JURNAL SOSIAL DAN SAINS VOLUME 3 NOMOR
5 2023 P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X |
||
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM TENTANG PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA
TINGKAT PENGADILAN YANG BERBEDA � Maria Fatima More,
Jimmy Pello, Aksi
Sinurat Universitas Nusa
Cendana Email : mariafatimamore@gmail.com, jimmypello@gmail.com, aksi sinurat@gmail.com |
||
Kata kunci: korupsi; pertimbangan hukum; putusan hakim;
tingkat pengadilan berbeda Keywords: corruption; legal considerations; judge's decision;
different court levels |
ABSTRAK Latar Belakang : Di permasalahan hukum
dalam penelitian ini ditunjukkan dari aspek teoretis, yuridis dan konkret.
Secara teoretis dan yuridis elemen unsur materi muatan Pasal 2, Pasal 3 UU
Tipikor jo Pasal 55 KUHPidana tidak dimengerti secara sempurna oleh hakim
sebagai penegak hukum sehingga pada interpertasi dan penerapanya sebagai
pasal berlapis berbeda pada tingkat pengadilan negeri dan mahkamah agung.
Selanjutnya permasalahan konkrit dalam konteks kasus penelitian ini yakni
hakim dalam pertimbangan hukumnya melahirkan putusan yang membebaskan Jonas Salean, S.H., M.Si
selaku Walikota Kupang dan menghukum Thomas More, S.H selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang meskipun sesungguhnya ada
kerjasama yang utuh dalam
konteks kerja sama penyertaan antara keduanya dalam kaitannya
dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando. Tujuan : Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: 1) alasan terdakwa
diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA
melalui Putusan MA RI Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021., 2)penyertaan Pasal 55 KUHPidana sebagai pasal berlapis dalam pertimbangan
hukum majelis hakim terhadap terdakwa. Metode : Metode
penelitian ini terdiri dari jenis dan sifat penelitian, aspek penelitian,
pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum,
teknik pengolahan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum. Penelitian ini termasuk
dalam jenis penelitian hukum normatif (legal
research) yang mengkaji permasalahan
tindak pidana korupsi melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG dijatuhkan putusan yang
berbeda oleh majelis hakim pada tingkat pengadilan yang berbeda. Hasil : The results of the study show that: 1) the defendant was acquitted at the
Kupang District Court level through decision Number:
40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the Supreme Court level
through Supreme Court Decision Number: 2451 K/Pid .Sus/2021, because:
differences in the interpretation of the panel of judges regarding the
elements of offense in the Corruption Law. The interpretation of the panel of
judges at the Kupang District Court level views that the elements of the
offenses Articles 2 and 3 are interrelated and do not stand alone, while the
interpretation of the Panel of Judges at the Supreme Court level views that
the elements of the offenses Articles 2 and 3 can stand alone. 2) Article 55
of the Criminal Code is imperfectly included as a construction Multiple
articles against the defendant in the legal considerations of the panel of
judges both at the District Court level and at the Supreme Court level. Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah Terdakwa diputus bebas
pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA
melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, karena: perbedaan penafsiran majelis hakim tentang unsur
delik di dalam UU Tipikor. Penafsiran majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri Kupang memandang unsur delik Pasal
2 dan 3 saling berkaitan tidak berdiri sendiri,
sedangkan interpertasi Majelis Hakim di tingkat MA memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 dapat berdiri sendiri. ABSTRACT Background: The
legal issues in this study are shown from theoretical, juridical and concrete
aspects. Theoretically and juridically, the elements of the material content
of Article 2, Article 3 of the Corruption Law in conjunction with Article 55
of the Criminal Code are not perfectly understood by judges as law enforcers
so that the interpretation and application of them as multi-layered articles
is different at the district court and supreme court levels. Furthermore, the
concrete problem in the context of this research case is that the judge in
his legal considerations issued a decision that acquitted Jonas Salean, S.H.,
M.Sc as the Mayor of Kupang and sentenced Thomas More, S.H as the Head of the
Kupang City Land Office even though in fact there was complete cooperation in
the context of cooperation participation between the two in relation to the
transfer of ownership of the land in front of the Sasando Hotel. Purpose: The
purpose of this study was to find out and analyze: 1) the reasons for the
defendant being acquitted at the Kupang District Court level Number:
40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but were sentenced to a criminal sentence at the
Supreme Court level through the Supreme Court Decision Number :2451
K/Pid.Sus/2021., 2) the inclusion of Article 55 of the Criminal Code as a
layered article in the legal considerations of the panel of judges against
the defendant. Method: This
study uses normative legal research methods. This research method consists of
the type and nature of research, research aspects, research approaches, legal
material sources, legal material collection techniques, legal material
processing techniques and legal material analysis techniques. This research
is included in the type of normative legal research (legal research) which
examines the problem of criminal acts of corruption through Decision Number:
40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG which rendered different decisions by a panel of
judges at different court levels. Results: The results of the study
show that: 1) the defendant was acquitted at the Kupang District Court level
through decision Number: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the
Supreme Court level through Supreme Court Decision Number: 2451 K
/Pid.Sus/2021, because: differences in the interpretation of the panel of
judges regarding the elements of offense in the Corruption Law. The
interpretation of the panel of judges at the Kupang District Court level
views that the elements of the offenses Articles 2 and 3 are interrelated and
do not stand alone, while the interpretation of the Panel of Judges at the
Supreme Court level views that the elements of the offenses Articles 2 and 3
can stand alone. 2) Article 55 of the Criminal Code is imperfectly included
as a construction Multiple articles against the defendant in the legal
considerations of the panel of judges both at the District Court level and at
the Supreme Court level. Suggestions from this study are that education and
training are needed in order to increase judges' understanding of ratio
deciendi theory, legal interpretation, and ratio legis for the formation of
Articles 2 and 3 of the Corruption Law in conjunction with Article 55 of the
Criminal Code, so that it has implications for the quality of judge's
decisions. Conclusion: The conclusion of this study is that the defendant
was acquitted at the Kupang District Court level Number:
40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, but was sentenced at the Supreme Court level
through the RI Supreme Court Decision Number: 2451 K/Pid.Sus/ 2021, because:
differences in the interpretation of the panel of judges regarding the
elements of offense in the Corruption Law. The interpretation of the panel of
judges at the Kupang District Court level views that the elements of the
offenses in Articles 2 and 3 are interrelated and do not stand alone, while
the interpretation of the Panel of Judges at the Supreme Court level views
that the elements of the offenses in Articles 2 and 3 can stand alone. |
|
PENDAHULUAN
Korupsi dalam arti
hukum didefinisikan sebagai tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri
sendiri dengan merugikan orang lain (Pasmatuti, 2019). Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
mencantumkan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindakan korupsi
jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) setiap orang atau korporasi 2)
melawan hukum, 3) memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
4)dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sementara itu,
apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dilakukan korupsi
dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan korupsi (Rifai, 2010).
Salah satu
permasalahan hukum yang menarik untuk dikaji kaitanya dengan pertimbangan hukum hakim, yakni
dilihat pada putusan Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor:40/Pid.sus Tpk/2020/PN.Kpg tanggal 17 Maret 2021. Putusan ini lahir dengan suatu pertimbangan hukum majelis hakim terhadap unsur setiap orang, secara
melawan hukum, sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan, serta unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan (Pekan,
2019).
Bertolak dari
gambaran proses penegakan hukum di atas, ditemukan adanya permasalahan hukum
secara yuridis dan teoretis. Secara yuridis permasalahan terletak pada
penerapan Pasal yang tidak terbukti bagi terdakwa Tomas More, SH ditingkat Pengadilan Negeri Kupang,
melalui putusan� Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg tanggal 17 Maret
2021 yakni penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, pada
tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal
13 Januari 2022, dengan mengingat Pasal 3, Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan putusan
sebelumnya dibatalkan, membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan menyatakan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi, serta menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda
sebesar lima puluh juta rupiah.
Permasalahan hukum
yang konkrit dalam konteks kasus penelitian ini yakni hakim sebagai aparatur
peradilan dalam pertimbangan hukumnya melahirkan putusan yang membebaskan Jonas Salean dan menghukum Thomas More, meskipun sesungguhnya ada kerjasama yang utuh dalam
konteks kerja sama penyertaan antara Terdakwa (Tomas More, S.H) selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota
Kupang bersama-sama dengan Saksi Jonas Salean selaku Walikota Kupang dalam
kaitannya dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando. Kerja sama
dimulai dari adanya pertemuan pada tahun 2016 antara Saksi Jonas Salean dengan
Sumral Buru Manoe (alm) selaku Kepala kantor Pertanahan Kota Kupang yang
menjabat saat itu, yang membahas tanah depan Hotel Sasando sehingga
dilakukannya pengukuran dan pembuatan peta bidang oleh bagian tata pemerintahan
Kota Kupang Bersama dengan pihak kantor Pertanahan Kota Kupang, selanjutnya
dibuatkannya surat penunjukan tanah Kapling kepada 40 orang penerima oleh Saksi
Jonas Salean. Hal ini dapat dimengerti bahwa ada hubungan hukum antara Jonas
Salean yang merupakan urheber (yang
melakukan inisiatif) dengan Sumral Buru Manoe (alm) serta Thomas More (sebagai
peserta).
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian hukum. Salah satu
metode untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum majelis hakim yaitu
melalui penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaaan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui dan menganalisis alasan
terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang
Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA
melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021. Untuk mengetahui dan menganalisis
penyertaan Pasal 55 KUHPidana
sebagai pasal berlapis dalam pertimbangan hukum majelis hakim terhadap terdakwa. Adapun manfaat dari
penelitian ini yaitu memberikan kontribusi di dalam pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pidana terkait pertimbangan hukum majelis hakim dalam
memberikan putusan terhadap tindak pidana korupsi pada tingkat pengadilan yang
berbeda. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan dan referensi akademisi
untuk penelitian selanjutnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran berupa rekomendasi dan wacana.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum
normatif (legal research) yang
mengkaji permasalahan tindak pidana korupsi melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG dijatuhkan putusan yang berbeda oleh
majelis hakim pada tingkat pengadilan yang berbeda. Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya
yang normatif, praktis dan preskriptif, mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum�. Oleh karena itu, penelitian
yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas
hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat
deskriptif (descriptive research)
yaitu kajian yang berusaha menggambarkan dengan sistematis dan cermat terhadap
permasalahan.
Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini yakni
Alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021. Indikatornya Pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Nomor:40/Pid.sus
TPK/2020/PN.KPG tanggal 17 Maret 2021, Pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan
Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2021, dan Pertimbangan
hukum majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022.
Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (case
Approach).
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif berupa Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan
penelitian yang dilakukan. Sumber Bahan Hukum Sekunder berupa pendapat
para ahli yang didapat dari berbagai literatur baik dari buku-buku, tesis,
disertasi, jurnal dan berbagai karya ilmiah lainya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Sumber Bahan Hukum Tersier berupa kamus
istilah, kamus istilah hukum, kamus bahasa asing, ensiklopedia, dll.
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini adalah
studi kepustakaan (Library Research) yaitu pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas
serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan
untuk memperoleh bahan hukum dengan melakukan serangkaian kegiatan studi
dokumen dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji
Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas
dan Putusan hakim tentang permasalahan yang dibahas.
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
Kasus
posisi dalam penelitian ini mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Klas IA Kupang Nomor:40/Pid.sus Tpk/2020/PN.Kpg, sebagai berikut:
Terdakwa Tomas More, SH diajukan ke persidangan dengan dakwaan Primair: Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1)
Ke-1 KUHPidana. Sementara itu,� Subsidair: Pasal 3 Jo.
Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55
Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.
Terlihat ada kerjasama yang erat atau setidak-tidaknya
saling pengertian antara Terdakwa� (Tomas
More, S.H) Selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang bersama-sama dengan
Saksi Jonas Salean selaku Walikota Kupang dalam kaitannya dengan pengalihan
kepemilikan tanah depan Hotel Sasando, dimulai dari adanya pertemuan pada tahun
2016 antara Saksi Jonas Salean dengan Sumral Buru Manoe (alm) selaku Kepala
kantor Pertanahan Kota Kupang yang menjabat saat itu, yang diantaranya membahas
tanah depan Hotel Sasando tersebut, dilakukannya pengukuran dan pembuatan peta
bidang oleh bagian tata pemerintahan Kota Kupang bersama dengan pihak kantor
Pertanahan Kota Kupang, dibuatkannya surat penunjukan tanah Kapling kepada 40
orang penerima oleh Saksi Jonas Salean, termasuk Terdakwa Thomas More yang
mendapatkan satu bagian Kapling yang namanya direkomendasikan sebagai penerima
tanah Kapling oleh Sumral Buru Manoe (alm), diajukannya permohonan
pensertifikatan oleh masing-masing penerima tanah Kapling kepada kantor
pertanahan Kota Kupang dengan alas hak surat penunjukan tanah Kapling yang
dikeluarkan Saksi Jonas Salean, dilakukannya pemeriksaan Panitia A atas alas
hak baik data yuridis maupun data fisik, pemeriksaan lapangan serta melakukan
sidang Panitia A; dibuatkannya Risalah pengolahan data sampai kemudian Risalah
pengolahan data tersebut disetujui Terdakwa Thomas More dengan dikeluarkanya
Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing pemohon hingga
kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor pertanahan Kota
Kupang yang di tandatangani Terdakwa Thomas More atas nama masing-masing
penerima Surat penunjukan tanah Kapling, sehingga mengakibatkan terjadinya
kerugian keuangan negara sebagaimana telah diuraikan dalam pembuktian
unsur-unsur sebelumnya, dimana Terdakwa
di kualifikasi sebagai yang turut serta melakukan tindak pidana. Sesuai fakta persidangan dan pembuktian
unsur-unsur sebelumnya, dari kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 4.974.101.415,00 (empat milyar sembilan
ratus tujuh puluh empat juta empat ratus lima belas rupiah) adalah telah
memperkaya Sumral Buru Manoe, S.H., (alm) sebesar� Rp.1.658.033.805,00
(satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu delapan
ratus lima rupiah), Johanis Jonathan Lay sebesar� Rp.1.658.033.805,00
(satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga puluh tiga ribu delapan
ratus lima rupiah)� dan Maria Lay
sebesar� Rp1.658.033.805,00 (satu milyar enam ratus lima puluh delapan juta tiga
puluh tiga ribu delapan ratus lima rupiah), sehingga mereka tersebutlah
yang telah memperoleh harta benda dari tindak pidana korupsi, akibat beralihnya
kepemilikan tanah depan Hotel Sasando seluas 1.500 M2 (seribu lima
ratus) meter persegi dari Pemerintah Kota Kupang kepada Sumral Buru Manoe,S.H.,
Johanis Jonathan Lay dan Maria Lay, yang selanjutnya� tanah tersebut dipindahtangankan kepada pihak
ketiga melalui proses jual-beli, sementara Terdakwa sendiri tidak mendapatkan
perolehan kekayaan dan perolehan harta benda apapun dari tindak pidana
korupsinya, maka berdasarakan ketentuan
Pasal� 18 ayat (1) huruf b Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kepada Terdakwa tidak dibebani untuk
membayar uang pengganti� kerugian
keuangan Negara.
Berdasarkan
kasus posisi yang ditampilkan di atas maka selanjutnya penulis menjawab dan
menganalisis pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
Alasan Terdakwa Diputus Bebas Pada
Tingkat
Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg,
Namun Dijatuhi Pidana Pada Tingkat Pengadilan MA Melalui Putusan MA
RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada
tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 karena
adanya perbedaan pertimbangan hukum antara majelis hakim ditingkat Pengadilan
Negeri dengan Pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan
Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI tanggal 29 Maret 2021, kemudian kasasi
tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung, yang secara langsung menjadi
pertimbangan hukum majelis hakim di tingkat Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
lahirlah Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451
K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022 yang berbeda dengan putusan Pengadilan
Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg.
Secara spesifik penulis
menampilkan alasan
terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri, namun dijatuhi pidana pada
tingkat pengadilan MA karena
perbedaan pertimbangan hukum
majelis hakim mengenai beberapa aspek yang
ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 1 Perbedaan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim di Tingkat Pengadilan
Berbeda
No. |
Tingkat Pengadilan Berbeda |
||
Pertimbangan
hukum majelis hakim Pendadilan� Negeri Kupang melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus
TPK/2020/PN.KPG tanggal 17 Maret 2021 |
Pertimbangan hukum Jaksa
Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA RI
tanggal 29 Maret 2021 |
Pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung melalui Putusan
MA RI
Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 |
|
1. |
Terdakwa tidak menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan |
Argumentasi |
Terdakwa
menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. |
2. |
Dakwaan Primair
dan Sekunder tidak terbukti |
Alasan-Alasan: 1. Judex Factie telah salah menerapkan
hukum dalam unsur melawan hukum 2. Judex Factie (Hakim Ketua Dan Hakim
Anggota I) tidak menerapkan hukum sebagaimana
mestinya khususnya
dalam hukum pembuktian 3. Judex Factie telah salah dalam
menerapkan hukum terkait dengan pembuktian unsur menyalahgunakan kewenangan 4. Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang 5. Judex Factie
tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya terkait dengan status barang bukti |
Dakwaan Primair tidak terbukti Dakwaan Subsidair terbukti |
Uraian mengenai perbedaan
pertimbangan hukum
majelis hakim di tingkat pengadilan
berbeda terhadap aspek-aspek yang ditampilkan pada tabel di atas, adalah
sebagai berikut:
Pertimbangan
Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Nomor:40/Pid.sus
TPK/2020/PN.KPG
Hasil
penelitian ditemukan bahwa pertimbangan hukum majelis hakim dalam
Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG
didasari pada konstruksi Pasal-Pasal
yang berbeda dalam tiap kategori dakwaan. Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana masuk
dalam kategori dakwaan primair. Sementara itu, Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana masuk dalam kategori
dakwaan subsidair (Eddy, 2012).
Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Unsur-Unsur Pasal
Dakwaan Primair����
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur Pasal dalam dakwaan primair adalah sebagai berikut:
Unsur setiap orang
Interpertasi majelis hakim
terhadap unsur setiap orang didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu setiap
orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi yang kepadanya dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana.
�Merujuk pada ketentuan di atas interpertasi
hakim terhadap kasus dalam penelitian ini yakni, pengertian setiap orang yang
termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sifatnya
umum yaitu apakah pelaku tindak pidana korupsi sebagai pegawai negeri
sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
atau bukan pegawai negeri. unsur setiap orang tersebut yang sifatnya umum
secara yuridis mengandung pengertian bahwa yang menjadi subyek hukum dalam
tindak pidana adalah orang atau person yaitu siapa saja baik perseorangan,
pegawai negeri, pejabat publik, pejabat negara maupun swasta sebagai subyek
hukum yang telah melakukan suatu tindak pidana selama ia mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam arti pada dirinya tidak dijumpai
alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat meniadakan kesalahannya (Suantra &
Nurmawati, 2019).
Unsur secara melawan
hukum
Hasil penelitin ini
ditemukan bahwa interpertasi majelis hakim terhadap unsur secara melawan hukum
didasarkan pada penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Interpertasi hakim juga merujuk
pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusannya Nomor 003/PUU-IV/2006
tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sepanjang frasa yang berbunyi �Yang dimaksud dengan secara melawan hukum� dalam
pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan arti materil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana� dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Unsur
sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan.
Hasil
penelitian ditemukan bahwa Terdakwa didakwa
secara bersama-sama atau turut serta dengan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si.
melakukan tindak pidana yang didakwakan, yaitu perbuatan mengalihkan tanah yang
terletakdi depan hotel Sasando di Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan
luas sekitar 20.068 M2 (dua puluh ribu enam puluh delapan meter
persegi) yang dilakukan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dengan cara
memberikan surat penunjukan kapling kepada 40 (empat puluh) orang penerimanya
pada tahun 2016, termasuk Terdakwa dan perbuatan Terdakwa menerbitkan
sertifikat hak milik atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima
tanah kapling tersebut yang dilakukan dengan cara yang tidak benar atau
melanggar ketentuan.
Pertimbangan
Majelis Hakim Terhadap Unsur-Unsur Pasal Dakwaan Subsidair
Hasil penelitian
ditemukan bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti, selanjutnya
pertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu Pasal 3, Jo. Pasal 18� Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah unsur setiap orang dan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Perbuatan
dan ketentuan hukum yang didakwakan kepada Terdakwa sebagai perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dalam dakwaan Penuntut Umum adalah sama dengan perbuatan
yang didakwakan dalam dakwan primair, yaitu perbuatan Terdakwa didakwa secara
bersama-sama atau turut serta dengan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. melakukan
tindak pidana yang didakwakan, yaitu perbuatan mengalihkan tanah yang terletak
di depan hotel Sasando di Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang dengan luas
sekitar 20.068 M2 (dua puluh ribu enam puluh delapan meter persegi)
yang dilakukan oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dengan cara memberikan
surat penunjukan kapling kepada 40 (empat puluh) orang penerimanya pada tahun
2016, termasuk Terdakwa dan perbuatan Terdakwa menerbitkan sertifikat hak milik
atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima tanah kapling
tersebut yang dilakukan dengan cara yang tidak benar atau melanggar ketentuan.
Setelah
para penerima tanah Kapling, menerima Surat penunjukan tanah Kapling, Saksi
Max. D. Bunganawa menawarkan bantuan untuk membantu proses pengurusan
Sertifikat Hak Milik ke BPN melalui Bagian Tata Pemerintahan, sementara Saksi
Jonas Salean, S.H., M.Si. dan keluarganya, para pegawai BPN dan suami-istri
Johanes Jonathan Lay dan Maria Lay, yang menerima Surat penunjukan tanah
Kapling mengurus sendiri pensertifikatannya ke BPN Kota Kupang.
Alas
hak yang diajukan untuk pengurusan sertifikat Hak Milik dari masing-masing
pemohon tersebut adalah Surat penunjukan tanah Kapling yang ditandatangani
Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. bersama masing-masing penerima tanah Kapling. Kemudian setelah Badan Pertanahan
Nasional Kota Kupang menerima permohonan pensertifikatan Hak Milik dari
masing-masing penerima tanah Kapling selanjutnya Saksi Eksam Sodak selaku Ketua
Tim Ajudikasi tanah, Saksi Melanton Natti selaku Kepala Seksi pengukuran selaku
Anggota dan Saksi CH. Mudasih selaku Sekretaris Tim Ajudikasi melakukan
pemeriksaan atas alas hak baik data yuridis maupun data fisik, pemeriksaan
lapangan serta melakukan sidang Panitia A. Terhadap pemeriksaan lapangan,
Panitia A tidak melakukan pemeriksaan di lokasi masing-masing objek pemohon,
tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk
selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan.
Di dalam Risalah Pemeriksaan
Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas tanah pemohon sudah
ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal pada kenyataanya
masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling yang dinyatakan
sebagai miliknya tersebut, sehinga pada masing-masing kesimpulan Risalah pemeriksaan
tanah A dinyatakan,� permohonan Hak Milik
dari masing-masing pemohon tersebut telah memenuhi persyaratan baik persyaratan
teknis, yuridis maupun administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan, sehingga dalam kesimpulan Risalah Pengelolaan
Data disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah dapat dikabulkan.
Setelah menerima Risalah
Pengelolaan Data, seharusnya Terdakwa, selaku kepala Kantor Pertanahan dapat
melakukan koreksi atau penolakan terhadap Risalah Pengelolaan Data tersebut
karena dalam uraian telaahan atas objek hak pada bagian riwayat hak atas tanah
disebutkan belum ada penetapan hak sebelumnya, padahal senyatanya tanah yang
dimohonkan haknya tersebut termasuk dalam bidang tanah Sertifikat Hak Pakai No.
5 Tahun 1981 Desa Kelapa Lima dan pada uraian data fisik disebutkan di atas
tanah tersebut sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, karena
disamping sebagai Kepala BPN Kota Kupang Terdakwa adalah juga salah satu
penerima surat penunjukan tanah kapling yang menerima 1 (satu) bidang Kapling
seluas 600 M2 yang tidak pernah menguasai tanah Kapling dimaksud
serta tidak juga pernah membuat pagar batu pada bagian tanah Kapling miliknya
tersebut.
Atas fakta tersebut Terdakwa
mengabaikannya dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data
yang diajukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada
masing-masing pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik
oleh Kantor Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa.
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa oleh karena tanah yang dibagikan oleh Saksi
Jonas Salean, S.H., M.Si. dan diterima oleh Terdakwa statusnya bukanlah tanah milik Pemerintah Kota Kupang, maka tidak
terbukti Terdakwa dan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. mengalihkan tanah milik
daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Kupang, sehingga perbuatan yang dilakukan
oleh Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si. dan Terdakwa tersebut tidak ada pelanggaran terhadap
ketentutan-ketentuan tentang pengelolaan barang milik negara maupun daerah,
dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah Jo.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 19 Tahun
2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, maupun UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah ataupun melanggar terhadap aturan yang menjadi
dasar kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ataupun
memiliki maksud menyimpang dari kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan karena Terdakwa dan Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si tidak pernah
mengalihkan tanah milik Pemerintah Kota Kupang, sehingga dengan demikian dalam
perbuatan Terdakwa yang menerima tanah yang dibagikan oleh Saksi Jonas Salean,
S.H., M.Si. tersebut dan perbuatan lanjutan dari peralihan hak ini, yaitu
penerbitan sertifikat atas tanah tersebut yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah
perbuatan mengalihkan hak atas tanah yang dilakukan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang didakwakan kepada Terdakwa dengan dasar peraturan
periundang-undangan tersebut di atas tidak terpenuhi (Effendi, 2017).
Berdasarkan seluruh pertimbangan
tersebut di atas, maka unsur �menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan� tidak terpenuhi. Oleh
karena salah satu unsur dari tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan
subsidair tidak terpenuhi, maka unsur selebihnya tidak dipertimbangkan lagi dan
dikesampingkan. Adanya salah
satu unsur dari Pasal
3, Jo. Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHP tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan subsidair, sehingga Terdakwa haruslah
dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Akibat
hukum dari tidak terbuktinya
terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan Primair dan Subsidair, maka sesuai putusan pengadilan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG
Terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan penuntut umum, memerintahkan Terdakwa
segera dibebaskan dari tahanan dan memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan, harkat serta martabatnya.
Pertimbangan
Hukum Penuntut Umum dalam Kasasi Kejaksaan Negeri Kota Kupang kepada Ketua MA
RI tanggal 29 Maret 2018
Pandangan
penuntut umum bahwa Judex Factie
tidak secara bulat mengambil putusan, dimana Hakim Anggota II Ibnu Kholik,
S.H., M.H berbeda pendapat (Dissenting
Opinion/DO) terhadap pertimbangan Hakim Ketua dan Hakim Anggota I (Triyanto, 2017). Penuntut Umum dalam
perkara ini sependapat dengan pertimbangan Hakim Anggota II Ibnu Kholik, S.H.,
M.H yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan terbuktinya dakwaan Primair
Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55
Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, namun Penuntut Umum tidak sependapat dengan
pertimbangan Hakim Ketua, Ari Prabowo, S.H dan Hakim Anggota I, Ngguli Liwar
Mbani Awang, S.H., M.H dalam putusannya yang menyatakan bahwa perbuatan
terdakwa baik dalam dakwaan Primair maupun dakwaan Subsidiair tidak terbukti (Kupang, 2011).
Menurut
penuntut umum, Judex Factie
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA yang
telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam
memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan dengan
alasan kurang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh/tidak cermat dalam
putusannya karena Judex Factie Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA berpendapat bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Tomas More, SH bersama saksi Jonas Salean, S.H., M.Si adalah
bukan merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat
(1) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bukan sebagai perbuatan penyalahgunaan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi� adalah tidak tepat karena Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA telah menerapkan hukum akan
tetapi tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan telah mengesampingkan
hukum pembuktian dengan tidak mempertimbangkan alat-alat bukti dan kekuatan
pembuktian yang diperoleh didalam persidangan serta tidak secara lengkap
memasukan fakta hukum tentang pelanggaran dan kesalahan terdakwa dalam
pertimbangan putusan yang kemudian mengambil�
kesimpulan� hukum menyatakan bahwa
perbuatan terdakwa tidak terbukti sebagai perbuatan melawan hukum dan juga
tidak terbukti sebagai perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tidak terpenuhi (Harefa et al., 2020).
Mencermati
putusan Judex Factie Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA Nomor :
40/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Kpg tanggal 17 Maret 2021, bukanlah putusan bebas murni (vrijspraak) karena putusan
bebas itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap unsur perbuatan
melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan (Rogahang, 2012).
Judex Factie
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA yang
telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam
memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
Judex
Factie Telah Salah Menerapkan Hukum Dalam Unsur Melawan Hukum
Merujuk
pada pertimbangan Judex Factie (Hakim
Ketua dan Hakim Anggota I) sebagaimana dalam pertimbangan putusannya bahwa
tanah yang dibagikan oleh saksi Jonas Salean, SH., M.Si bukan sebagai aset
Pemerintah Kota Kupang melainkan sudah menjadi tanah negara, pertimbangan Judex factie tersebut sangatlah keliru
sebab sejak keluarnya UU RI Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya
Daerah Tingkat II Kupang, dimana dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa
wilayah kotamadya daerah tingkat II Kupang meliputi Kota Administratif Kupang
sehingga tanah diatas SHP 5 Tahun 1981 yang masih melekat pemegang hak atas
nama Pemerintah Derah/Kota Administratip Kupang serta merta masih menjadi milik
Pemerintah Kota Kupang,� seharusnya pada
saat menjabat sebagai Walikota Kupang seharusnya mengamankan/menyelamatkan
tanah tersebut menjadi asset/kekayaan Pemerintah Kotamadya Kupang, namun
justeru� terdakwa Jonas Salean, S.H.,
M.Si secara tanpa hak dan melawan hukum membagikan tanah kepada dirinya sendiri
(Jonas Salean, SH.,M.Si), keluarga, dan pihak lainnya pada tahun 2016 dan 2017
dan juga kepada terdakwa Tomas More, SH Selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota
Kupang karena kewenangan untuk memberikan pemanfaatan tanah negara adalah
Menteri terkait melalui Kepala Kantor Wilayah Pertanahan, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota (Indonesia, 2009).
Judex
Factie (Hakim Ketua Dan Hakim Anggota I) Tidak Menerapkan Hukum Sebagaimana Mestinya Khususnya Dalam Hukum Pembuktian
Terhadap
dokumen yang dihadirkan tersebut juga bersesuaian dengan keterangan saksi
Yanuar Dally, SH., M.Si selaku Mantan Kepala Bagian Pemerintahan Kota Kupang,
saksi Max D Bunganawa, SH selaku Kepala Sub Bagian Pemerintahan Umum dan juga
diakui oleh saksi Jonas Salean, SH., M.Si pada saat ditanyakan oleh Penuntut
Umum di persidangan pada pokoknya mengakui bahwa sebagai bukti kepemilikan hak
yang ada yaitu Sertifikat Hak Pakai Nomor 5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan
Kelapa Lima, sehingga dengan demikian maka menurut kami terhadap semua Surat
Penujukan Tanah Kapling yang dikeluarkan oleh Jonas Salean, SH., M.Si selaku
Walikota Kupang di tahun 2016 dan tahun 2017 sebanyak 40 (empat puluh) kapling
yang terletak di pinggir jalan utama Kelurahan Kelapa
Lima, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel
Sasando Kupang didasarkan atas alas hak yang masih melekat yaitu
Sertifikat Hak Pakai Nomor 5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima
karena dalam fakta di persidangan terungkap bahwa Sertifikat Hak Pakai Nomor
5/1981 Desa Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima tersebut sampai dengan saat ini
belum pernah dicabut atau dihapus.
Keterangan
saksi-saksi dan bukti dokumen yang dihadirkan oleh Penuntut Umum dan menjadi
alat bukti surat dan bersesuaian pula dengan keterangan saksi Yohanes Jonathan
Lay di depan persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa saksi ada
mengajukan permohonan untuk� mendapatkan
tanah kapling yang terletak di pinggir jalan utama
Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel Sasando
Kupang kepada Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang serta
keterangan saksi Melanton Natty, saksi Max D Bunganawa di persidangan pada
pokoknya menerangkan bahwa Yohanes Yonathan Lay dan isterinya juga mendapatkan
tanah kapling yang terletak di pinggir jalan utama
Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang tepatnya di depan kawasan Hotel Sasando
Kupang masing�masing seluas 500 M2.
Judex
Factie Telah Salah Dalam Menerapkan Hukum Terkait Dengan Pembuktian Unsur
Menyalahgunakan Kewenangan
Melihat kualitas
subyek/pelaku dan cara perbuatan dilakukan yang dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat
(1) UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menurut
Mahkamah Agung RI rumusan tersebut sangat umum dan luas cakupannya, sehingga
menjerat semua orang apapun kualitasnya, sepanjang melakukan perbuatan dengan
cara yang dirumuskan dalam pasal tersebut, yaitu secara melawan hukum,
sebaliknya apa yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU
RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih
bersifat khusus karena subyek/pelaku yang dapat dijerat hanyalah orang�orang
dengan kualitas tertentu yang dapat melakukan perbuatan dengan cara/keadaan
tertentu yaitu dalam jabatan atau kedudukannya.
Berkaitan dengan
pertimbangan Judex Factie sebagaimana
tersebut yang berpendapat bahwa karena tanah yang dilepaskan oleh Pemerintah
Kabupaten Kupang pada tahun 1994 dan kemudian tidak ikut diserahkan pada saat
otonomi daerah dalam dokumen P3D dan tanah tersebut tidak dicatat sebagai
barang inventaris atau aset pada Pemerintah Kota Kupang.
Terhadap pertimbangan
hukum Judex Factie sebagaimana
tersebut, Penuntut Umum tidak sependapat dengan pertimbangan dan alasan sebagai
berikut :
a.
Apabila
Judex Factie menyatakan bahwa tanah
seluas lebih kurang 20.068 M2 bukan sebagai aset Pemerintah Kota Kupang,
maka tidak ada kewenangan saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang
untuk membagikan tanah negara kepada pihak lain yang diantaranya adalah
keluarga kandung dan kerabat dekat dari saksi Jonas Salean, SH., M.Si� sendiri.
b.
Apabila
tanah tersebut tidak dicatat dan tidak ikut diserahkan kepada Pemerintah Kota
Kupang pada saat otonomi daerah, saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota
Kupang yang membagikan tanah kapling dengan Surat Penunjukan Tanah Kapling
sebanyak 40 (empat puluh) bidang, tidak memiliki kewenangan untuk membagikan
tanah kapling untuk dan atas nama saksi Jonas Salean, SH., M.Si selaku Walikota
Kupang, keluarga dan penerima lainnya termasuk kepada terdakwa Tomas More, SH
selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang karena bukan kewenangan saksi Jonas
Salean, SH., M.Si selaku Walikota Kupang, melainkan menjadi wewenang dari
Menteri terkait dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Propinsi dann
atau Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang�
dalam hal ini terdakwa Tomas More, SH.
Cara
Mengadili Tidak Dilaksanakan Menurut Ketentuan Undang-Undang
Putusan
pengadilan yang adil dan bermanfaat, maka hakim perlu memperhatikan aspek
sosial budaya setempat, sebagaimana pendapat Mahkamah Agung dalam buku pedoman
perilaku hakim (code of conduct),
kode etik hakim dan makalah berkaitan, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta,
halaman 2, menyatakan �bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan
peradilan tertinggi pelaksana Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pertimbangan
hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan
sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggung
jawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada Keadilan
Hukum (Legal Justice) Keadilan Moral
(Moral Justice) dan Keadilan
Masyarakat (Social Justice)�.
Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang yang memeriksa dan mengadili
perkara aquo dalam melaksanakan peradilannya tidak dilaksanakan sesuai
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan cara mengabaikan alat
bukti yang telah diuji didepan persidangan, dan tidak mempertimbangkan rasa
Keadilan Hukum (Legal Justice)
Keadilan Moral (Moral Justice) dan
Keadilan Masyarakat (Social Justice)
khususnya masyarakat di Kota Kupang.
Judex factie dalam pertimbangan fakta hukum
dan pembuktian Unsur telah secara tegas menguraikan mengenai adanya niat jahat/Mens Rea dan Actus Reus yang telah nyata pada perbuatan terdakwa Tomas More, SH
bersama dengan Jonas Salean, SH., M.Si Walikota Kupang
yakni :
Menurut
penuntut umum, walaupun tanpa adanya permohonan mendapatkan tanah kapling dari
pemohon termasuk terdakwa, tidak adanya penguasaan fisik atas tanah oleh para
pemohon termasuk terdakwa Tomas More, SH, dan setelah terbitnya Surat Penunjukkan
Tanah Kapling yang ditandatangani oleh Jonas
Salean, SH., M.Si sehingga
Surat Penunjukkan Tanah Kapling tersebut dijadikan sebagai alas hak oleh para
penerima untuk mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Hak Milik ke Kantor
Pertanahan Kota Kupang sehingga telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik yang
ditandatangani oleh terdakwa Tomas More, SH selaku Kepala Kantor Pertanahan
Kota Kupang dimana data fisik dan data yuridis yang dijadikan syarat untuk
penerbitan SHM tersebut tidak benar. Dengan demikian telah nyata Judex Factie Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam mengadili tidak dilaksanakan sesuai Ketentuan Undang�Undang.
Judex Factie Tidak Menerapkan
Hukum Sebagaimana Mestinya Terkait Dengan Status Barang Bukti
Memperhatikan
amar Putusan Judex Factie Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilann Negeri Kupang Klas IA� khusus terhadap barang bukti Nomor urut 187
tentang 1 (satu) bidang tanah seluas � 600 m� atas nama Tomas More, S.H. dengan
sertifikat Hak Milik No. 2845; Dikembalikan kepada Tomas More, S.H. (Terdakwa).
Terhadap pertimbangan dan amar putusan sebagaimana tersebut, Penuntut Umum
tidak sependapat dengan pertimbangan :
a.
Berdasrarkan alat bukti keterangan saksi Eksam Sodak,
S.Sit, saksi Max D Bunganawa, Saksi Yanuar Dally, SH , keterangan terdakwa
Thomas More, SH dan didukung dengan�
barang bukti berupa tanda terima pelepasn dan� penghapusan pada Sertitikat Hak Milik atas
nama Tomas More, SH yang telah dilakukan penghapusan oleh Kantor Pertanahan
Kota Kupang terhadap SHM Nomor 2845 atas nama Tomas More, SH sejak Agustus
2018.
b.
Terhadap fakta tersebut telah secara nyata
dipertimbangkan juga oleh Judex factie dalam
pertimbangan hukumnya.
c.
Berdasarkan Pasal 27 huruf a angka 2 UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang�Undang Pokok Agraria yang berbunyi : Hak Milik hapus
apabila : karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
d.
Mendasari pada ketentuan di atas, maka secara yuridis
terdakwa Tomas More, SH telah melepaskan tanahnya secara sukarela dan oleh
karenanya tidak ada lagi hubungan hukum dengan tanah yang dimiliki oleh
terdakwa karena telah dilepaskan dan dihapus dari pencatatan buku tanah pada
Kantor Pertanahan Kota Kupang dan status tanah tersebut menjadi tanah negara.
e.
Mengacu pada fakta hukum dan dasar hukum sebagaimana
tersebut di atas, maka telah nyata bahwa Judex
factie telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya karena tidak
seharusnya barang bukti berupa tanah dan SHM atas nama terdakwa di kembalikan
kepada terdakwa tetapi haruslah dinyatakan menjadi tanah negara.
f.
Akibat Judex factie
telah tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya maka terhadap Putusan Judex factie Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum karena Judex factie Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang Klas IA telah salah dalam menerapkan
hukum mengenai status barang bukti.
g.
Akibat putusan tersebut batal demi hukum maka putusan Judex factie tidak dapat dipertahankan
lagi dan oleh karenanya terhadap barang bukti nomor urut 161 s/d barang bukti
nomor urut 200 berupa tanah dan surat-suratnya haruslah dinyatakan dirampas
untuk negara.
Oleh
karena itu, telah nyata bahwa Judex
factie pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang
Klas IA telah salah dalam menerapkan hukum terkait dengan status barang bukti.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:2451
K/Pid.Sus/2021 tanggal 13 Januari 2022
Adanya
pertimbangan majelis hakim terhadap Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka menunjukkan terdakwa setidaknya terbukti dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Akibat hukum bagi terdakwa yakni dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga
dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Diskursus Teoretis Alasan Terdakwa Diputus Bebas Pada
Tingkat
Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg,
Namun Dijatuhi Pidana Pada
Tingkat Pengadilan MA Melalui Putusan MA
RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021
Setelah ditampilkan uraian
mengenai aspek-aspek pertimbangan majelis hakim yang menjadi alasan
terdakwa diputus bebas pada
tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada
tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, maka selanjutnya
penulis menganalisis perbedaan pertimbangan majelis hakim tersebut secara
konsep teoretis menggunakan konsep ratio
legis dan� ratio
decindendi. Ratio legis digunakan untuk membedah nalar pertimbangan hakim sebagai alasan hukum, sedangkan ratio decidendi digunakan karena didasarkan pada landasan filsafat yang
mendasar, mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus yang
disengketakan kaitannya dengan peraturan-peraturan yang relevan dengan pokok
kasus sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan.
Ratio
Legis
Secara lebih mendalam, adanya putusan yang berbeda
terhadap terdakwa pada tingkat pengadilan berbeda (PN dan MA) dikarenakan
perbedaan nalar hukum secara konseptual teoretis terhadap inti delik dan elemen
delik dari Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor, yang berkaitan dengan inti
Pasal 3 menyangkut 2 (dua) aspek yakni: 1)Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.,
2)dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Ratio
decidendi
Seperti
penjelasan sebelumbnya bahwa di dalam putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg terdapat konstruksi hukum yang dibangun JPU dalam dua
dakwaan yakni primair dan subsidair. Faktanya kedua dakwaan ini tidak terbukti
dalam proses persidangan pada tingkat yang berbeda (PN dan MA), yang seharusnya
berkonsekuensi pada tidak dipidananya terdakwa, namun nyatanya putusan MA
adalah mempidanakan terdakwa. Oleh karena itu penulis menganalisis perbedan
putusan tersebut sejalan dengan pandangan Christopher
Enright
yang membedah ratio decidendi dalam 3
(tiga) aspek yakni aturan hukum, aturan penentu dan aturan yang disengaja, yaitu
Aturan
Hukum (Legal rule), Atura Penentu (Deternative
Rule), dan Aturan yang disengaja (Deliberated Rule).
Analisis penulis dari pertimbangan moral yakni sesuai
fakta persidangan, meskipun terdakwa menerima Surat penunjukan Tanah Kapling
yang menerima 1 (satu) bidang Kapling seluas 600 m2, namun terdakwa
tidak pernah menguasai tanah tersebut. Kemudian ada kesadaran moral untuk
mengembalikan tanah tersebut.� Kesadaran ini hadir dikarenakan sejak awal terdakwa tidak
menghendaki diperolehnya
tanah tersebut sekaligus tidak mampu mencegah pemberian tanah berdasarkan penunjukkan.� Kesadaran tersebut berdimensi sosial karena
terdakwa menyadari nama-nama penerima tanah adalah pihak yang dipilih secara
subyektif memiliki hubungan kedekatan dengan penunjuk, bukanlah secara objektif
didasarkan pada perencanaan tata ruang, dimana penerima tanah adalah subyek
yang tepat peruntukan pemanfaatanya sesuai Peraturan Daerah Kota Kupang� Nomor� 12 Tahun 2011 tentang Rencana
Detail Tata Ruang
Kota Kupang Tahun 2011�2031Jo Peraturan Daerah Kota Kupang No. 11 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang, bahwa pemanfaatan ruang di wilayah Kota Kupang
berdaya guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kesadaran moral terdakwa mengembalikan tanah menunjukkan kewajiban batin menyangkut aturan kepantasan di dalam
sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles tentang
keadilan sebagai sosial etis. Moral memandu manusia untuk memilih jalan tengah
antar dua ekstrim yang berlawanan. Sesuai kontek kasus penelitian ini, moral
telah memandu terdakwa bersikap moderat, bahwa keadilan hukum identik dengan
keadilan umum yang ditandai dengan pilihan terdakwa tidak menguntungkan diri
sendiri, tetapi tidak juga mengutamakan pihak lain. Kesadaran mengembalikan
tanah dan telah dihapus dari register didasarkan pertimbagan moral bahwa
terdapat ketidakadilan di masyarakat karena pihak penerima tanah ditunjuk oleh
penunjuk berdasarkan pertimbangan subyektif (kedekatan) telah mencederai
keadilan dimasyarakat.
Penyertaan
Pasal 55 KUHPidana Sebagai Pasal
Berlapis Dalam Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terhadap Terdakwa
Alasan Diterapkanya Pasal
Berlapis Ditinjau Dari Aspek Keadilan Distributif
Terdakwa memiliki peran dalam konteks kasus karena
menandatangani penerbitan
sertifikat hak milik atas sebagian atau sejumlah 37 (tiga puluh tujuh) penerima
tanah kapling, namun perlu
dibuktikan apakah adanya kerjasama dengan pelaku lain yang merupakan inisiator
dalam hal ini Saksi Jonas Salean, S.H., M.Si sebagai pembuat surat penunjukan kapling
tanah. Fakta sidang menunjukkan bahwa ada keterlibatan pihak-pihak berikut ini:
Saksi� Jonas Salean, S.H., M.Si-------Panitia
A----------Terdakwa
Peran� Jonas
Salean, S.H., M.Si
adalah sebagai pembuat surat
penunjukan kapling tanah. Kemudian Panitia A berperan
melakukan pemeriksaan
lapangan yang tidak
dilakukan di lokasi masing-masing objek
pemohon, tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk
selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan. Dalam Risalah Pemeriksaan
Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas tanah pemohon sudah
ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal pada kenyataanya
masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling yang dinyatakan
sebagai miliknya tersebut, sehinga pada masing-masing kesimpulan Risalah
pemeriksaan tanah A dinyatakan,�
permohonan Hak Milik dari masing-masing pemohon tersebut telah memenuhi
persyaratan baik persyaratan teknis, yuridis maupun administratif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam
kesimpulan Risalah Pengelolaan Data disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah
dapat dikabulkan.
Setelah menerima Risalah
Pengelolaan Data, Terdakwa, selaku kepala Kantor Pertanahan dapat melakukan
koreksi atau penolakan terhadap Risalah Pengelolaan Data tersebut karena dalam
uraian telaahan atas objek hak pada bagian riwayat hak atas tanah disebutkan
belum ada penetapan hak sebelumnya, padahal senyatanya tanah yang dimohonkan
haknya tersebut termasuk dalam bidang tanah Sertifikat Hak Pakai No. 5 tahun
1981 Desa Kelapa Lima dan pada uraian data fisik disebutkan di atas tanah
tersebut sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, karena
disamping sebagai Kepala BPN Kota Kupang Terdakwa adalah juga salah satu penerima
surat penunjukan tanah kapling yang menerima 1 (satu) bidang Kapling seluas 600
M2 yang tidak pernah menguasai tanah Kapling dimaksud serta tidak
juga pernah membuat pagar batu pada bagian tanah Kapling miliknya tersebut. Terdakwa mengabaikannya
dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data yang diajukan
dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing
pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor
Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa.
Berdasarkan peran terdakwa menunjukkan ada pengabaian
dan menyetujui Risalah Panitia A dan Risalah Pengelolaan Data yang diajukan
dengan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada masing-masing
pemohon hingga kemudian telah diterbitkan 34 Sertifikat Hak Milik oleh Kantor
Pertanahan Kota Kupang yang di tandatangani Terdakwa. Hal ini dinilai sebagai keikutsertaan Terdakwa dalam
proses sehingga sesuai argumentasi keadilan distributif, terdakwa dinilai oleh
majelis hakim di tingkat MA memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor dan dijatuhi
pidana penjara dan denda. Argumentasi penulis sejalan dengan Moeljatno
mengatakan bahwa ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat
dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana.
Alasan sebelum seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang
itu harus sudah melakukan perbuatan pidana. Konsisten dengan pembahasan
sebelumnya bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana, karena tidak
didasari niat yang menghendaki diperolehnya tanah, namun tanah tersebut diberikan
berdasarkan penunjukkan, bukan karena permintaan atau permohonan sebelumnya
kepada penunjuk.
Analisis penulis bahwa, berdasarkan peran masing-masing
pihak seharusnya para pihak selain terdakwa harus diterapkan pidana didasarkan
teori keadilan distributif. Terhadap subyek yang ada di dalam Panitia A telah
memenuhi syarat sebagai aktor karena berperan
sesuai
proporsinya. Hendaknya diterapkan pasal
55 KUHPidana dikarenakan nampak
adanya sikap batin subyek di Panitia A untuk niat jahat. Hal ini ditunjukkan melakukan pemeriksaan
lapangan yang tidak
dilakukan di lokasi masing-masing objek
pemohon, tetapi mendasarkan pada peta bidang yang telah dibuat sebelumnya untuk
selanjutnya dibuatkan Berita Acara pemeriksaan lapangan. Ada upaya memperlancar niat yakni dalam
Risalah Pemeriksaan Tanah A pada bagian Data Fisik disebutkan di lokasi di atas
tanah pemohon sudah ada kegiatan fisik oleh pemohon berupa pagar batu, padahal
pada kenyataanya masing-masing pemohon belum pernah menguasai tanah Kapling
yang dinyatakan sebagai miliknya tersebut, sehingga pada masing-masing
kesimpulan Risalah pemeriksaan tanah A dinyatakan,� permohonan Hak Milik dari masing-masing
pemohon tersebut telah memenuhi persyaratan baik persyaratan teknis, yuridis
maupun administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan, sehingga dalam kesimpulan Risalah Pengelolaan Data
disebutkan Permohonan Hak Milik atas tanah dapat dikabulkan.
Sementara itu, Peran �Jonas Salean, S.H., M.Si adalah sebagai aktor utama yakni sebagai inisiator dan
pembuat surat penunjukan
kapling tanah, termasuk penerima manfaat yakni sebagai subyek penerima tanah.
Oleh karena itu, diterapkan pasal
55 KUHPidana dikarenakan nampak
adanya sikap batin Jonas Salean, S.H., M.Si untuk niat jahat. Hal ini ditunjukkan dengan inisiatif
berperan dari awal hingga terwujud keinginan berhasil memperoleh tanah dari
hasil privatisasi. Selanjutnya berdasarkan teori keadilan Aristoteles, peran
tersebut adalah sebagai aktor utama yang juga seharunya dipidana sesuai
proporsinya.
Alasan
Diterapkanya Pasal Berlapis Ditinjau Dari Aspek Keadilan Komutatif
Sesuai
hasil penelitian bahwa meskipun Tomas More, SH berstatus terdakwa bersama saksi
Jonas Salean, S.H., M.Si (berstatus terdakwa dalam Putusan Nomor39/Pid.Sus-TPK/2020/PNKpg),
namun nyatanya terdapat perbedaan putusan di tingkat MA, ditampilkan pada tabel
di bawah ini:
Tabel 2 Perbandingan Putusan Bagi Para Terdakwa ditingkat
Pengadilan Berbeda
Terdakwa
Tomas More, SH |
Tedakwa
Jonas Salean, S.H., M.Si |
||
Putusan
Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/ PN.Kpg |
Putusan
Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021 |
Putusan
Nomor:39/Pid.Sus.TPK/2020/PNKpg |
Putusan
Nomor 2573K/Pid.Sus/2021 |
Bebas |
Mengigat
Pasal Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, menyatakan: Mengabulkan
permohonan� kasasi JPU dan mempidanakan
terdakwa |
Bebas |
Mengigat
Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1)UU Tipikor,
menyatakan:Menolak permohonan kasasi JPU dna membebaskan terdakwa |
Berdasarkan
tabel di atas menunjukkan bahwa meskipun kedua terdakwa memiliki peran/
berperan sesuai proporsi dalam perkara, namun nyatanya pertimbangan hakim di
tingkat MA berbeda terhadap kedua terdakwa tersebut.� Terhadap terdakwa Tomas More, SH dijatuhi
pidana penjara dan denda, namun terdakwa Jonas
Salean, S.H., M.Si
dibebaskan.
Pengedepanan keadilan distributif sesuai konteks Pasal 55 KUHP, terlihat ketika terdakwa
Tomas More, SH dipandang majelis hakim di tingkat MA sebagai pleger atau dader atau pelaku delik yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang baik unsur subyektif maupun obyektif, yang
berproses sendiri menyelesaikan terjadinya delik. Sedangkan terdakwa Jonas Salean, S.H., M.Si tidak dianggap berperan dalam terjadinya delik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakadilan
berdasarkan teori keadilan Aristoteles baik dari aspek keadilan distributif
maupun komulatif. Seharusnya bertolak dari peran secara distributif, terdakwa Jonas
Salean, S.H., M.Si
terbukti sebagai inisiator yang melakukan penunjukkan pembagian tanah sebagai
upaya privatisasi tanah milik negara/dikuasai negara hendaknya diposisikan
sebagai pleger (yang melakukan)/
berinisitif,
sedangkan Thomas More, SH diposisikan sebagai medepleger (orang yang turutserta)
atau pembantuan (medeplichtige). Namun, pertimbangan hukum majelis hakim di tingkat MA
tidak menyertakan Pasal 55 KUHPidana dalam konsideran mengingat sebagai bentuk
penerapan Pasal berlapis, telah berakibat hukum pada lepasnya ikatan hubungan
hukum para pelaku dalam menyuseskan privatisasi tanah sesuai konteks kasus
penelitian ini (Suantra & Nurmawati,
2019).
Selanjutnya
adanya perbedaan putusan pada tingkat pengadilan yang berbeda (PN dan MA) untuk
kedua terdakwa menunjukkan bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya keliru
dalam memaknai konstruksi hukum dakwan primair dan subsidair (di dalamnya
terdapat esensi Pasal 55 KUHP sebagai Pasal berlapis). Kekeliruan ini
menyangkut aspek pertimbangan subyektif dan objektif.� Secara subyektif sasaran putusan hanya
terhadap Terdakwa Tomas More, SH didasarkan suatu kepentingan memberi efek jera
bagi pejabat publik sehingga ada kemanfaatan di masyarakat dalam penilaian
bahwa peradilan telah mampu menjerat pelaku penyalahgunaan kewenangan yang
berdimensi tindak pidana korupsi. Secara langsung mengabaikan posisi Jonas
Salean, S.H., M.Si
yang juga pejabat publik dalam perananya yang lebih sempurna dari Terdakwa
Tomas More, SH, karena berniat mendapat manfaat dari inisiatifnya melakukan
penunjukkan pembagian tanah (Nurhafifah &
Rahmiati, 2015).
Putusan
yang demikian sangat bertentangan dengan kriteria objektif yakni kepentingan
bagi masyarakat dan segi hak asasi manusia. Sesuai penjelasan sebelumnya bahwa
dengan dipidana atau tidak dipidannya terdakwa Thomas More, SH sejatinya tidak
memberi manfaat bagi masyarakat dan rasa keadilan, karena tidak merubah status
penguasaan/kepemilikan tanah yang terlanjur di privatisasi, melalui proses
penunjukkan yang subyektif. Nuansa keadilan menurut majelis hakim di peradilan
dengan memutus mempidanakan terdakwa, akan berbeda dirasakan masyarakat.
Masyarakat akan tetap menilai bahwa hukum hanya tumpul ke atas dan tajam ke
bawah. Hukum hanya menjadi legitimasi dan berpihak pada penguasa menguasai
tanah atau memprivatisasinya bagi sebagian kalangan (Nim, n.d.).
Secara kritis, dari hasil penelitian penulis menemukan
adanya ketidaksempurnaan penerapan Pasal 55 KUHPidana sebagai Pasal berlapis
dalam kasus penelitian ini, karena konstruksi Pasal 55 KUHPidana ditingkat
PN-MA hanya merujuk
pada ayat (1) dan tidak memasukan ayat (2). Jika dicermati kasus secara runtut
dan mendalam maka ditemukan esensi Pasal 55 ayat (2) KUHPidana karena ditemukan
adanya peran pengasut. Analisis penulis Pasal 55 ayat (2) KUHPidana akan
memperkuat konstruksi hukum dakwaan untuk menjerat pelaku. Pasal 55 ayat (2)
KUHPidana mengatur penanggungjawab penghasut untuk melakukan suatu tindak
pidana, dengan upaya-upaya yang sudah ditentukan oleh undang-undang (limitatif)
(Rongiyati,
2016). Upaya limitatif dimaksud adalah
diantaranya penyalahgunaan wewenang, dengan cara memberi kesempatan, sarana atau
informasi sengaja menganjurkan atau membujuk (dilakukannya) suatu tindak pidana
akan dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Menurut penulis hal ini sesuai
dengan peran Jonas Salean, S.H., M.Si yang melakukan perbuatan penetapan penunjukkan tanah
bermuatan wewenang sebagai Waikota, memberi kesempatan, sarana atau informasi sengaja
menganjurkan penunjukkan tanah tersebut yang pada akhirnya sampai kepada Thomas
More, SH sebagai Kepala Kantor Pertanahan (Alfitra, 2011).
Analisis penulis
didasarkan pada pandangan Rummelink yang berpendapat bahwa ihwal dari uitlokker bukan adanya orang yang
terbujuk untuk melakukan tindak pidana, melainkan bahwa tindak pidana tersebut
terjadi karena anjuran atau bujukan orang lain, objeknya bukan (semata-mata)
orang yang terbujuk (terprovokasi), tetapi juga tindak pidana yang
diprovokasikan. Ada 4 (empat) syarat yang
menurut penulis telah memenuhi kriteria pembunjukan yang dapat diancam pidana,
yaitu :
a.
kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu
tindakan yang dilarang undang-undang (UU) dengan bantuan sarana yang ditetapkan
UU;
b.
keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus
dibangkitkan. Syarat ini berkenan dengan kausalitas psikis;
c.
orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi)
mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan
tindak pidana atau setidak-tidaknya melakukan percobaan ke arah itu. Itikad
buruk penggerak saja tidaklah cukup, upayannya itu haruslah terwujud secara
nyata ke dalam perbuatan;
d.
orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai
tanggungjawab pidana, bila tidak maka tidak muncul pembujukan melainkan upaya
menyuruh melakukan (doenplegen).
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan
penelitian ini adalah Terdakwa diputus bebas pada tingkat
Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, karena: perbedaan
penafsiran
majelis hakim tentang unsur delik di dalam UU
Tipikor. Penafsiran
majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri Kupang
memandang unsur
delik Pasal 2 dan 3
saling berkaitan tidak berdiri sendiri, sedangkan interpertasi Majelis Hakim di tingkat MA memandang unsur delik Pasal 2 dan 3
dapat berdiri sendiri.
Pasal
55 KUHPidana tidak sempurna disertakan
sebagai konstruksi Pasal berlapis terhadap terdakwa dalam pertimbangan hukum
majelis hakim baik di tingkat
Pengadilan Negeri Kupang maupun di tingkat pengadilan MA.
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra, S. H. (2011). Hukum pembuktian dalam beracara
pidana, perdata, dan korupsi di Indonesia. RAIH ASA SUKSES.
Eddy, O. S. (2012). Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian. Erlangga,
Jakarta.
Effendi, T. (2017). Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana.
Harefa, N. S. K., Manik, G. K., Marpaung, I. K. Y., &
Batubara, S. A. (2020). Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi
yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS): Studi Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Medan Nomor: 73/Pid. Sus-TPK/2018/PN. Mdn. SIGn Jurnal Hukum, 2(1),
30�42.
Indonesia, P. R. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Kupang, P. K. (2011). Review Rencana Umum Tata Ruang Kota
Kupang. Dinas Perumahan Rakyat Dan Tata Ruang Kota Kupang. Kupang.
Nim, N. C. P. (n.d.). Analisa Hukum Pertimbangan Hakim
Menolak Bukti Elektronik Sebagai Salah Satu Dasar Memutus Perkara Perceraian
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor 0074/Pdt. G/2016/Pa. Tnk). Jurnal
Fatwa Hukum, 4(2).
Nurhafifah, N., & Rahmiati, R. (2015). Pertimbangan Hakim
Dalam Penjatuhan Pidana Terkait Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan Putusan. Kanun
Jurnal Ilmu Hukum, 17(2), 341�362.
Pasmatuti, D. (2019). Perkembangan Pengertian Tindak Pidana
Korupsi Dalam Hukum Positif Di Indonesia. Ensiklopedia Social Review, 1(1).
Pekan, E. (2019). Kajian Hukum Terhadap Wewenang Penuntut
Umum Membuat Surat Dakwaan Berdasarkan Pasal 14 Huruf D KUHAP. Lex Crimen,
7(9).
Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim: dalam
perspektif hukum progresif. Sinar Grafika.
Rogahang, M. (2012). Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari
Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana. Lex Crimen, 1(4).
Rongiyati, S. (2016). Pemanfaatan Hak Pengelolaan Atas Tanah
Oleh Pihak Ketiga (Land Use Rights Management By A Third Party). Negara
Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 5(1),
77�89.
Suantra, I. N., & Nurmawati, M. (2019). Penegakan Hukum
Terhadap Pelanggaran atas Ketentuan Perizinan Toko Swalayan di Wilayah Provinsi
Bali. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 8(2),
188�206.
Triyanto, G. (2017). Ratio Legis Perbedaan Rumusan Delik
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. JURNAL RECHTENS,
6(1), 46�65.
This work is licensed under a Creative
Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. |