JURNAL                                         

JURNAL SOSIAL DAN SAINS

VOLUME 3 NOMOR 8 2023

P-ISSN 2774-7018, E-ISSN 2774-700X

 

PENGARUH PERBEDAAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN DAYA TERIMA KONSUMEN DENDENG LUMAT IKAN KEMBUNG (Rastrelliger kanagurta)

 

 

 

Dhia Qathrin Nada, Alsuhendra, Yeni Yulianti

Universitas Negeri Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

 

 

Kata kunci:

ikan kembung; dendeng lumat; suhu pengeringan; sifat fisik; daya terima konsumen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

long jawed mackerel; fish jerky; drying temperature; physical test; consumer acceptability

 

ABSTRAK

Latar Belakang: Ikan kembung menjadi salah satu komoditas laut yang melimpah dan banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Namun, ikan memiliki masa segar yang singkat, sebab kadar air yang tinggi. Oleh itu, diperlukan usaha pengawetan yang bertujuan masa simpan ikan lebih panjang dan menambah variasi olahan berbahan dasar ikan kembung yang diketahui bernilai gizi tinggi. Ikan kembung pada penelitian ini akan diolah menjadi produk pengawetan pengeringan, dendeng lumat.

 

Tujuan: Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah untuk menganalisis hasil dendneg lumat ikan kembung yang dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C terhadap sifat fisik dan daya terima konsumen

 

Metode: Aspek yang diuji pada variabel sifat fisik, adalah berat, ketebalan, tekstur, dan daya serap minyak. Kemudian, variabel daya terima konsumen aspek yang diuji adalah warna, aroma amis, aroma bumbu, rasa manis, rasa gurih, tekstur liat, tekstur kering dan ketebalan. Uji sifat fisik dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dan uji organoleptik daya terima konsumen dilakukan kepada 30 panelis. Hasil data penelitian akan dianalisis menggunakan uji one way Anova untuk sifat fisik dan uji Friedman untuk daya terima konsumen dengan taraf signifikansi α = 0,05.

 

Hasil: Berdasarkan hasil analisis uji friedman yang dilanjutkan dengan uji Tuckey perlakuan suhu pengeringan yang menghasilkan dendeng lumat ikan kembung paling disukai oleh konsumen adalah perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C.

 

Kesimpulan: suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung memiliki pengaruh signifikan terhadap sifat fisik dendeng seperti berat, ketebalan, dan tekstur. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek daya serap minyak. Selain itu, suhu pengeringan 80 ˚C merupakan suhu yang paling disukai oleh konsumen dalam hal daya terima.

 

ABSTRACT

Background: Mackerel is one of the abundant marine commodities and is in great demand by the people of Indonesia. However, fish have a short fresh period, due to high water content. Therefore, preservation efforts are needed that aim at a longer shelf life of fish and add a variety of mackerel-based preparations that are known to have high nutritional value. Mackerel in this study will be processed into drying preservation products, crushed jerky.

 

Purpose: The purpose of this study was to analyze the results of mackerel crushed dried by oven at 70 °C, 80 °C, and 90 °C on the physical properties and consumer acceptability..

 

Methods: The aspects tested on the variables of physical properties, are weight, thickness, texture, and absorbency of the oil. Then, the consumer acceptability variables tested aspects are color, fishy aroma, spice aroma, sweetness, savory taste, clay texture, dry texture and thickness. Physical properties tests were carried out 3 times and organoleptic tests of consumer acceptability were carried out to 30 panelists. The results of the research data will be analyzed using the one way Anova test for physical properties and the Friedman test for consumer acceptability with a significance level of α = 0.05.

 

Results: Based on the results of the Friedman test analysis followed by the Tuckey test, the drying temperature treatment that produces mackerel jerky is most preferred by consumers is the drying temperature treatment of 80 °

 

Conclusion: The drying temperature of mackerel jerky has a significant influence on the physical properties of jerky such as weight, thickness, and texture. However, there is no significant difference in the aspect of oil absorption. In addition, the drying temperature of 80°C is the most preferred temperature by consumers in terms of acceptability.

 

 

PENDAHULUAN

 

Makanan yang dikonsumsi oleh manusia dapat berupa bahan segar, olahan, atau bahan yang diformulasikan memiliki komposisi yang relatif lengkap untuk manusia. Namun, komposisi tersebut juga dapat mendorong pertumbuhan mikroba yang dapat merusak makanan. Untuk mempertahankan kualitas makanan dan mencegah kerusakannya dilakukan sebuah usaha pengawetan. Pengawetan dilakukan dengan tujuan untuk menjaga rasa, tekstur, kualitas, dan nilai gizi makanan. Selain itu, pengawetan juga bertujuan untuk mengurangi pemborosan kelebihan makanan, mempertahankan aksesibilitas produk untuk waktu yang lebih lama, termasuk jika terdapat di tempat-tempat di mana makanan tersebut tidak diproduksi (Kusnadi, 2018).

Zaman dahulu manusia menggunakan teknik pengawetan dengan tujuan bahan makanan yang diawetkan tersedia sepanjang waktu, tanpa mengenal musim. Pengawetan makanan ini juga dapat mengurangi bahan makanan apabila makanan tersebut tidak habis dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh (Suprayitno, 2022). Menurutnya manusia melakukan pengawetan  bahan pangan yang diolah sedemikian rupa agar bahan pangan tersebut tidak mudah rusak. Pengawetan dilakukan dengan tujuan untuk menghambat atau mencegah kerusakan, mempertahankan mutu, dan mempermudah penanganan dan penyimpanan bahan pangan.

Upaya pengawetan bahan pangan ini dapat diolah dengan berbagai cara, yaitu fermentasi, pengasapan, pengasinan, pengeringan dan pendinginan. Masing-masing cara pengawetan memiliki contoh produknya tersendiri, seperti tapai merupakan contoh produk  pengawetan dari teknik fermentasi. Sei sapi adalah contoh produk dari teknik pengasapan dan produk dendeng yang menjadi contoh produk dari teknik pengeringan. Pembuatan dendeng dengan cara pengeringan termasuk metode pengawetan daging yang mudah dan murah dilakukan.

Dendeng menjadi produk pengawetan yang murah dan mudah dilakukan karena pada proses pembuatannya tidak terlalu rumit. Daging yang menjadi bahan utama pembuatan dendeng sebelumnya melalui tahapan pengirisan daging secara tipis- tipis. Daging yang telah diiris tipis dimarinasi dengan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan selama 6 jam yang kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering. Proses pengeringan dengan sinar matahari termasuk ke dalam proses pengeringan tradisional. Saat ini pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantuan mekanik seperti oven. Adanya alat tersebut dapat membantu waktu pengeringan lebih cepat, suhu yang terukur, tidak banyak adanya kontak dengan udara luar, dan dapat dilakukan kapan saja karena tidak bergantung dengan cuaca (Suprayitno, 2022).

Jenis produk dendeng saat ini terdapat dua jenis, dendeng sayat atau iris dan dendeng giling atau lumat. Hal yang membedakan dua jenis dendeng tersebut terletak pada proses pengolahan daging sebelum dimarinasi dengan bumbu. Dendeng sayat dibuat dengan cara menyayat atau mengiris daging dengan tipis daging, lalu daging dibumbui dan dikeringkan. Dendeng giling atau dendeng lumat bahan daging yang digunakan digiling atau dilumatkan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan, lalu diratakan dan dibentuk di atas loyang dan dikeringkan (Soekarto, 2020).

Diketahui dari 2 jenis dendeng di atas, jenis dendeng yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah jenis dendeng lumat. Pemilihan dendeng giling atau dendeng lumat pada penelitian ini dikarenakan dendeng lumat memiliki rasa bumbu yang lebih kuat dibandingkan dendeng sayat. Bumbu-bumbu yang digunakan pada dendeng lumat lebih meresap ke dalam daging yang sudah giling. Tekstur yang dihasilkan oleh dendeng giling lebih lunak sehingga lebih mudah dikunyah (Sau et al., 2023).

Penggunaan ikan sebagai bahan dasar pembuatan dendeng lumat dikarenakan ikan merupakan sumber protein, bertujuan untuk meningkatkan angka konsumsi ikan Indonesia dengan mendukung gerakan gemar memasyarakatkan makan ikan (GEMARIKAN) yang digalakkan oleh pemerintah. Selain mendukung gerakan gemar makan ikan alasan lain digunakannya ikan sebagai bahan dasar pembuatan dendeng ialah harga ikan dipasaran yang lebih terjangkau dibandingkan harga daging sapi. Sehingga ikan menjadi pilihan sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat.

Jenis ikan yang digunakan ialah ikan kembung. Pemilihan ikan kembung sebagai bahan baku dendeng disebabkan produksi tangkapan ikan kembung di wilayah perairan Indonesia yang banyak. Tahun 2018 total tangkapan ikan kembung mencapai 360 ribu ton, di tahun 2020 mencapai 362 ribu ton (Amandra et al., 2022).  Dari hasil tangkapan tersebut menunjukkan tingginya angka permintaan ikan khususnya ikan kembung perlu dilakukan adanya pengelolaan yang lebih lanjut mengenai ikan kembung.

Tingginya angka permintaan ikan yang memiliki bentuk tubuh yang cukup langsing dengan sisik halus ditubuhnya ini dikarenakan ikan kembung memiliki cita rasa daging yang kuat. Oleh itu daging ikan kembung akan timbul rasa gurih atau umami pada produk pangan olahan yang berbahan dasar dari ikan kembung (Novianti, 2020). Cita rasa yang gurih ini sejalan dengan penelitian dendeng lumat ikan kembung yang akan dilakukan.

Selain memiliki cita rasa yang gurih diketahui ikan kembung memiliki kandungan 5.0 g omega-3 dan 3.0 g omega-6. Selain itu kandungan proteinnya juga tinggi, yakni 22 gram protein per 100 gram daging ikan kembung. Hal tersebut jauh lebih tinggi dari ikan lain yang sudah terbiasa dijadikan bahan pembuatan dendeng. Pada ikan lele terdapat kandungan protein sebesar 16.80%. Ikan nila memiliki kisaran kandungan protein yang tertinggi sebesar 16,79 gram per 100 gram (Yuniarti et al., 2021).

Oleh karena kandungan gizi baik yang dimiliki oleh ikan kembung, ikan kembung sering dijadikan lauk pauk yang dapat berupa ikan segar yang diolah baik dengan diberi bumbu-bumbu atau diawetkan dengan cara pengasinan, ikan asin peda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Palawewari  (2022) ikan kembung dapat diolah menjadi bakso. Hasil tekstur bakso ikan kembung dengan penggunaan 95 gram daging ikan kembung diketahui mendekati tekstur bakso ikan pada umumnya, yakni lembut dan kenyal. Diketahui ikan kembung juga dapat diolah menjadi nugget ikan. Rasa nugget ikan kembung yang dihasilkan disukai oleh konsumen.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan ikan kembung dapat dijadikan berbagai olahan. Untuk itu ikan kembung penelitian ini akan diolah menjadi dendeng. Pada tahap pengeringan dendeng dikeringkan dengan menggunakan alat bantuan mekanik berupa oven.  Oleh karena digunakannya oven untuk alat pengering dendeng, maka perlu ditentukan suhu pengeringan pada oven.

Menurut Lobo dkk., (2019) dendeng tongkol yang ditelitinya dapat dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ºC selama 6 jam. Pada penelitian Nesi dkk., (2019), tahap akhir pembuatan dendeng sapi dengan ekstrak rosella dikeringkan dengan oven pada suhu 60 ºC selama 3 jam. Pengeringan dendeng sapi juga dapat dilakukan dengan oven pada suhu 100 ºC selama 1 jam.

Berdasarkan tiga penelitian yang sudah dilakukan di atas suhu pengeringan dendeng masih terdapat perbedaan dari segi pengeringan suhu dan lama pengeringan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pada suhu berapa dendeng dapat kering secara ideal dengan bantuan alat pengering mekanik oven yang sebelumnya dilakukan penelitian pendahuluan berapa lama dendeng dapat dikeringkan sebelum masuk ke tahap terakhir pembuatan dendeng, yaitu penggorengan. Suhu pengeringan yang akan diuji coba untuk penelitian dendeng lumat ikan kembung ini adalah 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC.

Dilakukannya pengeringan dendeng lumat ikan kembung menggunakan oven diharapkan dendeng yang dihasilkan mempunyai kualitas sifat fisik yang lebih stabil. Untuk itu diperlukan penelitian mengenai di antara suhu 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC yang menghasilkan dendeng lumat ikan kembung yang paling baik dan apakah terdapat perbedaan yang dihasilkan dari suhu pengering yang berbeda tersebut.

Dengan kualitas fisik yang stabil dari segi tekstur, warna, dan ketebalan dendeng diharapkan dapat menarik minat kesukaan masyarakat terhadap dendeng lumat ikan kembung untuk mencobanya. Dendeng lumat ikan kembung juga diharapkan mempunyai rasa yang manis dan gurih dengan aroma bumbu yang kuat serta tidak lagi tercium aroma ikan sehingga masyarakat yang kurang menyukai ikan karena aromanya dapat mengonsumsinya.

Penelitian dendeng ikan kembung lumat ini memiliki tujuan untuk menganalisa efek yang ditimbulkan dari perbedaan suhu pengeringan terhadap sifat fisik dan daya terima dendeng lumat ikan kembung.

 

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Metode yang digunakan penelitian ini adalah metode eksperimen yang bertujuan untuk meneliti pengaruh dari suatu perlakuan tertentu pada suatu kelompok terhadap gejala yang ditimbulkannya dengan membandingkan dengan kelompok lain yang mendapatkan perlakuan berbeda. Pada penelitian perlakuan yang dimaksud adalah dengan mengeringkan dendeng lumat ikan kembung dengan suhu yang berbeda-beda. Dendeng lumat ikan kembung dikeringkan pada suhu 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC.

Panel yang dibutuhkan untuk pengambilan data penelitian ini adalah panel agak terlatih. Panel tersebut akan dimintai pendapat mengenai dendeng ikan kembung lumat dengan perbedaan suhu pengeringan  untuk menganalisis tingkat daya terima konsumen melalui uji hedonik.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dari penelitian ini ialah suhu pengeringan dendeng ikan kembung lumat. Sampel penelitiannya adalah dendeng ikan kembung lumat yang dipanggang pada suhu 70 ºC, 80 ºC, dan 90 ºC dengan waktu pada masing-masing suhu selama 45 menit. Sampel diambil secara acak dan diberi kode berupa angka yang hanya diketahui peneliti saja.

Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisik  dan daya terima konsumen dari dendeng ikan kembung lumat yang dikeringkan dengan suhu yang berbeda. Untuk pengambilan data penelitian ini dibutuhkan 30 orang panelis agak terlatih.

Teknik Pengumpulan Data

Cara yang digunakan untuk mendapatkan data penelitian mengenai pengaruh perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung terhadap sifat fisik ialah menggunakan jangka sorong digital, peneterometer, timbangan digital laboratorium. Masing-masing perlakuan dilakukan 3 kali pengulangan uji. Uji daya terima konsumen di lapangan dilakukan uji organoleptik.

Untuk mendapatkan data penelitian daya terima konsumen menggunakan uji organoleptik yang membutuhkan 30 panelis dari mahasiswa Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta yang sudah lulus mata kuliah pengawetan dan organoleptik.

Panelis uji organoleptik untuk daya terima konsumen menilai sampel produk dengan mengisi instrumen penilaian yang diberikan. Instrumen penilaian berisi aspek penilaian yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan ketebalan yang setiap aspek tersebut memiliki skala penilaian berupa 5 = sangat suka, 4 = suka 3 = agak suka, 2 = tidak suka, dan 1 = sangat tidak suka. Panelis memberi penilaian dengan cara memberi tanda ceklis (v) pada kolom yang disediakan.

 

Teknik Analisis Data

Uji Sifat Fisik

Analisis data untuk variabel sifat fisik pada penelitian perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) rancangan acak lengkap non faktorial.  Penggunaan uji one way ANOVA bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari setiap  perlakuan penelitian yang dilakukan berulang secara acak. Uji ANOVA digunakan karena terdapat tiga kelompok perlakuan dengan satu

Pada uji Anova yang akan dilakukan data harus berdistribusi normal dan bersifat homogen. Apabila hasil f hitung anova menunjukkan beda nyata maka dilanjutkan dengan post hoc test uji LSD (Least Significant Difference) atau uji BNT (Beda Nyata Terkecil).

Uji Daya Terima Konsumen

Analisis data yang digunakan untuk uji daya terima konsumen pada penelitian perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung adalah uji Friedman. Penggunaan uji friedman sebagai analisis data uji daya terima konsumen disebabkan pada penelitian ini terdapat tiga perlakuan. Uji Friedman digunakan dengan alasan asumsi data tidak berdistribusi normal. Data yang dihasilkan berbentuk ordinal.

 

Hipotesis Statistik

Hipotesis statistik yang akan diuji pada penelitian ini, yaitu sifat fisik dan daya terima konsumen terhadap perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung seperti berikut ini:

Ho : μA = μB = μC

H1 : μA ≠ μB ≠ μC

Keterangan :

Ho : Tidak terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung terhadap sifat fisik dan daya terima konsumen

H1 : Terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung terhadap sifat fisik dan daya terima konsumen

μA : Nilai rata-rata sifat fisik dan daya terima konsumen dendeng lumat ikan kembung dengan suhu pengeringan 70 ºC

μB  : Nilai rata-rata sifat fisik dan daya terima konsumen dendeng lumat ikan kembung dengan suhu pengeringan 80 ºC

μC  : Nilai rata-rata sifat fisik dan daya terima konsumen dendeng lumat ikan kembung dengan suhu pengeringan 90 ºC

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji Friedman untuk variable daya terima konsumen dan uji one way Anova (Analysis of Variance) untuk variable sifat fisik yang sebelumnya data setiap aspek sifat fisik sudah di uji normalitas (Kolmogorv Smirnov) dengan hasil data setiap aspek terdistribusi dengan normal.

 

 

 

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Warna

Berdasarkan hasil perhiungan nilai aspek warna terhadap 30 panelis maka diperoleh x2 hitung = 6,67 pada taraf siginifikan α = 0,05, diketahui x2 tabel pada derajat kepercayaan db = 3-1 = 2, yaitu 5,99.

Tabel 1. Hasil Uji Hipotesis Aspek Warna

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Warna

6,67

5,99

Nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima

Seperti yang tertera pada tabel di atas, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Karena itu, terlihat adanya pengaruh pada aspek warna dendeng lumat ikan kembung dengan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C terhadap daya terima konsumen. Sebab terlihat adanya perbedaan, maka uji dilanjutkan dengan Uji Pembanding Ganda, yakni uji Tuckey.

Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Tuckey Aspek Warna

Perbandingan

Nilai Perbandingan

Hasil Hitung

 

Kesimpulan

A – B

|4,33-4,57|

0,23

0,23 < 0,38

Tidak berbeda nyata

A – C

|4,33-4,03|

0,30

0,30 < 0,38

Tidak berbeda nyata

B – C

|4,57-4,03|

0,53

0,53 > 0,53

Berbeda nyata

Keterangan: A : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

B : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

C : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Berdasarkan hasil uji tuckey dari tabel di atas, diketahui bahwa antara perlakuan suhu pengeringan 70 (A) dengan suhu perlakuan suhu pengeringan 80 (B) dan perlakuan suhu pengeringan 70 (A) dengan suhu pengeringan 90 (C) terlihat tidak berbeda nyata. Sedangkan perlakuan suhu pengeringan 80 (B) dan perlakuan suhu pengeringan 90 (C) menunjukkan  hasil yang berbeda nyata. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa nilai perlakuan suhu pengeringan 80 (B) yang paling disenangi oleh konsumen karena memiliki nilai yang paling tinggi, yakni 4,57.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Aroma

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Aroma Bumbu

Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Aspek Aroma Bumbu

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Aroma bumbu

5,82

5,99

Nilai x2 hitung < x2 tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak

Berdasarkan tabel di atas, nilai x2 hitung < x2 tabel, yang artinya Ho diterima dan H1 ditolak. Kesimpulan yang dapat diambil dari perhitungan tersebut adalah tidak terdapat pengaruh suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C pada dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek aroma bumbu. Oleh itu, untuk aspek aroma bumbu tidak dilanjutkan ke tahap uji berikutnya.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Aroma Amis

Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis Aspek Aroma Amis

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Aroma amis

3,05

5,99

Nilai x2 hitung < x2 tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak

Melihat hasil perhitungan yang tersaji pada tabel, nilai x2 hitung < x2 tabel, maka Ho diterima dan H1 ditolak. Dari hasil tersebut didapat kesimpulan bahwa tidak adanya pengaruh perbedaan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C pada dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek aroma amis. Karena tidak terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan, sehingga tidak dilakukan uji tahap berikutnya.

 

 

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Rasa

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Rasa Manis

Tabel 5. Hasil Uji Hipotesis Aspek Rasa Manis

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Rasa manis

13,82

5,99

Nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima

Berdasar dari hasil perhitungan yang didapat nilai x2 hitung > x2 tabel artinya Ho ditolak dan H1 diterima. Maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek rasa manis. Karena terlihat adanya pengaruh perbedaan suhu pengeringan dilakukann uji tahap berikutnya, yaitu Uji Pembanding Ganda, Uji Tuckey.

Tabel 6. Hasil Uji Lanjut Tuckey Aspek Rasa Manis

Perbandingan

Nilai Perbandingan

Hasil Hitung

Kesimpulan

A – B

|4,20-4,03|

0,17

Tidak berbeda nyata

A – C

|4,20-3,37|

0,83

Berbeda nyata

B – C

|4,03-3,37|

0,67

Berbeda nyata

Keterangan: A : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

B : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

C : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Terlihat dari nilai perbandingan antara perlakuan suhu perbandingan 70 (A) dengan suhu pengeringan 80 (B) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Untuk perlakuan suhu pengeringan  70 (A) dibandingkan dengan suhu perlakuan 90 (C) dan perlakuan suhu perbandingan 80 (B) dan perlakuan suhu 90 (C) menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Melihat nilai tertinggi yang diraih perlakuan suhu pengeringan 70 (A) 4,20 menjadikan perlakuan tersebut menjadi yang paling disenangi oleh konsumen pada aspek rasa manis.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Rasa Gurih

Tabel 7. Hasil Uji Hipotesis Aspek Rasa Gurih

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Rasa gurih

5,62

5,99

Nilai x2 hitung < x2 tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai x2 hitung < x2 tabel, hal ini menunjukkan Ho diterima dan H1 ditolak. Dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek rasa gurih. Hal tersebut menjadikan aspek rasa gurih tidak dilanjutkan ke uji tahap berikutnya.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Tekstur

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Tekstur Liat

Dari 30 panelis yang memberikan penilaian produk dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek tekstur liat, maka didapatkan nilai hitung pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Hasil Uji Hipotesis Aspek Tekstur Liat

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Tekstur liat

16,35

5,99

Nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai x2 hitung > x2 tabel yang berarti Ho ditolak dan H1 diterima. Berdasar hasil tersebut diketahui terdapat pengaruh perbedaan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek tekstur liat. Dari itu dilanjutkan ke Uji Tuckey untuk dibandingkan semua pasangan rata-rata setiap perlakuan.

Tabel 9. Hasil Uji Lanjut Tuckey Aspek Tekstur Liat

Perbandingan

Nilai Perbandingan

Hasil Hitung

Kesimpulan

A – B

|4,13-4,23|

0,10

Tidak berbeda nyata

A – C

|4,13-3,40|

0,73

Berbeda nyata

B – C

|4,23-3,40|

0,83

Berbeda nyata

Keterangan: A : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

B : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

C : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Dapat dilihat dari nilai perbandingan yang ada di atas antara perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Sementara pada perbandingan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C (C) dan perbandingan perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C dengan perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C (C) menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Dari nilai perbandingan tersebut diketahui perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) merupakan kelompok perlakuan yang paling disukai oleh konsumen pada aspek tekstur liat, sebab memiliki nilai yang paling tinggi 4,23.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Tekstur Kering

Hasil perhitungan 30 panelis untuk aspek tekstur kering diketahui x2 hitung = 6,02 seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 10. Hasil Uji Hipotesis Aspek Tekstur Kering

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Tekstur kering

6,02

5,99

Nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima

Berdasarkan hasil hitung di atas diketahui nilai x2 hitung > x2 tabel artinya Ho ditolak dan H1 diterima. Hal tersebut berarti terlihat adanya pengaruh perbedaan suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek tekstur kering. Oleh itu, dilakukan uji lanjutan, yakni Uji Tuckey.

Tabel 11. Hasil Uji Lanjut Tuckey Aspek Tekstur Kering

Perbandingan

Nilai Perbandingan

Hasil Hitung

 

Kesimpulan

A – B

|4,07-4,50|

0,43

0,43>0,41

Berbeda nyata

A – C

|4,07-4,03|

0,03

0,03<0,41

Tidak berbeda nyata

B – C

|4,50-4,03|

0,47

0,47>0,41

Berbeda nyata

Keterangan: A : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

B : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

C : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Hasil uji Tuckey untuk perbandingan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) dan perbandingan antara perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C (C) menghasilkan kesimpulan tidak berbeda nyata. Kemudian, perbandingan perlakuan suhu 80 ˚C (B) dengan perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C (C) menunjukkan hasil berbeda nyata. Nilai tertinggi 4,50 yang dimiliki perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) menjadikan perlakuan tersebut yang paling disenangi oleh konsumen dari aspek tekstur kering.

 

Hasil Uji Hipotesis Daya Terima Konsumen Aspek Ketebalan

Berdasarkan hasil penilaian panelis sebanyak 30 orang terhadap aspek ketebalan dendeng lumat ikan kembung untuk itu diketahui x2 hitung, yaitu 6,12.

Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis Aspek Ketebalan

Kriteria Pengujian

x2 hitung

x2 tabel

Kesimpulan

Ketabalan

15,62

5,99

Nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima

Dapat diketahui dari tabel tersebut nilai x2 hitung > x2 tabel yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima. Dari hal tersebut didapat kesimpulan bahwa terdapat pengaruh suhu pengeringan 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C dendeng lumat ikan kembung terhadap daya terima konsumen aspek ketebalan. Untuk itu dapat dilanjutkan ke uji berikutnya, Uji Tuckey.

 

 

Tabel 13. Hasil Uji Lanjut Tuckey Aspek Ketebalan

Perbandingan

Nilai Perbandingan

Hasil Hitung

 

Kesimpulan

A – B

|3,60-4,13|

0,53

0,53>0,38

Berbeda nyata

A – C

|3,60-4,50|

0,90

0,90>0,38

Berbeda nyata

B – C

|4,13-4,50|

0,37

0,37<0,38

Tidak berbeda nyata

Keterangan: A : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

B : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

C : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Setelah dilakukannya uji lanjutan uji Tuckey diketahui perbandingan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) menujukkan hasil tidak berbeda nyata. Kemudian untuk hasil perbandingan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C (A) dengan perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C (C) dan perbandingan antara perlakuan suhu 80 ˚C (B) dengan perlakuan suhu pengeirngan 90 ˚C (C) menunjukkan berbeda nyata. Dari nilai yang diketahui perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C (B) mendapatkan hasil yang paling tinggi, yakni 4,37 yang dapat disimpulkan bahwa perlakuan tersebut menjadi perlakuan yang paling disukai untuk aspek ketebalan oleh konsumen.

 

Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik

Pada proses analisi data sebelumnya dilakukan uji normalisasi (Kolmogorov Smirnov) pada semua data aspek sifat fisik. Setelah menganalisis data yang didapatkan untuk semua aspek sifat fisik terdistribusi normal, dilanjutkan analisis data menggunakan uji Anova yang bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian.

Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Berat

Tabel 14. Hasil Uji Anova Sifat Fisik Aspek Berat

Sumber Keseragaman

JK

DB

KT

FHit

Ft

Perlakuan

132.76

2

66.38

7.75

5.14

Galat

51.40

6

8.57

 

 

 

 

 

 

 

 

Total

184.16

8

 

 

 

Dari hasil uji Anova pada tabel di atas diketahui DB Perlakuan = 2 dan DB Galat = 8 pada α = 0,05 didapat Ftabel = 5,14, sedangkan Fhitung = 7,75.

 

Tabel 15. Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Berat

Aspek Pengujian

FHitung

FTabel

Kesimpulan

Berat

7,75

5,14

Fhitung > Ftabel,

Maka H0 ditolak, H1 diterima

Melihat kesimpulan pada tabel di atas, Fhitung = 7,75 lebih besar dibandingkan dengan Ftabel = 5,14, maka H0 ditolak, H1 diterima. Hal tersebut menandakan bahwa terlihat adanya pengaruh yang signifikan terhadap penyusutan berat dendeng lumat ikan kembung dengan perbedaan suhu pengeirngan. Sebab terlihat adanya pengaruh perbedaan, untuk itu dilakukan uji lanjut untuk menganalisis letak perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Fisher LSD (Least Significant Different) atau uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Pada tabel di bawah ini didapat hasil analisis dari uji BNT.

Tabel 16. Hasil Uji BNT Sifat Fisik Aspek Berat

Perlakuan

Rata-rata

Rata-rata + BNT

Simbol

152

39.60

45.43

a

453

46.60

52.43

b

898

48.53

54.36

bc

Keterangan :

152 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

453 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

898 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Tabel 17. Hasil Uji Lanjut Sifat Fisik Aspek Berat

Perbandingan Perlakuan

Simbol

Kesimpulan

152 dan 453

a dan b

Berbeda Nyata

152 dan 898

a dan bc

Berbeda Nyata

453 dan 898

b dan bc

Tidak Berbeda Nyata

Hasil yang diperoleh dari uji BNT pada perlakuan antara  suhu pengeringan 70 ˚C dengan suhu pengeringan 80 ˚C diketahui terdapat perbedaan yang nyata. Suhu pengeringan 70 ˚C menyusut 39,60%, sedangkan suhu pengeringan 80 ˚C mengalami penyusutan berat sebesar 46,60%. Kemudian perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C dan suhu pengeringan 90 ˚C juga terlihat adanya perbedaan nyata, hal tersebut dapat dilihat dari besarnya penyusutan berat dendeng lumat ikan kembung pada suhu pengeringan 70 ˚C, yaitu 39,60% dan suhu pengeringan 90 ˚C penyusutan berat sebesar 48,53%. Lalu, untuk perbandingan suhu pengeringan 80 ˚C dan suhu pengeringan 90 ˚C tidak terlihat adanya perbedaan. Diketahui suhu pengeringan 80 ˚C menyusut 46,60% dan suhu pengeringan 90 ˚C menyusut 48,53%. Dapat disimpulkan dari hasil di atas bahwa perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C merupakan perlakuan suhu pengeringan dengan penyusutan berat terbesar, yaitu 48,53% dari berat awal dendeng lumat ikan kembung.

 

Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Ketebalan

Tabel 18. Hasil Uji Anova Sifat Fisik Aspek Ketebalan

Sumber Keseragaman

JK

DB

KT

FHit

Ft

Perlakuan

1.41

2

0.70

79.12

5.14

Galat

0.05

6

0.01

 

 

 

 

 

 

 

 

Total

1.46

8

 

 

 

Hasil uji anova yang diperoleh adalah DBPerlakuan = 2 dengan DBGalat = 6 pada α = 0,05 yang didapat Ftabel = 5,14 dengan Fhitung = 79,12. Hasil tersebut dapat dilihat kesimpulannya pada tabel di bawah ini.

Tabel 19. Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Ketebalan

Aspek Pengujian

FHitung

FTabel

Kesimpulan

Ketebalan

79,12

5,14

Fhitung > Ftabel,

Maka H0 ditolak, H1 diterima

Hasil uji hipotesis di atas menyatakan bahwa H0 ditolak, H1 diterima, maka pada aspek ketebalan dendeng lumat ikan kembung dengan perbedaan suhu pengeringan berdasarkan hasil uji hipotesis terdapat pengaruh perbedaan. Hal tersebut disebabkan Fhitung = 79,12 lebih besar dari Ftabel = 5,14. Adanya pengaruh yang signifikan pada suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung perlu dilakukan uji lanjut untuk menganalisis perbedaan antar perlakuan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil).

Tabel 20. Hasil Uji BNT Sifat Fisik Aspek Ketebalan

Perlakuan

Rata-rata

Rata-rata + BNT

Simbol

152

3.07

3.26

a

453

2.53

2.72

ab

898

2.10

2.29

bc

Keterangan :

152 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

453 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

898 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

Tabel 21. Hasil Uji Lanjut Sifat Fisik Aspek Ketebalan

Perbandingan Perlakuan

Simbol

Kesimpulan

152 dan 453

a dan ab

Tidak Berbeda Nyata

152 dan 898

a dan bc

Berbeda Nyata

453 dan 898

b dan bc

Tidak Berbeda Nyata

Berdasarkan hasil uji lanjt BNT yang sudah dilakukan untuk perbandingan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C dengan suhu pengeringan 80 ˚C tidak terlihat adanya perbedaan. Perbandingan suhu pengeringan 70 ˚C dengan suhu pengeringan 90 ˚C berdasarkan hasil uji lanjut diketahui terlihat adanya perbedaan yang signifikan. Sedang pada perbandingan antara suhu pengeringan 80 ˚C dengan suhu pengeringan 90 ˚C tidak terlihat adanya perbedaan nyata. Setelah mengalami proses pengeringan ketebalan dendeng lumat ikan kembung perlakuan suhu 70 ˚C menghasilkan rerata 3,07 mm, suhu pengeringan 80 ˚C dengan ketebalan 2,53 mm, dan suhu pengeringan 90 ˚C dengan ketebalan 2,10 mm. Dari hasil tersebut suhu pengeringan 90 ˚C merupakan perlakuan dengan hasil ketebalan dendeng yang paling tipis sedangkan suhu pengeringan 70 ˚C adalah perlakuan dendeng dengan ketebalan yang paling tebal.

 

Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Daya Serap Minyak

Tabel 22. Hasil Uji Anova Sifat Fisik Aspek Daya Serap Minyak

Sumber Keseragaman

JK

DB

KT

FHit

Ft

Perlakuan

115.18

2

57.59

0.62

5.14

Galat

554.74

6

92.46

 

 

 

 

 

 

 

 

Total

669.92

8

 

 

 

Dari hasil uji Anova yang telah dilakukan diperoleh DB Perlakuan = 2, DB Galat = 6 pada α = 0,05 yang didapat Ftabel = 5,14 dengan Fhitung = 0,62.

Tabel 23. Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Daya Serap Minyak

Aspek Pengujian

FHitung

FTabel

Kesimpulan

Daya Serap Minyak

0,62

5,14

Fhitung < Ftabel,

Maka H0 diterima, H1 ditolak

Kesimpulan dari hasil uji hipotesis aspek daya serap minyak adalah H0 diterima, H1 ditolak, tidak terdapat pengaruh dari suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung terhadap daya serap minyak. Penarikan kesimpulan tersebut atas dasar Fhitung = 0,62 yang lebih kecil daripada Ftabel = 5,14.

 

Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Tekstur

Tabel 24. Hasil Uji Anova Sifat Fisik Aspek Tekstur

Sumber Keseragaman

JK

db

KT

FHit

Ft

Perlakuan

882.39

2

441.19

13.05

5.14

Galat

202.83

6

33.81

 

 

 

 

 

 

 

 

Total

1085.22

8

 

 

 

Perolehan hasil uji Anova aspek tekstur DB Perlakuan = 2, DB Galat = 6 dengan Ftabel = 5,14 pada α = 0,05 dan Fhitung = 13,05.

Tabel 25. Hasil Uji Hipotesis Sifat Fisik Aspek Tekstur

Aspek Pengujian

FHitung

FTabel

Kesimpulan

Tekstur

13,05

5,14

Fhitung > Ftabel,

Maka H0 ditolak, H1 diterima

Dari tabel uji hipotesis di atas menyatakan H0 ditolak, H1 diterima. Hal tersebut menjadikan aspek tekstur dendeng lumat ikan kembung dengan perbedaan suhu pengeringan terlihat adanya perbedaan yang signifikan karena hasil Fhitung = 13,05 > Ftabel = 5,14. Aspek tekstur dapat dilanjutkan ke uji lanjut BNT untuk melihat perbandingan setiap perlakuan.

Tabel 26. Hasil Uji BNT Sifat Fisik Aspek Tekstur

Perlakuan

Rata-rata

Rata-rata + BNT

Simbol

1

25.67

67.51

a

2

30.50

72.35

ab

3

48.67

90.51

bc

Keterangan :

152 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 70 ˚C

453 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 80 ˚C

898 : Dendeng lumat ikan kembung suhu pengeringan 90 ˚C

 

Tabel 27. Hasil Uji Lanjut  Sifat Fisik Aspek Tekstur

Perbandingan Perlakuan

Simbol

Kesimpulan

152 dan 453

a dan ab

Tidak Berbeda Nyata

152 dan 898

a dan bc

Berbeda Nyata

453 dan 898

b dan bc

Tidak Berbeda Nyata

 

            Berdasar dari hasil uji lanjut BNT untuk melihat perbandingan antar setiap perlakuan penelitian diketahui perbandingan suhu pengeringan 70 ˚C dan suhu pengeringan 80 ˚C tidak terdapat perbedaan. Diketahui rata-rata tekstur suhu 70 ˚C 25,67 dan suhu 80 ˚C 30,50. Perbandingan antara suhu 70 ˚C dengan suhu 90 ˚C terlihat adanya perbedaan yang signifikan. Rerata yang didapatkan suhu 70 ˚C 25,67 sedangkan suhu 90 ˚C 48,67. Lalu, perbandingan yang terakhir suhu 80 ˚C dengan suhu 90 ˚C tidak terdapat perbedaan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa suhu pengeringan 90 ˚C merupakan suhu yang hasil teksturnya paling tinggi karena mendapat nilai rerata 48,67.

 

Pembahasan   

Pembahasan Hasil Penelitian Daya Terima Konsumen

Hasil nilai hitung penelitian daya terima konsumen aspek warna menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terhadap perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung. Hasil tersebut dilakukan setelah dilakukannya analisis menggunakan Uji Friedman dan dilanjutkan ke Uji Tuckey karena terlihat adanya perbedaan. Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa perlakuan suhu pengeringan 80 ˚C merupakan perlakuan dengan hasil yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C dan 90 ˚C. Adanya pengaruh yang dihasilkan sebab suhu menjadi salah satu atribut yang dapat merubah warna produk pada saat proses pengolahan. Perbedaan suhu pada proses pengolahan dapat mengasilkan warna yang lebih gelap atau lebih pucat termasuk menghasilkan warna yang diinginkan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip faktor yang pemicu terjadinya proses pencoklatan nonenzimatis. Suhu diyakini sebagai salah satu faktor proses pencoklatan nonenzimatis, karena semakin tinggi suhu akan semakin cepat terjadinya perubahan warna coklat.

Selain suhu aspek warna pada produk juga dapat dipengaruhi karena adanya kandungan gula pada produk. Pada formula dendeng terdapat gula yang persentasenya sebesar 35% dari 100% bahan utama. Kandungan gula pada dendeng tersebut memicu terjadianya reaksi karamelisasi. Reaksi dari gula yang meleleh saat dipanaskan akan memicu terjadinya perubahan warna pada produk menjadi warna cokelat (Kusnandar, 2019). Oleh sebab perbedaan suhu pengeringan dan adanya kandungan gula pada formula dendeng menjadikan warna akhir pada dendeng menjadi cokelat dengan tingkatan gelap atau pucat yang berbeda-beda. Sebab itu, perlakuan suhu 90 ˚C menjadi suhu yang warnanya paling gelap, coklat tua karena merupakan kelompok perlakuan suhu yang paling tinggi dan paling mendekati dengan warna.

Berbeda dengan aspek warna pada aspek aroma, baik aroma bumbu maupun aroma amis tidak menunjukkan adanya pengaruh dari tiga kelompok perlakuan suhu pengeringan. Untuk hasil yang paling baik pada aspek aroma bumbu dihasilkan pada perlakuan suhu 70 ˚C dengan rerata nilai 4,33. Aroma bumbu pada produk dendeng tercipta dikarenakan penggunaan bumbu dan rempah dalam formula. Beberapa bumbu dan rempah yang digunakan memiliki aroma khas, seperti bawang putih, bawang merah, lengkuas, ketumbar, dan jahe. Dari bumbu dan rempah yang digunakan tersebut dapat menyamarkan bau tidak sedap ataupun amis pada bahan makanan, ikan yang diolah (Rachmawati et al., 2021).

Selanjutnya pada aspek aroma amis perlakuan suhu 70 ˚C juga mendapat rata-rata nilai yang paling tinggi di antara perlakuan suhu yang lain, yakni 3,93. Penggunaan ikan kembung sebagai bahan dasar pembuatan dendeng menciptakan aroma amis. Aroma amis pada ikan kembung bias disamarkan dengan penggunaan bumbu dan remah serta penggunaan air jeruk nipis. Menurut (Sarwono, 2001) penggunaan air jeruk nipis dapat mengurangi aroma anyir pada ikan. Air jeruk nipis diberikan pada ikan saat proses marinasi dan didiamkan selama 15 menit. Proses marinasi ikan dengan jeruk nipis tersebut berguna untuk mengurangi aroma amis pada produk dendeng lumat ikan kembung.

Sebagaimana pernyataan Estiasih (2022)rasa termasuk dalam atribut-atribut yang mengalami perubahan akibat adanya proses pengolahan selain tekstur, warna, flavor, dan nilai gizi, dalam hal ini pengeringan. Aspek rasa manis pada produk dendeng yang dihasilkan disebabkan oleh gula merah yang terkandung pada formula dendeng. Rasa yang dihasilkan akibat karamelisasi ini menghasilkan rasa manis dari gula merah yang digunakan. Akan tetapi, semakin tinggi suhu maka rasa yang dihasilkan tidak hanya rasa manis melainkan lama kelamaan terdapat rasa pahit (Wolke, 2005). Berdasarkan pernyataan tersebut, sesuai dengan hasil uji daya terima konsumen aspek rasa manis.

Hasil uji menunjukkan perlakuan suhu 70 ˚C mendapatkan hasil nilai paling tinggi 4,20 dan perlakuan suhu 90 ˚C mendapatkan hasil terendah 3,37. Hal itu terjadi disebabkan pada suhu perlakuan suhu 90 ˚C merupakan suhu paling tinggi di antara kelompok perbedaan suhu pengeringan. Pada suhu yang tinggi hasil dari karamelisasi tidak hanya menghasilkan rasa manis tetapi juga memberikan rasa sedikit pahit. Untuk itu perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C merupakan perlakuan yang paling disenangi karena merupakan perlakuan suhu yang paling rendah, sehingga pada saat terjadi karamelisasi tidak terdapat rasa pahit.

Adapun rasa gurih pada dendeng lumat ikan kembung didapat dari daging ikan kembung yang digunakan sebagai bahan utama. Menurut Novianti  (2020) ikan kembung memiliki cita rasa yang kuat sehingga menciptakan rasa umami pada produk yang terkandung ikan kembung. Melihat pernyataan tersebut sesuai dengan hasil dari uji daya terima konsumen dendeng lumat ikan kembung pada aspek rasa gurih untuk perlakuan suhu 70 ˚C mendapatkan nilai 4,40, perlakuan suhu 80 ˚C mendapat nilai 4,37 yang menujukkan bahwa rasa gurih pada dendeng disenangi konsumen. Namun, pada aspek rasa gurih tidak terlihat adanya pengaruh dari perbedaan suhu pengeringan.

Kemudian pada aspek tekstur liat diketahui hasil dari perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C dan suhu pengeringan 80 ˚C menunjukkan tesktur liat pada dendeng lumat ikan kembung disukai oleh konsumen. Diketahui ikan memiliki jaringan pengikat yang halus, karenanya terasa empuk saat dimakan (Gardjito, 2014).  Namun, pada saat proses pengeringan berlangsung terjadi degradasi protein dan berkurangkan jumlah air pada produk akibat suhu pengeringan. Degradasi protein dan menurunnya kandungan air ini menyebabkan tekstur dendeng mengalami pengerasan (Kusnandar, 2019).

Dari perbedaan suhu pengeringan juga menghasilkan tekstur kering yang berbeda-beda sesuai dengan rendah tingginya suhu saat proses pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan dan aliran udara pada proses pengeringan mengakibatkan proses pengeringan semakin cepat terjadi. Pada suhu yang tinggi energi panas yang dibawa udara semakin besar, sehingga semakin cepat massa air pada produk yang dikeringkan menguap  (Adawyah, 2007). Proses pengeringan juga mengakibatkan perubahan pada volume produk, produk yang dikeringkan akan mengalami penyusutan.

Ketika massa air produk menguap dari produk dendeng lumat ikan kembung tidak hanya mengakibatkan perubahan tekstur produk menjadi kering, akan tetapi juga mengakibatkan ketebalan produk berkurang dari ketebalan awal sebelum dikeringkan. Ketebalan diketahui menjadi salah faktor yang memengaruhi pengeringan, selain suhu dan waktu pengeringan (Waziroh et al., 2017).  Dari ketiga faktor tersebut yang saling berhubungan mengakibatkan hasil produk dendeng lumat ikan kembung yang dikeringkan dengan suhu 70 ˚C, 80 ˚C, dan 90 ˚C berbeda pada aspek ketebalan. Oleh sebab itu, perlakuan suhu 90 ˚C menjadi suhu yang lebih banyak massa air produk yang menguap karena merupakan perlakuan suhu yang paling tinggi, sehingga produk menjadi lebih kering dengan ketebalan yang tipis sehingga lebih disukai oleh konsumen.

Dari delapan aspek penilaian pada uji daya terima konsumen yang telah dilakukan untuk aspek warna, tekstur liat, tekstur kering, rasa manis, dan ketebalan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap perbedaan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung. Lalu, pada aspek aroma bumbu, aroma amis, dan rasa gurih tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap perbedaan suhu pengeirngan dendeng lumat ikan kembung. Dari hasil tersebut juga diketahui perlakuan suhu 80 ˚C merupakan suhu yang mendapatkan hasil nilai rata-rata paling tinggi pada aspek warna, tekstur liat, tekstur kering, dan ketebalan. Sedang suhu 70 ˚C mendapat hasil nilai rata-rata tertinggi untuk aspek rasa manis, rasa gurih, aroma amis, dan aroma bumbu.

 

Tabel 28.  Hasil Rata-rata Uji Daya terima Konsumen Dendeng Lumat Ikan Kembung

Aspek Penilaian

Perlakuan

70 ˚C

80 ˚C

90 ˚C

Warna

4.33

4.57

4.03

Aroma bumbu

4.33

4.17

3.83

Aroma amis

3.93

3.77

3.6

Tekstur liat

4.13

4.23

3.4

Tekstur kering

4.07

4.5

4.03

Rasa manis

4.2

4.03

3.37

Rasa gurih

4.4

4.37

3.97

Ketebalan

4.33

4.37

3.87

Mean

4.22

4.25

3.76

 

Dari perolehan rata-rata setiap aspek pada tabel di atas diketahui perlakuan suhu 70 ˚C mendapatkan hasil mean dari total perolehan aspek 4,22, suhu 80 ˚C mendapatkan nilai mean 4,25, dan suhu 90 ˚C mendapatkan nilai mean 3,76. Oleh itu, dapat disimpulkan bahwa pada uji daya terima konsumen dendeng lumat ikan kembung perlakuan suhu 80 ˚C merupakan perlakuan yang paling disukai oleh para panelis karena mendapatkan nila mean dari setiap hasil rata-rata aspek penilaian paling tinggi, yakni 4,25. Kemudian perlakuan suhu 70 ˚C berada diperingkat kedua dengan perolehan nilai mean 4,22 dan suhu 90 ˚C berada diperingkat terakhir dengan perolehan mean 3,76

 

Pembahasan Hasil Penelitian Sifat Fisik

Setelah dilakukannya pengujian hipotesis menggunakan uji one way Anova pada variabel sifat fisik untuk empat aspek yang diuji, yakni berat, daya serap minyak, ketebalan, dan tekstur maka diketahui hasil dari uji hipotesis masing-masing aspek tersebut. Untuk aspek berat diketahui adanya perbedaan antar perlakuan suhu pengeringan dari tiga kali pengulangan. Hasil tersebut didapat dengan mendapatkan data berat dendeng lumat ikan kembung sebelum dikeringan dan sesudah dikeringkan yang kemudian dihitung besar penyusutan berat dendeng lumat ikan kembung.

Pengaruh suhu pengeringan setiap perlakuan memberikan hasil penyusutan yang berbeda-beda. Untuk perlakuan suhu pengeringan 70 ˚C dari tiga kali pengulangan ujian menghasilkan rerata penyusutan berat 39,60%. Perlakuan suhu 80 ˚C menghasilkan rerata penyusutan berat 46,60%. perlakuan suhu 90 ˚C memperoleh rerata penyusutan berat yang paling tinggi, yakni sebesar 48,53%. Perlakuan suhu pengeringan 90 ˚C menghasilkan penyusutan yang paling tinggi disebabkan dari ketiga perlakuan suhu pengeirngan suhu 90 ˚C merupakan suhu yang paling tinggi. Semakin tinggi suhu yang digunakan pada saat pengeringan semakin cepat terjadinya proses pengeringan yang mengakibatkan semakin banyak air yang menguap akibat terjadinya proses perpindahan panas dan massa (Estiasih et al., 2022). Sebab jumlah air pada dendeng yang menguap menyebabkan terjadinya penurunan atau penyusutan berat dendeng setelah dikeringkan.

Hal di atas juga bersinggungan dengan adanya pengaruh suhu pengeringan terhadap ketebalan dendeng. Adanya jumlah air yang menguap menyebabkan terjadinya penuruan volume dalam hal ini ketebalan dendeng. Pada suhu 70 ˚C ketebalan dendeng dengan tiga kali pengulangan didapat 3,07 mm, untuk suhu 80 ˚C didapat rata-rata ketebalan 2,53 mm, dan suhu 90 ˚C dengan rata-rata ketebalan dendeng 2,10 mm. Berdasarkan hasil pengukuran ketebalan menggunakan jangka sorong digital tersebut suhu pengeringan 90 ˚C merupakan dendeng yang paling tipis ketebalannya. Hal tersebut dikarenakan suhu 90 ˚C merupakan suhu yang paling tinggi, sehingga semakin banyak jumlah air yang menguap pada dendeng saat proses pengeringan. Dari hasil pengukuran tersebut dapat disimpulkan untuk aspek berat dan ketebalan suhu 90 ˚C merupakan suhu yang paling tinggi penyustan beratnya dan paling tipis ketebalannya, yaitu 48,53% untuk berat dan 2,10 mm untuk ketebalan dendeng.

Hal yang sama juga terjadi pada aspek tekstur, hasil pengukuran tekstur menggunakan texture analyzer suhu 70 ˚C mendapatkan hasil terkecil, yaitu 25,67, suhu 80 ˚C memperoleh hasil 30,50 dan suhu 90 ˚C memperoleh hasil tekstur yang paling tinggi 48,67. Proses pengeringan yang terjadi pada suhu tinggi dapat mengakibatkan pengerasan tekstur produk yang dikeringkan. Pengerasan tekstur disebabkan karena menurunnya jumlah air yang terkandung pada produk dan denaturasi protein akibat suhu pengeringan.

Tekstur produk yang mengeras dan lebih kaku dapat disebabkan karena menghilangnya sifat kelarutan protein dan daya ikan air (Palawe, 2020). Hal itu menyebabkan suhu pengeringan 90 ˚C merupakan perlakuan dengan hasil tekstur yang paling tinggi. Pada saat proses pengukuran tekstur dengan alat texture analyzer semakin tinggi perlakuan suhu pengeringan dendeng, semakin besar gaya yang dibutuhkan oleh jarum pada alat pengukur untuk menembus permukaan dendeng. Hal tersebut menjadikan perlakuan suhu 70 ˚C merupakan perlakuan dengan hasil tekstur terendah 25,67 yang menjadikan karakteristik tekstur dendeng dengan tesktur paling lunak setelah pengeringan dan suhu 90 ˚C menjadi perlakuan dengan paling keras setelah pengeringan.

Pada  aspek daya serap minyak berdasarkan hasil uji hipotesis uji one way Anova tidak terlihat adanya perbedaan signifikan pada dendeng lumat ikan kembung dengan perbedaan suhu pengeringan. Uji daya serap minyak dendeng lumat ikan kembung dilakukan sebanyak tiga kali pengujian dengan cara menggoreng dendeng setiap perlakuan secara bersamaan selama 45 detik dalam satu kali pengujian. Dari hasil tersebut menghasilkan besar daya serap minyak yang berbeda-beda pada setiap perlakuan dan pengujian. Hasil dari daya serap minyak dendeng lumat ikan kembung suhu 70 ˚C  dengan rata-rata 14,62%, suhu pengeringan 80 ˚C besar daya serap minyak 6,10% dan suhu pengeringan 90 ˚C besar daya serap minyak sebesar 12,11%. Dari hasil rerata tersebut dapat disimpulkan suhu 70 ˚C merupakan suhu dengan daya serap minyak tertinggi.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis menggunakan uji one way Anova variabel sifat fisik terlihat adanya perbedaan nyata antar perlakuan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung pada aspek berat, ketebalan, dan tekstur. Untuk aspek daya serap minyak berdasarkan uji hipotesis tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan suhu pengeringan dendeng lumat ikan kembung.

Hasil rerata dari tiga kali pengujian aspek berat suhu 90 ˚C memperoleh nilai penyusutan yang paling tinggi, yakni 48,53%, kemudian suhu 80 ˚C menyusut 46,60%, dan suhu 70 ˚C menyusut 39,60%. Untuk aspek ketebalan suhu 70 ˚C menghasilkan dendeng dengan rata-rata ketebalan 3,07 mm, suhu 80 ˚C menghasilkan dendeng dengan rata-rata ketebalan 2,53 mm, dan suhu 90 ˚C menghasilkan dendeng dengan ketebalan yang paling tipis, yaitu 2,10 mm. Hasil uji aspek tekstur suhu 90 ˚C menghasilkan tekstur yang paling tinggi 48,67, kemudian terdapat suhu 80 ˚C dengan hasil tekstur 30,50, dan suhu 70 ˚C yang paling rendah 25,67.

Hasil uji analisis daya terima konsumen dengan uji Friedman diketahui bahwa suhu 80 ˚C adalah perlakuan yang paling disenangi oleh para panelis dengan perolehan mean 4,25 yang menunjukkan rasa suka terhadap dendeng.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Adawyah, R. (2007). Pengolahan dan pengawetan ikan. Bumi Aksara.

Amandra, M. N., Widyastutik, W., & Zulbainarni, N. (2022). Determinan Nilai Tukar Nelayan Di Indonesia Dengan Pendekatan Geographically Weighted Panel Regression (GWPR). Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 17(2), 195–210.

Estiasih, T., Waziiroh, E., & Fibrianto, K. (2022). Kimia dan Fisik Pangan. Bumi Aksara.

Gardjito, M. (2014). Pendidikan Konsumsi Pangan. Kencana.

Indraswari, S., & Kurniasari, R. (2022). Karakteristik Organoleptik Dan Kandungan Gizi Bakso Ikan Kembung Dengan Substitusi Tepung Daun Kelor. Ghidza: Jurnal Gizi Dan Kesehatan, 6(1), 94–104.

Kusnadi, J. (2018). Pengawet Alami untuk Makanan. Universitas Brawijaya Press.

Kusnandar, F. (2019). Kimia pangan komponen makro. Bumi aksara.

Novianti, T. (2020). Kajian pemanfaatan daging ikan kembung (Rastrelliger Spp) sebagai bahan penyedap rasa alami non msg dengan pendekatan bioekonomi perikanan. Barakuda 45: Jurnal Ilmu Perikanan Dan Kelautan, 2(2), 56–68.

Palawe, J. F. P. (2020). Biokimia Pangan Hasil Perikanan. Politeknik Negeri Nusa Utara.

Rachmawati, E., Mufidah, L., Stj, R. C. M. A., & Sulistyani, T. (2021). Ilmu Dan Teknologi Boga Dasar. Deepublish.

Sarwono, B. (2001). Khasiat dan manfaat jeruk nipis. AgroMedia.

Sau, A. A., Toha, L. R. W., & Laut, M. M. (2023). Uji Perbedaan Kualitas Organoleptik Dendeng Babi yang Dikeringkan dengan Oven dan Dijemur. JURNAL KAJIAN VETERINER, 11(1), 1–9.

Soekarto, E. D. S. T. (2020). Teknologi hasil ternak. PT Penerbit IPB Press.

Suprayitno, E. (2022). Dasar Pengawetan: Edisi Revisi. Universitas Brawijaya Press.

Waziroh, E., Ali, D. Y., & Istianah, N. (2017). Proses termal pada pengolahan pangan. Universitas Brawijaya Press.

Wolke, R. L. (2005). Kalo Einstein jadi koki: sains di balik urusan dapur. Gramedia Pustaka Utama.

Yuniarti, T., Lestari, S. D., Perceka, M. L., Handoko, Y. P., Purnamasari, H. B., Kristianto, S., Tarigan, N., Ridhowati, S., Afifah, R. A., & Prayudi, A. (2021). Pengetahuan Bahan Baku Perikanan. Yayasan Kita Menulis.

 

 

 

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.