Fatima More, Jimmy Pello, Aksi Sinurat

Universitas Nusa Cendana

Email : mariafatimamore@gmail.com, jimmypello@gmail.com, aksi sinurat@gmail.com

 

 

Kata kunci:

korupsi; pertimbangan hukum; putusan hakim; tingkat pengadilan berbeda

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

corruption; legal considerations; judge's decision; different court levels

ABSTRAK

Latar Belakang : Di permasalahan hukum dalam penelitian ini ditunjukkan dari aspek teoretis, yuridis dan konkret. Secara teoretis dan yuridis elemen unsur materi muatan Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHPidana tidak dimengerti secara sempurna oleh hakim sebagai penegak hukum sehingga pada interpertasi dan penerapanya sebagai pasal berlapis berbeda pada tingkat pengadilan negeri dan mahkamah agung. Selanjutnya permasalahan konkrit dalam konteks kasus penelitian ini yakni hakim dalam pertimbangan hukumnya melahirkan putusan yang membebaskan Jonas Salean, S.H., M.Si selaku Walikota Kupang dan menghukum Thomas More, S.H selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang meskipun sesungguhnya ada kerjasama yang utuh dalam konteks kerja sama penyertaan antara keduanya dalam kaitannya dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando.

Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: 1) alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021., 2)penyertaan Pasal 55 KUHPidana sebagai pasal berlapis dalam pertimbangan hukum majelis hakim terhadap terdakwa.

Metode : Metode penelitian ini terdiri dari jenis dan sifat penelitian, aspek penelitian, pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknik pengolahan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif (legal research) yang mengkaji permasalahan tindak pidana korupsi melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG dijatuhkan putusan yang berbeda oleh majelis hakim pada tingkat pengadilan yang berbeda.

Hasil : The results of the study show that: 1) the defendant was acquitted at the Kupang District Court level through decision Number: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the Supreme Court level through Supreme Court Decision Number: 2451 K/Pid .Sus/2021, because: differences in the interpretation of the panel of judges regarding the elements of offense in the Corruption Law. The interpretation of the panel of judges at the Kupang District Court level views that the elements of the offenses Articles 2 and 3 are interrelated and do not stand alone, while the interpretation of the Panel of Judges at the Supreme Court level views that the elements of the offenses Articles 2 and 3 can stand alone. 2) Article 55 of the Criminal Code is imperfectly included as a construction Multiple articles against the defendant in the legal considerations of the panel of judges both at the District Court level and at the Supreme Court level.

Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah Terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, karena: perbedaan penafsiran majelis hakim tentang unsur delik di dalam UU Tipikor. Penafsiran majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri Kupang memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 saling berkaitan tidak berdiri sendiri, sedangkan interpertasi Majelis Hakim di tingkat MA memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 dapat berdiri sendiri.

 

ABSTRACT

Background: The legal issues in this study are shown from theoretical, juridical and concrete aspects. Theoretically and juridically, the elements of the material content of Article 2, Article 3 of the Corruption Law in conjunction with Article 55 of the Criminal Code are not perfectly understood by judges as law enforcers so that the interpretation and application of them as multi-layered articles is different at the district court and supreme court levels. Furthermore, the concrete problem in the context of this research case is that the judge in his legal considerations issued a decision that acquitted Jonas Salean, S.H., M.Sc as the Mayor of Kupang and sentenced Thomas More, S.H as the Head of the Kupang City Land Office even though in fact there was complete cooperation in the context of cooperation participation between the two in relation to the transfer of ownership of the land in front of the Sasando Hotel.

Purpose: The purpose of this study was to find out and analyze: 1) the reasons for the defendant being acquitted at the Kupang District Court level Number: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but were sentenced to a criminal sentence at the Supreme Court level through the Supreme Court Decision Number :2451 K/Pid.Sus/2021., 2) the inclusion of Article 55 of the Criminal Code as a layered article in the legal considerations of the panel of judges against the defendant.

Method: This study uses normative legal research methods. This research method consists of the type and nature of research, research aspects, research approaches, legal material sources, legal material collection techniques, legal material processing techniques and legal material analysis techniques. This research is included in the type of normative legal research (legal research) which examines the problem of criminal acts of corruption through Decision Number: 40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG which rendered different decisions by a panel of judges at different court levels.

Results: The results of the study show that: 1) the defendant was acquitted at the Kupang District Court level through decision Number: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the Supreme Court level through Supreme Court Decision Number: 2451 K /Pid.Sus/2021, because: differences in the interpretation of the panel of judges regarding the elements of offense in the Corruption Law. The interpretation of the panel of judges at the Kupang District Court level views that the elements of the offenses Articles 2 and 3 are interrelated and do not stand alone, while the interpretation of the Panel of Judges at the Supreme Court level views that the elements of the offenses Articles 2 and 3 can stand alone. 2) Article 55 of the Criminal Code is imperfectly included as a construction Multiple articles against the defendant in the legal considerations of the panel of judges both at the District Court level and at the Supreme Court level. Suggestions from this study are that education and training are needed in order to increase judges' understanding of ratio deciendi theory, legal interpretation, and ratio legis for the formation of Articles 2 and 3 of the Corruption Law in conjunction with Article 55 of the Criminal Code, so that it has implications for the quality of judge's decisions.

Conclusion: The conclusion of this study is that the defendant was acquitted at the Kupang District Court level Number: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the Supreme Court level through the RI Supreme Court Decision Number: 2451 K/Pid.Sus/ 2021, because: differences in the interpretation of the panel of judges regarding the elements of offense in the Corruption Law. The interpretation of the panel of judges at the Kupang District Court level views that the elements of the offenses in Articles 2 and 3 are interrelated and do not stand alone, while the interpretation of the Panel of Judges at the Supreme Court level views that the elements of the offenses in Articles 2 and 3 can stand alone.

 

 

 

PENDAHULUAN

Korupsi dalam arti hukum didefinisikan sebagai tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain (Pasmatuti, 2019). Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mencantumkan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindakan korupsi jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) setiap orang atau korporasi 2) melawan hukum, 3) memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. 4)dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sementara itu, apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dilakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan korupsi (Rifai, 2010).

Salah satu permasalahan hukum yang menarik untuk dikaji kaitanya dengan pertimbangan hukum hakim, yakni dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor:40/Pid.sus Tpk/2020/PN.Kpg tanggal 17 Maret 2021. Putusan ini lahir dengan suatu pertimbangan hukum majelis hakim terhadap unsur setiap orang, secara melawan hukum, sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan, serta unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan (Pekan, 2019).

Bertolak dari gambaran proses penegakan hukum di atas, ditemukan adanya permasalahan hukum secara yuridis dan teoretis. Secara yuridis permasalahan terletak pada penerapan Pasal yang tidak terbukti bagi terdakwa Tomas More, SH ditingkat Pengadilan Negeri Kupang, melalui putusan  Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg tanggal 17 Maret 2021 yakni penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022, dengan mengingat Pasal 3, Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan putusan sebelumnya dibatalkan, membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, serta menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar lima puluh juta rupiah.

Permasalahan hukum yang konkrit dalam konteks kasus penelitian ini yakni hakim sebagai aparatur peradilan dalam pertimbangan hukumnya melahirkan putusan yang membebaskan Jonas Salean dan menghukum Thomas More, meskipun sesungguhnya ada kerjasama yang utuh dalam konteks kerja sama penyertaan antara Terdakwa (Tomas More, S.H) selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang bersama-sama dengan Saksi Jonas Salean selaku Walikota Kupang dalam kaitannya dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando. Kerja sama dimulai dari adanya pertemuan pada tahun 2016 antara Saksi Jonas Salean dengan Sumral Buru Manoe (alm) selaku Kepala kantor Pertanahan Kota Kupang yang menjabat saat itu, yang membahas tanah depan Hotel Sasando sehingga dilakukannya pengukuran dan pembuatan peta bidang oleh bagian tata pemerintahan Kota Kupang Bersama dengan pihak kantor Pertanahan Kota Kupang, selanjutnya dibuatkannya surat penunjukan tanah Kapling kepada 40 orang penerima oleh Saksi Jonas Salean. Hal ini dapat dimengerti bahwa ada hubungan hukum antara Jonas Salean yang merupakan urheber (yang melakukan inisiatif) dengan Sumral Buru Manoe (alm) serta Thomas More (sebagai peserta).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian hukum. Salah satu metode untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum majelis hakim yaitu melalui penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaaan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui dan menganalisis alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021. Untuk mengetahui dan menganalisis penyertaan Pasal 55 KUHPidana sebagai pasal berlapis dalam pertimbangan hukum majelis hakim terhadap terdakwa. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan kontribusi di dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana terkait pertimbangan hukum majelis hakim dalam memberikan putusan terhadap tindak pidana korupsi pada tingkat pengadilan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan dan referensi akademisi untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran berupa rekomendasi dan wacana.

 

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif (legal research) yang mengkaji permasalahan tindak pidana korupsi melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG dijatuhkan putusan yang berbeda oleh majelis hakim pada tingkat pengadilan yang berbeda. Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis dan preskriptif, mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum”. Oleh karena itu, penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat deskriptif (descriptive research) yaitu kajian yang berusaha menggambarkan dengan sistematis dan cermat terhadap permasalahan.

Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini yakni Alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021. Indikatornya Pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG tanggal 17 Maret 2021, Pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2021, dan Pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022.

Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (case Approach).

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan. Sumber Bahan Hukum Sekunder berupa pendapat para ahli yang didapat dari berbagai literatur baik dari buku-buku, tesis, disertasi, jurnal dan berbagai karya ilmiah lainya yang berhubungan dengan penelitian ini. Sumber Bahan Hukum Tersier berupa kamus istilah, kamus istilah hukum, kamus bahasa asing, ensiklopedia, dll.

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum dengan melakukan serangkaian kegiatan studi dokumen dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dan Putusan hakim tentang permasalahan yang dibahas.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

Kasus posisi dalam penelitian ini mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor:40/Pid.sus Tpk/2020/PN.Kpg, sebagai berikut:

Terdakwa Tomas More, SH diajukan ke persidangan dengan dakwaan Primair: Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Sementara itu,  Subsidair: Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Terlihat ada kerjasama yang erat atau setidak-tidaknya saling pengertian antara Terdakwa  (Tomas More, S.H) Selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang bersama-sama dengan Saksi Jonas Salean selaku Walikota Kupang dalam kaitannya dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando, dimulai dari adanya pertemuan pada tahun 2016 antara Saksi Jonas Salean dengan Sumral Buru Manoe (alm) selaku Kepala kantor Pertanahan Kota Kupang yang menjabat saat itu, yang diantaranya membahas tanah depan Hotel Sasando tersebut, dilakukannya pengukuran dan pembuatan peta bidang oleh bagian tata pemerintahan Kota Kupang bersama dengan pihak kantor Pertanahan Kota Kupang, dibuatkannya surat penunjukan tanah Kapling kepada 40 orang penerima oleh Saksi Jonas Salean, termasuk Terdakwa Thomas More yang mendapatkan satu bagian Kapling yang namanya direkomendasikan sebagai penerima tanah Kapling oleh Sumral Buru Manoe (alm), diajukannya permohonan pensertifikatan oleh masing-masing penerima tanah Kapling kepada kantor pertanahan Kota Kupang dengan alas hak surat penunjukan tanah Kapling yang dikeluarkan Saksi Jonas Salean, dilakukannya pemeriksaan Panitia A atas alas hak baik data yuridis maupun data fisik, pemeriksaan lapangan serta melakukan sidang Panitia A; dibuatkannya Risalah pengolahan data sampai kemudian Risalah pengolahan data tersebut disetujui Terdakwa Thomas More dengan dikeluarkanya Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa Thomas More atas nama masing-masing penerima Surat penunjukan tanah Kapling, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebagaimana telah diuraikan dalam pembuktian unsur-unsur sebelumnya, dimana Terdakwa di kualifikasi sebagai yang turut serta melakukan tindak pidana. Sesuai fakta persidangan dan pembuktian unsur-unsur sebelumnya, dari kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 4.974.101.415,00 (empat milyar sembilan ratus tujuh puluh empat juta empat ratus lima belas rupiah) adalah telah memperkaya Sumral Buru Manoe, S.H., (alm) sebesar  Rp.1.658.033.805,00 (satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu delapan ratus lima rupiah), Johanis Jonathan Lay sebesar  Rp.1.658.033.805,00 (satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu delapan ratus lima rupiah)  dan Maria Lay sebesar  Rp1.658.033.805,00 (satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu delapan ratus lima rupiah), sehingga mereka tersebutlah yang telah memperoleh harta benda dari tindak pidana korupsi, akibat beralihnya kepemilikan tanah depan Hotel Sasando seluas 1.500 M2 (seribu lima ratus) meter persegi dari Pemerintah Kota Kupang kepada Sumral Buru Manoe,S.H., Johanis Jonathan Lay dan Maria Lay, yang selanjutnya  tanah tersebut dipindahtangankan kepada pihak ketiga melalui proses jual-beli, sementara Terdakwa sendiri tidak mendapatkan perolehan kekayaan dan perolehan harta benda apapun dari tindak pidana korupsinya, maka berdasarakan ketentuan Pasal  18 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kepada Terdakwa tidak dibebani untuk membayar uang pengganti  kerugian keuangan Negara.

Berdasarkan kasus posisi yang ditampilkan di atas maka selanjutnya penulis menjawab dan menganalisis pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

 

Alasan Terdakwa Diputus Bebas Pada Tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, Namun Dijatuhi Pidana Pada Tingkat Pengadilan MA Melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 karena adanya perbedaan pertimbangan hukum antara majelis hakim ditingkat Pengadilan Negeri dengan Pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2021, kemudian kasasi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung, yang secara langsung menjadi pertimbangan hukum majelis hakim di tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu, lahirlah Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022 yang berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg.

Secara spesifik penulis menampilkan alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA karena perbedaan pertimbangan hukum majelis hakim mengenai beberapa aspek yang ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 1 Perbedaan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim di Tingkat Pengadilan Berbeda

No.

Tingkat Pengadilan Berbeda

Pertimbangan hukum majelis hakim Pendadilan  Negeri Kupang melalui

Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG tanggal 17 Maret 2021

Pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2021

Pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021

1.

Terdakwa tidak menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

 

 

Argumentasi

Terdakwa menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

2.

Dakwaan Primair dan Sekunder tidak terbukti

Alasan-Alasan:

1. Judex Factie telah salah menerapkan hukum dalam unsur melawan hukum

2. Judex Factie (Hakim Ketua Dan Hakim Anggota I) tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya khususnya dalam hukum pembuktian

3. Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum terkait dengan pembuktian unsur menyalahgunakan kewenangan

4. Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang

5. Judex Factie tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya terkait dengan status barang bukti

Dakwaan Primair tidak terbukti

Dakwaan Subsidair terbukti

Uraian mengenai perbedaan pertimbangan hukum majelis hakim di tingkat pengadilan berbeda terhadap aspek-aspek yang ditampilkan pada tabel di atas, adalah sebagai berikut:

 

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG

Hasil penelitian ditemukan bahwa pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG didasari pada konstruksi Pasal-Pasal yang berbeda dalam tiap kategori dakwaan. Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana masuk dalam kategori dakwaan primair. Sementara itu, Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana masuk dalam kategori dakwaan subsidair (Eddy, 2012).

 

Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Unsur-Unsur Pasal Dakwaan Primair    

Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur Pasal dalam dakwaan primair adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang

Interpertasi majelis hakim terhadap unsur setiap orang didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi yang kepadanya dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.

 Merujuk pada ketentuan di atas interpertasi hakim terhadap kasus dalam penelitian ini yakni, pengertian setiap orang yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sifatnya umum yaitu apakah pelaku tindak pidana korupsi sebagai pegawai negeri sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau bukan pegawai negeri. unsur setiap orang tersebut yang sifatnya umum secara yuridis mengandung pengertian bahwa yang menjadi subyek hukum dalam tindak pidana adalah orang atau person yaitu siapa saja baik perseorangan, pegawai negeri, pejabat publik, pejabat negara maupun swasta sebagai subyek hukum yang telah melakukan suatu tindak pidana selama ia mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam arti pada dirinya tidak dijumpai alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat meniadakan kesalahannya (Suantra & Nurmawati, 2019).

 

Unsur secara melawan hukum

Hasil penelitin ini ditemukan bahwa interpertasi majelis hakim terhadap unsur secara melawan hukum didasarkan pada penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Interpertasi hakim juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Unsur sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan.

Hasil penelitian ditemukan bahwa Terdakwa didakwa secara bersama-sama atau turut serta dengan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. melakukan tindak pidana yang didakwakan, yaitu perbuatan mengalihkan tanah yang terletakdi depan hotel Sasando di Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan luas sekitar 20.068 M2 (dua puluh ribu enam puluh delapan meter persegi) yang dilakukan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dengan cara memberikan surat penunjukan kapling kepada 40 (empat puluh) orang penerimanya pada tahun 2016, termasuk Terdakwa dan perbuatan Terdakwa menerbitkan sertifikat hak milik atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima tanah kapling tersebut yang dilakukan dengan cara yang tidak benar atau melanggar ketentuan.

 

Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Unsur-Unsur Pasal Dakwaan Subsidair

Hasil penelitian ditemukan bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti, selanjutnya pertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu Pasal 3, Jo. Pasal 18  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah unsur setiap orang dan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Perbuatan dan ketentuan hukum yang didakwakan kepada Terdakwa sebagai perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam dakwaan Penuntut Umum adalah sama dengan perbuatan yang didakwakan dalam dakwan primair, yaitu perbuatan Terdakwa didakwa secara bersama-sama atau turut serta dengan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. melakukan tindak pidana yang didakwakan, yaitu perbuatan mengalihkan tanah yang terletak di depan hotel Sasando di Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan luas sekitar 20.068 M2 (dua puluh ribu enam puluh delapan meter persegi) yang dilakukan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dengan cara memberikan surat penunjukan kapling kepada 40 (empat puluh) orang penerimanya pada tahun 2016, termasuk Terdakwa dan perbuatan Terdakwa menerbitkan sertifikat hak milik atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima tanah kapling tersebut yang dilakukan dengan cara yang tidak benar atau melanggar ketentuan.

Setelah para penerima tanah Kapling, menerima Surat penunjukan tanah Kapling, Saksi Max. D. Bunganawa menawarkan bantuan untuk membantu proses pengurusan Sertifikat Hak Milik ke BPN melalui Bagian Tata Pemerintahan, sementara Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dan keluarganya, para pegawai BPN dan suami-istri Johanes Jonathan Lay dan Maria Lay, yang menerima Surat penunjukan tanah Kapling mengurus sendiri pensertifikatannya ke BPN Kota Kupang.

Alas hak yang diajukan untuk pengurusan sertifikat Hak Milik dari masing-masing pemohon tersebut adalah Surat penunjukan tanah Kapling yang ditandatangani Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. bersama masing-masing penerima tanah Kapling. Kemudian setelah Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang menerima permohonan pensertifikatan Hak Milik dari masing-masing penerima tanah Kapling selanjutnya Saksi Eksam Sodak selaku Ketua Tim Ajudikasi tanah, Saksi Melanton Natti selaku Kepala Seksi pengukuran selaku Anggota dan Saksi CH. Mudasih selaku Sekretaris Tim Ajudikasi melakukan pemeriksaan atas alas hak baik data yuridis maupun data fisik, pemeriksaan lapangan serta melakukan sidang Panitia A. Terhadap pemeriksaan lapangan, Panitia A tidak melakukan pemeriksaan di lokasi masing-masing objek pemohon, tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan.

Di dalam Risalah Pemeriksaan Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas tanah pemohon sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal pada kenyataanya masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling yang dinyatakan sebagai miliknya tersebut, sehinga pada masing-masing kesimpulan Risalah pemeriksaan tanah A dinyatakan,  permohonan Hak Milik dari masing-masing pemohon tersebut telah memenuhi persyaratan baik persyaratan teknis, yuridis maupun administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam kesimpulan Risalah Pengelolaan Data disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah dapat dikabulkan.

Setelah menerima Risalah Pengelolaan Data, seharusnya Terdakwa, selaku kepala Kantor Pertanahan dapat melakukan koreksi atau penolakan terhadap Risalah Pengelolaan Data tersebut karena dalam uraian telaahan atas objek hak pada bagian riwayat hak atas tanah disebutkan belum ada penetapan hak sebelumnya, padahal senyatanya tanah yang dimohonkan haknya tersebut termasuk dalam bidang tanah Sertifikat Hak Pakai No. 5 Tahun 1981 Desa Kelapa Lima dan pada uraian data fisik disebutkan di atas tanah tersebut sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, karena disamping sebagai Kepala BPN Kota Kupang Terdakwa adalah juga salah satu penerima surat penunjukan tanah kapling yang menerima 1 (satu) bidang Kapling seluas 600 M2 yang tidak pernah menguasai tanah Kapling dimaksud serta tidak juga pernah membuat pagar batu pada bagian tanah Kapling miliknya tersebut.

Atas fakta tersebut Terdakwa mengabaikannya dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data yang diajukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa.

Majelis hakim mempertimbangkan bahwa oleh karena tanah yang dibagikan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dan diterima oleh Terdakwa statusnya bukanlah tanah milik Pemerintah Kota Kupang, maka tidak terbukti Terdakwa dan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. mengalihkan tanah milik daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Kupang, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dan Terdakwa tersebut tidak ada pelanggaran terhadap ketentutan-ketentuan tentang pengelolaan barang milik negara maupun daerah, dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Jo.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, maupun UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ataupun melanggar terhadap aturan yang menjadi dasar kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ataupun memiliki maksud menyimpang dari kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan karena Terdakwa dan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si tidak pernah mengalihkan tanah milik Pemerintah Kota Kupang, sehingga dengan demikian dalam perbuatan Terdakwa yang menerima tanah yang dibagikan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. tersebut dan perbuatan lanjutan dari peralihan hak ini, yaitu penerbitan sertifikat atas tanah tersebut yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah perbuatan mengalihkan hak atas tanah yang dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang didakwakan kepada Terdakwa dengan dasar peraturan periundang-undangan tersebut di atas tidak terpenuhi (Effendi, 2017).

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, maka unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tidak terpenuhi. Oleh karena salah satu unsur dari tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan subsidair tidak terpenuhi, maka unsur selebihnya tidak dipertimbangkan lagi dan dikesampingkan. Adanya salah satu unsur dari Pasal 3, Jo. Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan subsidair, sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Akibat hukum dari tidak terbuktinya terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair dan Subsidair, maka sesuai putusan pengadilan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG Terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan penuntut umum, memerintahkan Terdakwa segera dibebaskan dari tahanan dan memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.

 

Pertimbangan Hukum Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2018

Pandangan penuntut umum bahwa Judex Factie tidak secara bulat mengambil putusan, dimana Hakim Anggota II Ibnu Kholik, S.H., M.H berbeda pendapat (Dissenting Opinion/DO) terhadap pertimbangan Hakim Ketua dan Hakim Anggota I (Triyanto, 2017). Penuntut Umum dalam perkara ini sependapat dengan pertimbangan Hakim Anggota II Ibnu Kholik, S.H., M.H yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan terbuktinya dakwaan Primair Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, namun Penuntut Umum tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim Ketua, Ari Prabowo, S.H dan Hakim Anggota I, Ngguli Liwar Mbani Awang, S.H., M.H dalam putusannya yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa baik dalam dakwaan Primair maupun dakwaan Subsidiair tidak terbukti (Kupang, 2011).

Menurut penuntut umum, Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan dengan alasan kurang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh/tidak cermat dalam putusannya karena Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Tomas More, SH bersama saksi Jonas Salean, S.H., M.Si adalah bukan merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bukan sebagai perbuatan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  adalah tidak tepat karena Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA telah menerapkan hukum akan tetapi tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan telah mengesampingkan hukum pembuktian dengan tidak mempertimbangkan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian yang diperoleh didalam persidangan serta tidak secara lengkap memasukan fakta hukum tentang pelanggaran dan kesalahan terdakwa dalam pertimbangan putusan yang kemudian mengambil  kesimpulan  hukum menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti sebagai perbuatan melawan hukum dan juga tidak terbukti sebagai perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tidak terpenuhi (Harefa et al., 2020).

Mencermati putusan Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA Nomor : 40/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kpg tanggal 17 Maret 2021, bukanlah putusan bebas murni (vrijspraak) karena putusan bebas itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap unsur perbuatan melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan (Rogahang, 2012).

Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

 

Judex Factie Telah Salah Menerapkan Hukum Dalam Unsur Melawan Hukum

Merujuk pada pertimbangan Judex Factie (Hakim Ketua dan Hakim Anggota I) sebagaimana dalam pertimbangan putusannya bahwa tanah yang dibagikan oleh saksi Jonas Salean, SH., M.Si bukan sebagai aset Pemerintah Kota Kupang melainkan sudah menjadi tanah negara, pertimbangan Judex factie tersebut sangatlah keliru sebab sejak keluarnya UU RI Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang, dimana dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa wilayah kotamadya daerah tingkat II Kupang meliputi Kota Administratif Kupang sehingga tanah diatas SHP 5 Tahun 1981 yang masih melekat pemegang hak atas nama Pemerintah Derah/Kota Administratip Kupang serta merta masih menjadi milik Pemerintah Kota Kupang,  seharusnya pada saat menjabat sebagai Walikota Kupang seharusnya mengamankan/menyelamatkan tanah tersebut menjadi asset/kekayaan Pemerintah Kotamadya Kupang, namun justeru  terdakwa Jonas Salean, S.H., M.Si secara tanpa hak dan melawan hukum membagikan tanah kepada dirinya sendiri (Jonas Salean, SH.,M.Si), keluarga, dan pihak lainnya pada tahun 2016 dan 2017 dan juga kepada terdakwa Tomas More, SH Selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang karena kewenangan untuk memberikan pemanfaatan tanah negara adalah Menteri terkait melalui Kepala Kantor Wilayah Pertanahan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Indonesia, 2009).

 

Judex Factie (Hakim Ketua Dan Hakim Anggota I) Tidak Menerapkan Hukum Sebagaimana Mestinya Khususnya Dalam Hukum Pembuktian

Terhadap dokumen yang dihadirkan tersebut juga bersesuaian dengan keterangan saksi Yanuar Dally, SH., M.Si selaku Mantan Kepala Bagian Pemerintahan Kota Kupang, saksi Max D Bunganawa, SH selaku Kepala Sub Bagian Pemerintahan Umum dan juga diakui oleh saksi Jonas Salean, SH., M.Si pada saat ditanyakan oleh Penuntut Umum di persidangan pada pokoknya mengakui bahwa sebagai bukti kepemilikan hak yang ada yaitu Sertifikat Hak Pakai Nomor 5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima, sehingga dengan demikian maka menurut kami terhadap semua Surat Penujukan Tanah Kapling yang dikeluarkan oleh Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang di tahun 2016 dan tahun 2017 sebanyak 40 (empat puluh) kapling yang terletak di pinggir jalan utama Kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel Sasando Kupang didasarkan atas alas hak yang masih melekat yaitu Sertifikat Hak Pakai Nomor 5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima karena dalam fakta di persidangan terungkap bahwa Sertifikat Hak Pakai Nomor 5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima tersebut sampai dengan saat ini belum pernah dicabut atau dihapus.

Keterangan saksi-saksi dan bukti dokumen yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan menjadi alat bukti surat dan bersesuaian pula dengan keterangan saksi Yohanes Jonathan Lay di depan persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa saksi ada mengajukan permohonan untuk  mendapatkan tanah kapling yang terletak di pinggir jalan utama Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel Sasando Kupang kepada Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang serta keterangan saksi Melanton Natty, saksi Max D Bunganawa di persidangan pada pokoknya menerangkan bahwa Yohanes Yonathan Lay dan isterinya juga mendapatkan tanah kapling yang terletak di pinggir jalan utama Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel Sasando Kupang masing–masing seluas 500 M2.

 

Judex Factie Telah Salah Dalam Menerapkan Hukum Terkait Dengan Pembuktian Unsur Menyalahgunakan Kewenangan

Melihat kualitas subyek/pelaku dan cara perbuatan dilakukan yang dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menurut Mahkamah Agung RI rumusan tersebut sangat umum dan luas cakupannya, sehingga menjerat semua orang apapun kualitasnya, sepanjang melakukan perbuatan dengan cara yang dirumuskan dalam pasal tersebut, yaitu secara melawan hukum, sebaliknya apa yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih bersifat khusus karena subyek/pelaku yang dapat dijerat hanyalah orang–orang dengan kualitas tertentu yang dapat melakukan perbuatan dengan cara/keadaan tertentu yaitu dalam jabatan atau kedudukannya.

Berkaitan dengan pertimbangan Judex Factie sebagaimana tersebut yang berpendapat bahwa karena tanah yang dilepaskan oleh Pemerintah Kabupaten Kupang pada tahun 1994 dan kemudian tidak ikut diserahkan pada saat otonomi daerah dalam dokumen P3D dan tanah tersebut tidak dicatat sebagai barang inventaris atau aset pada Pemerintah Kota Kupang.

Terhadap pertimbangan hukum Judex Factie sebagaimana tersebut, Penuntut Umum tidak sependapat dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut :

a.    Apabila Judex Factie menyatakan bahwa tanah seluas lebih kurang 20.068 M2 bukan sebagai aset Pemerintah Kota Kupang, maka tidak ada kewenangan saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang untuk membagikan tanah negara kepada pihak lain yang diantaranya adalah keluarga kandung dan kerabat dekat dari saksi Jonas Salean, SH., M.Si  sendiri.

b.    Apabila tanah tersebut tidak dicatat dan tidak ikut diserahkan kepada Pemerintah Kota Kupang pada saat otonomi daerah, saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang yang membagikan tanah kapling dengan Surat Penunjukan Tanah Kapling sebanyak 40 (empat puluh) bidang, tidak memiliki kewenangan untuk membagikan tanah kapling untuk dan atas nama saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang, keluarga dan penerima lainnya termasuk kepada terdakwa Tomas More, SH selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang karena bukan kewenangan saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang, melainkan menjadi wewenang dari Menteri terkait dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Propinsi dann atau Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang  dalam hal ini terdakwa Tomas More, SH.

 

Cara Mengadili Tidak Dilaksanakan Menurut Ketentuan Undang-Undang

Putusan pengadilan yang adil dan bermanfaat, maka hakim perlu memperhatikan aspek sosial budaya setempat, sebagaimana pendapat Mahkamah Agung dalam buku pedoman perilaku hakim (code of conduct), kode etik hakim dan makalah berkaitan, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, halaman 2, menyatakan “bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan peradilan tertinggi pelaksana Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pertimbangan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggung jawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada Keadilan Hukum (Legal Justice) Keadilan Moral (Moral Justice) dan Keadilan Masyarakat (Social Justice)”.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang yang memeriksa dan mengadili perkara aquo dalam melaksanakan peradilannya tidak dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan cara mengabaikan alat bukti yang telah diuji didepan persidangan, dan tidak mempertimbangkan rasa Keadilan Hukum (Legal Justice) Keadilan Moral (Moral Justice) dan Keadilan Masyarakat (Social Justice) khususnya masyarakat di Kota Kupang.

Judex factie dalam pertimbangan fakta hukum dan pembuktian Unsur telah secara tegas menguraikan mengenai adanya niat jahat/Mens Rea dan Actus Reus yang telah nyata pada perbuatan terdakwa Tomas More, SH bersama dengan Jonas Salean, SH., M.Si Walikota Kupang yakni :

Menurut penuntut umum, walaupun tanpa adanya permohonan mendapatkan tanah kapling dari pemohon termasuk terdakwa, tidak adanya penguasaan fisik atas tanah oleh para pemohon termasuk terdakwa Tomas More, SH, dan setelah terbitnya Surat Penunjukkan Tanah Kapling yang ditandatangani oleh Jonas Salean, SH., M.Si sehingga Surat Penunjukkan Tanah Kapling tersebut dijadikan sebagai alas hak oleh para penerima untuk mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Hak Milik ke Kantor Pertanahan Kota Kupang sehingga telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik yang ditandatangani oleh terdakwa Tomas More, SH selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang dimana data fisik dan data yuridis yang dijadikan syarat untuk penerbitan SHM tersebut tidak benar. Dengan demikian telah nyata Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam mengadili tidak dilaksanakan sesuai Ketentuan Undang–Undang.

Judex Factie Tidak Menerapkan Hukum Sebagaimana Mestinya Terkait Dengan Status Barang Bukti

Memperhatikan amar Putusan Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilann Negeri Kupang Klas IA  khusus terhadap barang bukti Nomor urut 187 tentang 1 (satu) bidang tanah seluas ± 600 m² atas nama Tomas More, S.H. dengan sertifikat Hak Milik No. 2845; Dikembalikan kepada Tomas More, S.H. (Terdakwa). Terhadap pertimbangan dan amar putusan sebagaimana tersebut, Penuntut Umum tidak sependapat dengan pertimbangan :

a.    Berdasrarkan alat bukti keterangan saksi Eksam Sodak, S.Sit, saksi Max D Bunganawa, Saksi Yanuar Dally, SH , keterangan terdakwa Thomas More, SH dan didukung dengan  barang bukti berupa tanda terima pelepasn dan  penghapusan pada Sertitikat Hak Milik atas nama Tomas More, SH yang telah dilakukan penghapusan oleh Kantor Pertanahan Kota Kupang terhadap SHM Nomor 2845 atas nama Tomas More, SH sejak Agustus 2018.

b.    Terhadap fakta tersebut telah secara nyata dipertimbangkan juga oleh Judex factie dalam pertimbangan hukumnya.

c.    Berdasarkan Pasal 27 huruf a angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang–Undang Pokok Agraria yang berbunyi : Hak Milik hapus apabila : karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.

d.    Mendasari pada ketentuan di atas, maka secara yuridis terdakwa Tomas More, SH telah melepaskan tanahnya secara sukarela dan oleh karenanya tidak ada lagi hubungan hukum dengan tanah yang dimiliki oleh terdakwa karena telah dilepaskan dan dihapus dari pencatatan buku tanah pada Kantor Pertanahan Kota Kupang dan status tanah tersebut menjadi tanah negara.

e.    Mengacu pada fakta hukum dan dasar hukum sebagaimana tersebut di atas, maka telah nyata bahwa Judex factie telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya karena tidak seharusnya barang bukti berupa tanah dan SHM atas nama terdakwa di kembalikan kepada terdakwa tetapi haruslah dinyatakan menjadi tanah negara.

f.     Akibat Judex factie telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya maka terhadap Putusan Judex factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum karena Judex factie Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA telah salah dalam menerapkan hukum mengenai status barang bukti.

g.    Akibat putusan tersebut batal demi hukum maka putusan Judex factie tidak dapat dipertahankan lagi dan oleh karenanya terhadap barang bukti nomor urut 161 s/d barang bukti nomor urut 200 berupa tanah dan surat-suratnya haruslah dinyatakan dirampas untuk negara.

Oleh karena itu, telah nyata bahwa Judex factie pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA telah salah dalam menerapkan hukum terkait dengan status barang bukti.

 

Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022

Adanya pertimbangan majelis hakim terhadap Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menunjukkan terdakwa setidaknya terbukti dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Akibat hukum bagi terdakwa yakni dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

 

Diskursus Teoretis Alasan Terdakwa Diputus Bebas Pada Tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, Namun Dijatuhi Pidana Pada

Tingkat Pengadilan MA Melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021

Setelah ditampilkan uraian mengenai aspek-aspek pertimbangan majelis hakim yang menjadi alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, maka selanjutnya penulis menganalisis perbedaan pertimbangan majelis hakim tersebut secara konsep teoretis menggunakan konsep ratio legis dan  ratio decindendi. Ratio legis digunakan untuk membedah nalar pertimbangan hakim sebagai alasan hukum, sedangkan ratio decidendi digunakan karena didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus yang disengketakan kaitannya dengan peraturan-peraturan yang relevan dengan pokok kasus sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan.

 

 

 

Ratio Legis

Secara lebih mendalam, adanya putusan yang berbeda terhadap terdakwa pada tingkat pengadilan berbeda (PN dan MA) dikarenakan perbedaan nalar hukum secara konseptual teoretis terhadap inti delik dan elemen delik dari Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor, yang berkaitan dengan inti Pasal 3 menyangkut 2 (dua) aspek yakni: 1)Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan., 2)dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

 

Ratio decidendi

Seperti penjelasan sebelumbnya bahwa di dalam putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg terdapat konstruksi hukum yang dibangun JPU dalam dua dakwaan yakni primair dan subsidair. Faktanya kedua dakwaan ini tidak terbukti dalam proses persidangan pada tingkat yang berbeda (PN dan MA), yang seharusnya berkonsekuensi pada tidak dipidananya terdakwa, namun nyatanya putusan MA adalah mempidanakan terdakwa. Oleh karena itu penulis menganalisis perbedan putusan tersebut sejalan dengan pandangan Christopher Enright yang membedah ratio decidendi dalam 3 (tiga) aspek yakni aturan hukum, aturan penentu dan aturan yang disengaja, yaitu Aturan Hukum (Legal rule), Atura Penentu (Deternative Rule), dan Aturan yang disengaja (Deliberated Rule).

Analisis penulis dari pertimbangan moral yakni sesuai fakta persidangan, meskipun terdakwa menerima Surat penunjukan Tanah Kapling yang menerima 1 (satu) bidang Kapling seluas 600 m2, namun terdakwa tidak pernah menguasai tanah tersebut. Kemudian ada kesadaran moral untuk mengembalikan tanah tersebut.  Kesadaran ini hadir dikarenakan sejak awal terdakwa tidak menghendaki diperolehnya tanah tersebut sekaligus tidak mampu mencegah pemberian tanah berdasarkan penunjukkan.  Kesadaran tersebut berdimensi sosial karena terdakwa menyadari nama-nama penerima tanah adalah pihak yang dipilih secara subyektif memiliki hubungan kedekatan dengan penunjuk, bukanlah secara objektif didasarkan pada perencanaan tata ruang, dimana penerima tanah adalah subyek yang tepat peruntukan pemanfaatanya sesuai Peraturan Daerah Kota Kupang  Nomor  12 Tahun 2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Kupang Tahun 2011–2031Jo Peraturan Daerah Kota Kupang No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang, bahwa pemanfaatan ruang di wilayah Kota Kupang berdaya guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kesadaran moral terdakwa mengembalikan tanah menunjukkan kewajiban batin menyangkut aturan kepantasan di dalam sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles tentang keadilan sebagai sosial etis. Moral memandu manusia untuk memilih jalan tengah antar dua ekstrim yang berlawanan. Sesuai kontek kasus penelitian ini, moral telah memandu terdakwa bersikap moderat, bahwa keadilan hukum identik dengan keadilan umum yang ditandai dengan pilihan terdakwa tidak menguntungkan diri sendiri, tetapi tidak juga mengutamakan pihak lain. Kesadaran mengembalikan tanah dan telah dihapus dari register didasarkan pertimbagan moral bahwa terdapat ketidakadilan di masyarakat karena pihak penerima tanah ditunjuk oleh penunjuk berdasarkan pertimbangan subyektif (kedekatan) telah mencederai keadilan dimasyarakat.

 

Penyertaan Pasal 55 KUHPidana Sebagai Pasal Berlapis Dalam Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap Terdakwa

Alasan Diterapkanya Pasal Berlapis Ditinjau Dari Aspek Keadilan Distributif

Terdakwa memiliki peran dalam konteks kasus karena menandatangani penerbitan sertifikat hak milik atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima tanah kapling, namun perlu dibuktikan apakah adanya kerjasama dengan pelaku lain yang merupakan inisiator dalam hal ini Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si sebagai pembuat surat penunjukan kapling tanah. Fakta sidang menunjukkan bahwa ada keterlibatan pihak-pihak berikut ini:

Saksi  Jonas Salean, S.H., M.Si-------Panitia A----------Terdakwa

Peran  Jonas Salean, S.H., M.Si adalah sebagai pembuat surat penunjukan kapling tanah. Kemudian Panitia A berperan melakukan pemeriksaan lapangan yang tidak dilakukan di lokasi masing-masing objek pemohon, tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan. Dalam Risalah Pemeriksaan Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas tanah pemohon sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal pada kenyataanya masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling yang dinyatakan sebagai miliknya tersebut, sehinga pada masing-masing kesimpulan Risalah pemeriksaan tanah A dinyatakan,  permohonan Hak Milik dari masing-masing pemohon tersebut telah memenuhi persyaratan baik persyaratan teknis, yuridis maupun administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam kesimpulan Risalah Pengelolaan Data disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah dapat dikabulkan.

Setelah menerima Risalah Pengelolaan Data, Terdakwa, selaku kepala Kantor Pertanahan dapat melakukan koreksi atau penolakan terhadap Risalah Pengelolaan Data tersebut karena dalam uraian telaahan atas objek hak pada bagian riwayat hak atas tanah disebutkan belum ada penetapan hak sebelumnya, padahal senyatanya tanah yang dimohonkan haknya tersebut termasuk dalam bidang tanah Sertifikat Hak Pakai No. 5 tahun 1981 Desa Kelapa Lima dan pada uraian data fisik disebutkan di atas tanah tersebut sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, karena disamping sebagai Kepala BPN Kota Kupang Terdakwa adalah juga salah satu penerima surat penunjukan tanah kapling yang menerima 1 (satu) bidang Kapling seluas 600 M2 yang tidak pernah menguasai tanah Kapling dimaksud serta tidak juga pernah membuat pagar batu pada bagian tanah Kapling miliknya tersebut. Terdakwa mengabaikannya dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data yang diajukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa.

Berdasarkan peran terdakwa menunjukkan ada pengabaian dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data yang diajukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa. Hal ini dinilai sebagai keikutsertaan Terdakwa dalam proses sehingga sesuai argumentasi keadilan distributif, terdakwa dinilai oleh majelis hakim di tingkat MA memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor dan dijatuhi pidana penjara dan denda. Argumentasi penulis sejalan dengan Moeljatno mengatakan bahwa ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Alasan sebelum seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah melakukan perbuatan pidana. Konsisten dengan pembahasan sebelumnya bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana, karena tidak didasari niat yang menghendaki diperolehnya tanah, namun tanah tersebut diberikan berdasarkan penunjukkan, bukan karena permintaan atau permohonan sebelumnya kepada penunjuk.

Analisis penulis bahwa, berdasarkan peran masing-masing pihak seharusnya para pihak selain terdakwa harus diterapkan pidana didasarkan teori keadilan distributif. Terhadap subyek yang ada di dalam Panitia A telah memenuhi syarat sebagai aktor karena berperan sesuai proporsinya. Hendaknya diterapkan pasal 55 KUHPidana dikarenakan nampak adanya sikap batin subyek di Panitia A untuk niat jahat. Hal ini ditunjukkan melakukan pemeriksaan lapangan yang tidak dilakukan di lokasi masing-masing objek pemohon, tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan. Ada upaya memperlancar niat yakni dalam Risalah Pemeriksaan Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas tanah pemohon sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal pada kenyataanya masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling yang dinyatakan sebagai miliknya tersebut, sehingga pada masing-masing kesimpulan Risalah pemeriksaan tanah A dinyatakan,  permohonan Hak Milik dari masing-masing pemohon tersebut telah memenuhi persyaratan baik persyaratan teknis, yuridis maupun administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam kesimpulan Risalah Pengelolaan Data disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah dapat dikabulkan.

Sementara itu, Peran  Jonas Salean, S.H., M.Si adalah sebagai aktor utama yakni sebagai inisiator dan pembuat surat penunjukan kapling tanah, termasuk penerima manfaat yakni sebagai subyek penerima tanah. Oleh karena itu, diterapkan pasal 55 KUHPidana dikarenakan nampak adanya sikap batin Jonas Salean, S.H., M.Si untuk niat jahat. Hal ini ditunjukkan dengan inisiatif berperan dari awal hingga terwujud keinginan berhasil memperoleh tanah dari hasil privatisasi. Selanjutnya berdasarkan teori keadilan Aristoteles, peran tersebut adalah sebagai aktor utama yang juga seharunya dipidana sesuai proporsinya.

 

Alasan Diterapkanya Pasal Berlapis Ditinjau Dari Aspek Keadilan Komutatif

Sesuai hasil penelitian bahwa meskipun Tomas More, SH berstatus terdakwa bersama saksi Jonas Salean, S.H., M.Si (berstatus terdakwa dalam Putusan Nomor39/Pid.Sus-TPK/2020/PNKpg), namun nyatanya terdapat perbedaan putusan di tingkat MA, ditampilkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2 Perbandingan Putusan Bagi Para Terdakwa ditingkat Pengadilan Berbeda

Terdakwa Tomas More, SH

Tedakwa Jonas Salean, S.H., M.Si

Putusan Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/

PN.Kpg

Putusan Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021

Putusan Nomor:39/Pid.Sus.TPK/2020/PNKpg

Putusan Nomor 2573K/Pid.Sus/2021

Bebas

Mengigat Pasal Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan: Mengabulkan permohonan  kasasi JPU dan mempidanakan terdakwa

Bebas

Mengigat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1)UU Tipikor, menyatakan:Menolak permohonan kasasi JPU dna membebaskan terdakwa

 

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa meskipun kedua terdakwa memiliki peran/ berperan sesuai proporsi dalam perkara, namun nyatanya pertimbangan hakim di tingkat MA berbeda terhadap kedua terdakwa tersebut.  Terhadap terdakwa Tomas More, SH dijatuhi pidana penjara dan denda, namun terdakwa Jonas Salean, S.H., M.Si dibebaskan.

Pengedepanan keadilan distributif sesuai konteks Pasal 55 KUHP, terlihat ketika terdakwa Tomas More, SH dipandang majelis hakim di tingkat MA sebagai pleger atau dader atau pelaku delik yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang baik unsur subyektif maupun obyektif, yang berproses sendiri menyelesaikan terjadinya delik. Sedangkan terdakwa Jonas Salean, S.H., M.Si tidak dianggap berperan dalam terjadinya delik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakadilan berdasarkan teori keadilan Aristoteles baik dari aspek keadilan distributif maupun komulatif. Seharusnya bertolak dari peran secara distributif, terdakwa Jonas Salean, S.H., M.Si terbukti sebagai inisiator yang melakukan penunjukkan pembagian tanah sebagai upaya privatisasi tanah milik negara/dikuasai negara hendaknya diposisikan sebagai pleger (yang melakukan)/ berinisitif, sedangkan Thomas More, SH diposisikan sebagai medepleger (orang yang turutserta) atau pembantuan (medeplichtige). Namun, pertimbangan hukum majelis hakim di tingkat MA tidak menyertakan Pasal 55 KUHPidana dalam konsideran mengingat sebagai bentuk penerapan Pasal berlapis, telah berakibat hukum pada lepasnya ikatan hubungan hukum para pelaku dalam menyuseskan privatisasi tanah sesuai konteks kasus penelitian ini (Suantra & Nurmawati, 2019).

Selanjutnya adanya perbedaan putusan pada tingkat pengadilan yang berbeda (PN dan MA) untuk kedua terdakwa menunjukkan bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya keliru dalam memaknai konstruksi hukum dakwan primair dan subsidair (di dalamnya terdapat esensi Pasal 55 KUHP sebagai Pasal berlapis). Kekeliruan ini menyangkut aspek pertimbangan subyektif dan objektif.  Secara subyektif sasaran putusan hanya terhadap Terdakwa Tomas More, SH didasarkan suatu kepentingan memberi efek jera bagi pejabat publik sehingga ada kemanfaatan di masyarakat dalam penilaian bahwa peradilan telah mampu menjerat pelaku penyalahgunaan kewenangan yang berdimensi tindak pidana korupsi. Secara langsung mengabaikan posisi Jonas Salean, S.H., M.Si yang juga pejabat publik dalam perananya yang lebih sempurna dari Terdakwa Tomas More, SH, karena berniat mendapat manfaat dari inisiatifnya melakukan penunjukkan pembagian tanah (Nurhafifah & Rahmiati, 2015).

Putusan yang demikian sangat bertentangan dengan kriteria objektif yakni kepentingan bagi masyarakat dan segi hak asasi manusia. Sesuai penjelasan sebelumnya bahwa dengan dipidana atau tidak dipidannya terdakwa Thomas More, SH sejatinya tidak memberi manfaat bagi masyarakat dan rasa keadilan, karena tidak merubah status penguasaan/kepemilikan tanah yang terlanjur di privatisasi, melalui proses penunjukkan yang subyektif. Nuansa keadilan menurut majelis hakim di peradilan dengan memutus mempidanakan terdakwa, akan berbeda dirasakan masyarakat. Masyarakat akan tetap menilai bahwa hukum hanya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum hanya menjadi legitimasi dan berpihak pada penguasa menguasai tanah atau memprivatisasinya bagi sebagian kalangan (Nim, n.d.).

Secara kritis, dari hasil penelitian penulis menemukan adanya ketidaksempurnaan penerapan Pasal 55 KUHPidana sebagai Pasal berlapis dalam kasus penelitian ini, karena konstruksi Pasal 55 KUHPidana ditingkat PN-MA hanya merujuk pada ayat (1) dan tidak memasukan ayat (2). Jika dicermati kasus secara runtut dan mendalam maka ditemukan esensi Pasal 55 ayat (2) KUHPidana karena ditemukan adanya peran pengasut. Analisis penulis Pasal 55 ayat (2) KUHPidana akan memperkuat konstruksi hukum dakwaan untuk menjerat pelaku. Pasal 55 ayat (2) KUHPidana mengatur penanggungjawab penghasut untuk melakukan suatu tindak pidana, dengan upaya-upaya yang sudah ditentukan oleh undang-undang (limitatif) (Rongiyati, 2016). Upaya limitatif dimaksud adalah diantaranya penyalahgunaan wewenang, dengan cara memberi kesempatan, sarana atau informasi sengaja menganjurkan atau membujuk (dilakukannya) suatu tindak pidana akan dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Menurut penulis hal ini sesuai dengan peran Jonas Salean, S.H., M.Si yang melakukan perbuatan penetapan penunjukkan tanah bermuatan wewenang sebagai Waikota, memberi kesempatan, sarana atau informasi sengaja menganjurkan penunjukkan tanah tersebut yang pada akhirnya sampai kepada Thomas More, SH sebagai Kepala Kantor Pertanahan (Alfitra, 2011).

Analisis penulis didasarkan pada pandangan Rummelink yang berpendapat bahwa ihwal dari uitlokker bukan adanya orang yang terbujuk untuk melakukan tindak pidana, melainkan bahwa tindak pidana tersebut terjadi karena anjuran atau bujukan orang lain, objeknya bukan (semata-mata) orang yang terbujuk (terprovokasi), tetapi juga tindak pidana yang diprovokasikan. Ada 4 (empat) syarat yang menurut penulis telah memenuhi kriteria pembunjukan yang dapat diancam pidana, yaitu :

a.    kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindakan yang dilarang undang-undang (UU) dengan bantuan sarana yang ditetapkan UU;

b.    keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan. Syarat ini berkenan dengan kausalitas psikis;

c.    orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya melakukan percobaan ke arah itu. Itikad buruk penggerak saja tidaklah cukup, upayannya itu haruslah terwujud secara nyata ke dalam perbuatan;

d.    orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai tanggungjawab pidana, bila tidak maka tidak muncul pembujukan melainkan upaya menyuruh melakukan (doenplegen).

 

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan penelitian ini adalah Terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, karena: perbedaan penafsiran majelis hakim tentang unsur delik di dalam UU Tipikor. Penafsiran majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri Kupang memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 saling berkaitan tidak berdiri sendiri, sedangkan interpertasi Majelis Hakim di tingkat MA memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 dapat berdiri sendiri.

Pasal 55 KUHPidana tidak sempurna disertakan sebagai konstruksi Pasal berlapis terhadap terdakwa dalam pertimbangan hukum majelis hakim baik di tingkat Pengadilan Negeri Kupang maupun di tingkat pengadilan MA.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfitra, S. H. (2011). Hukum pembuktian dalam beracara pidana, perdata, dan korupsi di Indonesia. RAIH ASA SUKSES.

Eddy, O. S. (2012). Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian. Erlangga, Jakarta.

Effendi, T. (2017). Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana.

Harefa, N. S. K., Manik, G. K., Marpaung, I. K. Y., & Batubara, S. A. (2020). Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS): Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 73/Pid. Sus-TPK/2018/PN. Mdn. SIGn Jurnal Hukum, 2(1), 30–42.

Indonesia, P. R. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Kupang, P. K. (2011). Review Rencana Umum Tata Ruang Kota Kupang. Dinas Perumahan Rakyat Dan Tata Ruang Kota Kupang. Kupang.

Nim, N. C. P. (n.d.). Analisa Hukum Pertimbangan Hakim Menolak Bukti Elektronik Sebagai Salah Satu Dasar Memutus Perkara Perceraian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor 0074/Pdt. G/2016/Pa. Tnk). Jurnal Fatwa Hukum, 4(2).

Nurhafifah, N., & Rahmiati, R. (2015). Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terkait Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan Putusan. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 17(2), 341–362.

Pasmatuti, D. (2019). Perkembangan Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum Positif Di Indonesia. Ensiklopedia Social Review, 1(1).

Pekan, E. (2019). Kajian Hukum Terhadap Wewenang Penuntut Umum Membuat Surat Dakwaan Berdasarkan Pasal 14 Huruf D KUHAP. Lex Crimen, 7(9).

Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim: dalam perspektif hukum progresif. Sinar Grafika.

Rogahang, M. (2012). Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana. Lex Crimen, 1(4).

Rongiyati, S. (2016). Pemanfaatan Hak Pengelolaan Atas Tanah Oleh Pihak Ketiga (Land Use Rights Management By A Third Party). Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 5(1), 77–89.

Suantra, I. N., & Nurmawati, M. (2019). Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran atas Ketentuan Perizinan Toko Swalayan di Wilayah Provinsi Bali. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 8(2), 188–206.

Triyanto, G. (2017). Ratio Legis Perbedaan Rumusan Delik Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. JURNAL RECHTENS, 6(1), 46–65.

 

 

 

 

 

 

 

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.